• A Believer •

By ddrddr_

90.6K 8.9K 2K

(17+) [COMPLETE] dipublish 8 November 2019 - tamat 10 Desember 2019 POV 3 [ Edo & Kanya ] "Sebenarnya tujuanm... More

extra part of #FLTR
1. Setan Gimbal
2. Confession
3. Gorgeous Kanya
4. Kebohongan kecil (?)
6. It Gets Harder Everyday
7. Moron
8. Prinsip
9. Also Known As ....
10. Terbalaskan (?)
11. Sikap Palsu 1
12. Sikap palsu 2
13. Got a Lot of Problems
14. Beginning Problem
15. Dendam (?)
16. Hati yang tak terbalas
17. Kesalahan Sejak Awal
18. Berpisah
19. Menuju Keputusan
20. Fakta Penyelesaian
21. Well Done

5. Badut cantik AEON TV

2.5K 353 76
By ddrddr_

Suasana ruang mewsroom sone ini begitu serius. Dua kamera besar menyorot wajah Agam dan Natalie yang sedang tersenyum sambil membawakan berita live. Kanya menatap pemandangan tersebut dalam diam. Hatinya masih meradang karena si seksi yang pandai bermain kotor. Selain menceburkan Mbak Poik ke dalam kemarahan Edo, Natalie juga berhasil membuat Edo jadi pribadi yang berbeda.

"Cut!" teriak Kanya begitu siaran ditutup dengan salam.

Eko awalnya bingung kenapa Kanya hanya diam saja menonton siaran. Ia ingin menegur, tetapi melihat teman baiknya hanya bisa menarik napas, kemudian mengembuskannya secara teratur, Eko memilih mundur dan diam di tempat.

Kanya menaruh skrip berita sore ini ke meja kecil yang ada di newsroom. Dia keluar tanpa pamit, meninggalkan Edo, Eko dan yang lainnya. Dia butuh pelampiasan hari ini, karena ribut dengan orang yang dia suka sejak SMP mampu menguras energi otak kanan Kanya. Jangan sampai dia sinting.

Tas leopard itu diambil, semua barang-barang yang perlu dibawa pulang, dia bawa. Jam menunjukkan pukul setengah lima tetapi Kanya tetap nekat pulang kantor. Turun ke lantai lobi menggunakan lift, Kanya menelepon nomor Damian. Sambungan pertama tidak diangkat, kedua, bahkan sampai kelima. Tetapi Kanya tidak menyerah sampai dengan suara bariton Damian terdengar terengah di seberang sana.

Belum menjawab sapaan Damian, Kanya memilih masuk ke mobilnya dan mengenakan seatbelt. Dia menaruh ponsel di jok samping yang sudah berubah ke mode loud speaker. Suara berisik orang yang sedang baku hantam terdengar memenuhi ruangan menggema.

"Lagi di mama?" tanya Kanya. Dia menyalakan mobil, melajukannya keluar AEON.

"Boxing, Indonesia has a good place to fight."

"Kirim alamat hotelmu menginap, I'm on my way."

Tidak mau dengar jawaban Damian lagi, Kanya menyentuh tombol merah mematikan sambungan. Dipijaknya gas lebih dalam saat terdengar notifikasi pesan singkat muncul di ponselnya. Kanya belum sempat membaca, dia harus menemukan traffic light untuk menemukan di hotel mana Damian menginap.

***

Bukan bangunan milik Om Nickolas, mini cooper Kanya memasuki parkiran depan Hotel Amiris, hotel satu kelas di bawah hotel milik Om Nickolas.

Saat memarkirkan mobil, seseorang kelihatan berjalan mendekati mini cooper-nya. Kanya keluar, dia melihat Damian dengan rambut setengah kering, tersenyum menyapa.

"Bad day?" Kanya mengangguk lalu berjalan memasuki hotel bersama Damian.

Sudah kebisaan bagi mereka untuk bergandengan tangan saat berdua. Bukan karena merasa saling memiliki, tapi Kanya selalu menatap Damian sebagai kakaknya. Damian lebih tua darinya tiga tahun, dan lelaki itu selalu melindungi Kanya dari banyak hal di dunia yang berniat jahat padanya.

Saat memasuki lift, Kanya mulai bisa menarik napas rilex. Kemarahan yang awalnya menyulut hati, mulai memudar setelah melihat Damian mengangkat sebelah alisnya. Damian ramah, ia selalu memamerkan senyum saat bersama Kanya. Dan Kanya sempat berpikir, mungkin jika sejak awal dia tidak memiliki rasa pada Edo, Damian menjadi satu-satunya lelaki pilihan.

"Kenapa?" Damian meneliti wajah Kanya, menyelipkan beberapa helai anak rambut Kanya ke belakang telinga.

Bibir Kanya mengerucut mengadukan segala kekesalannya hari ini. "Aku ribut sama Edo."

Damian terkekeh. "Oh, pacarmu?"

"Hm! Sebenernya dia bukan pacarku, Dam. Dia cuma cowok yang kusuka sejak middle school." Sebelah kaki Kanya bergerak seperti anak kecil yang ingin mengakui kesalahan. "Tapi dia nggak suka sama gue!" lanjut Kanya memperlihatkan wajah meweknya ke Damian.

Lelaki itu awalnya terdiam, tapi akhirnya tersenyum juga. Damian merangkul pundak Kanya, membawa wanita itu keluar dari lift setelah lift berhenti di lantai dua puluh lima.

Damian menghela napas. "Jadi, the sexiest woman alive in this world is in sad condition right now?"

Kanya mengangguk cepat. "Super duper sad! Apalagi gue curiga kalo Edo itu suka sama anchor-nya sendiri. Lo bisa bayangin 'kan, Dam ...?"

Ucapan Kanya mengambang saat dia melirik ke Damian. Lelaki itu memasang tatapan tajam dan Kanya tahu letak kesalahannya di mana. Mulut, kalau sudah keseringan ngomong lo-gue selalu tidak bisa direm.

"Maksud aku ... kamu bisa bayangin 'kan, Dam? Aku kerja satu perusahaan sama Edo, aku suka dia, dia suka sama anchor-nya. Bisa dibayangin, 'kan??"

"Bisa."

Kanya menjentikkan jari dengan gemas. Damian membuka pintu kamar hotelnya dengan menggesekkan keycard. Mereka berdua masuk. Seperti sudah kebiasaan, Kanya tidak lagi membawa sopan santun saat bersama Damian. Wanita itu langsung pergi ke tempat tidur kingsize yang berantakan. Banyak baju-baju bongkaran dari koper yang bertebaran di beberapa tempat. Kanya tidur di atasnya. Tidak peduli apakah tubuh kurusnya menindihi lipatan-lipatan baju Damian.

Damian menyusul duduk di pinggiran tempat tidur.

"Seandainya, Dam, seandainya Edo bukan jodohku, aku harus apa?" Kanya menatap langit-langit kamar hotel Damian yang dipenuhi ukuran gypsum.

"Cari lelaki lain."

"Nggak bisa, Dami! Se-Indonesia udah aku obok-obok sampe mampus, dan nggak ketemu sebiji pun laki-laki yang bikin posisi Edo geser seribu langkah!"

"Indonesia, 'kan?"

Kanya mengangguk beberapa kali. Dia bangkit. Ditatapnya Damian dengan pandangan, emang gue harus nyari ke mana lagi?

"Aku lahir di Australia, kamu bisa cari laki-laki jauh lebih oke levelnya dibandingkan Edo-mu," ucap Damian serius.

Tetapi, ucapan itu justru direspon Kanya dengan kekehan. Kanya bertepuk tangan beberapa kali. Tidak membuat Damian sakit hati. Lelaki itu terlalu sulit untuk ditebak, bahkan di balik senyumnya, Damian punya sejuta ekspresi dalam hati.

"Kamu pikir aku tinggal di Ausie nggak lama, Dam? Cukup lah ... buat nge-gebet beberapa cowok Ausie, tapi dapetnya apa? Tong kosong. Terus kamu nyuruh aku cari apa di sana? Sejauh mata memandang, cuma Damian seorang yang jadi boyfriend-able but it is impossible."

"It may be, Key."

Kanya mendelik. Wanita itu justru memeluk Damian erat kemudian menggelengkan kepala.

"Jangan dong, Dam. Selain Kak Noah, aku udah anggep kamu kakakku," gumam Kanya.

"Aku menganggapmu sebagai wanita, Key. Wanita seutuhnya." Damian membalas pelukan Kanya.

Tidak pernah Kanya berpikir sedikit pun tentang Damian adalah lelaki bajingan. Tapi bagi Damian, ia adalah bajingan yang melebihi seorang bajingan. Semuanya bermula dari hari ini. Sejak wanita itu berani menganggapnya kakak, bukan lelaki seutuhnya.

***

Semua telepon tak terjawab dari teman-teman Kanya hanya dia anggurkan. Bahkan wanita itu memilih untuk mengatur ponsel ke mode diam. Dia kembali sibuk makan bersama Damian. Setelah Kanya ganti kaos hasil menculik salah satu kaos Damian, dia sibuk menghabiskan beberapa porsi makanan yang berhasil dipesan Damian melalui room service.

Damian sesekali terkekeh, terbahak, sampai dengan mengerutkan kening kesal. Dia mulai kehabisan sabar melihat tingkah Kanya yang sudah kehabisan daya normal. Tingkahnya absurd. Tidak ada feminimnya tetapi Damian suka.

"Pesen lagi, Dam!! Ini enak banget, sih. Lagian heran sama perutku, nggak ada kenyang-kenyangnya."

Kepala Damian menggeleng. "Ini cukup, berat badanmu bisa naik nanti."

"So what?! Badanku ideal juga nggak menjamin Edo tertarik sama aku!" Kanya kembali menghabiskan seporsi puding buah yang sangat mengenyangkan. Damian terus menggeleng. Ia tidak mau Kanya menyakiti fisiknya hanya karna kesal dengan Edo.

Merasa sudah keterlaluan, Damian menyingkirkan semua piring dan mangkuk yang masih penuh oleh makanan, menjauh dari Kanya. Wanita itu merengek kesal, tapi Damian bukanlah lelaki yang mudah dilawan. Sekali tidak, ya jelas tidak.

Maka dari itu, Kanya memilih menggigiti sendoknya dengan wajah sedih. Menatap puding buah yang belum habis tadi dengan pandangan puppy eyes.

"Too much," gerutu Damian kesal. Kanya susah dibilangi.

Kanya melirik jam di pergelangan. Sudah lewat dari jam buka Fantasi. Buru-buru Kanya turun dari tempat tidur. Tidak peduli apakah Damian sedang memerhatikan setiap gerakannya. Karena begitu kaos putih itu dilepas oleh Kanya, Damian memilih segera mengalihkan pandangan.

"Sorry, Damian."

Diculiknya kemeja putih size large milik Damian di atas tempat tidur. Kanya memakainya secepat kilat. Beruntung, tanktop yang dia kenakan cukup rapat untuk menutupi bra putih tulangnya.

"Oke, kita ke Fantasi, yuk?"

Setelah mendengar Kanya bersuara lagi, Damian baru menoleh menatap wanita sinting itu. Ia ikut beranjak dan melakukan hal gila yang sama, mengganti kaos polo yang ia kenakan di hadapan Kanya. Tetapi karena dua orang itu berasal dari studi yang sama, yaitu seni, Damian dan Kanya merasa hal itu wajar. Orang seni kebanyakan bahkan tidak peduli dengan apa yang orang lain lakukan. Apakah itu buruk, apakah itu baik, apakah itu merugikan, yang terpenting adalah mereka nyaman untuk diri mereka sendiri.

Damian tampak gagah dengan kemeja putih yang sama seperti yang dikenakan Kanya. Kemeja itu dibiarkan keluar. Sementara celananya sendiri, Damian memilih mengenakan celana hitam yang tadi pagi ia pakai untuk menghadiri meeting.

Kostumnya benar-benar buruk. Ia seperti orang frustasi yang mengeluh pada diskotek tentang lembur kerja.

"Pakai mobilku," kata Damian sebelum Kanya mengeluarkan kunci mini cooper-nya.

Kanya mengangguk tegas. Dia mengecek ponselnya. Semua kontak teman dekat, sampai dengan Mommy mencoba untuk menghubungi Kanya. Wanita itu mengetikkan pesan singkat untuk berpamitan pada super woman di rumahnya tinggal. Kalau untuk malam ini saja, Kanya ingin bebas seperti saat dirinya berada jauh di negeri orang. Dia ingin menginap di kamar hotel Damian.

Lagipula ... ini semua bersumber dari kefrustasiannya pada Edo.

***

Akal sehat Kanya meluap. Sementara musik dan lampu diskotek terasa membuai untuk kembali menenggak sebotol alkohol. Kanya terus menggerakkan badannya di tengah-tengah dance floor. Di depannya, Damian yang masih berada pada kesadaraan penuh, mencoba untuk menjaga Kanya yang sudah hilang kendali.

Badan itu melenggok, menghentak, berputar, sampai dengan sesekali menggesekkan gerakan pinggulnya ke pinggang Damian. Semua itu masih bisa dikendalikan. Damian tidak mau, atau setidaknya belum mengingat Kanya adalah wanita yang benar-benar dia suka. Jadi di tempatnya berdiri, Damian memilih mengacuhkan segala godaan tentang puluhan wanita cantik yang berada di sekelilingnya, menggodanya, demi menjaga Kanya agar tubuh wanita itu tetap aman.

"Puas??" Damian sedikit berteriak di samping telinga Kanya, tetapi wanita itu menggelengkan kepala merajuk. Tanpa diduga, Kanya berbalik dan memeluk Damian erat. Kedua mata cantiknya memejam. "Kita pulang, oke?" tanya Damian lagi.

"Dami, pendapatmu tentang orang yang punya tatto di lekukan bawah payudara—" Kanya menengadahkan kepala, menatap Damian dengan pandangan buyar. "Menurut kamu gimana?"

"Siapa dia?"

"Dia ... wanita yang aku curigai deket sama Edo."

Perlahan Damian menggiring tubuh Kanya keluar dari dance floor. Ia mencari satu sofa yang kosong untuk mereka duduk. Begitu mendapatkannya, Damian menaruh tubuh oleng Kanya. Ia merapikan kemeja kebesaran yang dipakai Kanya agar wanita itu tidak jadi bahan olok-olok seisi diskotek.

Kanya benar-benar mabuk. Hampir separuh botol ia tenggak dan sekarang, hanya ingin menatap Damian secara jelas saja Kanya kesusahan.

"Aku juga punya tatto, Key. Pandanganmu sendiri terhadapku bagaimana?" tanya Damian balik. Lelaki itu menyusul duduk di sebelah Kanya. Sesekali tersenyum ketika beberapa wanita lewat sambil mengedip menggodanya.

"Oh, iya ... kamu juga punya tatto melingkar di lengan atasmu. Dulu, itu yang buat aku jadi pengen punya tatto juga, Dam." Kanya terkekeh seperti orang gila. Matanya sesekali membuka.

"But you didn't do that, right?" Pandangan Damian menajam.

Kanya menggeleng dengan kedua mata memejam. Dia menepuk dadanya dua kali. "Masih sayang sama tubuh sendiri."

Damian tersenyum. Diselipkannya beberapa helai rambut Kanya ke belakang telinga. Wanita itu semakin cantik saat terpejam mabuk. Keringat membanjiri wajahnya yang justru membuat Kanya jadi glowing.

"Aku benci melihat wanita bertatto, Key."

Mata Kanya membuka beberapa detik. "Oh, why?"

"Karena mereka tidak menyayangi tubuh indah mereka."

"Tapi itu seni, 'kan?"

Damian menahan tubuh Kanya saat wanita itu ingin bangkit dari sofa. Pasti dia ingin kembali ke dance floor.

"Itu seni, untuk kita para lelaki. Kamu bertanya pendapatku, bukan?" Kanya mengangguk pelan. Kepala cantik itu menyandar pada bahu bidang Damian.

Damian yakin, detik ini Kanya tertidur setelah mendapat tempat menyandar paling nyaman.

"Jangan pernah mengotori kulitmu dengan tinta tatto, Key."

Kepala Damian menunduk, matanya meneliti baik-baik wajah cantik Kanya yang teler karna alkohol. Dan tiba-tiba, tanpa Kanya sadari, Damian perlahan mengecup bibir ranum itu untuk pertama kalinya. Hanya kecupan ringan, tetapi mampu membuat Damian semakin menguatkan tekad untuk memiliki wanita itu.

Tangan Kanya bergerak kasar mengusap bibir, masih dengan kesadaran yang luput.

"Edo ...."

Damian mendengkus sengit. Edo lagi. Damian benar-benar akan mengingat nama tersebut, nama yang berhasil merebut seluruh perasaan Kanya.

***

Suara bedebum dan rasa ngilu luar biasa sukses membangunkan Kanya. Wanita itu meringis kesakitan sambil memegangi pinggang. Barusan, dia terjatuh dari tempat tidur kingsize.

Kedua mata Kanya berat. Rasa perih dan begah di lambung membuat Kanya mulai mengingat kejadian mabuk semalam bersama Damian. Wanita itu perlahan berusaha bangkit sambil masih meringis kesakitan. Pandangannya sedikit buyar. Dia menatap ke sekeliling, dan kamar seluas kamarnya di rumah ini benar-benar terlihat berantakan.

Di atas tempat tidur, Kanya melihat ada punggung telanjang lelaki yang dia yakini milik Damian. Lelaki itu masih tertidur lelap dengan selimut tebal melingkupi sebagian tubuhnya.

"Sial, gue jatuh dari tempat tidur," gerutunya.

Perlahan Kanya naik ke tempat tidur. Dia menggoyang kasar punggung telanjang Damian. Lelaki itu hanya menggumam tidak jelas tetapi tetap pada posisi tidurnya. Merasa tidak direspon baik, Kanya memilih menjernihkan pandangannya, kemudian menatap baik-baik jam di pergelangan tangan.

"Sumpah?!" serunya membuat Damian memggeliat terganggu.

"C'mon, Key ...."

Tidak mempedulikan Damian, Kanya buru-buru turun dari tempat tidur. Dia kelabakan melihat jam sudah menunjukkan pukul setengah tujuh pagi sementara kondisinya masih acak-acakan.

Secepat kilat Kanya menggosok gigi dan mencuci wajah menggunakan semua peralatan mandi Damian. Tidak peduli apakah giginya bergantian kuman dengan Damian karna memakai sikat gigi lelaki itu.

Tidak perlu mandi juga, Kanya hanya mengganti pakaiannya menggunakan pantsuit yang kemarin ia kenakan. Menyisir rambut kemudian menyemprotkan parfum ice coolin sebanyak sepuluh semprot di beberapa titik tubuhnya. Kanya bersyukur, parfum tersebut selalu ada di dalam tas leopard.

Kanya pikir, nanti dia bisa menelepon orang untuk membawakan baju ganti dan peralatan mandi. Toilet AEON cukup bersih menurutnya.

"Dami! Aku keluar!"

"Hm ...."

"Kemejamu kubawa, nanti kucuci di rumah—"

Ucapan Kanya terpotong saat Damian melemparkan satu bantal ke sembarang arah. Kanya hapal, Damian memang benci diganggu saat tidur. Lelaki itu menggeram dan mengambil bantal lain untuk menutupi kepalanya. Menyumpal segala suara yang terdengar dari mulut cempreng Kanya.

Setelah mengenakan stiletto, Kanya pergi membawa tas dan kemeja kotor milik Damian yang semalam dia pakai. Langkahnya cepat. Sesekali melirik jam di pergelangan tangan, dan mengecek semua notifikasi di ponselnya yang tinggal memiliki sisa daya empat belas persen.

Semua pesan kebanyakan berasal dari Rezky, bertanya di manakah Kanya berada saat ini. Yang kedua dari Daddy. Kanya mencium kemarahan dari pesan Daddy yang baru bisa dibacanya pagi ini. Pesan itu menyuruh Kanya pulang ke rumah pada jam dua dini hari. Semua kalimatnya terketik menggunakan huruf kapital. Sambil terus berjalan keluar dari lift, Kanya menggulir semua pesan tak terbaca di ponselnya. Jantung Kanya sedikit nyeri saat membaca sebuah pesan dari kontak bernama Demas Edo, hanya dua kalimat yang dikirim secara terpisah.

Lagi dimana?
Key, pulang sekarang

Kenapa ini? Kanya jadi berpikiran negatif karna semua orang yang menghubunginya, terlihat menyuruh untuk pulang secepatnya. Apa ada hal yang penting untuk didiskusikan? Tapi apa?

Lalu sekelebat bayangan tentang kakeknya yang sedang menghabiskan masa tua di Amerika, tiba-tiba membuat Kanya parno dan memilih untuk segera pergi dari parkiran hotel. Mini cooper itu lagi-lagi dilajukannya cepat membelah jalanan pagi di Kota Bandung. Kanya memilih untuk menelepon nomor Daddy sambil menyetir menuju AEON. Dia berusaha yakin tidak ada hal gawat yang terjadi semalam. Jadi, keputusannya untuk menelepon Daddy dan langsung berangkat ke AEON dirasa sudah tepat.

"Morning, Dad?" sapa Kanya setelah sambungan di angkat dari seberang.

"Di mana kamu?!"

Jantung Kanya mulai berdetak was-was. Sesekali Kanya melirik pada spion tengah dan samping mobilnya saat ingin menyalip.

"Berangkat ke AEON, sorry for—"

"Tidur di mana kamu semalam, Key?" potong Daddy cepat. Sesaat Kanya jadi berpikir kalau ada yang tidak beres selama Kanya tidak mengecek ponselnya. Tidak biasanya Daddy repot-repot menyanyai di mana Kanya menginap, karena wanita itu sudah biasa tidak pulang ke rumah tanpa pamit, bahkan sampai berhari-hari.

"Aku di Amiris sama Damian, Dad."

"Amiris?!" desis suara di seberang sana.

Kanya berdecak malas. "Hotel bukan satu-satunya tempat yang bisa Daddy hakimi, oke? Aku sama Dami cuma main ke Fantasi semalem, aku mabuk, dan aku tidur di kamar hotelnya karna Damian ada di Indonesia sampai Jum'at besok." Kanya menyangga ponsel menggunakan pundak saat harus memindah persneleng.

"Siapa Damian? Daddy mengenalnya?"

Kedua bola mata Kanya memutar. "Dia anak teman bisnis Daddy. Yang punya perusahaan properti di Ausie. If you remember, you have a time to meet and great with him."

"Untuk apa?"

"Penandatanganan kontrak."

Hening tercipta sedikit lama sampai-sampai mini cooper Kanya sudah sampai di parkiran AEON. Mata wanita itu memicing ketika dia melihat mobil sedan hitam milik Edo juga barusan terparkir di sampingnya.

Kanya menghela napas pelan. Digenggamnya ponsel yang sudah berbunyi lirih sebagai tanda baterai ponsel di bawah sepuluh persen.

"Dad, Kanya tahu aturan untuk enggak having sex. Iya, Kanya juga tahu itu bukan aturan. Daddy membiarkan Kanya untuk bisa memilih mana yang baik dan buruk tanpa ada sedikit pun larangan. Tapi aku tahu having sex bikin rugi, so relax, Mr. Sandro yang terhormat."

Helaan napas akhirnya terdengar di seberang sana. "Daddy lega mendengarnya."

"Oke, sekarang tutup telponnya, aku perlu kerja."

"Sudah sampai?"

Kanya mengangguk. "Hmm." Dia keluar mobil masih sambil bertelepon. Kanya tahu, Edo sejak tadi juga belum keluar dari mobil karena menunggu dirinya. Dan sesuai tebakan, lelaki itu keluar begitu melihat Kanya berdiri di samping mini cooper-nya.

"Jangan ada lagi acara menginap, sore nanti kamu harus pulang."

"Oke."

Sambungan tertutup. Kanya menatap Edo dengan pandangan datar. Lelaki itu baru mendekat saat tahu Kanya sudah tidak lagi menelepon.

Tetapi, bukannya mengajak bicara di tempat itu, Edo memilih menyeret Kanya masuk ke mobil sedannya. Tentu Kanya terkejut bukan main.

What the cyin?! Nasib gue udah nggak mandi, diseret-seret masuk mobil, kayak kambing aja gue!

Edo menyusul masuk mobil. Lelaki itu menghidupkan mesin mobilnya tetapi tidak melajukan mobil tersebut, hanya ingin menghidupkan AC karena memang, pagi ini terasa gerah meskipun mendung menyelimuti langit Kota Bandung.

"Ngapain lo nyeret-nyeret gue masuk?"

Edo tidak menjawab. Lelaki itu hanya melirik pada pakaian yang Kanya kenakan. Pakaian yang sama seperti kemarin. Sama sekali tidak ada yang berubah kecuali wajah Kanya yang benar-benar kelihatan polos tanpa make-up.

Edo mendengkus pelan. "Dari hotel mana?"

Kedua mata Kanya melotot. "Kok lo tahu?" tanya dia terlalu polos.

Pertanyaan Kanya barusan justru membuat Edo meradang. "Key, semalaman Om Sandro mencarimu. Beliau bingung mencari puteri pertamanya pergi hanya meninggalkan pesan text ijin menginap bersama teman. Are you lose your mind, Key?!" Edo mendesis dengan melempar tatapan tajam.

Sekarang giliran Kanya yang mendengkus menertawakan. Dibukanya sunvisor di atasnya, kemudian Kanya mulai menggeledah tas leopard untuk mengambil seperangkat make-up. Daripada memedulikan omongan Edo, Kanya memilih touch-up lebih dulu.

"Key."

"Apa."

Edo menghela napas berat. Direbutnya pensil alis di tangan Kanya kemudian melemparnya ke jok belakang.

Kanya hanya mencebik dan mengambil alat make-up lain, bedak. Baru dia menepukkan bedak tadi ke pipi kanannya, Edo lagi-lagi merebut alat make-up tersebut dan mengantonginya karna ia yakin, mobil sedannya yang baru masuk carwash kemarin sore, pasti akan kotor jika Edo melempar bedak tadi asal ke jok belakang.

"Do! Gue perlu touch-up, lo nggak usah resek cuma gara-gara gue nggak pulang ke rumah semaleman. Sepeduli apa sih lo sama gue?"

"Aku peduli, Key."

Cuih!

Sekarang Kanya mengeluarkan bedak lain yang membuat Edo terkejut. Sebenarnya, ada berapa bedak di tas make-up Kanya?

Dan lagi-lagi, Edo merebut bedak tersebut lalu mengantonginya ke saku kanan jas. "Dengerin dulu, Key."

"Lo bisa cerewet kalo gue udah selesai touch-up."

Kanya mengeluarkan bedak ketiganya membuat Edo bertanya-tanya dari mana benda berbentuk kotak itu keluar. Kenapa sampai ada tiga?! Edo rasa kantong ajaib doraemon sekarang isinya hanya make-up.

"Om Sandro menuduh aku yang menyuruhmu menginap di rumah." Edo merebut benda kotak itu lagi, sekarang ia mengantonginya di saku kiri jas.

Kanya melirik malas. Dia mengambil eyelinner membuat Edo sedikit menghela napas lega karna Kanya tidak punya bedak keempat.

"Om Sandro juga menelpon Eko, Aufar, Rezky. Beliau mencarimu seperti singa jantan yang kehilangan anaknya." Sesaat gerakan tangan Kanya berhenti menyapukan eyelinner, merasa bersalah pada Daddy. Kesempatan itu membuat Edo merebut benda berwarna biru muda seperti bolpoin mahal itu dari tangan Kanya, kemudian mengantonginya bersamaan dengan bedak di saku jas kiri.

Kanya berdecak kesal. Baru bulu mata sebelah saja yang berhasil dia olesi eyelinner. Karna tidak punya eyelinner lain, Kanya memilih mengambil lipstik warna nude dan mengaplikasikannya ke bibir bawah.

Edo lagi-lagi merebut alat make-up itu dan kembali mengantonginya. Kanya tidak ambil diam, dia juga kembali mengambil lipstik lainnya berwarna merah darah, untuk dia aplikasikan ke bagian bibir atas.

"Sekali saja, Key. Jangan seenak jidat memperlakukan orang yang menyayangimu."

"Lo 'kan nggak sayang sama gue."

"Itu pemikiranmu," bantah Edo membuat Kanya memerongoskan giginya sekilas.

Baru setengah oles, Edo sudah merebut lipstik merah darah tadi dari tangan Kanya.

"Selain itu, Rezky tanya tentang siapa bule yang memelukmu di parkiran kemarin sore."

Kanya yang sudah mengambil lipstik warna merah bata untuk meneruskan sisa olesan di bibirnya, terpaku mendengar ucapan Edo. Kanya menoleh menatap lelaki di sampingnya yang terkejut bukan main karna dandanan Kanya justru seperti badut ulang tahun. Tiga warna lipstik menghiasi bibirnya. Bedaknya kurang merata. Sebelah matanya sedikit tebal karna berhasil menggunakan eyelinner sementara satunya lagi tidak. Lalu, alis Kanya, hanya sempat ditambahi dengan pensil alis di bagian ujung kirinya saja.

Edo berdeham sekali, ingin tertawa tetapi ini bukan saat yang tepat lelaki itu menertawakan Kanya.

"Siapa bule itu? Mantan kekasihmu saat di Ausie?"

Mulut Kanya terbuka lebar, terkejut. Sementara kedua bola matanya mendelik. "My God, kok Rezky bisa tahu gue dipeluk bule di parkiran AEON??"

"Nggak penting, jawab pertanyaanku, Key."

Kanya mencebik kesal kemudian menyalakan radio mobil Edo. "Dia kakak tingkat gue, namanya Damian." Detik berikutnya Kanya terdiam, diliriknya Edo sekilas sebelum menyadari rencana apa yang harus dia susun supaya Edo bisa cemburu. "Gue sama dia semalem, di Fantasi," lanjut Kanya.

"Fantasi?" tanya Edo dengan suara santai. Berhasil membuat Kanya merasa gagal total.

"Hm. Gue mabuk, jadi semalem gue nginep di kamar hotelnya, di Amiris."

"Berdua?"

Kanya menganggukkan kepala sekali. "Lo ... nggak ngerasa gimana gitu, Do?"

Edo terdiam beberapa saat sebelum menggelengkan kepala. "Ngerasa gimana?"

Bibir yang diolesi tiga warna lipstik yang berbeda itu maju beberapa senti. Kanya cemberut mendengar pertanyaan Edo barusan.

Lo tanya harus ngerasa gimana? Ya mana gue tahu emang gue Bapak lo?! Kutil emang. Ya, maksud gue, lo nggak ngerasa cemburu ... gitu, Do?? Kesel hayati lama-lama.

Seakan lupa dengan kondisi karena kesal pada Edo, Kanya langsung keluar dari mobil. Dia berjalan memasuki AEON sebelum Edo bisa mencegahnya. Sementara di dalam mobil, Edo hanya bisa terdiam melihat kepergian Kanya.

Wanita itu ... bukankah dandanannya masih belum benar?

***

Sepanjang langkahnya memasuki AEON TV, Kanya jadi bahan tertawaan seluruh orang yang kebetulan berpapasan dengannya. Wanita itu berpikir mungkin mereka menertawakan pakaiannya yang belum juga ganti sejak kemarin, tetapi saat giliran Ainun, si field reporter itu berpapasan dengan Kanya. Wajah Ainun kelihatan shock seperti barusaja melihat setan.

"Key? Waduh, setan apa yang merasukimu?!" serunya membuat Kanya bingung.

"Apaan, sih?" Dia melihat pakaiannya sendiri yang kelihatan normal-normal saja, lalu kembali menatap Ainun.

Wanita berkulit tan itu terkikik. Ia mendekat pada Kanya. Tangan kanannya merogoh ponsel di saku blazer kemudian memperlihatkan layar hitam tersebut ke depan wajah Kanya.

Awalnya yang dilihat Kanya hanya gelap. Keningnya mengernyit bingung ingin bertanya pada Ainun sebenarnya ada apa. Tetapi, saat pandangan Kanya menajam pada cerminan dirinya di layar tersebut. Kanya shock bukan main.

"Waduh! Setan apa itu?!" serunya membuat Ainun terpingkal bukan main.

Kanya merogoh ponselnya sendiri untuk membuka mode kamera depan. Dan wanita itu hampir berteriak keras saking malunya. Dia baru sadar, kalau wajahnya sudah seperti badut Taman Ancol yang benar-benar ajaib.

"Buset, kok bisa-bisanya gue dandan begini ...." Kanya merogoh tissue dan me-lap semua dandanan di wajahnya secara kasar.

Ainun ingin membantu, tapi saat matanya menatap langkah pemimpin redaksi di belakang Kanya, wanita berkulit tan itu memilih balik kanan bubar jalan. Ia ingat, pagi ini rapat harian diajukan jamnya.

Sementara itu, Kanya masih sibuk membersihkan make-up ajaib tadi di lorong samping lobi. Tidak mengacuhkan segala tertawaan dari staff dan crew lain yang kebetulan lewat.

Lalu tepukan di punggungnya membuat Kanya menoleh ke belakang. Edo muncul dengan ekspresi tak enaknya.

"Ruang rapat, sekarang," perintahnya tanpa tahu kondisi.

Kanya menggeram kesal melihat punggung tegap Edo mulai melangkah menjauh meninggalkannya.

Edo kampret!

***

Kanya masuk ke ruang rapat dengan rasa malu luar biasa. Saat wajah naturalnya yang hanya dihiasi lipstik warna merah bata muncul, semua staff dan crew kelihatan menahan tawa membuat Kanya mengangguk sambil nyengir kuda.

"Maaf, maaf, maaf telat. Maaf, harus touch-up dulu. Hehehe." Kanya duduk di sebuah kursi samping Ainun. Wajahnya memanas malu.

Bisa malu juga dia.

"Kok cuma pake lipstik?" Bisik Ainun. Kanya menggaruk sebelah pelipisnya sekilas.

"Gue juga bingung, pas mau pake bedak, kok bedak gue nggak ada semua di tas make-up?" tanya Kanya balik. Ainun hanya bisa mengarahkan bola matanya ke atas.

"Morning," sapa Edo setelah memasuki ruang rapat.

"Morning, Pak ...."

Kanya menatap lelaki tampan itu dengan pandangan datar. Rasa kesal masih menyelimuti dirinya karna ketidakpekaan Edo saat di mobil tadi.

Setelah sesi pembukaan, rapat harian dimulai dengan serius dan lancar. Edo mencermati dengan baik tentang berita apa saja yang akan diliput oleh beberapa reporternya. Sesekali, lelaki itu menanyakan pendapat pada Natalie tentang kesanggupan untuk on air kembali bersama narasumber. Dan Natalie menyanggupinya sambil tersenyum sangat manis. Senyum yang membuat staff dan crew di lantai sembilan belas memilih muntah-muntah secara tak kasat mata.

Eko sendiri juga sibuk membaca semua kesimpulan rapat budgeting untuk newscast nanti siang.

Semuanya sibuk di ruang rapat ini. Tak terkecuali Kanya. Wanita itu, dengan otak gemilangnya sangat sibuk memikirkan bagaimana bisa wajahnya tadi berubah seperti badut Taman Ancol. Itu adalah perubahan yang sangat ajaib. Secara tiba-tiba dan sungguh memalukan.

Kanya menghela napas berat. Tangan kanannya mulai menulis beberapa kalimat yang akan dijadikan skrip berita tambahan setelah otaknya buntu tidak bisa mengingat kejadian tadi. Yang diingatnya, Edo hanya terus mengganggu acara touch-up manja Kanya, yang dia pikir bisa jadi alasan kenapa wajah cantiknya berubah seperti badut Taman Ancol.

"Ada pertanyaan lain?" tanya Edo dengan tatapan mengeliling, menatap satu-persatu wajah bawahannya.

Kanya ingin mengacungkan tangan tinggi-tinggi untuk bertanya kejadian gagal touch-up tadi, tetapi pertanyaannya tertelan jauh ke lambung langsung ke usus besar, saat kedua matanya mendelik melihat gerakan bingung Edo.

Bukan hanya Kanya, tetapi semua staff dan crew yang melihat juga menahan tawa melihat pemimpin redaksi mereka kebingungan.

Edo berniat mengambil bolpoin di saku jas-nya, tetapi yang ia keluarkan justru eyelinner warna biru yang jelas-jelas Kanya hapal milik siapa.

Edo berdeham. "Maaf, salah." Lelaki itu juga mengeluarkan semua benda di saku jas kanan dan kirinya. Kedua mata Kanya semakin mendelik terkejut. Semua bedaknya ada di saku jas jahanam Edo.

"Demas Edo! Jadi lo yang nyuri alat-alat make-up gue?!" Kanya menunjuk semua benda yang dikeluarkan Edo.

"Sumpah??" seru Eko terkejut.

Seketika, ruang rapat menjadi ricuh dengan berbagai ledakan tawa. Menertawakan kepolosan Bos-nya dan juga kekonyolan si happy virus.

Tetapi, di balik kericuhan ruang rapat, diam-diam ada hati yang meradang bukan main. Natalie memilih pergi dari ruang rapat secepat mungkin sebelum ada orang yang menyadari. Ia muak, muak dengan segala perhatian yang diberikan banyak orang pada si happy virus AEON TV.

***

happy reading, ya!

jangan lupa klik vote 🌟

Author bercuit:
Follow me on instagram: ddr_stories
Di instagram itu author bakalan kasih beberapa spoiler untuk cerita author. Tq, love ❤️

Continue Reading

You'll Also Like

494K 30.4K 14
Selain berprofesi sebagai jurnalis muda, Sidney Tania Tanjung merupakan seorang konten kreator kecantikan (Beauty Vlogger) yang ceriwis dan dinamis. ...
679K 21K 46
5 deadly sins of relationship: Level 3 TRUST Mature content, 21+++ allowed 4 parts on private mode
585K 48K 32
Raline Arsjad, yang tadinya bertekad untuk husbandfree, dipertemukan dengan pria yang mirip dengannya, Christian Dhirgantara, hingga terciptalah satu...
111K 4.8K 17
Mayandra Andini Putri, usia 32 tahun, manajer marketing & promotion yang kesehariannya diisi oleh target dan target. Entah itu target kantor maupun t...