"Duhhh, udah jam sepuluh lewat padahal. Kok belum pada balik, sih?" gumam Dara cemas seraya mengecek jam di ponselnya terus-menerus.
Ardi, Farzan, Ersya, serta Andra sudah tertidur duluan. Mereka sudah lelah sedari tadi melemparkan lelucon yang membuat tawa pecah. Mereka berempat tertidur saling menimpa -maksudnya salah satu anggota tubuh masing-masing ada yang digunakan sebagai bantalan. Mereka semua masih menunggu di teras rumah Dara. Cewek itu sempat mengajak untuk masuk saja, tetapi Dio berkata bahwa tidak baik anak-anak cowok masuk ke rumah cewek. Nanti tetangga berpikir yang tidak-tidak.
"Mungkin macet," terka Revan yang sebenarnya lelah melihat kecemasan Dara. Pemilik rumah itu sama sekali tidak bisa diam. Itu membuat Revan geram.
"Macet gimana, harusnya jalanan sepi pas jam segini," balas Dara masih belum tenang.
"Mungkin ada tamu lain yang ngajak ngobrol, atau apa gitu. Udahlah, gak usah cemas," tutur Dio kemudian. Ia baru saja kembali dari rumah untuk pamit pada Mama-nya, agar beliau tidak cemas nantinya.
"Kalo misalnya ada sesuatu, pasti dikabarin," timpal Asep membuat Dara menghela napas pelan.
Hening beberapa saat. Semuanya sibuk pada pikiran masing-masing.
"Fake friend? Terus di sini, lo yakin masih nemuin begituan?" tanya Alfa yang sedari tadi diam. Dari tadi sebenarnya ia menahan pertanyaan itu. Ia menunggu waktu yang pas untuk bertanya dan waktu ketika keempat pembuat keributan itu tertidur adalah waktu yang sangat pas.
"Gak yakin," jawab Dara ragu. "Gue aja masih baru di sini, belum ada sebulan. Gue masih coba beradaptasi."
Asep tersenyum tipis. Ia bisa memaklumi Dara. "Santai aja, gue juga SD gitu kok."
Sontak Dara langsung menoleh ke arah Asep dengan alis mengernyit, berbeda dengan lainnya yang sepertinya sudah biasa mendengar hal itu. "Maksudnya?"
"SD gue mana pernah punya temen. Sama kayak lo juga, gua gak mau punya teman lebih tepatnya. Mereka cuman numpang tenar," ungkap Asep.
"Pas SD lo populer?"
Alfa yang berada di samping Asep sontak merangkul bahu cowok itu sambil tersenyum miring. "Si Bule mana pernah gak famous."
Dara mengangguk paham seraya terkekeh pelan.
"Pas SD gue kayak introvert jadinya, nolep kayak si Revan."
Revan sontak meninju pelan bahu cowok bule itu. "Malah bawa-bawa gue, sialan lo."
Dara tertawa kecil melihat Revan yang kesal. Lalu atensinya kembali pada Asep. "Terus, kalo ada pembagian kelompok gimana?"
Asep tidak langsung menjawab. Ia justru bertanya balik, "Kalo lo gimana?"
Dara mengangkat bahunya seraya menjawab, "Yaaaa, kalo gue sebisa mungkin kerjain sendiri. Biarin aja mereka nganggap gue sombong atau apa, toh itu juga demi kebaikan mereka. Kalo satu kelompok sama gue, yakin dan percaya pasti mereka bakal bergantung sama gue. Ujung-ujungnya gue yang ngerjain tugasnya sendiri, gak guna." Cewek itu mendengkus pelan, mulai kesal saat mengingat momen-momen menyebalkan itu.
Asep mengangguk pelan. "Lo mah enak, pinter. Lah gue? Mau gak mau akhirnya sekelompok sama mereka. Toh, di sana gue gak berguna juga, untung di mereka itu cuman dapat sedikit kepopuleran dari gue. Udah itu aja, sisanya mana ada. Paling yang cewek-cewek centil doang yang dapat keuntungan lebih, itupun langsung gue gertak biar jauh-jauh," balasnya lalu tersenyum sinis ketika pikirannya melayang kepada wajah ketakutan atau pura-pura ketakutan para cewek-cewek genit yang sering ia gertak.
"Ganas juga, ya, masa-masa SD lo. Gue aja yang cewek pas SD sukanya main masak-masak, gak pernah samsek kepikiran buat genit atau centil ke cowok," cibir Dara merasa ngeri melihat anak-anak SD yang sudah punya pikiran untuk dekat-dekat dengan cowok.
"Lo centil ke cowok juga mana ada yang mau," celetuk Dio membuat Dara langsung memelototinya dengan tajam.
"Bising, dih."
Revan melihat keduanya dengan satu alis terangkat. Bibirnya naik membentuk senyum yang menyebalkan karena Dara punya firasat buruk tentang itu. "Kalian dulu gak pernah akur gitu?"
"Dih, ya kali."
Asep dan Revan saling bertukar pandang lalu tertawa bersama. Sepertinya menggoda kedua orang bertetanggaan itu cukup menghibur di tengah sunyinya malam.
"Dio, lo gak pernah main masak-masak sama Dara?"
"Najis," ketus Dio langsung.
"Terus, Ra, lo gak pernah ikutan main robot-robot gitu sama Dio?"
"Ih, amit-amit," sahut Dara lalu mengetuk pelan kepalanya dan lantai dengan kepalan tangan secara berulang-ulang.
Lagi, tawa kedua cowok iseng itu menggelegar.
"Keluarga kalian pasti saling kenal, kan?" tanya Revan membuat kedua orang yang tadinya saling membuang muka langsung menatap cowok itu tajam. "Berdasarkan apa yang sering gue baca di novel-novel, banyak tuh tetangga yang saling dijodohin."
"Kebanyakan baca novel gak baik buat pikiran, Van."
"Apaan sih Revan, otaknya udah terkontaminasi."
Serius, ini menghibur, bagi Revan dan Asep yang bosan. Menggoda kedua remaja yang saling bertetanggaan itu kini menjadi salah satu kegiatan untuk menghilangkan kebosanan. Melihat wajahnya mereka yang ditekuk kesal - ralat, hanya wajah Dara saja yang ditekuk kesal, wajah Dio hanya datar dan terkesan tidak berminat sama sekali, walaupun kentara sekali kedua orang itu sama-sama kesal - adalah hal yang patut ditertawakan.
Asep merasa ada yang kurang. Ia lantas menoleh pada Alfa dengan alis yang bertaut. "Lo napa diam aja, Al?"
Alfa menghela napas pelan. "Gak." Ia kemudian mengambil posisi berbaring dengan perut Andra sebagai bantalan.
"Udah, deh. Kenapa topiknya malah ke sini?" sela Dara jengkel. Ia lalu beralih pada Asep. "Terus? Itu berlangsung sampai kapan?"
"SMA, karena satu kelas sama manusia-manusia ini," jawab Asep sembari menunjuk teman-temannya dengan dagunya. "Awalnya gue juga gak mau berteman, tapi gak tau kenapa tiba-tiba udah dekat aja. Gak kerasa."
Dara menatap Asep takjub. "Kebawa alur, ya? Coba lo malah lawan alur, kayaknya lo bakal introvert sampe sekarang."
Revan merangkul Asep seraya membalas, "Asep ini kayaknya masih termasuk introvert. Dia cuman mau berteman sama kita-kita doang. Kalo sama yang lain gak jauh beda dengan perlakuannya di SD."
Dara mengangguk pelan. Ia pikir, Asep ini punya banyak teman. Secara, Asep ganteng, baik, terkenal pula. Agak aneh bila cowok seperti Asep punya teman yang sedikit.
"Tapi, Ra...."
Dara menatap Asep dengan tatapan bertanya.
Asep menggaruk tengkuknya dengan ragu. "Di sini ... kalo ada pembagian kelompok, lo masih gak mau gabung? Mau sendiri gitu?"
Dara diam sebentar. Ujung kanan bibirnya tertarik saat melihat wajah Asep yang sedikit takut bila dirinya masih menerapkan sistem kelompok seperti biasa. Tiba-tiba sebuah pemikiran usil muncul di benak.
"Iya, dong! Gue maunya sendiri aja, gak mau bikin-bikin kelompok! Ntar malah gue doang yang kerja, yang lain enak rebahan doang! Gak mau!"
Wajah Asep tampak kecewa. "Yah, Raaa. Jangan gitulah, yang namanya tugas kelompok ya harus diselesaikan dengan kelompok. Masa' lo masuk sendirian gitu? Egois."
Revan pun ikut memelas. "Iya, Ra. Lo egois kalo gitu. Janganlah."
Dara tiba-tiba tertawa keras. Akhirnya ia bisa balik mengerjai kedua cowok di hadapannya ini.
"Muka lo berdua, ngakak!"
"Dih, ngerjain orang rupanya. Awas aja lo, Ra."
Dara terdiam seketika. Ia kembali punya perasaan buruk mengenai hal itu. "E-eh, jangan dong...."
"BODOAMAT."
"IIHH, IYA-IYA, GUE—"
Tin! Tinnnn!
"ARA, BUKA GERBANGNYA, NAK."
Dara, Dio, Revan, Asep, serta Alfa yang tadi langsung terduduk sontak saling bertukar pandang. Mata mereka kemudian beralih pada ketiga cowok yang masih tertidur pulas bahkan sempat mengigau.
"Woi, kebo! Bangun!"
Duh, mampus gue kalo mereka gak pada bangun.