21. Well Done

6.8K 451 171
                                    

"Nak Edo?"

Masih dengan kepala pening, Edo menoleh mendengar namanya dipanggil oleh seseorang. Buru-buru ia berdiri dan menjabat tangan Diah, sopan. Lelaki itu mencoba untuk menetralkan rasa khawatir dan bingungnya. Jujur, sedikit banyak Edo takut menjadi orang yang disalahkan atas kehamilan Natalie.

"Kamu ngapain di sini, Do?" Wajah lesu Diah sedikit mengernyit bingung. "Kamu tahu kabar soal Natalie?"

Edo menggeleng pelan. "Maaf, Tante. Edo ikut sedih dengan kondisi Natalie—"

Ucapan Edo dipotong dengan gelengan cepat Diah. Lelaki itu akhirnya memilih diam. Tidak mau menambah luka di hati Diah.

"... Kenyataannya, pernikahan lo sama Natalie ada di depan mata."

Edo menghela napas kala mengingat sepenggal ucapan Kanya siang tadi. Lelaki itu mengambil kedua tangan Diah dan menggenggamnya sepenuh hati. Ekspresi bersalah begitu kentara di wajah Edo.

Diah menatap lelaki di depannya bingung.

"Do? K-kenap—"

"Edo minta maaf, Tante. Edo dan sekeluarga meminta maaf karna keputusan Edo yang membatalkan perjodohan."

Diah mengangguk dan air mata mulai membasahi kedua pipinya. Ia memeluk Edo dan menepuk punggung tegapnya beberapa kali.

"Tante yang harusnya minta maaf sama kamu, Do. Tante nggak tahu kalau Natalie senekat itu. Dia ... dia ...." Diah tak kuasa. Ia menangis hebat sambil memeluk Edo.

Sebisa mungkin Edo menenangkan Diah. Lelaki itu mengusap punggung Diah dengan sabar, sampai wanita tersebut melepas pelukannya dan mengusap air mata di pipi.

"Tante tahu Natalie banyak salah sama kamu dan keluarga, Do." Diah menekan sesenggukannya. "Atas nama Natalie Tante meminta maaf sudah buat kamu dan Sindy susah. Masalah gedung dan catering itu, Tante akan bertanggung jawab untuk menghentikannya."

Edo mengangguk kemudian tersenyum lemah. Menerima permintaan maaf tersebut dengan lapang hati. Tetapi jauh dalam lubuk hatinya, Edo masih perlu bicara dengan Natalie dan menjelaskan semuanya supaya Natalie bisa berubah.

Edo mengusap lengan Diah pelan. "Edo juga minta maaf, Tante." Kedua matanya melirik ke pintu kamar inap di belakang Diah. "Natalie ... sudah sadar, Tante?"

"Sudah. Kalau kamu mau ketemu sama dia, tolong jangan memandang Nata rendah, Do. Bagaimana pun juga dia anak Tante." Edo mengangguk mengiyakan.

***

Kamar inap itu dibuka oleh seseorang membuat Natalie menoleh penasaran. Ia kembali menegakkan kepalanya menatap langit-langit kemar inap rumah sakit begitu tahu siapa orang yang mengunjunginya.

"Hai, Nat."

Natalie memilih diam. Ia tidak punya tenaga untuk menjawab setelah penanganan dokter beberapa menit lalu. Dalam hati Natalie tersenyum, kini di perutnya sudah tidak ada lagi beban yang harus ia sembunyikan. Natalie cukup senang, atau setidaknya ia merasa aman.

"Merasa lebih baik?"

Lagi-lagi tidak ada jawaban. Edo merasa kalau Natalie masih terpukul karna kehilangan. Ia memilih menyeret kursi plastik di dekat meja untuk ia duduk di samping ranjang Natalie. Sesaat, Edo melirik jam di pergelangan tangan. Sudah pukul sebelas malam, tetapi Rezky dan Kanya belum juga selesai bicara.

"Nat, aku rasa ini waktunya kita bicara. Maaf, karena nggak tepat mengajak kamu bicara dengan kondisi kehilanganmu."

Kali ini Natalie menolehkan kepala, menatap Edo dengan satu senyum mengulas di bibirnya. "Aku booking gedung dan catering lagi."

• A Believer •Where stories live. Discover now