Salsha mengernyit ketika Dimas membelokkan setir mobilnya memasuki kawasan rumah sakit. "Siapa yang sakit?"
"Keluarga gue," jawab Dimas lalu turun dari mobil dikuti Salsha yang mengekorinya. Laki-laki itu mengeluarkan ponselnya untuk mengecek nomer kamar yang kemarin malam dikirimkan oleh Ratih.
Kening Salsha berkerut seiring langkahnya semakin cepat untuk mengikuti Dimas dengan langkah lebar laki-laki itu. Hingga mareka sampai di depan kamar nomer 112, tangan Dimas menggenggam kenop pintu erat.
Salsha diam memperhatikan laki-laki itu hingga satu suara lembut memanggil nama Dimas. "Kak Dimas?"
Dimas menoleh ke belakang, saat itu Salsha kembali menyaksikan ekspresi lain dari Dimas. Eskpresi yang sama ketika laki-laki itu mabuk sambil menangis.
"Ada siapa di dalam?" tanya Dimas.
Ratih yang tengah menatap Salsha segera mengalihkan perhatiannya pada Dimas. "Ada Nenek sama ... Papa."
Dimas segera melepas genggamannya dari kenop pintu. "Aku nanti aja lihat Mama."
"Kak, tapi Mama-"
"Lo gak laper, Sal?"
"Ha?" Salsha menatap Ratih yang terlihat sedih, dia kemudian berbisik pada Dimas. "Lo gak temuin nyokap lo dulu? Kelihatannya urgent."
Dimas menghela napas berat, laki-laki itu kemudian berbalik meninggalkan mereka setelah berkata, "yaudah gue ke kantin sendiri."
Detik itu juga Salsha ingin menjitak kepala Dimas. Bisa-bisanya dia meninggalkan Salsha dengan Ratih. Salsha tersenyum canggung pada Ratih. "Hai?"
Ratih tersenyum. "Kakak pacarnya Kak Dimas?"
"Oh, bukan. Aku temennya. Kalau ... kamu?"
"Aku Ratih, adiknya Kak Dimas," kata Ratih membuat Salsha membulatkan bibirnya. "Kakak namanya siapa?"
"Oh iya, sampai lupa." Salsha mengulurkan tangannya. "Aku Salsha. Temennya Dimas, satu kampus, satu organisasi juga."
"Wah, berarti Kak Salsha suka foto-foto juga, dong?"
"Yah ... lumayan ngisi waktu luang."
Ratih mengangguk mengerti karena hal itu juga yang dijadikan alasan Dimas saat ditanya kenapa harus fotografi. "Kak? Mau nyusul Kak Dimas, nggak?"
"Boleh."
"Tapi aku taruh ini dulu di dalam ya?" kata Ratih sambil menunjukkan kantong belanjaannya. Salsha mengangguk tersenyum mengiyakan. Tak lama setelah itu Ratih kembali keluar. "Ayo, Kak."
Sepanjang perjalanan menuju kantin rumah sakit, Ratih terus menanyai perihal kegiatan Dimas selama kuliah. "Wah, aku gak satu jurusan sama Dimas."
"Tapi Kak Salsha kelihatannya deket sama Kak Dimas?"
Salsha menatap Ratih seraya mengusap tengkuknya. "Dibilang deket enggak sih, ya. Tapi ... ada beberapa moment yang bikin aku sama Dimas kelihatan deket, sih."
"Kayak sekarang?"
"Hm?"
Mereka berdua masuk ke dalam lift. "Kak Dimas gak pernah tuh bawa temen ceweknya ke Bandung. Yang dibawa cowok semua terutama Kak Juna."
Salsha terkekeh geli. "Ini juga kebetulan aku ketemu sama Dimas."
"Kalau pacar? Kak Dimas punya nggak?"
Salsha mengernyitkan keningnya. Kalau boleh Salsha percaya diri, dialah yang disukai Dimas saat ini, tapi entah dia juga tidak yakin semenjak malam makrab beberapa hari lalu. "Gak ada kayaknya."
Pintu lift terbuka, dua perempuan itu berjalan keluar sembari menatap rumah sakit yang masih sepi karena baru jam setengah enam pagi. "Maaf ya Kak. Aku jadi tanya-tanya gini."
"Gak apa-apa. Namanya juga keluarga."
Ratih menatap Salsha sembari mengulas senyumnya. "Soalnya aku gak begitu dekat sama Kak Dimas."
"Kenapa?"
"Kita saudara tiri, Kak. Ayah Kak Dimas nikah sama Mama." Salsha membulatkan bibirnya, entah dia harus merespon bagaimana. "Dan ... ibu kandungnya Kak Dimas juga nikah lagi."
"Terus ... Papa kandung kamu?"
"Sudah meninggal dari aku umur sepuluh atau sebelas tahun kayaknya."
"Maaf, aku gak bermaksud-"
"Gak apa-apa, Kak. Sudah lama juga kejadiannya."
Mereka berdua sampai di kantin, keduanya langsung menemukan Dimas yang duduk sambil menatap kosong kaleng cola yang belum terbuka.
"Kak?" panggil Ratih membuat Salsha menoleh pada perempuan berambut panjang itu. "Aku ke kamar mandi sebentar ya? Kak Salsha temenin Kak Dimas dulu aja."
"Oh, iya-iya. Hati-hati."
Ratih terkekeh. "Di situ doang Kak, gak pakai nyebrang jalan kok," candanya.
Salsha hanya menggelengkan kepala, meskipun begitu Ratih tetap terlihat seperti adik kandung Dimas. Perempuan itu melangkah mendekati Dimas, menarik kursi di samping laki-laki itu dan duduk di sana.
Dimas melirik Salsha sejenak. "Adik gue mana?"
"Ke kamar mandi."
"Oh." Dimas mengambil kaleng colanya lalu menarik penutup dan menegak isinya. "Dia pasti tanya-tanya ke elo ya?" tanyanya seraya menatap Salsha. "Emang kepo itu anak, biarin aja."
"Khawatir lebih tepatnya."
"Sok tau."
Salsha menganggukan kepalanya mantap. "Kelihatan Dim, lo gak pernah ngobrol pakai hati sih, mulut doang yang gerak. Hati kagak."
"Norak."
"Serah lo, deh!"
Tepat setelah itu, Ratih kembali sambil menatap keduannya dengan bingung. Perempuan berumur delapan belas tahun itu menarik kursi di samping Dimas dengan hati-hati karena merasa suasananya sedang tidak baik.
Salsha sendiri memilih memainkan ponselnya. Dimas menyodorkan colanya pada Ratih. "Udah makan belum?"
"Belum," kata Ratih kembali menyodorkan cola pada Dimas. "Nanti sakit perut dong Kak, kalau aku minum cola."
"Emang iya?"
Salsha menggelengkan kepala. 'Mentang-mentang jago minum,' batinnya.
Mereka bertiga kemudian diam. Yang tadinya beralasan lapar pun sama sekali tidak memesan makan. Pikiran Dimas hanya tertuju pada ibunya yang tengah berbaring di rumah sakit.
"Papa bentar lagi pulang, Kak."
"Hm."
"Gak mau ketemu Papa?"
Dimas menggeleng. "Buat apa?"
Ratih menghela napas berat. "Kak, seenggaknya Kak Dimas ketemu sama Papa sekali. Harapan aku sama Nenek cuma Kakak. Papa gak dengerin kita, Kak."
Dimas mengetuk-ketukan jarinya di atas meja. "Dari dulu gue udah nyuruh Mama ceraiin itu cowok, kan?"
"Kak-"
"Udah tau dikasarin masih aja dipertahanin. Kalau udah gini gimana?" Dimas mencengkram kaleng cola erat. "Dia itu sakit, Rat! Lo paham gak, sih?"
"Tapi Kak, Mama kan-"
"Apa? Mama masih sayang sama Alfredo?" Dimas menggelengkan kepala. "Bullshit! Gak ada orang yang sayang sama cowok kasar kayak gitu!"
Salsha menatap Dimas. Dia bisa melihat bermacam ekspresi di wajah Dimas sedih, khawatir, dan marah.
"Mama butuh Kak Dimas, Mama juga butuh Papa. Papa juga gak sengaja kok nge-"
Dimas menyandarkan punggungnya. "Geli gue denger lo manggil dia Papa. Dia bokap lo? Dia pernah baik sama lo? Gue yang anak Mama aja gak pernah anggap dia, Rat! Gue tau lo orang baik, tapi gak usahlah baik-baikin dia!"
Ratih meraih tangan Dimas. "Kak, gak gitu caranya."
Dimas menarik tangannya sembari berdecak keras. "Terus dia pilih siapa? Dia pilih anaknya kan daripada Mama? Dia pilih bunuh Mama kan, Rat?!"