16. Hati yang tak terbalas

2.9K 372 109
                                    

Malioboro lengang di pagi hari merupakan mitos. Kanya dan yang lain membuktikannya sendiri dengan makan nasi pecel di emperan jalan tepat pukul sembilan pagi. Jalanan sudah ramai, pedagang sudah mulai memamerkan dagangan mereka. Sesekali mata Kanya lapar melihat baju-baju dan daster batik yang terpajang di mana-mana.

Kanya menunjuk salah satu lapak baju-baju batik yang sekaligus menjual tas anyaman. "Nes, itu lucu banget nggak, sih? Nanti kita ke sana, oke?"

Nesa memicing menatap apa yang ditunjuk Kanya. Ia mengangguk sambil mengunyah pelan nasi pecel pedas pesanannya.

Bukan cuma Nesa dan Kanya yang makan nasi pecel tersebut. Ada Agisa, Septi, sampai Eko. Mereka memilih untuk mengelilingi Malioboro sementara yang lain memilih menjajah hotel tempat mereka menginap, termasuk Edo. Bagi Kanya sendiri, menjajah hotel tidak ada asik-asiknya. Dia berasal dari keluarga mampu–atau mungkin terlalu berkecukupan. Jadi, jika hanya ingin menjajah hotel bintang lima atau mungkin bintang sepuluh pun, Kanya sudah pernah dan sekali saja cukup untuk mewakili. Dia lebih memilih pergi ke tempat baru. Berhubung Malioboro merupakan pasar unik yang menyimpan banyak jajanan dan baju batik, Kanya tentu tergiur.

"Rombongan satunya ke mana?" Eko berdiri, meraba beberapa bagian celana, mencari dompet.

"Pada ke mall. Heran gue, nggak di Bandung, nggak di Jogja, nge-mall aja terus. Nggak asik!"

Kanya mengangguk tegas mengiyakan pernyataan Agisa. Wanita berbehel pink yang awalnya membenci Kanya itu, kini sudah berbaikan dan menerima kehadiran Kanya di Borobudur Marathon besok pagi.

"Lebih asik di sini, 'kan? Bisa belanja sepuasnya!" Kanya tersenyum puas. Di kepalanya menyimpan banyak list tentang barang apa saja yang ingin dia beli.

Semua kepala menatap Kanya dengan tatapan lesu, kecuali Eko yang terus saja memilih aneka sate setelah menbayar seporsi nasi pecel. Lelaki itu tidak bisa berhenti makan.

Kedua alis Kanya terangkat, menatap tanya pada semua orang yang menatapnya lesu. "Apa? Kenapa?"

"Ya ... lo enak, Key, bisa beli apa aja. Kita? Dapet tas anyaman enceng gondok aja udah seneng banget."

Hati kecil Kanya tersentil. Bekerja di AEON TV sedikit banyak memberi Kanya pelajaran tentang hidup, tentang jalan nasib per-seorangan yang berbeda. Dia tersenyum tipis, mengunyah suapan terakhir. Lalu, senyuman tipis tadi semakin melebar khas si happy virus.

"Berhubung di Jogja, ada yang mau hunting daster batik sama gue?" Kanya nyengir garing melihat tatapan teman-temannya masih lesu. "Tenang aja, sekali-sekali gue kasih kalian daster batik, ya?"

"Asik!!"

"Ihh, Kanya cantik banget, sih!"

Nesa yang tergolong lebih banyak diam, berani mencolek cepat dagu Kanya. "Baik banget, Neng! Makin cantik, deh!"

Kedua mata Kanya memutar mendengar semua pujian penuh makna itu. Tetapi dia tidak beban. Karena bagi Kanya, uang selalu bisa dicari, tetapi teman? Belum tentu kita bisa memiliki mereka dengan sekali interaksi, harus ada banyak interaksi positif yang dilakukan agar kita bisa memiliki mereka yang memang punya hati yang tulus.

"Daster? Gue 'kan nggak pake daster, Key? Lo mau beliin gue apa?" Eko menatap Kanya polos, yang dibalas tatapan ewh oleh Kanya.

***

"Enggak, gue masih hunting batik. Sama anak-anak. Oh, lo mau kemeja batik juga, Do?" Masih sambil memilah-milah daster batik di depannya, Kanya sedikit melirik pada teman-temannya yang tiba-tiba memandang aneh. Padahal, masing-masing dari mereka sudah mengantongi satu daster gratis pemberian Kanya.

• A Believer •Where stories live. Discover now