20. Fakta Penyelesaian

2.8K 319 123
                                    

Ketukan dari sepasang heels membuat telinga Aarron terganggu. Konsentrasi untuk buang air kecil pun terpecah belah begitu pintu toilet laki-laki dibuka seseorang dari luar.

"Aaron?"

"Hell you!" Aaron menendang tembok depannya, tidak jadi buang air kecil saat kepala Kanya menyembul dari celah pintu. Wanita itu memamerkan cengiran garing yang sangat Aaron benci.

"Lo baru mau pipis, ya? Barusan gue cari ke ruangan lo, tapi nggak ada."

Wajah Aaron asem. Lelaki itu memijit kedua pelipisnya pelan. Tidak habis pikir kenapa ia sampai bisa mempunyai sahabat gila seperti Kanya. Benar-benar tidak tahu kondisi.

"Buang panggilan lo-gue di sini, Key."

Bukannya malu berada di toilet laki-laki, Kanya justru masuk ke ruangan bernuansa serba putih yang memiliki lima bilik berdiri untuk buang air kecil para lelaki. Aaron sudah tidak terkejut melihat itu, Kanya memang sudah terlalu biasa menjajah toilet lelaki, tidak di rumahnya, tidak juga di mana pun jika Kanya sedang ingin bicara dengan lelaki yang sedang di toilet.

Kanya mengedikkan dagu ke celana Aaron. "Zipper lo."

Sambil menahan kesal, Aaron membenarkan zipper celananya.

"Kenapa emang? Dari kita masih berbentuk embrio juga sapaan kita elo-gue." Kening Kanya mengernyit. Kedua tangannya dia lipat di depan dada.

Aaron pergi ke wastafel, mencuci tangan seakan barusan ia berhasil buang air kecil. Lelaki itu sedikit menoleh ke Kanya. "Sebuah kehormatan jika kamu melakuknnya, Key."

"Oke, gue nggak masalah sama panggilan formal sekarang. Tapi alasannya?"

Selesai mencuci tangan, Aaron berbalik menatap Kanya. Sebelumnya ia mengambil dua lembar tissue untuk mengeringkan kedua tangan.

"Berapa umur kita? Tujuh belas? Bahkan kita sama-sama bekerja di perusahaan ternama yang seharusnya mementingkan etika."

Sebelah alis Kanya naik. "Kenapa gue mencium bau-bau kesombongan di sini? Lo berharap gue nyembah-nyembah lo yang jabatannya lebih tinggi daripada gue? So, you want me to use aku-kamu?"

Aaron memperlihatkan senyum miring, sekilas. "Kepintaranmu masih sama."

"Ewh! Gue jijik denger kalimat lo!" Tanpa pikir panjang, Kanya mendekat pada sahabat masa kecilnya. Dia memeluk erat tubuh tegap Aaron. Mengingat tentang pesan Nina untuk menyemangati si cupu yang justru terkesan baik-baik saja.

Aaron membalas pelukan Kanya, tidak erat tetapi mampu membuat mereka kembali mengingat masa lalu.

"Welcome to our group," bisik Aaron mengecup sekilas puncak kepala Kanya.

"Hm ... gue—aku, aku aslinya ke sini mau kasih semangat. Mommy bilang kasihan si cupu dipaksa kerja di Anderson sama mantan gebetannya juga Daddy."

Aaron mendengkus, sedikit tertawa. "Mantan gebetan?"

Pelukan mereka terlepas. Kanya menatap Aaron dengan kerlingan mata. "Om Akssa. Harusnya kita tuker tempat kemarin, aku di Anderson, kamu di AEON."

"Wish I could be."

Mereka berdua tersenyum sekilas. Jawaban Aaron barusan membuat Kanya mengingat kembali ucapan Edo beberapa saat lalu. Sebelum dirinya pergi ke lantai dua puluh sembilan, menemui Aaron yang kebetulan sedang berada di toilet.

Mereka berdua duduk dengan masing-masing merasa tersiksa oleh perasaan rindu. Di sebuah tangga darurat, Edo berusaha membongkar semua yang pernah ia sembunyikan dari Kanya, maupun teman-teman lainnya. Semua rahasia yang bahkan tanpa sadar membuat Edo depresi.

• A Believer •Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang