• A Believer •

By ddrddr_

90.7K 8.9K 2K

(17+) [COMPLETE] dipublish 8 November 2019 - tamat 10 Desember 2019 POV 3 [ Edo & Kanya ] "Sebenarnya tujuanm... More

extra part of #FLTR
1. Setan Gimbal
2. Confession
3. Gorgeous Kanya
4. Kebohongan kecil (?)
5. Badut cantik AEON TV
6. It Gets Harder Everyday
7. Moron
8. Prinsip
9. Also Known As ....
10. Terbalaskan (?)
11. Sikap Palsu 1
12. Sikap palsu 2
13. Got a Lot of Problems
14. Beginning Problem
15. Dendam (?)
16. Hati yang tak terbalas
17. Kesalahan Sejak Awal
18. Berpisah
19. Menuju Keputusan
21. Well Done

20. Fakta Penyelesaian

2.8K 321 123
By ddrddr_

Ketukan dari sepasang heels membuat telinga Aarron terganggu. Konsentrasi untuk buang air kecil pun terpecah belah begitu pintu toilet laki-laki dibuka seseorang dari luar.

"Aaron?"

"Hell you!" Aaron menendang tembok depannya, tidak jadi buang air kecil saat kepala Kanya menyembul dari celah pintu. Wanita itu memamerkan cengiran garing yang sangat Aaron benci.

"Lo baru mau pipis, ya? Barusan gue cari ke ruangan lo, tapi nggak ada."

Wajah Aaron asem. Lelaki itu memijit kedua pelipisnya pelan. Tidak habis pikir kenapa ia sampai bisa mempunyai sahabat gila seperti Kanya. Benar-benar tidak tahu kondisi.

"Buang panggilan lo-gue di sini, Key."

Bukannya malu berada di toilet laki-laki, Kanya justru masuk ke ruangan bernuansa serba putih yang memiliki lima bilik berdiri untuk buang air kecil para lelaki. Aaron sudah tidak terkejut melihat itu, Kanya memang sudah terlalu biasa menjajah toilet lelaki, tidak di rumahnya, tidak juga di mana pun jika Kanya sedang ingin bicara dengan lelaki yang sedang di toilet.

Kanya mengedikkan dagu ke celana Aaron. "Zipper lo."

Sambil menahan kesal, Aaron membenarkan zipper celananya.

"Kenapa emang? Dari kita masih berbentuk embrio juga sapaan kita elo-gue." Kening Kanya mengernyit. Kedua tangannya dia lipat di depan dada.

Aaron pergi ke wastafel, mencuci tangan seakan barusan ia berhasil buang air kecil. Lelaki itu sedikit menoleh ke Kanya. "Sebuah kehormatan jika kamu melakuknnya, Key."

"Oke, gue nggak masalah sama panggilan formal sekarang. Tapi alasannya?"

Selesai mencuci tangan, Aaron berbalik menatap Kanya. Sebelumnya ia mengambil dua lembar tissue untuk mengeringkan kedua tangan.

"Berapa umur kita? Tujuh belas? Bahkan kita sama-sama bekerja di perusahaan ternama yang seharusnya mementingkan etika."

Sebelah alis Kanya naik. "Kenapa gue mencium bau-bau kesombongan di sini? Lo berharap gue nyembah-nyembah lo yang jabatannya lebih tinggi daripada gue? So, you want me to use aku-kamu?"

Aaron memperlihatkan senyum miring, sekilas. "Kepintaranmu masih sama."

"Ewh! Gue jijik denger kalimat lo!" Tanpa pikir panjang, Kanya mendekat pada sahabat masa kecilnya. Dia memeluk erat tubuh tegap Aaron. Mengingat tentang pesan Nina untuk menyemangati si cupu yang justru terkesan baik-baik saja.

Aaron membalas pelukan Kanya, tidak erat tetapi mampu membuat mereka kembali mengingat masa lalu.

"Welcome to our group," bisik Aaron mengecup sekilas puncak kepala Kanya.

"Hm ... gue—aku, aku aslinya ke sini mau kasih semangat. Mommy bilang kasihan si cupu dipaksa kerja di Anderson sama mantan gebetannya juga Daddy."

Aaron mendengkus, sedikit tertawa. "Mantan gebetan?"

Pelukan mereka terlepas. Kanya menatap Aaron dengan kerlingan mata. "Om Akssa. Harusnya kita tuker tempat kemarin, aku di Anderson, kamu di AEON."

"Wish I could be."

Mereka berdua tersenyum sekilas. Jawaban Aaron barusan membuat Kanya mengingat kembali ucapan Edo beberapa saat lalu. Sebelum dirinya pergi ke lantai dua puluh sembilan, menemui Aaron yang kebetulan sedang berada di toilet.

Mereka berdua duduk dengan masing-masing merasa tersiksa oleh perasaan rindu. Di sebuah tangga darurat, Edo berusaha membongkar semua yang pernah ia sembunyikan dari Kanya, maupun teman-teman lainnya. Semua rahasia yang bahkan tanpa sadar membuat Edo depresi.

"Maaf membohongimu, maaf menutupi semuanya. Aku gegabah karna merasa kalau perjodohan itu bisa dibatalkan secara sepihak, dari aku."

"Kenyataannya?" bisik Kanya. Dia ingin tersenyum, tapi wajahnya kaku.

"Sulit." Edo menggenggam kedua tangan Kanya yang meremas segumpal tissue. Ibu jari Edo memijit punggung tangan tersebut, perlahan dan membuai. "Aku nggak punya banyak kata untuk jelasin semuanya ke kamu, Key. Pada intinya, perjodohan itu batal karna aku punya wanita lain yang kusuka. Aku menyukaimu, aku mencintaimu, my best friend." Edo tersenyum tipis, ia mengedipkan mata beberapa kali sambil menatap banyak arah, mencoba untuk menghalau air matanya. For God sake, lelaki tidak seharusnya menangis.

Sementara Edo berada di titik keputus-asaannya, Kanya memilih tersenyum tipis. Dia juga ingin menangis tapi sayang air mata itu tidak mampu untuk keluar.

"Maaf nggak cukup untuk semua ini, Do. Kenyataannya, pernikahan lo sama Natalie ada di depan mata."

Edo menggeleng. Ia semakin mengeratkan genggaman di tangan Kanya. Sungguh, Edo tidak mungkin melepas Kanya hanya karna kesalah pahaman ini. Ia gila kalau berhenti untuk memperjuangkan Kanya. Wanita yang dengan besar hati mampu menjaga perasaannya pada satu lelaki selama bertahun-tahun.

"Aku membatalkan semua catering dan gedung yang disewa Natalie. Wish I could be the first man of you, I'll do it, Key. Aku akan menikahimu, bukan Natalie."

Tubuh Kanya berjengit saat Aaron mengguncang kedua bahunya. Kanya berdeham setelah sadar bahwa barusan dia melamunkan tentang Edo. Dia mengibaskan kedua tangan di depan leher. Hawa panas tiba-tiba datang membuat Kanya gerah.

"Masalah berat?" tebak Aaron melihat sahabat baiknya tiba-tiba bergerak canggung setelah lama melamun.

Kanya mengulas senyum. Menarik napas dalam kemudian mengembuskannya pelan. Wanita itu melirik pada Aaron yang menatapnya teliti. Aaron bukan lelaki yang mudah dibohongi.

Kepala Kanya mengangguk kecil. "Wish I could be his fisrt woman, what should I do?"

Sebelah alis Aaron terangkat. Tidak percaya dengan apa yang barusaja ia dengar.

***

Selesai menjadi seorang legal advisor di hari pertama, Kanya meninggalkan gedung Anderson Group tepat waktu. Jam lima sore, dia sudah membawa mini cooper kesayangannya pergi meninggalkan area parkir. Bayangan tentang seperti apa Edo tidak sanggup mengungkapkan banyak kata saking frustasinya, membuat Kanya menempa tekad untuk menemui wanita itu. Wanita yang berhasil merusak ketentraman Edo, sekaligus dirinya.

Ponsel yang sengaja disambungkan pada earset di telinga Kanya, berdering kecil membuat wanita itu menekan tombol earset, menerima panggilan.

"Ya?"

"Dia membawa pihak lain setelah gedung sebelumnya lagi-lagi dibatalkan. Banyak media mulai mengendus–" Hening tercipta membuat Kanya mengernyit. Dia menatap pada beberapa mobil di depannya yang melaju lebih cepat. "Dia bukan tandinganmu, Key. Otaknya benar-benar licik."

Kanya tersenyum. Dia semakin memijak gas mempercepat laju mini cooper-nya. "Dami, Bandung bukan kota yang menyimpan banyak lahan luas. Sekelas Natalie nggak mungkin menyewa gedung yang luasnya sepuluh kali sepuluh meter, dia punya kelas sendiri. Dan di Bandung, gedung-gedung besar itu bisa dihitung dengan jari, Dam. Sekarang aku tanya sama kamu, berapa kali Edo dan Mamanya menolak pihak gedung dan catering yang dateng ke rumahnya?"

"Sekitar ... dua belas."

"Dan kamu masih yakin Natalie bisa cari gedung lebih dari sepuluh lagi?" tanya Kanya menampar Damian di seberang sambungan.

Suara helaan napas terdengar. "Oke, jadi kamu masih membiarkannya? Jangan lupa, Key. Orang yang sedang terhimpit banyak masalah mampu melakukan hal nekad."

Kanya mengangguk kecil. "Aku tahu. Aku lagi di jalan mau ketemu dia."

"Y-you what?! Key, berhenti di sana, Natalie punya riwayat depresi setelah diperkosa di salah satu bar! Aku sudah mengatakannya padamu! Jangan pernah menemui wanita gila itu sendirian!"

"Dami, stop." Kanya terkikik mendengar semua bentakan Damian yang menyakiti gendang telinganya. "Aku ke sana sama temen, jadi kamu tenang aja, oke? Semuanya berjalan baik."

"Kamu bohong, 'kan? Kamu di mana? Biar aku susul kamu menemui Natalie-Natalie itu."

Terlambat, batin Kanya. Mini cooper warna kuningnya sudah memasuki area komplek perumahan yang beberapa hari lalu dia datangi. Rumah berpagar kayu itu masih tertutup rapat membuat Kanya terus melajukan mobilnya ke rumah lain. Begitu mobil sudah berhenti dengan benar, Kanya menarik handrem kemudian melepas sambungan earset. Didekatkannya ponsel ke samping telinga kiri. Kanya sedikit melongok pada rumah di depan sana. Rumah nomor O-43.

"Aku udah sampe. Semoga aja alamat rumah itu bener."

"Tunggu, dari siapa kamu dapat alamat rumahnya??"

Kening Kanya mengerut samar mendengar suara Damian lagi-lagi meninggi. Meskipun konteksnya bukan sebuah bentakan, tapi sama saja masih membuat gendang telinga Kanya sakit.

"Berhenti teriak, aku nggak budeg." Kanya melepas seatbelt. Dia mengambil secarik kertas berisi tulisan tangan. Teringat sebelum pulang kantor tadi, Kanya menyempatkan diri untuk menelepon Mbak Poik dan menanyakan sesuatu. "Informanmu lelet, aku dapet alamat Natalie dari temen kantorku di AEON."

"Wanita itu belum pulang, Key."

"Hm." Kanya mengambil tas di jok belakang lalu keluar dari mobil. Mengernyitkan kening saat hawa panas di luar mobil tiba-tiba menyengatnya. "Tujuanku bukan cuma ketemu Natalie, tapi Ibunya juga."

Kanya menutup sambungan telepon secara sepihak. Tidak memperdulikan Damian yang kesal setengah mati. Wanita itu memilih untuk mematikan ponsel sebelum Damian sempat menghubunginya lagi.

Sekali tarikan napas, Kanya menatap lekat-lekat rumah di depan. Jujur dia gugup. Ini adalah kali pertama Kanya menghadapi Natalie dengan masalah besar berada di antara mereka.

Kanya melangkah menuju rumah tersebut. Langkah yang terkesan santai tetapi menyimpan banyak rasa khawatir. Dia menekan bel yang menempel di pintu pagar dua kali, lalu menunggu sebentar. Saat seorang wanita berhijab datang dengan ekspresi bertanya, membuka sedikit pintu pagar untuk dirinya, Kanya menarik napas dalam-dalam. Dia tersenyum hormat pada wanita di depannya.

"Sore, Tante. Saya teman kantor Natalie."

"Oh!"

Senyum cerah seketika terbit di wajah wanita berhijab tersebut. Wanita itu lantas membukakan pintu pagar untuk Kanya. Menyuruh wanita berambut lurus tersebut masuk dengan perasaan gembira.

"Masuk, ayo. Kirain siapa, Natalie jarang kedatangan temen kantor, lho." Wanita itu mempersilakan Kanya memasuki rumah. "Nata belum pulang, kayaknya lima belas menit lagi dia sampe, ditunggu dulu, ya?"

Kanya mengangguk dengan senyum tak enak hati. Dia harus berani untuk melempar bom di rumah ini begitu Natalie sampai di rumah. Tetapi sesaat, Kanya ragu, saat dia menatap wajah ceria wanita berhijab tersebut, Kanya tidak tega untuk membeberkan segala aib anak kesayangannya.

Kedua mata Kanya mengeliling memandangi beberapa bingkai foto yang berisi Natalie dan wanita berhijab tersebut. Saat bokongnya dia dudukkan di sofa ruangan tengah, Kanya sempat bertanya-tanya, di mana figur Ayah yang seharusnya terlihat? Foto-foto itu hanya berisi dua orang saja.

"Nama kamu siapa?" Kening wanita berhijab itu mengerut dalam. "Kayaknya Tante nggak asing ya sama wajahmu. Kita pernah ketemu?"

Pandangan Kanya kembali menatap si pemilik rumah. Dia mengangguk sekali. "Mungkin, karna saya kekasih dari Demas Edo. Lelaki yang mungkin Tante kenal."

Senyum wanita berhijab itu perlahan sirna. Tatapan shock terlihat jelas. Ia tak percaya dengan apa yang barusan didengar.

"Kekasih?" bisiknya shock.

Dengan berani Kanya menjulurkan tangan, ingin berjabat. "Kanya Swastika Anderson, saya kekasih Demas Edo Yudohusodo."

***

Macet di jalanan sepulang kerja sudah menjadi rutinitas untuk Natalie. Wanita itu pulang ke rumah dengan keadaan perut lapar dan pening di kepala. Baru jam tiga sore tadi ia menghabiskan selusin donat, perutnya sudah kembali keroncongan.

Mobil Natalie berbelok memasuki komplek perumahannya. Sesaat, ia menghela napas begitu mobil melewati rumah Rezky yang pagarnya terbuka lebar. Senyumnya terbit meskipun kecil. Ia rindu dengan Rezky kala melihat mobil sedan putih terparkir di garasi, membuat Natalie yakin kalau lelaki itu sudah pulang dari kantor.

Mobil terus melaju menyusuri jalanan komplek. Dari kejauhan, Natalie sedikit mengernyit saat lahan yang biasa ia gunakan untuk memarkir mobil—karna rumahnya tidak memiliki garasi—lebih dulu digunakan parkir oleh mobil lain. Spontan Natalie memilih untuk memarkirkan mobilnya di seberang rumah. Wanita itu kelihatan bingung karna merasa tak asing dengan mobil warna kuning tersebut. Ia segera keluar dan meneliti baik-baik mini cooper di depannya. Terlihat sangat nyentrik seperti wanita itu, batin Natalie.

Suara perut keroncongan membuat Natalie memilih tidak peduli. Ia melangkah memasuki pagar rumahnya. Semakin dibuat bingung begitu melihat ada sepasang heels mahal yang tergeletak di depan teras. Buru-buru Natalie memasuki rumah.

"M-Ma." Kedua mata Natalie membola melihat Kanya duduk di sofa ruang tamu rumahnya. Ia shock bukan main.

"Mau apa kamu ke sini?!" tanya Natalie dingin.

Pertanyaan itu justru membuat Diah semakin bingung. Ada masalah apa anak semata wayangnya dengan wanita yang mengaku sebagai kekasih Edo.

Belum sempat Kanya bersuara, Natalie sudah lebih dulu menarik lengan Kanya. Ia seperti kesetanan. Mengusir Kanya untuk segera keluar dari rumahnya, membuat Diah merasa kalau perbuatan Natalie sedikit keterlaluan. Diah segera mencegah Natalie untuk berbuat jauh dengan mendorong kasar tubuh Kanya.

"Nata, berhenti! Ada apa ini?! Dia teman kantormu, 'kan?!"

Natalie menggeleng keras. Wajahnya mulai memucat. "Bukan! Dia bukan temenku!"

Sementara itu, Kanya mencoba menguatkan hatinya setelah didorong ke pintu oleh Natalie. Luka di sikunya saat Natalie menarik dia dari gendongan Edo bahkan masih sakit, tetapi Natalie berani menciptakan luka lain membuat Kanya semakin mengeraskan hati.

Kepala Kanya menegak. Wanita itu menahan sekuat tenaga agar tidak menitikkan air mata di depan Natalie.

"Aku kemari dengan niat yang baik, Nat—"

Natalie mendengkus memotong kalimat Kanya. "Sejak kapan kamu pakai sapaan formal, huh?"

Kedua tangan Kanya mengepal. "Itu nggak penting. Aku cuma mau kasih tahu ke kamu supaya berhenti menelepon pihak gedung dan catering, Nat. Perjodohanmu sama Edo sudah berakhir. Jangan meneror Edo dengan mendatangkan pihak gedung juga catering ke rumahnya!"

Diah terperangah, wanita itu hampir sesak napas mendengar kalimat Kanya. "K-kamu belum batalin semua gedung dan catering, Nata??"

"Aku nggak akan batalin semua itu, Ma!" desis Natalie tegas. Wanita itu mengacungi Kanya. "Kalau bukan karna dia yang ngerebut Edo dari aku, Ma, aku nggak akan bertindak sejauh ini!"

"Tapi kamu kelewatan, Nat! Dengan kamu meneror Edo, dia akan semakin benci sama kamu!" bentak Kanya membuat Diah tak bisa berkata-kata. Wanita berhijab itu memilih untuk mencekal Natalie yang terus ingin menyerang Kanya.

"Diam!!" jerit Natalie dengan air mata mulai membasahi kedua pipi. "Pergi dari rumahku! Jangan pernah kamu dateng ke sini lagi!"

Bukannya menuruti apa yang dikatakan Natalie, Kanya memilih mendekat. Wanita itu menangkis segala acungan telunjuk Natalie kepadanya sementara Diah terus menahan anak semata wayangnya agar menjaga tingkah laku.

Kedua tangan Natalie terus berontak karna ditangkis oleh Kanya. Wanita itu semakin membabi buta. Setelah mencuri celah, Natalie menampar Kanya secara keras membuat Diah memekik terkejut.

"Nata!"

"Keluar dari rumahku!" jerit Natalie pada Kanya yang terpaku.

Setetes air mata akhirnya turun membasahi pipi mulus Kanya. Wanita itu membenarkan beberapa helai rambut yang menutupi sisi wajah yang terkena tamparan. Kanya menatap Natalie dengan amarah yang terpendam.

Melihat Natalie sudah keterlaluan, Diah lantas pergi mengambil telepon rumah, wanita itu segera menghubungi nomor Rezky dengan perasaan takut.

"Ini terakhir kalinya aku minta sama kamu, Nat. Jauhi Edo, jangan ganggu di—"

Kepala Kanya kembali tersentak. Natalie menampar sisi lain wajah Kanya.

"Natalie!!" Diah membuang gagang telepon rumahnya, ia segera menarik tubuh anaknya untuk mundur beberapa langkah. "Sadar, Nata! Jangan seenaknya main tangan!"

"Keluar, Key. Jangan sampai aku menamparmu ketiga kalinya."

Kanya tak kuasa menahan tangis. Wanita itu mengepalkan kedua tangannya erat. Setetes, dua tetes air matanya terus turun membasahi pipi. Seberat inikah dia harus menjadi sebuah benteng untuk mempercayai perasaannya?

Gerbang rumah Natalie terdengar didorong seseorang. Sebelum Kanya mampu menoleh dan melihat siapa yang datang, Diah sudah lebih dulu menyapa.

"Rezky! Tante nggak tahu ada apa sebenarnya, tapi wanita itu dateng ke rumah dan mengaku kekasih Edo! Dia buat Nata ngamuk!"

Tubuh Kanya dibalik secara kasar oleh Rezky. Lelaki itu menyibak rambut lurus Kanya yang menutupi wajah cantik itu. Spontan, Rezky terbelalak melihat bekas tamparan di kedua sudut bibir Kanya.

"Key?" Rezky menangkup kedua pipi teman baiknya, ia khawatir, tetapi perlakuan itu justru membuat Diah tak menyangka.

"Gue nggak apa-apa."

"Bawa dia keluar, Ky. Aku nggak sudi lihat wajahnya!"

"Diam, Nat!" bentak Rezky keras.

Kedua mata Natalie berkaca-kaca, begitu pun Diah. Mereka berdua tak menyangka Rezky akan lebih membela Kanya dibandingkan saudara sendiri.

"Gue muak sama semua tingkah laku lo, Nat! Lo sakit!" Rezky mengangkat tangan kanannya tinggi-tinggi ke arah Natalie, membuat Diah berteriak keras, mencegah. "Tante masih lindungi Nata?!" bentak Rezky saat tangannya dicekal oleh Diah.

Wanita berhijab itu menggeleng cepat. Pipinya mulai basah. "Jangan tampar anak Tante lagi, Rezky. Jangan ... Tante mohon, Rezky ...."

Kanya ikut menarik tubuh Rezky supaya mundur. Dia menggeleng dan menenangkan kemarahan teman baiknya. Jujur, Kanya sendiri shock melihat Rezky membentak Natalie sedemikian hebatnya. Bahkan, Kanya tidak menyangka Rezky berniat menampar Natalie di depan Diah.

"Udah, Ky. Lo nggak akan mukul wanita, Ky. Lo nggak akan mukul wanita."

"Dia pantas gue pukul, Key!"

Bentakan Rezky semakin menyakiti hati Natalie. Wajah wanita itu semakin memucat dan kekuatan tubuhnya menurun drastis. Ia terpukul. Tiba-tiba Natalie meringis merasakan kram di perut. Begitu tak perih dan tidak bisa ia tahan lagi.

"Nat?! Nata?!" Diah panik melihat Natalie perlahan ambruk ke lantai.

Begitu pun Rezky, tetapi tidak dengan Kanya. Wanita itu sudah tahu apa yang terjadi. Informan Damian bergerak cepat untuk mencari tahu. Dan kabar tentang Natalie yang menyembunyikan kehamilannya membuat Kanya menahan sekuat tenaga untuk tidak membalas dua tamparan Natalie. Wanita itu setidaknya masih punya setitik rasa kasihan. Bukan kepada Natalie, tetapi lebih kepada si janin.

"Arrhkk!!" Natalie menekan perutnya membuat Rezky panik.

"Nat?! Lo kenapa, Nat?!"

Tangan Natalie yang lain mencengkeram lengan Rezky. Begitu erat saat merasakan rahimnya seperti diremas dengan tangan tak kasat mata. Menyakitkan dan hampir mati rasanya. Natalie merintih perih. Di situ, Diah dan Rezky mulai panik melihat darah tiba-tiba mengalir deras dari dalam rok pensil Natalie.

"Aarkkh!!" jerit Natalie keras sebelum tak sadarkan diri.

"Nata!!" Rezky menepuk pipi sepupunya, berusaha menyadarkan sebelum akhirnya mengangkat tubuh Natalie ke dalam gendongan.

Melihat hal tersebut, Diah menangis sesenggukan. Pikirannya penuh dan tubuhnya gemetar karna shock. Puluhan pertanyaan muncul di kepala. Ada apa, bagaimana bisa, kenapa. Diah tidak berani menyimpulkan opini tentang darah yang keluar dari dalam rok pensil anaknya. Tidak mungkin, pikirnya menolak. Tidak mungkin Natalie menyembunyikan hal tersebut.

Sebelum Rezky melangkah keluar rumah sambil membawa tubuh Natalie, Kanya mencegah lelaki itu. Dengan mata berlinang dan kedua pipi yang terasa kaku, Kanya menatap sendu teman baiknya.

"Ky, Natalie hamil," bisik Kanya membuat Rezky dan Diah merasa dipukul dengan godam raksasa.

Dalam hati Rezky menggeram murka. Lelaki itu segera keluar rumah diikuti Diah, membawa Natalie pergi ke rumah sakit terdekat.

***

Edo berlari seperti orang kesetanan di sepanjang lorong rumah sakit. Jantungnya berdebar setelah menerima telepon dari nomor asing yang ternyata merupakan nomor Damian. Edo sudah ingin murka, tetapi kemurkaannya surut dan berubah menjadi rasa panik ketika Damian justru memberinya kabar tak terduga, Kanya sedang berada di rumah sakit.

Napas Edo tercekat. Dadanya seperti ingin meledak saat memaksa berhenti di meja tempat beberapa suster bergerombol.

"Sus! Sus!" Wajah Edo mengernyit. "Ruangan atas nama Kanya, Kanya Swastika, di mana?"

Salah satu wanita berseragam serba putih itu mengernyitkan kening. Sigap, ia memilih mengecek data pasien dan tambah mengernyit bingung saat tidak menemukan nama yang dimaksud Edo.

"Kanya Swastika Anderson. KeyKey, siapa pun itu. Dia pasien yang baru saj—"

Edo memukul meja di depannya beberapa kali. Lelaki itu pergi tanpa mengucap sepatah kata pun pada si suster yang kebingungan. Ia sudah melihat punggung wanita yang begitu ia rindukan, sedang berjalan keluar dari salah satu ruang inap.

"Key!"

Punggung itu tetap berjalan menjauh membuat Edo mengejar.

"Key!" panggil Edo lagi, dengan suara lebih keras.

Merasa dipanggil, Kanya menoleh dan sedikit terkejut melihat Edo berlari menghampirinya. Buru-buru Kanya membenarkan masker yang menutupi sebagian mulut. Masker yang sengaja ia minta dari salah satu suster karna kedua sudut bibirnya sedikit memar.

"Edo?"

Lelaki itu terengah. Ia mengusap rambut sekilas sebelum memegangi kedua bahu Kanya.

"Kamu kenapa, Key? Kenapa ke rumah sakit??"

Kening Kanya mengernyit bingung. Dia melepas cekalan Edo di kedua bahunya. Lelaki itu kelihatan sangat panik dan khawatir. Sekilas, Kanya terharu melihat ekspresi itu. Hatinya juga senang Edo masih mau mengkhawatirkan dirinya. Tapi, kenapa lelaki itu bisa sampai ke sini?

Dibandingkan menjawab pertanyaan Edo, Kanya lebih ingin bertanya. Tetapi dering ponsel menginterupsi membuat Edo mengernyitkan wajah tak suka. Kanya mengeluarkan ponsel dari saku blazer dan segera mengangkat sambungan Damian.

"Ya, Dam?" Kanya sedikit terkejut saat dia melirik ke Edo, lelaki itu kentara sekali kalau kesal melihat dia menerima sambungan telepon dari Damian.

"Dia di sana?"

Hidung Kanya mengerut tak suka. "Kamu yang kasih tahu dia?"

"Hm. Sorry, tapi dia harus tahu kalau kamu menjadi satu-satunya pihak yang disakiti, Key."

Kanya menghela napas berat. "Oke, nanti kuhubungi lagi." Sambungan ditutup. Kanya kembali menyimpan ponsel ke saku blazer. Dia menatap Edo berpikir, haruskah dia mengumbar semua yang sudah dia ketahui kepada Edo atau tidak.

"Key?" panggil seseorang.

Baik Edo dan Kanya menoleh ke belakang. Rezky berjalan mendekat membuat Edo bingung. "Ky? Lo sama Kanya?"

Rezky hanya melirik diam. Lelaki itu kelihatan sama kacaunya dengan Edo.

"Gue mau ngomong sama KeyKey, Do. Berdua."

Kedua alis Edo terangkat. Semakin dibuat bingung dengan apa yang sudah terjadi. Merasa tidak ada penjelasan, Edo mengusap sekali lagi bagian rambutnya, ia lebih daripada kata frustasi.

"Kalian bisa jelasin sebenarnya ada apa?!" Edo memegang sebelah lengan Kanya, menyuruh wanita itu menatapnya. "Jawab, Key. Kamu kenapa? Aku dapat telpon dari Damian. Dia bilang kamu masuk rumah sakit, tapi kenapa ada Rezky?!"

"Do—"

"Natalie keguguran, Do. Gue mohon sama lo, lepasin Kanya dan tunggu kita selesai bicara."

"K-keguguran?" Lidah Edo kelu. Kedua matanya mengedip beberapa kali, ingin mengusir perasaan shock yang menyelimuti tetapi gagal. Edo masih merasa sangat terkejut dengan kabar barusan.

Sementara Rezky menarik Kanya menjauhi Edo, perasaan shock masih belum hilang dari tuhuh Edo. Ia memilih untuk menarik napas dalam-dalam, melangkah mendekati tembok dan berusaha menyadarkan diri. Ia lantas berpikir kalau perjodohan itu memang disengaja oleh pihak Natalie. Karena ... karena wanita itu hamil? Sial, Edo bahkan tidak menyangka Natalie akan seperti itu.

Sambil menyangga tubuhnya pada tembok lorong rumah sakit, Edo menatap punggung Kanya dan Rezky yang berjalan menjauh dari pandangannya.

"Key," panggil Edo membuat Kanya dan Rezky berhenti, tetapi tidak berbalik untuk menatap Edo.

"Aku bukan lelaki yang harus bertanggung jawab untuk itu. Percayalah, lelaki itu bukan aku."

Kedua tangan Rezky mengepal, kemarahan menggelegak dalam hatinya. Sementara Kanya hanya bisa menitikkan air mata.

Perjodohan itu dilakukan tiga bulan lalu. Di mana saat Edo membatalkannya, Natalie justru menolak secara keras dan berusaha mempertahankan perjodohan. Apa Kanya mampu mempercayai ucapan Edo? Setetes air mata kembali menuruni pipi. Jika memang dia terlalu mempercayai perasaannya, seharusnya dia juga mempercayai apa yang Edo ucapkan.

Kanya kembali melanjutkan langkah, bersama Rezky mereka memasuki lorong lain rumah sakit.

"Lo jatuh cinta sama Edo, Key?" Suara Rezky tercekat. Ia masih diliputi kemarahan.

Kanya tersenyum tipis. "Menurut lo?

"Cinta," jawab Rezky tanpa ekspresi. Mereka duduk di sebuah bangku besi di lorong tersebut. "Percaya apa yang ada dalam hati lo, Key. Jujur, setelah tahu Nata hamil dan keguguran, gue harus jaga jarak sama Edo."

"Lo mikir Edo pelakunya?" Rezky hanya diam mendengar pertanyaan Kanya.

Kanya menggenggam tangan teman baiknya. Kanya tahu, bagaimana pun juga lelaki itu punya perasaan terlarang yang ditekan sedemikian rupa. Mengorbankan persahabatan hanya demi wanita yang sudah menyakiti Kanya. Tetapi Kanya maklum, karena bukankah cinta juga butuh perjuangan?

"Kita sama-sama cari tahu, Ky. Gue nggak akan ngelarang lo untuk berbuat lebih ke Edo, seandainya ... dia emang orang yang harus bertanggung jawab sama Natalie. "

Rezky menoleh, menatap Kanya putus asa. Lama dan membuat Kanya semakin menitikkan air mata. Lelaki itu akhirnya menggeleng lemah. Tak kuasa menahan rasa sesak dalam dada yang terasa menghimpit. Rezky menyangga kepala dengan kedua tangan. Bahu Rezky bergetar seiring ia menangis tanpa suara.

Melihat teman baiknya menangis seperti itu, Kanya memeluk Rezky dan ikut menangis.

"Lo boleh nangis sepuasnya, Ky. Lo boleh. Gue ada di samping lo."

"Key, Nata suka sama orang yang salah," bisik Rezky dalam pelukan Kanya.

Kanya mengangguk paham. Sudah sejak lama dia tahu tentang itu. Sejak Kanya curiga dengan sikap Rezky yang aneh. Sejak dia menjajah rumah Rezky untuk bertanya tentang perjodohan Edo dan Natalie. Kanya sudah tahu. Dan hal tersebut yang tanpa lelaki itu sadari, justru membuat kekacauan besar seperti sekarang. Natalie yang ditolak Rezky hanya karna status saudara, memilih mencari pelarian yang salah.

***

happy reading, ya!

jangan lupa klik vote 🌟

Author bercuit:
Ada yang udah nebak kalau jadinya begini nggak sih? Ada yg speechless nggak sih setelah baca chpt 20 ini? 😭😭 gatau kenapa author kok mewek ya nulis ini. Aseliiiii 😭😭

Yaudah yuk, cus ke chapter terakhir! Ucapkan selamat tinggal pada A Believer, ya! 😭🤗
Love u 😘❤️

Continue Reading

You'll Also Like

1.7M 82.8K 54
Rasa cinta terlalu berlebihan membuat Lia lupa bahwa cinta itu tidak pernah bisa dipaksakan. Rasanya ia terlalu banyak menghabiskan waktu dengan meng...
25K 3.1K 32
This story contains: - Adult content and situations (21+) - Swearing - Subject matter that you may find offensive and disturbing - Toxic relationship...
IP By Andisty Drew

General Fiction

154K 10.9K 51
No describtion needed. Sekumpulan cerita pendek-pendek
6.1M 318K 58
Tanpa Cleo sadari, lelaki yang menjaganya itu adalah stalker gila yang bermimpi ingin merusaknya sejak 7 tahun lalu. Galenio Skyler hanyalah iblis ya...