Bab 2. Kilas Balik 2017
Kita memang tidak pernah tahu bagaimana kelanjutan hidup kita setelah beberapa detik, menit, jam, hari, minggu bahkan tahun kemudian. Ada yang datang tiba-tiba, ada yang pergi tiba-tiba. Semuanya jelas masih misteri dan tidak bisa ditebak. Sekalipun kita ingin.
***
LY, lo dimana?
Pesan itu terkirim. Checklist dua. Artinya pesannya itu sudah masuk. Tunggu di baca saja. Dan sialnya, Nuca sudah menunggu empat hari lebih tanpa jawaban dari Lyodra. Gadis itu tiba-tiba menghilang. Tidak ada dimana-mana. Bahkan, Nuca berkali-kali mendatangi rumahnya tapi tidak ada siapapun disana. Sepi, dan gerbangnya tertutup rapat. Jarak rumah mereka hanya sebatas jalan depan komplek karena rumah Lyodra tepat berada di depan rumahnya. Tapi, meskipun begitu, ia dan keluarganya tidak ada yang tahu mereka sekeluarga kemana. Mereka seolah hilang di telan bumi. Termasuk satpam yang biasanya jaga disana.
Nuca sudah mencoba menghubunginya berkali-kali dan tidak pernah ada jawaban, padahal panggilannya tersambung. Tapi, Nuca tidak menyerah. Ia men-dial nomor Mirabeth, yang notabene kakak Lyodra. Meskipun akan sama saja akhirnya. Karena, terakhir ia menelfon, ujungnya akan sama, tidak ada yang menjawab. Begitupun ketika Nuca mengulang panggilannya.
Jika saja ia bukan lelaki yang sabar, mungkin ia akan membiarkan dan memilih untuk tidak peduli. Tapi, Lyodra baginya adalah sosok yang lebih dari disebut teman. Nuca begitu menyayangi dan.. mencintai gadis itu. Wajar bukan? Mereka berteman sejak kecil. Takdir seolah memberi mereka waktu yang lama untuk terus tumbuh dan melewati hampir semua hal bersama. Mustahil tidak ada perasaan cinta di antara keduanya. Pasti salah-satunya akan kalah. Atau bahkan dua-duanya. Mereka akan terlibat persoalan rumit soal pertemanan dan cinta. Lalu memilih menyimpan rapat-rapat semuanya agar tetap baik-baik saja.
Nuca tersenyum kecil mengingat semua hal tentang mereka. Begitu lucu dan memorable banget untuk diingat. Suatu saat, ia mungkin bisa menceritakan hal ini pada anak-anaknya kelak, sebagai cerita selingan disaat kumpul keluarga.
Ia menggeleng-gelengkan kepalanya, seakan bermaksud membuang khayalan konyolnya. Nuca menjauhkan poselnya dari.telinga dan membiarkan ponselnya tergeletak di meja dengan layar yang tetap menampilkan id caller Mirabeth.
Jantungnya berdegup kencang begitu panggilan tiba-tiba terhubung. Entah kenapa, hari ini berbeda. Panggilan berdering, ponsel di seberang artinya aktif. Nuca masih menunggu, lima detik tidak ada jawaban, sepuluh detik masih sama, lima belas detik panggilan berakhir. Nuca menghela napas kasar. Ia mencobanya lagi dan menunggunya kembali.
"Halo?"
Suara di seberang membuat Nuca langsung sumringah. Ia tersenyum lebar sebelum menjawab. "Kak Abe?"
"Iya, kenapa, Nuc?"
Nuca berjalan ke arah balkon, menenangkan dirinya yang barusaja merasakan euforia setelah penantiannya berujung. "Kak Abe dimana? Kok rumah sepi ya? Pada kemana? Lyodra juga nggak masuk sekolah udah tiga hari," kata Nuca sambil memandang ke arah rumah Lyodra yang sepi. Biasanya, setiap sore mereka akan berdiri di masing-masing balkon kamar. Lalu mereka akan berbicara lewat talkie walkie sebelum akhirnya mereka lari dan turun ke bawah untuk beli mie tek-tek yang biasanya lewat di jalan komplek.
"Lagi pulang ke Medan," jawab Mirabeth di seberang.
"Kok mendadak?"
Terdengar krasak krusuk di seberang. Kemudian, Mirabeth seperti sedang berbicara dengan seseorang. Nuca menunggu sambil terus berpikir keras kenapa Lyodra juga belum membalas pesannya padahal jelas-jelas pesan sudah masuk dan diterima. Nuca juga sudah menghubunginya tadi tapi belum ada respon, makanya ia mencoba menghubungi Mirabeth berkali-kali juga takut ada apa-apa.
"Sampai mana dari, Nuc? Sorry tadi gue masih ngomong sama orang," kata Mirabeth membuayarkan lamunan Nuca.
Nuca menggurat abstrak railing balkon. Kebiasaannya saat bingung, cemas ataupun tidak tahu harus berbuat apa. "Di Medan ada acara apa, kak? Kok tiba-tiba? Lyodra juga nggak bisa dihubungi."
Helaan napas Mirabeth terdengar jelas. "Iya. Rencananya kita akan pindah ke Medan."
Nuca tercekat. Ia takut salah dengar, jadi ia mengulang pertanyannya. "Apa, kak Be?"
"Kita mau pindah ke Medan," kata Mirabeth. Lagi. Dan itu cukup membuat Nuca kaget. Ia bahkan tidak tahu mau menanggapinya bagaimana. "Bukan gitu. Maksudnya mama, papa, dan Lyodra akan pindah. Gue tetap di Jakarta. Kayaknya papa sudah urus kepindahan sekolah Lyodra. Emang Lyodra nggak pernah cerita ke lo?"
Tenggorokan Nuca sepeti ada yang mengganjal. Ia jadi kesusahan untuk menjawab. "Nggak."
"Eh? Serius?"
Nuca mengangguk, meskipun tahu Mirabeth tidak akan bisa melihat. "Iya. Ditelfon aja nggak diangkat," kata Nuca sambil tersenyum sumir.
"Bentar bentar, nih Lyodra udah datang. Gue kasih telfonnya."
Suara derap langkah orang berlari terdengar begitu jelas. Nuca menunggu sambil mencerna semuanya. Lyodra pindah? Bahkan gadis itu tidak pernah bercerita soal ini.
Sabtu kemarin, lima hari yang lalu, mereka memang sempat ribut. Padahal waktu itu ia ingin membahas soal konser Kahitna dan berencana nonton bareng. Nuca sudah membeli tiketnya, hitung-hitung sebagai kejutan untuk hadiah ulang tahun Lyodra. Tapi, semua rencananya tidak berjalan semestinya karena pertengkaran itu. Apalagi mendengar perkataan Mirabeth tadi. Sudah dipastikan fix tidak ada acara nobar konser bareng.
"Nuca?"
Lamunan Nuca buyar seketika. Bukan suara Lyodra yang didengarnya. Tapi, Mirabeth. Lagi.
"Ya kak?"
"Lyodra nggak mau ngomong nih. Anaknya langsung ngibrit ke kamarnya."
Nuca menghela napas, menenangkan emosinya. Sabar, Nuca. Ia berbalik dan kembali masuk ke dalam kamar.
"Nggak apa-apa kak," katanya setelah duduk di kursi depan console piano miliknya.
Lyodra masih sama. Egois dan maunya sendiri. Pokoknya bodo amat dengan perasaan orang lain. Lyodra itu adalah anak bungsu dari dua bersaudara. Ayahnya seorang pilot sedangkan ibunya adalah auditor di salah satu perusahaan terkenal di Jakarta. Kakaknya mahasiswi di universitas swasta dengan kesibukan yang bisa dibilang di atas rata-rata. Wajar jika Lyodra tumbuh menjadi anak manja dan keras kepala. Makanya, sejak dulu, Nuca yang selalu mengalah dalam segala hal.
"Lo lagi ada masalah sama Lyodra? Masa soal kepindahannya, dia nggak cerita?" tanya Mirabeth memastikan.
Nuca bedengung. Mencari jawaban yang pas. "Ngg.. nggak, kak. Dia nggak cerita apa-apa. Gue aja baru tahu hari ini."
Helaan napas Mirabeth di seberang terdengar begitu jelas. "Mungkin dia masih kaget kali. Soalnya, waktu itu papa juga dadakan bilangnya. Apalagi, pas hari minggu kemarin, tiba-tiba kita langsung dibopong ke Medan. Padahal rencanya pindahnya bukan dalam waktu dekat ini," jelas gadis 24 tahun itu. Agar Nuca tidak salah paham nantinya.
Nuca hanya bergumam. Tidak tahu lagi harus bicara apa lagi. Ia seperti kehilangan bahan obrolan padahal masih banyak sekali pertanyaan yang menari-nari di kepalanya.
"Yaudah nanti coba dihubungin lagi. Emosi Lyodra juga belum stabil. Apalagi kayaknya dia lagi ada masalah sama pacarnya," papar Mirabeth panjang lebar.
Nuca menghembuskan napas kasar. Jika memang begini akhirnya, ya sudah. Toh, Tuhan tidak pernah membuatnya kecewa selama ini. Jadi, ini pasti yang terbaik. "Oke deh, kak. Makasih ya infonya. Take care disana."
"Iya sama-sama."
Setelah itu telfon ditutup. Nuca menatap fotonya dengan Lyodra yang berbingkaikan figura lucu warna cream di atas console piano. Ia mengambilnya dan mencoba mengingat bagaimana terciptanya moment di foto itu.
Delapan tahun lebih mereka berteman. Tidak lebih. Tidak ada yang spesial hingga semester genap tahun kemarin Lyodra resmi mempunyai pacar. Namanya Glen. Anak dari sahabat papanya di Medan.
Kemudian, sedikit demi sedikit jarak mulai membentang di hubungan mereka. Nuca dan Lyodra juga tidak lagi sedekat dulu, yang bisa sering tidur bareng ataupun jalan-jalan bareng. Mereka juga sering bertengkar karena hal sepele. Seperti yang tejadi di pertemuan terakhir mereka. Di hari sabtu lima hari yang lalu.
Permasalahannya hanya karena Glen cemburu. Dan Lyodra melimpahkan semua kemarahan padanya. Gadis itu jadi sering menangis bahkan sering kali terang-terangan menyuruh Nuca untuk menjauh.
Tapi, Nuca tidak segampang itu untuk menyerah. Sampai kapanpun, Lyodra akan selalu di sampingnya. Makanya, ia tidak terlalu ambil hati jika gadis itu mulai meributkan soal pertemanan mereka ataupun soal Nuca yang seolah mengekangnya. Karena, pada akhirnya, Lyodra akan kembali seperti biasanya. Menjadi gadis manja yang selalu bergantung padanya. Gadis itu akan selalu tahu kemana arah untuk pulang.
Dan sekarang, saat Lyodra memilih pulang ke Medan. Tanpa itikad baik untuk pamit. Setidaknya pada mama ataupun papa Nuca yang sudah dekat dengannya, Nuca jadi berpikir ulang untuk tetap mencintai gadis itu.
Nuca meletakkan fotonya kembali. Ia memejamkan mata, meletakkan jari-jarinya di atas keyboard piano lalu memainkannya. Ia menarik napasnya, mengeluarkannya perlahan untuk meredakan emosinya. Instrument piano Lullaby mengalun begitu indah sore itu. Nuca sangat menyukainya karena Lyodra sering memainkamnya dulu.
Hari ini.. 21 Juni 2017 adalah ulang tahun Lyodra yang ke 13 tahun.
Dan di hari-hari berikutnya, Nuca tidak pernah lagi bertemu gadis itu. Ia hanya melihat ayah Lyodra beberapa kali, itupun dalam rangka mengemas dan pick up beberapa pakaian serta perlengkapan lainnya. Setelah itu, rumah di depan sana kosong. Tidak ada yang menempati. Hingga, lima bulan berlalu, akhirnya rumah itu ada tuannya. Seoarang guru pelatih vokal yang sedikit menutup diri dari tetangga.
Terhitung sejak saat itu, Nuca tidak pernah tahu segala hal tentang Lyodra.
Kita memang tidak pernah tahu bagaimana kelanjutan hidup kita setelah beberapa detik, menit, jam, hari, minggu bahkan tahun kemudian. Ada yang datang tiba-tiba, ada yang pergi tiba-tiba. Semuanya jelas masih misteri dan tidak bisa ditebak. Sekalipun kita ingin.
Seperti Nuca misalnya. Beberapa hari yang lalu, hubungannya dengan Lyodra baik-baik saja. Tapi, setelahnya, mereka akhirnya terbentang jarak dan tidak pernah menjadi baik-baik saja kembali.
Waktu memang semisterius dan sejahat itu.
SPAM KOMENTAR!
SAY SOMETHING UNTUK..
1. Raja Giannuca
2. Lyodra Margaretha Ginting
3. Tiara Anugrah Eka Setyo Andini
4. Samuel Cipta