"Setiap hari kalian begini? Tangan kalian gak sakit apa?" tanya Dara tak percaya pada Asep di sampingnya yang tengah beristirahat setelah 1 jam lebih latihan tinju. Cewek itu menatap para cowok yang masih saja berlatih tinju pada samsak masing-masing.
Rumah Farzan memang markas yang pas. Bahkan semua tiang serta samsak itu Farzan-lah yang menyediakan. Bukannya yang lain tidak mau membantu, tetapi cowok itu yang bersikeras.
"Gak," jawab Asep singkat. Ia membuka tutup botol air mineralnya lalu meneguknya asal. Dada bidangnya yang berkeringat kini semakin basah akibat air mineral yang ia minum dengan asal. "Gak tiap hari. Hari-hari tertentu doang."
"Ini hari Sabtu, berarti kalian lakuin ini setiap hari Sabtu?"
"Dan Minggu," tambah Asep memperbaiki.
"Lo gak mau ikutan?"
Dara langsung menoleh pada Asep dan segera menggeleng keras. "Gak mau, gue gak bisa. Lagipula gue cewek sendirian di sini."
Asep mengernyit bingung. "Loh? Emangnya kenapa kalo lo cewek sendirian di sini? Kita emang nakal, tapi enggak brengsek."
Dara menunduk. Ia merasa telah salah memilah kata.
"Lo gak bisa? Kita ajarin. Gampang, kan?"
Lo ngomongnya gampang, Sep. Di gue yang susah, gerutu Dara di dalam hati.
"Yakin? Mungkin lo doang yang berpikiran gitu," Dara menghela napas, "yang lain belum tentu."
Asep menaikkan satu alisnya. Ujung kanan bibirnya naik, membentuk senyuman yang terkesan meremehkan. "Tau darimana? Gue lebih kenal mereka daripada lo."
Dara yang tadinya menunduk langsung mendongak dan menatap Asep bingung.
"Walaupun bandel, kita gak pernah ninggalin kata solidaritas dan kekeluargaan. Utopia itu udah kayak keluarga bagi kita. Nyaris 2 tahun sekelas, itu bikin kita tau apa arti keluarga yang sebenarnya," ungkap Asep sembari menatap langit. Ia seperti sedang berkhayal.
"Keluarga?"
"Kita semua punya latar belakang keluarga yang buruk," papar Asep tanpa ragu.
Dara langsung mengatupkan mulutnya. Hanya dengan kalimat itu, rasanya Dara sudah paham tentang apa yang tengah disampaikan oleh Asep. Tidak perlu diperjelas, Dara merasa itu akan menyakitkan.
"Karena itu, cuman di sekolah kita ngerasa punya keluarga. IPS 5 atau kita mah bilangnya Utopia, kelas yang dianggap jelek atau mungkin diidam-idamkan sama cewek-cewek, gue gak peduli semua itu. Mau dibilang jelek, malu-maluin, atau hal buruk lainnya, gue gak peduli. Yang penting, Utopia keluarga gue."
Dara menatap nanar ke arah Asep. Cowok itu masih menatap langit, seakan memang tidak mau bertatapan dengannya. Ia tahu bahwa dari tatapan itu ada luka yang dalam. Dara bisa memaklumi itu semua.
"Sekarang lo bagian dari Utopia, lo anggota baru keluarga kita," ungkap Asep membuat Dara tersenyum. Cowok itu kini menoleh menatap Dara seperti biasanya. "Udah paham 'kan sekarang? Sorry, gue curcol."
Dara tertawa ringan. "Iya, gue paham kok." Tawanya kini mereda menjadi senyuman.
"Oh, ya. Kalo misalnya ada beberapa orang yang nunjukin rasa gak suka sama lo, jangan diambil hati. Lo masih baru, mereka cuman pengen liat sifat asli lo kayak gimana. Jadi tolong gak usah jaim, tunjukkin gimana aslinya lo. Di sini gak boleh ada yang pake topeng apapun," terang Asep membuat Dara tertawa lalu mengangguk cepat.
"Siyap!" Dara lalu mengernyit bingung. Ia menoleh pada Asep. "Eh, BTW, kenapa IPS 5 disebut Utopia? Gue masih bingung."
Asep terkekeh pelan. Ia melirik Dara dengan misterius. "Seiring berjalannya waktu lo pasti paham."
"HEH, PDKT-AN MULU! MAU NIKUNG, YA, LO, SEP?"
Teriakan Andra membuat Dara dan Asep spontan menoleh. Cowok itu ternyata sudah berhenti memukuli samsak merah tersebut. Matanya menatap kedua remaja itu dengan nyalang tetapi tetap terkesan bercanda.
"IYA, ABISNYA ASIK, NIH. BOLEH, LAH."
"HEH, KURANG AJAR."
Mereka semua lantas tertawa melihat raut wajah Andra yang menggelikan dan berlebihan. Sangat cocok bila dijadikan santapan meme.
"DARA IKUTAN AJA SINI, JANGAN MAU SAMA ASEP. DIA KANG GAY."
"Mulut lo emang perlu dipelintir kayaknya," balas Asep kesal tetapi membuat Dara tertawa pelan.
"GAK, AH. SAMA LO NTAR PIKIRAN GUE TERNODA KARENA KATA-KATA GOMBALAN RECEH LO."
"TEGANYA KAU, RA."
Dara kembali tertawa keras. Kini ia tahu kenapa Asep menganggap orang-orang kurang asupan gizi waras ini sebagai keluarganya.
***
"WIDIHHH, JADI LO YANG LIPAT BAJU-BAJU KITA, RA?"
Ersya sontak berdecak sebal lalu menoyor kepala Ardi yang ada di sampingnya. "Biasa aja, Tolol. Gak perlu pake acara teriak segala."
"Diem lu, Caca."
Ersya melotot marah. Namun ia segera mengelus dadanya sambil berusaha menenangkan dirinya saat Ardi memanggilnya dengan nama panggilan dari Bunda-nya.
"Lo gak jijik gitu? Keringatnya Revan bau, loh."
Revan mengumpat, "Sialan."
Dara tertawa mendengar celetukan Andra. "Enggak, kok. Gue mana mau nyium-nyium baunya. Lipat ya lipat aja kali."
"Duh, calon istri idaman."
Ersya menoyor kepala Andra. "Najis."
Ardi mengikuti apa yang dilakukan Ersya. "Geli."
Farzan tak mau kalah. "Jijik."
Alfa pun tidak mau ketinggalan menyiksa seseorang. "Mimpi."
Andra meronta setelah Alfa menoyor kepalanya. Ia mengelus kepalanya yang lumayan pusing akibat 4 toyoran tidak senonoh itu. "Lu pada sirik bener."
"Bapak kau sirik."
Andra semakin cemberut akibat balasan Asep.
"Udah, ih. Sekarang balik, nih?" tanya Dara menghentikan aksi penistaan Andra.
"Janganlah. Cepet banget," keluh Alfa tidak setuju.
"Sekarang udah jam berapa, sih?" tanya Asep pada Dio yang sudah memakai kembali jam tangannya.
Dio mengecek jam tangannya sejenak lalu menjawab, "Tujuh malam."
"Wahgelaseh, udah malam aja. Gak kerasa," celetuk Farzan.
Dara menggaruk tengkuknya tak enak. "Gue balik aja, deh. Udah malem soalnya, ntar orang rumah cemas."
Asep mengangguk setuju. Ia juga merasa anak gadis tidak baik keluyuran malam-malam. "Iya, lo balik aja. Tadi lo bawa motor?"
Dara mengangguk sembari tersenyum. Ia mengambil jaket di kursi teras rumah Farzan lalu memakainya. Ia merogoh saku celananya untuk mengambil kunci motor.
"Gue cabut, ya!"
"Tunggu, gue agak gak enak gitu," ujar Ersya. "Cewek balik malam-malam gini, takut kenapa-kenapa. Apa kita antar aja?"
Dara tersenyum meyakinkan. Ia menggeleng pelan. "Gue bisa jaga diri sendiri, kok. Lagian orang rumah agak-"
Ting!
"Ah, bentar." Yang lainnya mengangguk lalu kembali berbicara tentang ke mana tujuan mereka selanjutnya. Dara merogoh saku jaketnya dan mengambil ponselnya untuk membuka pesan.
From: Mama💋
Ara, mama sama papa pergi ke kondangan ya. Baliknya sekitaran jam 10 malem. Kami juga bawa Kio. Makan malam udh mama siapin
Dara membuka mulutnya sedikit. Ia tidak percaya apa yang telah dilakukan oleh kedua orang tuanya. Bisa-bisanya mereka meninggalkan Dara sendiri padahal mereka tahu bahwa dirinya sangat takut sendirian di rumah pada malam hari. Dara jadi bimbang.
Dara melirik segerombolan cowok itu dengan ragu. Jari-jarinya bergerak gelisah menyentuh layar ponselnya.
Revan sepertinya menangkap kegelisahan cewek itu. "Kenapa?"
Sontak semuanya menatap Dara bingung.
"Umm," Dara menarik napas lalu mengeluarkannya perlahan, "g-gue ikut aja, boleh?"
Dio mengernyit heran. Tak biasanya cewek ini mau bepergian malam-malam. Cewek ini lebih suka berkutat dengan beberapa buku pelajaran atau rumus-rumus yang memusingkan kepala. Tetapi malam ini berbeda.
"Lo yakin?" tanya Dio ragu.
Dara menghela napasnya. Ia yakin semuanya akan heran padanya, terutama Dio. Tetangganya itu jelas tahu kebiasaannya di malam hari.
"Keluarga gue pergi ke kondangan, jadi rumah kosong. Gue takut sendirian di rumah. Gue gak berani balik," cicit Dara pelan. Sebenarnya ia takut ditertawakan. Ia tahu rasa takutnya seperti anak kecil. Bahkan saat pertama kalinya Dio tahu, cowok itu tertawa keras mengolok Dara. Dan dirinya semakin membenci cowok itu.
Dara menatap datar ke arah cowok-cowok itu. Matanya jelas menangkap bahwa mereka mati-matian menahan tawanya. Oke, pengecualian untuk Dio. Cowok itu memang sudah tahu.
"Ketawa aja kali," gerutu Dara sebal dan tepat pada saat itu tawa cowok-cowok menyebalkan itu pecah seketika. Dara semakin cemberut.
"Oke, oke," Farzan meredakan tawanya, "jadi lo mau ikut?"
Dara mengangguk.
"Lo gak takut? Kalo misalnya kita pergi ke bar atau semacamnya, gimana?" tanya Alfa seraya menaikkan alisnya dan tersenyum miring.
Dara terdiam seketika. Otaknya tak tahu harus berpikir jalan keluar apa lagi.
"Bercanda," celetuk Alfa. "Oke, ayo."
"Kita ke mana?" tanya Dara bingung.
Revan tersenyum miring.
"Ke tempat yang sama sekali gak pernah terpikir oleh lo."