Dara menganga tak percaya. Matanya melotot menatap tempat di mana mereka berada sekarang.
Tiny Cafe.
Kafe tenang dan damai dengan nuansa pink pastel dan putih. Kursi-kursi lucu berwarna pink pastel diatur di sekeliling meja besar berwarna putih lembut. Di dindingnya dilukis beberapa karakter Disney perempuan dan laki-laki. Lukisan-lukisan itu nyaris memenuhi dinding dengan cat paduan pink dan putih. Di sudut-sudut ruangan terdapat banyak koleksi barang anak-anak yang beberapanya mengambil dari Disney, seperti kotak musik, miniatur-miniatur mini yang membuat gemas, barbie-barbie yang cantik, dan bahkan bunga beserta tempatnya pada film kartun Beauty and The Beast ada di sana. Kafe ini benar-benar berisi barang-barang dengan nuansa Disney.
Dara memperhatikan sekitar. Pengunjung kafe ini memang rata-ratanya adalah anak-anak dan perempuan. Mungkin sepertinya anak laki-laki tidak berminat untuk berkunjung karena menganggap kafe manis ini terlalu bernuansa perempuan. Antara gengsi atau memang tidak tertarik sama sekali, Dara tidak peduli. Yang ia pedulikan ialah, untuk apa anak-anak cowok bandel datang ke kafe manis seperti ini? Membuat keributan? Tetapi, kenapa anak-anak ini tidak takut pada mereka, justru beberapa merasa senang akan kehadiran mereka? Membingungkan.
"Kita gak ngacau," celetuk Revan, membuat Dara mengelus dadanya sabar karena lagi-lagi cowok itu seakan membaca pikirannya.
"Lo mikir gitu, Ra? Anjay, ya kali," sahut Ardi tak habis pikir yang dipanggil Ersya.
Dara cemberut. "Ya abisnya, ngapain coba cowok-cowok bandel kayak kalian main ke kafe anak-anak gini? Mengikuti tren anak muda sekarang, kafe ini gak banget bagi cowok," balasnya tak terima dirinya disalahkan.
Dio mengangguk pelan. "Udah ketebak jalan pikirannya."
"Ya kita mau lakuin hal yang selayaknya dilakuin pas ke kafe," ujar Alfa lalu berjalan menuju meja sebelah kanan paling pojok.
Meja itu lain sendiri. Bila yang lain berwarna putih lembut, maka meja yang lumayan besar ini berwarna biru langit yang cukup kontras dengan benda-benda sekitar. Di atasnya telah disediakan gelas-gelas berjumlah delapan — kalau Dara tidak salah hitung — dan piring dengan jumlah yang sama.
"Meja khusus?" gumam Dara heran.
"Iya," jawab Dio yang mendengar gumaman Dara dari samping.
Dara seketika menoleh pada Dio. Cewek itu mengernyit bingung sambil bertanya, "Kok bisa?"
Namun, tetangganya itu malah berjalan menyusul yang lain. Mereka ternyata sudah duduk di sana lebih dahulu setelah Alfa.
Dara masih diam di tempatnya. Suasananya berubah menjadi canggung. Ia baru menyadari kalau ternyata kursinya juga ada delapan dan itu sudah penuh diduduki oleh yang lainnya. Dara sadar kalau tidak ada lagi tempat.
Melihat Dara yang kikuk, Asep langsung menoleh ke arah kanan dan kiri. Cowok itu terkekeh pelan saat melihat bahwa semua kursi sudah terisi penuh. Ia kemudian bangkit lalu menuju ke meja lain. Mengambil kursi, menaruhnya di samping Dio, dan duduk di sana.
Asep menatap Dara yang bingung akan sikapnya. "Duduk, Ra," perintahnya sambil menunjuk kursinya tadi.
Dara menatap kursi yang ditunjuk Asep. Kursi itu berada di antara Dio dan Alfa. Dengan gerakan kikuk ia melangkah dan duduk di sana.
"Um, jadi — "
"Oke, gue tau lo pasti heran dan bingung pake banget," sela Farzan cepat. Ia menggerakkan dagunya ke arah Andra agar menjelaskan semuanya pada Dara.
Andra menghela napas. Padahal ia sedang haus-hausnya, tapi malah disuruh tambah mengeringkan tenggorokan. Dasar Tarzan.
"Kafe ini namanya Tiny Cafe. Kafe ini punya sepupu Ersya, namanya Jena. Jadi lo paham kenapa kita seakan punya koneksi di kafe ini, kan?"
Dara mengangguk paham.
"Kafe ini basecamp kita selain rumah Tar — eh Farzan maksudnya," lanjut Andra lalu menoleh sembari menyengir pada Farzan yang sudah memasang wajah masam. "Sori, Zan."
Farzan hanya mencibir pelan.
"Dan karena itu, kalian punya tempat khusus yaitu meja biru ini," sambung Dara yang sudah paham.
Andra tersenyum lalu mengangguk cepat. "Duh, jodoh gue cepet bener ngertinya."
"Otak kau jodoh," celetuk Farzan spontan.
"Iri aja si Tarzan."
"Ajege."
"Yang mau gue tanya dari tadi itu, kenapa kalian mau jadiin kafe anak-anak yang bahkan gue yang cewek aja sakit mata liatnya sebagai basecamp kedua?" Dara akhirnya menanyakan apa yang dari tadi mengganjal.
"Satu, kafenya tenang. Dua, makanan minumannya gratis. Tiga, anak-anaknya pada asik semua," jawab Alfa lalu mengangkat tangannya, "WOI, JENA!"
"APAAN, DAH. GAK USAH PAKE TERIAK SEGALA YA SETAN," balas seorang cewek dengan wajah galak sambil mendatangi meja mereka. Tangannya membawa dua nampan sekaligus dengan beberapa minuman di sana. Ia lalu membagikan minuman-minuman itu satu-satu tanpa bertanya karena ia sudah hapal di luar kepala.
Dara sedikit mendekat pada Dio lalu berbisik, "Itu Jena?"
Cowok itu mengangguk.
"Ya, Allah, Jen. Lo kali yang setannya, kita mah malaikat."
"Iya, malaikat maut."
"Najis, asu."
Jena tertawa sekeras-kerasnya melihat wajah datar Farzan sehingga membuat beberapa anak menoleh padanya. Namun, tawanya seketika terhenti saat matanya tak sengaja menangkap presensi Dara yang menatapnya kaku.
"Lah ini siape? ANAK SIAPE YANG LU PADA CULIK KE KAFE GUA, WEHHHH?"
Ersya langsung bangkit dan menggeplak kepala sepupunya itu dengan geram. "Kalem, Jena Goblok."
Jena langsung terdiam kalem. Seperti robot yang tombol diamnya baru saja diaktifkan.
"Dia Dara, anak baru di Utopia," jawab Asep cuek lalu meminum cokelat dingin miliknya.
"WHAT? SERIUS? OMG, KOK KALIAN GAK GONGGONG?" pekik Jena heboh lalu segera berjalan mendekati Dara.
Ardi membalas dengan sarkas, "Kita bukan anjing yang sejenis sama lu."
"Idih, duplikat yang suka makan pisang diem aja, ye."
Ardi mencibir kesal.
"Nama lu siapa? Udah punya pacar? Minta nomor WA, dong."
"Pertanyaan lo udah kayak cowok buaya yang nemuin mangsa," celetuk Andra.
"Lah situ gak nyadar?"
"Jenanjir."
Dara tersenyum kaku. Ia tidak tahu harus membalas apa.
"Dia mah kalem bae sama orang yang gak dikenal. Gak kayak lo, sok asik," sahut Farzan.
"Ah, lu pada diem aja napa, dah? Sibuk bener, pusing pala gua," gerutu Jena kesal lalu menarik Dara keluar dari tempat duduknya. Ia kemudian menarik cewek itu ke meja kosong dengan jarak satu meja dari meja biru itu.
Jena duduk di kursinya, begitu juga dengan Dara. Cewek heboh itu menatap Dara lekat-lekat.
"Lu pake skincare, ya?"
Dara mengernyit bingung. "Skincare itu apa?"
"NAH," pekik Jena heboh sambil menggebrak meja membuat Dara terlonjak kaget di kursinya. Untungnya ia langsung menutup mulutnya dan latahnya tidak terlontar. Ia menoleh ke arah sekitar, ternyata yang lain sama terkejutnya dengan dirinya.
"JENA SUARA LO, AH."
"APAAN LU? KAFE-KAFE GUA, SUKA-SUKA GUA, YE."
"BODO."
Jena tersenyum lebar menatap Dara. "Bagus, deh. Keliatan juga lu anak kalem. Asep aman gak?"
Dara langsung mengangguk. Ia mengerti apa yang dibicarakan Jena.
Jena tersenyum puas. "Ternyata lu si anak baru itu. Gua pikir, lu seheboh gua, ternyata kalem gini, ya," ujarnya lagi lalu tertawa pelan.
"KALEM-KALEM GITU GALAK, JEN. TIATI LU."
Jena langsung melotot mendengar penuturan Farzan. "Beneran?"
"Lo mau gue cekik?" Dara menatap Farzan tajam tanpa menghiraukan pertanyaan Jena.
"Anjir, iye-iye. Maap!"
Jena tertawa membuat Dara menoleh padanya.
"Kenapa ketawa?"
Jena tersenyum lebar. Raut wajahnya terlihat sangat senang. Ia seperti anak kecil yang baru dibelikan mainan kesukaannya.
"AKHIRNYA GUA PUNYA TEMAN SESAMA LOBANG."
"BAHASA GUE JANGAN DI-COPAS WOI."