• A Believer •

By ddrddr_

90.6K 8.9K 2K

(17+) [COMPLETE] dipublish 8 November 2019 - tamat 10 Desember 2019 POV 3 [ Edo & Kanya ] "Sebenarnya tujuanm... More

extra part of #FLTR
1. Setan Gimbal
2. Confession
3. Gorgeous Kanya
4. Kebohongan kecil (?)
5. Badut cantik AEON TV
6. It Gets Harder Everyday
7. Moron
8. Prinsip
9. Also Known As ....
10. Terbalaskan (?)
11. Sikap Palsu 1
12. Sikap palsu 2
13. Got a Lot of Problems
14. Beginning Problem
15. Dendam (?)
17. Kesalahan Sejak Awal
18. Berpisah
19. Menuju Keputusan
20. Fakta Penyelesaian
21. Well Done

16. Hati yang tak terbalas

2.9K 373 109
By ddrddr_

Malioboro lengang di pagi hari merupakan mitos. Kanya dan yang lain membuktikannya sendiri dengan makan nasi pecel di emperan jalan tepat pukul sembilan pagi. Jalanan sudah ramai, pedagang sudah mulai memamerkan dagangan mereka. Sesekali mata Kanya lapar melihat baju-baju dan daster batik yang terpajang di mana-mana.

Kanya menunjuk salah satu lapak baju-baju batik yang sekaligus menjual tas anyaman. "Nes, itu lucu banget nggak, sih? Nanti kita ke sana, oke?"

Nesa memicing menatap apa yang ditunjuk Kanya. Ia mengangguk sambil mengunyah pelan nasi pecel pedas pesanannya.

Bukan cuma Nesa dan Kanya yang makan nasi pecel tersebut. Ada Agisa, Septi, sampai Eko. Mereka memilih untuk mengelilingi Malioboro sementara yang lain memilih menjajah hotel tempat mereka menginap, termasuk Edo. Bagi Kanya sendiri, menjajah hotel tidak ada asik-asiknya. Dia berasal dari keluarga mampu–atau mungkin terlalu berkecukupan. Jadi, jika hanya ingin menjajah hotel bintang lima atau mungkin bintang sepuluh pun, Kanya sudah pernah dan sekali saja cukup untuk mewakili. Dia lebih memilih pergi ke tempat baru. Berhubung Malioboro merupakan pasar unik yang menyimpan banyak jajanan dan baju batik, Kanya tentu tergiur.

"Rombongan satunya ke mana?" Eko berdiri, meraba beberapa bagian celana, mencari dompet.

"Pada ke mall. Heran gue, nggak di Bandung, nggak di Jogja, nge-mall aja terus. Nggak asik!"

Kanya mengangguk tegas mengiyakan pernyataan Agisa. Wanita berbehel pink yang awalnya membenci Kanya itu, kini sudah berbaikan dan menerima kehadiran Kanya di Borobudur Marathon besok pagi.

"Lebih asik di sini, 'kan? Bisa belanja sepuasnya!" Kanya tersenyum puas. Di kepalanya menyimpan banyak list tentang barang apa saja yang ingin dia beli.

Semua kepala menatap Kanya dengan tatapan lesu, kecuali Eko yang terus saja memilih aneka sate setelah menbayar seporsi nasi pecel. Lelaki itu tidak bisa berhenti makan.

Kedua alis Kanya terangkat, menatap tanya pada semua orang yang menatapnya lesu. "Apa? Kenapa?"

"Ya ... lo enak, Key, bisa beli apa aja. Kita? Dapet tas anyaman enceng gondok aja udah seneng banget."

Hati kecil Kanya tersentil. Bekerja di AEON TV sedikit banyak memberi Kanya pelajaran tentang hidup, tentang jalan nasib per-seorangan yang berbeda. Dia tersenyum tipis, mengunyah suapan terakhir. Lalu, senyuman tipis tadi semakin melebar khas si happy virus.

"Berhubung di Jogja, ada yang mau hunting daster batik sama gue?" Kanya nyengir garing melihat tatapan teman-temannya masih lesu. "Tenang aja, sekali-sekali gue kasih kalian daster batik, ya?"

"Asik!!"

"Ihh, Kanya cantik banget, sih!"

Nesa yang tergolong lebih banyak diam, berani mencolek cepat dagu Kanya. "Baik banget, Neng! Makin cantik, deh!"

Kedua mata Kanya memutar mendengar semua pujian penuh makna itu. Tetapi dia tidak beban. Karena bagi Kanya, uang selalu bisa dicari, tetapi teman? Belum tentu kita bisa memiliki mereka dengan sekali interaksi, harus ada banyak interaksi positif yang dilakukan agar kita bisa memiliki mereka yang memang punya hati yang tulus.

"Daster? Gue 'kan nggak pake daster, Key? Lo mau beliin gue apa?" Eko menatap Kanya polos, yang dibalas tatapan ewh oleh Kanya.

***

"Enggak, gue masih hunting batik. Sama anak-anak. Oh, lo mau kemeja batik juga, Do?" Masih sambil memilah-milah daster batik di depannya, Kanya sedikit melirik pada teman-temannya yang tiba-tiba memandang aneh. Padahal, masing-masing dari mereka sudah mengantongi satu daster gratis pemberian Kanya.

"Gimana, Mbak? Jadi beli yang mana?"

Kanya tergeragap. Dia mengangguk meminta maaf pada si penjual, lalu memberikan satu daster pilihannya agar segera dibungkus plastik.

Agisa menyenggol Kanya menggoda. "Pak Edo minta dibeliin kemeja, Key?"

Senyum Agisa justru membuat pipi Kanya merona. "A-apaan? Nggak, i-ini bukan Demas Edo, bukan!"

Tiba-tiba Eko yang barusaja membeli geplak warna-warni di depan lapak penjual batik, mencolek pundak Kanya beberapa kali. Lelaki itu sedikit merapatkan tubuhnya sambil sibuk mengoperasikan ponsel. Gang Malioboro mulai padat.

"Lo telpon Edo? Gue susah mau nelpon dia, lupa tadi dia pesen apa aja buat oleh-oleh orang rumah." Kening Eko mengernyit sambil terus berusaha menghubungi seseorang.

Spontan Agisa, Nesa, dan Septi pun menahan tawa mereka. Mereka pun akhirnya memilih pergi meninggalkan Kanya dan Eko yang masih berdiri di depan lapak penjual batik.

Kedua pipi Kanya semakin merona. Dia ketahuan bohong di depan anak-anak kantor. Kanya kembali mengangkat ponselnya dan meneruskan bicara pada Edo.

"Halo, Do? Sorry, tadi baru diajak ngomong anak-anak." Kanya melirik Eko yang berdecak sebal setelah tahu dirinya memang bertelepon dengan Edo. "Nggak mau kemeja batiknya? Oh ... oke kalo gitu, nanti gue sampein ke Eko. Oke, bye!"

"Ngomong apa si kutil Edo?" Wajah Eko cemberut melihat Kanya menyimpan ponsel ke ransel kecil yang sengaja digantungkan di bagian depan badan.

"Minta dibeliin geplak sepuluh bungkus."

Eko mendelik kaget. "Sepuluh bungkus?? Buat apaan beli banyak-banyak, kayak mau jualan geplak aja di Bandung."

Kanya terkekeh. "Lo tahu sendiri kakak lo suka yang manis-manis." Kanya sedikit melirik aneh ke Eko. "Kayak ... gue. Hehehe."

Mendengar hal itu, Eko memilih berdeham beberapa kali. Masing-masing dari mereka tidak ada yang sadar kalau sebenarnya hubungan Edo-Kanya sudah terendus Eko. Kanya tidak berharap teman baiknya itu tahu sementara Eko memilih cukup tahu saja kemudian diam.

Mereka lalu melanjutkan menyusuri gang Malioboro menyusul anak-anak yang lain. Sesekali membeli barang yang menarik perhatian. Sesekali juga berfoto di beberapa spot lucu yang terpanjang di pinggir jalan Malioboro.

"Padet banget, Ko. Agisa tadi ke mana, sih?" Kanya mengernyitkan kening merasakan terik matahari mulai memayungi kota Jogja.

Eko menunjuk ke salah satu spot foto, sebuah tiang lampu yang memiliki papan jalan lucu. Kanya tersenyum melihat teman-temannya justru bergantian mengambil foto di sana. Seperti orang ndeso yang baru pertama kalinya ke Jogja—oh, atau memang mereka baru pertama kalinya ke tempat ini, Kanya juga tidak tahu. Toh, dirinya juga sering begitu tanpa sadar.

Mereka menyusul Agisa dan yang lain.

"Nes, kita mau langsung balik ke hotel apa ke mana dulu?" Septi bertanya sambil melihat hasil jepretan Nesa pada posenya.

"Kalo kita ke Bakpia Pathuk gimana?" Mata Kanya berbinar. "Gue pengen deh bakpia ubi ungu."

"Padet banget, Key. Ogah gue dempet-dempetan sama ratusan orang. Mending kita cari tempat makan siang. Lo ada ide di mana? Lo 'kan yang sering ke Jogja." Wajah Eko mulai suntuk. Kedua tangannya berat membawa tiga kantong kresek berisi makanan khas Jogja, titipan orang rumah dan Edo.

"Hm ... boleh, sih. Ada tempat makan enak di deket hotel kita, tapi bukanya jam sebelas nanti. Masih dua jam lagi, kita mau langsung ke sana?"

Nesa dan Septi segera menggeleng dengan bibir maju. "Kita jalan dulu aja."

"Sumpah?? Gue udah capek bawa-bawa tiga kantong kresek ya, Ibu-Ibu sekalian. Lo pada kalo mau jalan, mending gue balik parkiran terus ngadem di mobil."

Agisa langsung berdiri di samping Eko. Kedua lengannya merangkul lengan Eko erat. "Pak Eko harus ikut kita!"

Eko menatap Agisa dengan pandangan ewh yang dipelajarinya dari Kanya. "Apa-apaan ini, mau gue pecat?"

Baik Agisa, Nesa, dan Septi menggeleng secara bersamaan. "Pokoknya Pak Eko harus ikut!" tegas Agisa tak mau tahu.

***

Restoran bernama Mak Semarangan memang recommended sekali untuk lidah orang Bandung. Teman-teman Kanya menyukai menu restoran tersebut beserta tempatnya. Restoran yang mengusung tema sedikit vintage, dengan beberapa alat kuno terpajang di dalamnya, terkesan nyaman untuk makan hingga mengobrol berjam-jam. Kanya dan teman-temannya mengobrolkan banyak hal sampai terbahak bersama. Eko yang menjadi satu-satunya lelaki di meja itu bahkan sampai geli sendiri mendengar segala kelucuan Kanya. Mereka menghabiskan berlembar tissue demi menyeka air mata, menganggurkan piring-piring kosong yang makanannya sendiri sudah lenyap ke dalam lambung.

"Kita nggak balik? Udah hampir jam tiga sore. Gila aja kita nongkrong di sini sampe berjam-jam, kena charge nggak, ya?" Agisa terkikik sambil memasukkan ponsel ke tas.

"Balik lah. Gue juga udah ditelpon sama orang kantor." Kanya memeriksa log panggilan di ponselnya. Edo sudah enam kali menghubungi tetapi Kanya sengaja tidak mengangkat. Bukan karena ada masalah, tapi Kanya memang menghidupkan mode diam di ponsel.

"Ehm ... Pak Edo, Key, maksud lo?" tanya Nesa membuat Kanya mendelik.

"A-apaan, sih. Edo terus yang dibawa! Eh Ko, lo bayarin kita semua, ya?" Kanya mengedipkan mata beberapa kali, mencoba mengalihkan topik pembicaraan yang pasti ampuh jika menyangkut traktir-mentraktir.

Eko yang baru mau berdiri, justru kembali duduk dan menatap Kanya terkejut. Betul, 'kan? Batin Kanya puas. Mata Eko kelihatan lari ke beberapa piring kosong di atas meja. "Kenapa gue?!"

"Pak Eko ...," rengek tiga wanita yang lain.

Sekarang bukan hanya Kanya yang mengedipkan mata beberapa kali, merayu Eko. Agisa, Nesa, dan Septi pun mengikuti gaya Kanya untuk membujuk produser eksekutifnya tersebut agar mau membayari makan siang.

Eko menghela napas berat secara kentara. Kesal bukan main karena lagi-lagi ia harus keluar duit banyak. Bahkan, Eko yakin geplak sepuluh bungkus titipan Edo tidak akan mendapat tukar uang.

"Ck! Sana turun ke mobil, gue yang bayar."

"Asik!!" Semuanya bertepuk tangan riang termasuk Kanya.

Tanpa menunggu Eko yang sedang mengecek dompet, para wanita memilih untuk turun ke lantai satu. Nesa dan Septi mulai kembali ke kebiasaan saat di Malioboro, mereka terlihat mengabadikan diri di samping boneka teddy bear raksasa yang ada di lantai satu.

Kanya berhenti sejenak di depan kasir saat ingin keluar, matanya berbinar melihat bakpia telur asin yang barusaja dikeluarkan oleh penjaga kasir. Sementara Agisa memilih menunggu di luar.

"Aduh, enak banget ini ...."

Si penjaga kasir tersenyum ramah melihat Kanya tertarik dengan bakpia tersebut. Kanya mulai memilih-milih bakpia tersebut sambil mengeluarkan ponsel, dia menghubungi Edo menggunakan video call.

"Ini masih banyak 'kan, Mbak?"

"Masih, Ibu. Silahkan ingin ambil berapa?"

"Key?"

Si penjaga kasir tersenyum sekali lagi saat sambungan video call ke Edo sudah diangkat.

"Bentar ya, Mbak." Penjaga kasir tersebut mengangguk.

Kanya mengarahkn kamera video call-nya ke tumpukan bakpia telur asin tersebut, bukan menyoroti wajahnya. "Do, ini enak banget, sumpah. Lo mau?"

"Apa itu?"

"Bakpia telur asin. Ada tiga rasa." Kanya menatap penajaga kasir lagi. "Tiga rasa 'kan, Mbak?"

"Iya. Durian, kacang merah, sama pandan."

Kanya mengangguk dan melihat Edo yang sepertinya sedang ganti baju di kamar hotel. "Yang enak yang mana?"

"Kacang merah! Enak banget itu! Cobain, ya? Nanti kamu bawain buat Mama!"

Bukannya menjawab, Edo justru terpaku mendengar kalimat Kanya. Senyum mengembang di wajah tampan Edo. Lelaki itu akhirnya mendengar Kanya menggunakan sapaan aku-kamu yang selama ini ia inginkan.

"Oke, sepuluh bungkus."

"Ish! Enggak geplak, enggak bakpia, semuanya sepuluh bungkus."

"Ekhem!"

Kanya menoleh ke samping kiri. Wanita itu tergeragap dan segera menekan dua kali tombol power-nya. Spontan, sambungan video call ke Edo mati. Kanya meneguk saliva melihat Nesa, Septi, dan Eko berdiri dengan tatapan menyelidik.

"Oh ... baru video call-an," gumam Nesa dan Septi bersamaan.

Eko hanya mesem dan menaik-turunkan alisnya, jenaka. "Teman, ya?"

Kanya berdeham dengan wajah memerah seperti kepiting rebus. Dia kembali menatap si penjaga kasir. "Ehm, Mbak ... bakpia telur asin isi kacang merahnya sepuluh bungkus, ya."

"Baik, ditunggu sebentar, kami bungkuskan."

Kanya mengangguk kaku. Nesa dan Septi yang menahan cekikikan memilih keluar menyusul Agisa yang ber-swa foto sendirian di depan. Tinggal Eko yang berdeham kecil sambil mendekati Kanya.

Mampus gue mampus!

"Sama Edo, Key, sekarang?"

Kanya menoleh dengan wajah super polos. "Hah? Apa? Kenapa?"

Eko melipat bibirnya, menahan senyum. "Oh, enggak. Nggak apa-apa. Gue nanya lo yang bayarin apa gue?"

"Ini bakpia telur asinnya." Kanya menerima dua paper bag masing-masing berisi lima bungkus bakpia telur asin. "Terima kasih sudah berkunjung dan menghabiskan waktu di sini."

Kanya mengangguk dengan senyum kaku membalas ucapan si penjaga kasir. Dia kembali menatap Eko, gugup.

"Lo. Lo yang bayar." Detik itu juga Kanya melangkah pergi keluar resto, meninggalkan Eko yang hanya bisa menggeleng-geleng heran karna memiliki teman aneh seperti Kanya.

Bisa malu-malu juga si setan.

"Sudah, Pak? Totalnya dua juta enam ratus empat puluh dua ribu sembilan ratus."

Leher Eko terasa sakit karna menoleh cepat pada si penjaga kasir. Ekspresinya terkejut dan seketika pucat pasi, seperti habis melihat banci kaleng. "Be-berapa??"

Si penjaga kasir tersenyum ramah, tetapi tatapannya seakan mengancam, siap melayangkan pisau dapur kalau Eko beralasan ketinggalan dompet.

"Total menu makan siang yang dipesan tadi, dan sepuluh bungkus bakpia telur asin sebesar dua juta enam ratus empat puluh dua ribu sembilan ratus." Lagi-lagi si penjaga kasir tersenyum.

"Aish!!" Eko menatap kesal ke pintu keluar yang dilapisi kaca, ia bisa melihat para wanita sedang tertawa sambil duduk ber-swa foto di salah satu kursi. "Ini terakhir kalinya gue jalan sama cewek miskin kayak mereka."

Dengan wajah kusut, Eko mengeluarkan kartu kredit dengan logo bank ternama dari dompetnya. Nasib hari ini sungguh sial.

***

Sampai di hotel, Kanya tak bergabung ke kamarnya bersama Nesa. Kanya memilih untuk mengikuti Eko yang tak berhenti mendumel. Wanita itu ingin memberikan bakpia telur asin tadi ke Edo secara langsung.

Baru juga Eko membuka kamar hotel, Kanya sudah menggeser tubuh lelaki itu dan menyerobot masuk.

"Edo!!" Kanya mengangkat dua paper bag di kedua tangannya, dan beberapa kantong plastik hasil belanja di pasar Malioboro.

Eko berdecak kesal melihat tingkah bar-bar Kanya. Ia menutup pintu kamar hotel dan menyusul menuju tempat tidur.

Edo yang terlihat sedang tiduran sambil bermain game di ponselnya hanya tersenyum menyambut kedatangan Kanya. Ia mengambil posisi duduk, menerima dua paper bag pemberian kekasihnya.

Kanya yang sudah bergabung di atas tempat tidur, buru-buru mengambil sebungkus bakpia tersebut, membukanya satu dan memperlihatkan pada Edo. Dia menyuruh Edo menyicipinya.

"Lo harus cobain ini, enak banget!" Kanya menyuapkan satu bakpia ke mulut Edo.

Melihat itu, Eko bergabung di samping Edo dengan mulut terbuka lebar dan kedua mata memejam. "Gue, gue juga mau nyobain. Aaaa~"

Bukannya disuapi seperti Edo, mulut Eko justru ditampar kecil oleh Kanya. Wanita itu dengan kejam langsung memasukkan bungkus plastik si bakpia ke mulut Eko.

"Beuh! Tega bener lo jadi temen!" Eko semakin kesal. Lelaki itu kemudian berbaring di samping Edo dan Kanya.

Melihat wajah adiknya kusut, Edo hanya tersenyum sambil mengunyah pelan bakpia telur asin dari Kanya. Memang, rasanya super duper enak dan Edo yakin ia akan ketagihan.

Edo mengamati semua kantong plastik yang dibawa Kanya tadi. "Belanja apa aja?" tanya Edo setelah menelan habis si bakpia.

"Enak, 'kan?" tanya Kanya balik.

Edo tersenyum dan mengangguk. "Enak banget."

Mendengar jawaban memuaskan dari sang kekasih, Kanya ikut tersenyum lebar. Senyum kudanil khas si happy virus yang cantik. Kanya memperlihatkan daster batik warna cokelat tua kepada Edo.

"Gue belanja daster batik, Do. Lucu-lucu, ya? Ada yang jumbo juga buat Kak Nadia, dia 'kan lagi hamil." Kanya kelihatan riang.

"Kamu suka pake daster?"

Kanya mengangguk cepat. "Kalo pas tidur, plus kalo nggak kelupaan."

"Halah! Cewek macam lo mana bisa pake daster. Yang ada juga koloran kalo tidur!" Kedua mata Eko terpejam tapi kedua telinganya tidak tidur untuk bisa mendengar semua ucapan menggebu Kanya.

Spontan, daster batik yang tadi diperlihatkan ke Edo, menyambar wajah Eko secara gemas. Kanya cemberut dikatai seperti itu oleh temannya sendiri.

"Sentimen banget lo sama gue. Cuma traktir makan siang sekali aja sensinya minta ampun!"

Tak terima, Eko segera bangkit mengambil posisi duduk. "Sekali lo bilang?? Iya, traktir makan siang sekali tapi habisnya sampe dua juta, Key. Gue heran lo pada tadi makan apa di sana? Jangan-jangan piring restoran tadi juga lo bawa di dalem tas terus gue harus ganti rugi piring-piringnya, iya 'kan?!"

Dituduh seperti itu, Kanya cemberut dan kembali mengibas wajah Eko menggunakan daster batik. "Sembarangan lo ngomong! Yang ada juga elo yang makannya banyak!" Kanya menatap Edo, siap mengadu. "Adik lo, Do. Makan di restoran udah kayak orang gila nggak makan seminggu."

"Banyak makannya?"

Kanya mengangguk cepat. Dia menghitung berapa piring yang Eko pesan. "Wedang kacang kuah durian, nasi ayam semarangan, sop empal asin tanpa nasi, ayam goreng bacem." Bibir Kanya melipat ke dalam, mengingat apa saja yang dipesan Eko di restoran tadi. "Oh, sama chicken katsu, Do! Gila 'kan adik lo? Lambung sapi aja kalah sama lambung si Eko!"

Edo terkekeh mendengar aduan Kanya sementara Eko kembali berbaring di sebelahnya, memilih meredam rasa kesal dengan tidur.

"Kamu sendiri makan apa?"

"Gue? Gue cuma makan lontong op—"

"Inget, Do, itu juga gue yang bayar. Gue!"

"Sshh!" Kanya ingin mengibaskan daster batiknya lagi pada Eko. Kesal karena mentraktir makan saja harus selalu diungkit sejak mereka tadi masuk ke mobil, berniat kembali ke hotel.

Edo segera menengahi dan mengajak Kanya turun dari tempat tidur. "Biarin dia tidur, kita keluar aja."

Kanya yang masih cemberut terpaksa mengangguk dan melempar daster batik yang masih beraroma kanji tersebut, ke atas Eko.

"Makan sekalian tuh daster! Biar kenyang idup lo!"

Edo terkekeh. "Sshh, ayo keluar." Lelaki itu mendorong kekasihnya keluar kamar, meninggalkan Eko yang memilih beristirahat dengan berselimut daster batik milik Kanya.

***

Sore menjadi waktu yang tepat untuk Natalie pergi berenang. Ia ingin memanfaatkan fasilitas dari kamar yang dipesan Edo. Wanita itu, yang sudah megenakan baju renang di balik kaos dan celana training-nya, sedikit terkejut ketika memergoki dua sejoli sedang mengobrol di pinggiran kolam renang.

Kedua tangan Natalie mengepal sekilas. Ia memilih untuk tidak langsung masuk ke area kolam yang kebetulan sedang sepi. Suara tawa terdengar menggema di sepenjuru area kolam. Tawa renyah yang diam-diam sangat dibenci Natalie.

"Dia kaget dong kamu pesen sepuluh bungkus geplak. Masih untung aku nggak ikutan pesen biar dia pingsan sekalian di sana."

Natalie paham, Kanya dan Nesa pamit meninggalkan kamar tadi pagi, ternyata menghabiskan waktu untuk jalan-jalan bersama Eko. Natalie terus menguping pembicaraan di samping pintu kaca. Wanita itu harus beberapa kali tersenyum malu pada petugas hotel yang kebetulan lewat. Karena ia memang berniat pergi berenang, Natalie kebetulan juga tidak membawa ponsel.

"Jadi kamu jahilin Eko?"

Natalie sedikit mengintip.

Kanya mengangguk cepat dan Edo terlihat menelusupkan beberapa anak rambut ke belakang telinga Kanya.

"Kasihan juga sama adik kamu, tapi ngejahilin Eko ada serunya juga."

Hati Natalie nyeri seperti ditusuk benda panas. Ia menyadari sapaan Kanya pada Edo sudah berbeda. Sekuat tenaga Natalie menggigit bagian dalam bibirnya dan kembali untuk menguping. Tetapi ia buru-buru merapatkan badan saat suara obrolan Kanya dan Edo semakin mendekat ke arahnya. Dua sejoli itu ternyata berniat pergi dari area kolam renang.

"Aku suka gaya bicaramu sekarang."

"Aku-kamu?" Edo mengangguk sambil tersenyum tipis. "Mulai ngebiasain diri. Cuma, kalo di depan anak-anak aku tetep pake gue-elo, ya?"

"Kenapa?" Edo merangkul pinggang Kanya, mengajak wanita itu pergi menyusuri lorong hotel.

"Takutnya pada curiga."

Edo mendengkus dan obrolan kembali bergulir ke berbagai topik.

Sementara itu, hati Natalie semakin nyeri melihat kedekatan mantan calon suaminya dengan kekasih baru. Natalie melihat dua punggung sejoli itu berjalan menjauhi area kolam renang. Bukannya meneruskan niat untuk berenang, Natalie justru membuntuti ke mana Edo dan Kanya pergi. Dengan jarak sekitar sepuluh meter, Natalie diam-diam terus membuntuti dua sejoli di depannya. Berpura-pura jalan biasa saat petugas hotel kebetulan lewat.

Natalie kembali mengintip saat berada di belokan lorong hotel. Ia takut kalau Kanya dan Edo melihatnya. Tetapi ketakutannya justru berubah dengan kemarahan luar biasa, sampai air matanya ingin turun detik itu juga begitu melihat pemandangan tak tertahankan di lorong sebelah. Dengan mata memerah menahan genangan air mata, Natalie harus melihat Edo mencium Kanya yang dihimpit ke tembok lorong. Ciuman yang tergolong sangat intim. Ciuman yang harusnya ia yang merasakan. Ciuman yang bahkan selalu ia dambakan dalam mimpi untuk jadi kenyataan.

Setetas air mata akhirnya turun membasahi pipi Natalie. Wanita itu berhenti untuk mengintip. Ia mengusap pipinya secara kasar, membuang jauh sikap cengengnya. Lalu kedua tangan Natalie mengepal erat. Ia tidak ingin membiarkan ciuman Edo ke Kanya berlanjut, tapi kepalanya buntu untuk mencari cara agar dua sejoli tadi berhenti berciuman. Yang dilakukan Natalie justru tetap berdiri pada tempatnya. Amarah menggelora dalam hati, sangat membakar.

Natalie belum sempat pergi dari tempatnya berdiri saat Edo dan Kanya tiba-tiba muncul dari lorong. Mereka berdua kelihatan kaget melihat Natalie berdiri di sudutnya.

"Nat?" sapa Kanya bingung.

Natalie menatap Edo lebih dulu kemudian baru Kanya. Tatapan dingin yang mampu membuat Kanya dan Edo merasa terintimidasi.

Natalie tersenyum tipis. Kedua tangannya masih mengepal erat. "Ciuman yang bagus."

***

happy reading, ya!

jangan lupa klik vote 🌟

Author bercuit:
Halah! Sok-sokam hepi2 padahal cakitttt karna cemburu 🤣 terusin nggak nih buat Natalie cemburu???? Terusin nggak????

Kalo minta diterusin, tinggalkan jejak komen juga ya jangan lupa 🤣 (ini strategi karna chpt kemarin, kalian pada komentar emosi2 gituuu, sini yuk komentar baik-baik sama author yang cantik ini 😂, maafkan author yg kemarin yaa wkw)

Okeey!! Siap-siap double up, ya! Love u 🥰🥰❤️

Continue Reading

You'll Also Like

494K 30.4K 14
Selain berprofesi sebagai jurnalis muda, Sidney Tania Tanjung merupakan seorang konten kreator kecantikan (Beauty Vlogger) yang ceriwis dan dinamis. ...
35.8K 6.4K 46
Senja merupakan waktu matahari menuju terbenam. Senja dikaitkan dengan perasaan cinta dan rindu yang menggambarkan keinginan Shin Chaeyoung, sosok y...
1.8M 26.8K 44
Karena kematian orang tuanya yang disebabkan oleh bibinya sendiri, membuat Rindu bertekad untuk membalas dendam pada wanita itu. Dia sengaja tinggal...
14.1K 2.1K 16
Leanata Cathyline, seorang gadis biasa yang mengidolakan Samuel Bramana-seorang model dan juga aktor papan atas Indonesia yang membuatnya tergila-gil...