• A Believer •

By ddrddr_

90.6K 8.9K 2K

(17+) [COMPLETE] dipublish 8 November 2019 - tamat 10 Desember 2019 POV 3 [ Edo & Kanya ] "Sebenarnya tujuanm... More

extra part of #FLTR
1. Setan Gimbal
2. Confession
3. Gorgeous Kanya
5. Badut cantik AEON TV
6. It Gets Harder Everyday
7. Moron
8. Prinsip
9. Also Known As ....
10. Terbalaskan (?)
11. Sikap Palsu 1
12. Sikap palsu 2
13. Got a Lot of Problems
14. Beginning Problem
15. Dendam (?)
16. Hati yang tak terbalas
17. Kesalahan Sejak Awal
18. Berpisah
19. Menuju Keputusan
20. Fakta Penyelesaian
21. Well Done

4. Kebohongan kecil (?)

3.2K 431 123
By ddrddr_

"Tapi lo bener, Do. Gue suka sama lo."

Menurut Edo, kalimat pengakuan tersebut mulai mengganggu fokusnya saat berkerja. Sesaat, Edo harus berdiam menganggurkan banyak berkas, hanya untuk memikirkan kenapa bisa Kanya—yang mana sudah ia anggap seperti adiknya sendiri—berani menaruh rasa lebih kepadanya.

Beberapa kali ia sering memutar kursi, meneliti suasana luar ruangannya yang terlihat sangat jelas dari dinding-dinding kaca, seperti sekarang. Dan Edo selalu mengamati sebuah meja baru di paling sudut lantai sembilan belas lebih lama. Kadang, Edo berpikir keras saat menatap Kanya yang sedang dikelilingi deadline rundown dan skrip berita, atau saat wanita itu bercanda bersama staff lain.

Apakah hubungan mereka masih akan tetap sama setelah pengakun gila Kanya? Apakah mereka bisa kembali menjadi mereka seperti sedia kala?

Pandangan Edo yang sedang menatap Kanya bekerja, tiba-tiba terhalang oleh tubuh seseorang. Edo menghela napasnya setelah tahu Natalie berdiri di depan pintu kaca tersebut. Wanita itu masuk dengan senyum manis. Begitu anggun mengenakan sepasang Loubutin yang mengiringi langkahnya.

"Hai, Do."

"Hai."

Natalie duduk di depan Edo. "Lagi ngapain? Aku barusan lihat kamu ngalamun."

"Mikir."

"Tentang?"

Sesaat Edo melirik Natalie kemudian terdiam cukup lama.

"Sesuatu," jawab Edo akhirnya.

"Masalah kita nggak akan ada solusi lain, Do. Take it or leave it. Aku 'kan udah bilang sama kamu, semakin lama kamu mikirnya, semakin lama juga kamu nggak akan betah ada di rumah."

Omongan Natalie memang ada benarnya, pikir Edo tidak mau egois. Ia memang sudah merasakan ketidak nyamanan berada di rumah setiap kali rongrongan itu mampir ke telinga. Tetapi, tahukah wanita cantik di depannya itu, kalau semua persiapan matang bisa saja Edo lakukan hanya saja mental, Edo belum siap.

Diputarnya kursi yang diduduki Edo. Ia kembali mengamati meja Kanya yang sekarang kosong. Entah kemana setan gimbal—salah, dia tidak lagi gimbal—itu pergi.

"Nggak semudah itu, Nat."

"Karena?" Natalie memasang senyuman paling manis yang dipunya.

"Sekarang masalahnya rumit."

"Serumit apa?"

Serumit saat aku tahu Kanya suka padaku.

Sebelah tangan Edo bergerak menyangga kepala. Lelaki itu masih terus menatap meja di sudut sana sampai-sampai pandangannya kembali diganggu oleh seseorang. Edo mengedip, ia melihat Kanya berdiri di pintu kaca sambil bertingkah seakan-akan sedang mengintipi kondisi dalam ruangan Edo.

Tingkah aneh itulah yang membuat Edo lupa menjawab pertanyaan Natalie. Lelaki itu hanya mendengkus tertawa kecil, kemudian menggeleng heran, membuat Natalie harus menoleh dan melihat tingkah aneh Kanya juga.

"Dia kenapa?"

Natalie menatap Edo saat pertanyaannya tidak lagi dijawab. Hatinya merasa was-was melihat Edo justru terus memperhatikan wanita aneh di luar ruangannya.

"Do, dia kenapa?" tanya Natalie lagi.

"Hm?"

"Kamu nggak denger aku tanya apa dari tadi?"

Edo menggeleng tanpa rasa bersalah. Lelaki itu justru melambai pada Kanya, menyuruh wanita aneh itu masuk dan mengganggu obrolan bersama Natalie.

"Eh, ada Natalie Soedibyo," sapa Kanya dengan senyum khas.

Bukan karna sikap Edo yang justru lebih menanggapi Kanya dibandingkan dirinya. Natalie sedikit tidak suka pada wanita aneh itu sejak Kanya tahu apa rahasia di balik blazer kerjanya. Ia tidak mau Kanya membeberkan apa yang Kanya lihat pada banyak orang secara detil, terutama Edo. Lelaki yang digadang-gadang menjadi calon suaminya. Well, semua akan lancar dan baik saja sebelum Kanya datang, merusak, bahkan terkesan jadi parasit dalam kehidupan Edo dan dirinya di AEON.

Natalie hanya membalas sapaan Kanya dengan senyum.

"Do, gue mau kasih lo rundown tadi pagi. Udah fix, dan gue juga nambahin beberapa skrip berita yang bakalan dibaca Agam nanti sore." Kanya menaruh beberapa lembar kertas ke meja Edo. Natalie berdeham kecil.

"Oke."

"Sekarang gue boleh keluar, 'kan?" Kedua tangan Kanya membelai perut, berakting busung lapar. "Perut gue cacingan, dikit-dikit laper."

Edo mengangguk mengiyakan. Toh, ini memang sudah jam makan siang, jadi tidak ada salahnya membiarkan bawahan untuk keluar.

"Oke."

Tetapi, kata oke dari Edo tidak membuat wanita itu lantas pergi dari samping meja kerja. Kanya justru menatap meneliti wanita yang duduk anggun di depan Edo. Mulutnya mengerucut. Merasa sedikit iri dengan kedekatan Natalie yang menurutnya tidak wajar. Entah apa pun itu urusan mereka berdua, Kanya merasa Natalie punya sinyal untuk mendekati Edo atau mungkin sampai memacarinya.

"Key?" tegur Edo menyadarkan Kanya.

"Oh, gue harus keluar, ya?"

Kanya melambai pada teman baiknya sebelum melangkah mundur menuju pintu. Dia menyempatkan diri untuk menggerakkan telunjuk dan jari tengah, seperti ingin mencolok mata sendiri, kemudian dia arahkan ke Edo. Seakan-akan wanita itu mengawasi setiap gerak-gerik Edo saat berduaan dengan Natalie. Bahkan, sampai dia sudah keluar pun, wanita itu masih terus menempelkan wajahnya pada dinding kaca, mengintipi kondisi dalam ruangan Edo sambil berjalan menjauh.

"Jujur aja, aku nggak suka sama produser baru kita."

"Karena?"

"Dia deket sama kamu."

Kalimat Natalie justru mendapat tatapan tajam dari Edo.

"Dan jika nanti kita memang menikah, Nat, ada satu hal yang nggak boleh kamu sentuh dan usik."

"Apa?"

"Semua teman-temanku," jawab Edo mantap. Tidak peduli apakah wanita di depannya tahu betul siapa saja teman baik Edo.

***
( kalau ada Damian, anggap aja bule itu Bahasa Indonesianya tidak begitu fasih 😋 )

Lobi masih lengang, tapi langkah Kanya justru terkesan seperti dia sedang dikejar sepuluh maling di belakangnya. Berlari, terengah, dengan kedua kaki yang telanjang Kanya membelah lantai lobi sambil membawa tas leopard dan sepasang stiletto.

"Sinting, jadi lo beneran di sini?!"

Sesaat, lelaki bule yang berdiri di depan pintu lobi itu terkejut melihat Kanya. Ada sesuatu yang berubah dan bule itu tahu betul wanita yang berlari kecil di depannya sudah bertansformasi jadi sebongkah berlian mahal.

Bule itu pura-pura buta dengan pemandangan baru di kepala Kanya, dan hanya mengerutkan kening bingung. "Ngomong apa?"

"Alah, badut! Nggak usah sok bego'," maki Kanya. Lelaki bule itu tertawa.

Dipakainya stiletto yang sebelumnya sempat dia lepas. Kanya tahu kegialaan apa yang sedang menimpa waktu makan siangnya begitu dia menerima pesan singkat, ada setan lain yang sedang menunggu di lantai lobi. Dia Damian, kakak tingkat gilanya itu rela menyempatkan terbang jauh-jauh dari Bali menuju Bandung setelah meeting direksi yang dilakukan. Alasannya, demi menemani Kanya makan siang. Tentu alasan itu sukses membuat Kanya muntah-muntah di toilet. Sepeduli apa bule itu dengan jam makan siang Kanya?

Kanya menyeret lengan bule tersebut menjauhi pintu lobi.

"Mobil lo mana?"

"English, please?"

"Lidah gue baru cadel ngomong Inggris!"

Damian tidak menjawab. Ia terus menuruti kemana pun wanita itu menyeretnya. Bukan menuju mobil JEEP yang ia sewa dari sebuah rental mobil di Indonesia, tubuhnya justru ditarik memasuki mobil mini cooper warna kuning menyala yang terkesan nyentrik.

Damian tertawa pelan sebelum masuk ke mobil tersebut.

Really?

Sementara Kanya, dia membanting pintu mobilnya setelah Damian masuk. Sambil mengumpat ini-itu, Kanya menyusul masuk. Dia tidak berharap ada banyak pasang mata yang mengetahui kepergiannya bersama seorang bule. Apalagi teman-temannya. Ada hukuman mati yang bergentayangan jika salah satu dari teman-temannya melihat dia pergi bersama Damian.

"Makan di mana? Lo harus traktir gue setelah aksi sok kejutan lo ini, oke?" Kanya menyalakan mobil, kemudian melajukannya keluar dari parkiran AEON. Sesekali mengawasi suasana luar, siapa tahu ada teman baiknya yang melihat dan terjadilah kekacauan dunia.

"Oke. Asal ubah panggilanmu."

Kanya menoleh pada Damian. "Ubah apa?"

"Panggilanmu, Key."

"Lo-gue maksud lo?"

Damian mengangguk kecil. Tangan kirinya berpegangan erat pada handle hand grip mobil.

Sekilas melirik, Kanya tertawa melihat tubuh tinggi tegap Damian harus menumpang di jok mobil mini cooper-nya.

"Lucu juga, kayak kodok."

"Apanya?"

"Nah, itu lo bisa ngomong Indonesia! Sok bule lo, dasar!" Sementara Damian tertawa, Kanya terus mencibir kakak tingkatnya tersebut selama di perjalanan. Mini cooper itu melaju cepat membelah keramaian jalan. Bukan Kanya namanya kalau menyetir dengan kecepatan lamban dan taat aturan.

"Gue—"

"Key, c'mon ...." Kanya menoleh pada Damian, lelaki itu memasang wajah tersenyum yang minta dimaklumi.

"Oke-oke, aku. Aku udah bisa nebak sih, waktu kamu sapa aku dengan 'morning, Key', sementara di daerah tinggalmu, beda dua jam lebih dan nggak mungkin kata morning kamu pake waktu telpon aku."

"Kamu mengenalku cukup baik," kata Damian dengan Bahasa Indonesia yang kaku.

"Yeah, bukan kenal cukup baik, tapi otakku cukup pinter buat inget hal-hal detil kayak gitu."

Mobil terus membelah jalanan kota dan Damian memilih sibuk membuka dashboard mobil Kanya dan menggeledah isinya. Ada beberapa foto bersama Edo, Eko, Aufar, Rezky, lalu tissue, beberapa lembar bill restoran, dan minyak telon yang entah kenapa sangat berjasa bagi Kanya.

"Di mana foto pacarmu?"

Kening Kanya mengernyit. Dia membelokkan kemudi memasuki parkiran tempat makan.

"Ada di situ," jawab Kanya asal yang justru membuat Damian semakin gencar menggeledah dashboard. "Jangan diberantakin juga, dong ...."

"Di mana?" tanya Damian lagi, tak menggubris keluhan Kanya.

"Ya, di situ. Masa nggak ketemu?"

"Mana?" Diperlihatkanya seluruh foto yang ada. Damian bahkan meneliti satu-persatu wajah lelaki di foto tersebut, yang menurutnya kurang boyfriend-able untuk Kanya. "Yang mana?"

"Itu!" Kanya menunjuk pada salah satu wajah di foto yang diperlihatkan Damian.

Mobil sudah terparkir cantik. Kanya melepas seatbelt kemudian ikut memperhatikan Damian yang sedang memperhatikan foto di tangannya. Lelaki itu memiringkan, mendekatkan, sampai menjauhkan foto di tangannya yang menampilkan wajah Edo sedang tersenyum kecil bersama Kanya. Wanita itu ingat, kapan foto-foto tersebut diambil menggunakan polaroid barunya.

"Ini? He's such a little fuckhead." Damian menetawakan wajah Edo membuat Kanya mendelik gemas. Direbutnya foto tersebut dan Damian tertawa melihat eskpresi kesal Kanya.

"Nggak usah ngejek! Edo itu ganteng, dan dia cowok pertama yang aku suka sampai detik ini."

"Bukan aku?" Damian tersenyum menggoda. Senyuman yang membuat dirinya menjadi dua kali lipat lebih tampan, dan Kanya mengakui fakta tersebut.

Tetapi, bukan Kanya namanya kalau tidak setia dengan pilihan. "Bukan lah! Jadi orang jangan kepedean!"

Ditaruhnya kembali beberapa foto tadi ke dalam dashboard. Damian kembali menatap Kanya. "Bukan masalah. Aku bukan orang yang suka menunggu cinta, tapi aku orang yang ambisius mendapatkan apa yang kumau, Key."

"Omongan lo kayak beneran suka aja sama gue." Kanya mengambil tas leopard yang sebelumnya ia lempar ke jok belakang. Jujur, dia sedikit tidak nyaman dengan tingkah Damian yang menatapnya sambil tersenyum. Senyum ambisius yang Kanya hapal sejak mereka kuliah.

"Memang." Damian menarik napasnya berat. Begitu Kanya ingin membuka mobil dan keluar, lelaki itu menarik tangan Kanya, mencegah. Badan Damian maju, hidung mancungnya bisa mencium kewangian rambut Kanya yang hanya berjarak satu jengkal darinya. Lelaki itu kembali tersenyum indah. Mata cokelat terangnya menatap Kanya dalam.

"Rambutmu cantik. Wanginya ... membuatku ingin berada di atasmu," bisik Damian kurang ajar.

"Dami! Lo ... lo ...." Sial, Kanya kehilangan kata-katanya saat Damian justru menjauh dengan tawa.

Lo bener, Do. Laki-laki emang gampang banget terangsang cuma gara-gara wangi rambut. Sial!

***

"Jadi kamu cuma hadir di meeting itu setengah jam, habis itu pesen tiket ke Bandung?" Mulut penuh Kanya tidak mau berhenti mengajak omong Damian. Sampai lelaki bule di depannya terkekeh melihat tingkah super unik Kanya.

"Bukan."

"Gimana, sih? Kalo ngomong itu yang jelas."

Damian terkekeh sekali lagi. "Aku ke sini naik jet pribadi. Daddy ikut ke Bandung. Beliau pulang besok pagi setelah menginap semalaman di hotel Mr. Nicko."

"Oh! Om Nicko, minta gratisan aja sama dia, bilang aja Kanya yang suruh." Seulas senyum nakal terbit di bibir Kanya.

Hal yang paling Damian sukai dari wanita itu adalah, saat setiap ucapannya tidak pernah menanggung beban. Kanya tipikal wanita bebas, semaunya tetapi tahu aturan. Di mana prinsip lakukan jika itu maumu, dan jangan lalu jika itu merugikanmu terpatri jelas di jidatnya. Hanya saja ... Damian tidak sanggup untuk menaklukan hati batu Kanya. Kanya bukanlah setipe dengan Damian, yang bisa saja mendua meskipun lelaki itu cinta mati dengan Kanya. He's free, but free is the point of relationship he want.

Damian melirik pada plakat rumah makan yang mereka kunjungi. Aneka bakso dan miyamso yang terkenal dan padat pengunjung. Damian suka cita rasa bakso Bandung yang dikunyahnya. Ada yang bertekstur lembut dan berurat. Setiap gigitannya menciptakan reaksi tersendiri apalagi saat Damian mengunyah bakso tersebut sambil menatap Kanya. Celana formal yang ia kenakan tiba-tiba terasa sempit.

"Aku ada di Bandung beberapa hari, mau menemaniku?" tanya Damian setelah mengunyah habis baksonya.

Kanya mengangguk mantap. "Oke, tapi nggak janji full day. Aku udah kerja, dan AEON bukan perusahaan ecek-ecek yang bisa absen bolos sesuka hati."

"Nggak masalah."

"Nginep di mana? Hotel Om Nicko lagi?"

"Bukan."

"Mendingan nginep rumah Daddy. Kamu bisa tidur di kamar Kak Noah. Dia nggak balik sampe bulan depan, bininya lagi nyidam." Kanya mengunyah satu bakso lagi. Tidak mau membiarkan bakso tersebut mengapung indah di rendaman kuah yang lezat.

Damian menggeleng pelan, lelaki itu menolak secara halus dengan senyum menawan yang terpatri di wajahnya. Sesekali ia menyelipkan rambut sepanjang tengkuk yang hari ini tidak diikat. "Dan harus siap menerima puluhan pertanyaan dari Om Sandro?" Ia terkekeh. "Aku bisa menginap di hotel lain. Hotel Mr. Nicko terlalu mengganggu privasiku."

"Terus, mau main ke mana aja kita?" Wajah Kanya terlihat polos.

Damian pikir, semakin ia menikmati wajah berkeringat Kanya karna sudah menghabiskan seporsi bakso super pedas, bisa membuat celananya jadi super sempit. Bule itu memilih untuk mengalihkan pandangan. Ke mana saja asal itu bukan ke wajah Kanya. Ia berdeham sekali dan menyeruput minuman bersodanya.

"Club? Aku lupa wujud club di Indonesia. Want to join me?"

Kanya mengangguk sekali lagi. "Count me in. Aku suka Fantasi."

***

Bukan masalah bagi Kanya untuk meladeni semua ajakan Damian. Lelaki berhidung mancung yang memiliki berewok tipis nan seksi itu, selalu berhasil mengajak Kanya untuk having fun. Tetapi, ada satu yang perlu dipertimbangkannya, bahwa Kanya tidak lagi berada di Ausie, dia tidak bisa begitu saja pergi tanpa ada mata lain yang mengawasi. Teman-teman baiknya, mau dia kemanakan Edo, Eko, Aufar bahkan Rezky?

Mini cooper kuning itu sudah kembali terparkir di parkiran AEON. Kanya dan Damian masih diam di dalam mobil. Sementara Kanya mengawasi suasana luar, takut seandainya ada mata-mata temannya yang mengetahui, Damian justru lebih memilih untuk duduk diam dan mengamati semua pergerakan Kanya.

Bule itu melepas seatbelt kemudian memajukan badannya ke arah Kanya. Menghirup sekali lagi kewangian rambut Kanya yang benar-benar terasa memabukkan.

Kanya terkejut. Dia juga melepas seatbelt segera kemudian mendorong dada Damian menjauh.

"Ngapain lo?!"

"Wangi."

Kanya menyisir rambut dengan kesepuluh jemari. Wajahnya kecut. Dia tidak mau orang lain menjadikan wangi rambutnya sebagai bahan rangsangan.

"Jangan aneh-aneh, ya! Gue—" Kanya menelan saliva saat tatapan Damian menajam. "Maksudnya ... aku, nggak suka ada orang lain manfaatin wangi rambutku cuma buat ...."

"Apa?"

"Buat ... bahan rangsangan."

Damian tersenyum miring. Matanya berlari menyapu penampilan Kanya dari kepala sampai dengan dada. Wanita itu sangat, bahkan super cantik. Apalagi saat rambut pirang yang digimbal dulu sudah ganti dengan layered hairstyle hitam legam. Sekali memandang saja, Damian bisa bertekuk lutut di hadapan Kanya.

"I love it, gaya rambut itu adalah gaya rambut pertamamu memasuki universitas."

Kanya mengambil segenggam rambut kemudian mengamatinya. "Kalau diinget-inget sih, iya. Pertama kali aku nginjek Ausie, aku pake gaya rambut ini. Tapi, waktu pertama kalinya kita ketemu, rambutku udah jadi gimbal. How could you know about my original hairstyle?"

"Kamu belum tahu sama sekali?" Kanya menggeleng bingung. "Aku sudah melihatmu sejak kamu memasukkan koper ke asrama. Allen told me about the mew kid di asrama yang galak dan unik. And that kid was you. Aku menyukaimu, hanya sekilas karna aku mulai benat-benar menyukaimu saat kita dipertemukan secara resmi pada penandatanganan kontrak dulu."

Kedua mata Kanya membulat, seakan-akan dia tidak percaya dengan apa yang barusaja didengar. Sedetik kemudian, Kanya terkikik dan melambai. "Kayaknya kamu perlu ambil S2 di prodi seni yang lain. Ng ... Bahasa terus lanjut ke theater? Aktingmu bagus, Dam."

"No, Key. Aku serius."

Sekarang kondisi tiba-tiba berubah ke hening. Kanya kaget? Tentu saja. Dia tidak menyangka kalau kakak tingkat yang selama ini selalu ada untuknya, selalu menjadi benteng pertahanan Kanya saat wanita itu justru diolok-olok sebagai pengikut LGBT, harus suka kepadanya.

"Tapi kamu tahu aku sukanya sama Edo."

Damian tersenyum manis. "Then what's the matter? Lagipula aku selalu bisa mendapat apa yang kumau." Sebelah mata Damian mengedip.

Lelaki itu terlalu santai.

Kanya memilih tidak meladeni omongan Damian lagi. Dia keluar dari mobil dengan pandangan was-was. Damian menyusul. Lelaki itu melangkah mendekati Kanya. Tanpa diduga, Damian membawa tubuh mungil yang memiliki harum ice coolin itu ke dalam pelukannya. Erat, sampai Kanya sendiri terkejut dan hampir jantungan.

"Dami! Lepas!!" Kedua tangan Kanya berusaha melepas pelukan Damian, tetapi sama saja.

"AEON belum menyuruhmu lembur, 'kan?"

"Lepasin dulu!"

Dilepasnya pelukan tersebut oleh Damian. Kanya merapikan blazer dan rok span-nya sambil celingukan was-was. Dua satpam yang menjaga pos kelihatan mencuri-curi lirik. Kanya mulai ketakutan.

Apa ada Edo? Apa Eko bisa melihat dari balik kaca-kaca gedung di atas sana?

Kedua mata Kanya memicing sengit. Selangkah dia maju mendekati Damian. "Sekali lagi kamu peluk aku di tempat umum, Dam, terutama di area AEON entah di depan atau di belakangnya, aku nggak mau ketemu sama kamu lagi! Inget itu!"

"Apa masalahnya?" Damian tersenyum tampan.

"Masalah karna orang yang gue suka adalah pemilik AEON ini, Dami!" Kanya melangkah pergi meninggalkan Damian yang masih tersenyum di tempat. "Hhrghh, bisa ainting gue lama-lama," gerutunya sambil jalan.

"Key?"

Tangan Kanya melambai tanpa menoleh sedikit pun. "Pulang! Kita ketemu nanti malem!"

Senyum di wajah Damian belum juga sirna. Justru, malam adalah waktu yang sangat ia suka untuk bertemu dengan Kanya. Wanita unik yang sekarang berubah jadi super cantik.

Kepala Damian menggeleng sambil menggigit bibir bawahnya, menahan senyum. Bule itu melangkah menuju JEEP sewaannya setelah memastikan Kanya masuk ke lantai lobi. Sekarang gilirannya kembali ke hotel.

Tetapi, saat JEEP hijau-abu itu melaju cepat meninggalkan AEON, Damian sama sekali tidak menyadari, kalau ada lelaki berkemeja kotak-kotak lembut yang berdiri menyandar pada body sedan putih, yang berusaha mengingat siapa pengendara JEEP barusan. Apakah ia mengenal bule tadi? Atau ia harus bertanya pada teman baiknya? Tentang siapa dan ada hubungan apakah Kanya dengan pengendara mobil JEEP tersebut.

***

Mbak Poik mendengkus. "Nggak nyangka aja aku, kok setega itu dia lempar aku ke meja Pak Edo. Kan udah aku bilang, skrip berita lainnya masih ada di tangan Caca si reporter tengil itu, kok dia malah nggak percaya sama aku?! Aku dikira bohong, gitu?! Pake segala lapor ke Pak Edo."

Kening Kanya mengernyit ketika melangkah mendekati mejanya. Suara keras sekaligus pilu dari Mbak Poik menguasai suasana lantai sembilan belas yang entah kenapa sunyi. Di samping meja Kanya, bergerombol semua staff dan crew. Kanya mendekat, bingung kenapa Mbak Poik sampai dikerumuni.

Kanya membelah kerumunan sambil mengibas rambutnya centil.

"Apa ini? Ada apa? Kok pada ngepung badan buletnya Mbak Poik?"

"Nih, Kanya udah dateng, Mbak. Siapa tahu aja dia bisa bantu Mbak Poik," seloroh salah satu staff yang mengenal Kanya, tapi Kanya sendiri belum mengenalnya.

Kedua alis Kanya bertaut. "Apaan??"

Bukannya menjawab, Mbak Poik justru menangis tersedu-sedu. Tubuhnya yang bulat berisi kelihatan seperti balon air yang disentuh menggunakan telunjuk. Memantul-mantul menggemaskan karena sedang sesenggukan.

Kanya merasa simpati. Dia menepuk-nepuk sebelah pundah Mbak Poik sambil mengedarkan tatapan bingung ke seluruh staff. Baru juga dia pulang dari acara makan siang dengan Damian, kejadian tak terduga terjadi.

"Mbak Poik kena semprot sama Pak Edo, Key," jelas Ainun, field produser berkulit tan karena terlalu sering berada di luar gedung.

"Kok bisa? Beraninya si Edo nyemprot Mbak Poik." Kanya ingin melabrak ke ruangan Edo, tapi staff lainnya mencegah kemudian mendorong tubuh Kanya untuk duduk di sebuah kursi samping Mbak Poik.

"Dengerin kita dulu, Key."

"Oh, oke oke, gue dengerin lo pada." Kanya mengangguk dua kali, membuka kedua telinganya lebar-lebar.

"Si Natalie sama cunguknya, Caca, bikin ulah lagi. Mereka berdua sering bikin ulah sama kita-kita. Skrip berita yang harusnya masuk meja riset, nggak kunjung dateng tapi dia asal main tagih aja. Giliran mau on air, si Natalie kelabakan, dong. Dia nuduh Mbak Poik ini-itu, nggak bener kalau kerja karna suka bilang skrip berita belum masuk, padahal seinget dia, dia udah masukin lewat Caca, Key. Ya ... seinget dia, sih. Kenyataannya mah belum," jelas Ainun.

"Terus, si Caca-Caca itu gimana?!" Kanya mulai meradang.

"Ya, dia 'kan cunguknya si Natalie, Key. Berlindung lah dia di ketek inangnya. Orang aslinya yang ngilangin skrip berita juga tuh reporter tengil. Alesan aja dia bilang udah kirim skripnya ke meja Mbak Poik."

"Terus Edo langsung ngamuk gitu aja?!"

Semua staff dan crew mengangguk sekali, takut.

"Sama Mbak Poik doang ngamuknya?"

Lagi-lagi para staff dan crew yang ada, mengangguk sekali. Tangis Mbak Poik kembali pecah. Kanya mendesis sambil menepuk-nepuk pundak Mbak Poik, menangkannya.

Dia baru sadar, kalau ternyata Natalie selalu bikin ulah di lantai dia bekerja. Natalie dengan cunguknya bernama Caca. Kanya baru tahu, kalau tidak ada kejadian ini, mana tahu dia sifat asli Natalie si tukang buat onar. Cantik-cantik kok resek.

Setelah dirasa Mbak Poik cukup tenang, Kanya memilih menaruh tas leopard-nya dan pergi ke ruangan Edo. Hati kecilnya tidak terima jika wanita tambun yang menjadi teman favoritnya di kantor itu diomeli oleh pemimpin redaksi yang terhormat.

Cih, Kanya merasa sedikit kesal dengan Edo jika memang benar lelaki itu asal main ngomel saja pada Mbak Poik.

"Edo!"

Pandangan Edo terangkat. Ia yang sedang memainkan ponsel, sedikit kaget melihat Kanya tiba-tiba masuk ke ruangannya, tanpa mengetuk dan asal nyelonong. Duduk begitu saja di kursi depan mejanya.

Edo menaruh ponsel di atas meja. "Kenapa, Key?"

"Lo ngapain ngomelin Mbak Poik? Lo juga mau gue omelin sama kayak lo ngomel ke bawahan lo?!"

Tiba-tiba wajah Edo berubah datar. Ia tidak suka situasi ini. Di mana seseorang yang bekerja di perusahaannya, membawa-bawa status pertemanan dan saling kenal antara mereka sebagai benteng pertahanan.

"Key, yang salah memang salah, jadi wajar aku marah dengan Poik."

Kanya memukul meja di depannya. Edo tidak kaget. Wanita itu memang sering sekali memukul benda apa saja yang ada di depannya saat marah.

"Lo jangan gitu, dong! Sebelum ngomel, lo juga harus tahu asal mula, penyebab, sampe siapa aja yang juga harus lo omelin. Jangan mbak Poik aja yang kena dampratnya."

Sebelah alis Edo terangkat. "Memang aku harus marah ke siapa lagi? Reporter lain?"

"Natalie, lah! Sama siapa itu, si cunguknya dia, Caca namanya."

Kedua tangan Edo terlipat di atas meja. Jujur, ia jadi tertarik kenapa Kanya sampai bisa membawa-bawa nama Natalie dan Caca yang Edo yakini, wanita itu belum cukup mengenal dua orang yang barusaja disebut.

"Kenapa sama Natalie? Caca juga."

"Dia ngadu masalah ini 'kan ke elo?"

Tanpa disadari, Edo menganggukkan kepalanya pelan. Ia sendiri juga baru sadar kalau Natalie memang mengadu perihal hilangnya skrip berita penting untuk sore nanti.

"Terus orang pertama yang lo omelin siapa? Mbak Poik selaku petugas riset, gitu?!"

Edo kembali mengangguk. "Itu memang salahnya."

Kanya memukul meja di depannya sekali lagi. "Lo beneran tahu itu kesalahan Mbak Poik?"

"Hm."

"Dari mana?"

Dan Edo terdiam cukup lama. Di titik tersebut, ia menyadari karahannya pada staff bernama Poik memang salah. Edo mengusap wajahnya kasar kemudian menghela napas berat.

"Do, gue kenal baik watak lo sejak kita SMP. Sejak kita bau kencur masih pake putih-biru. Dan barusan gue tahu lo ngomelin sama Mbak Poik masalah skrip hilang—yang sebenernya hilangnya bukan di meja Mbak Poik—" Kanya mendengkus. Kedua tangannya dilipat di depan dada lalu menyandar pada sandaran kursi. "Lo aneh, tahu? Gue jadi heran, gue kepo sama hubungan lo dan Natalie. Lo beneran suka sama dia sampe-sampe segitunya belain tuh cewek?"

"Key, aku minta maaf soal Poik, tapi bahasan kita nggak menjurus ke ranah itu."

"Itu bagian mana yang lo maksud?" Dagu Kanya terangkat, dan Edo benci saat wanita itu berani padanya.

"Soal Natalie dan aku, kita nggak ada hubungan apa-apa."

"Mungkin kalian emang nggak ada hubungan apa-apa. Tapi gue, sebagai orang yang udah cinta mati sama lo bertahun-tahun udah pasti curiga sama sesuatu dong, Do. Gue nggak bisa lo bego'in. Jadi, mending lo jujur sama gue." Kanya memajukan badannya, menatap Edo tajam. "Ada sesuatu yang lo sembunyiin?"

Lidah Edo kelu. Tidak bisa menjawab satu pun pertanyaan Kanya yang menurutnya cerdik untuk memojokkan.

Edo memilih berdiri, membuat Kanya bingung. Lelaki itu pergi ke pintu dan membukanya. Tentu Kanya langsung menyusul. Dia mencegah Edo keluar dari ruangan sebelum lelaki itu sudi menjawab semua pertanyaannya.

"Lo bohong sama gue kalo bilang lo nggak suka sama Natalie," desis Kanya sengit.

"Jangan tatap aku dengan kebencian, Key."

"Jawab, Do! Oh, atau lo cuma kasihan sama gue? Nggak enak karna tahu temen baik lo sendiri suka sama lo sedangkan perasaan lo ke Natalie?" Kanya terkekeh dan menepuk jidatnya sendiri. "Astaga, gue lupa. Selama ini emang lo yang paling banyak kasihani gue, ya?"

Edo tidak jadi keluar. Ia mengunci pintu ruangannya kemudian menyetel korden ruangan kacanya agar tertutup rapat tanpa sela.

Sesaat Kanya bingung, tetapi Edo lebih dulu mendorong tubuh Kanya untuk berdiri di samping meja kerjanya.

"Nggak pernah sedikit pun aku kasihani kamu, Key. Jangan mikir aneh-aneh."

"Terus? Ada niat lo jelasin apa yang selama ini disembunyiin? Gue taruhan, Eko, Aufar, Rezky juga nggak tahu tentang ini. Tentang lo aneh sama Natalie. Mata gue nggak buta, you idiot!"

"Enggak ada, Key. Enggak ada." Edo bergerak gelisah. Ia ingin membuat Kanya yakin kalau tidak ada sedikit pun yang ia sembunyikan, tetapi, hal itu tidaklah mudah.

Kanya melangkah maju, menghapus jarak antara dirinya dengan Edo. Kedua lobang hidung Kanya bisa mencium aroma citrus menyegarkan dari parfum Edo. Kerah kemeja lelaki itu dia tarik, sampai Edo membungkuk dan Kanya bisa dengan mudah membisikkan sesuatu di samping telinga Edo.

"Cepat atau lambat, gue pasti tahu tentang apa yang lo sembunyiin dari gue, Do. Dan kalau sampai gue denger semuanya dari mulut orang lain, bukan mulut lo. Gue harap lo bisa terima kehilangan satu teman baik sekaligus orang yang mencintai lo sejak SMP."

Kanya melepas cengkeramannya pada kerah Edo. Perlahan, setelah lelaki itu kembali menegakkan badannya, wajah Edo kelihatan pucat pasi.

Edo meneguk saliva sekali. Kepalanya mengangguk pelan. "I never lose you."

***

happy reading, ya!

jangan lupa klik

Author bertanya:
Apakah kalian menginginkan author punya instagram khusus untuk share semua spoiler, sepenggal dua penggal gambaran tentang kelanjutan tokoh2 author yang sudah berlalu? Kalau iya, author buat instagramnya. Kalau enggak, yaudah enggak, PD gila emberrrrrr 🤣

Author bercuit:
Wadaw, siapa tuhh orang yang pake kemeja kotak2. Tebak hayo tebak ......... 🙀
Ceirtanya makin gaje nggak, sih? Wkkw dinikmatin aja, ya. Dan bagi yg di bawah umur, maaf ya kalau author selalu menulis cerita adult, soalnya imajinasi author emang liar, sih 😭 (orangnya enggak lho, ya)
Jadi, jangan harap setiap karya author nggak ada 17+ nya. Jangan-Harap. Wkwk okey, sekian. Terima kasih dan selamat membaca ....

Ayo, vote juga jangan lupa ya wkwk ngejomplang sekali antara voters dan viewers. Tapi, author dah seneng banget sih ada reader2 yang setia, kalian bener2 maknyus! I love you!!! Ttttaranghaeee 😍

Continue Reading

You'll Also Like

203K 21.6K 38
[Completed] Kisah tentang kehidupan wanita dewasa dengan usia akan menginjak kepala tiga. Lingkungannya membuat Nimas Annastasia Putri mencari kebah...
139K 13.8K 36
ABC's Man Series Book 1 (Private) This story is about Aiden Masen Matthew. * Gabrielle Brooke, seorang fotografer yang terikat pekerjaan dengan seora...
25K 3.1K 32
This story contains: - Adult content and situations (21+) - Swearing - Subject matter that you may find offensive and disturbing - Toxic relationship...
131K 11.5K 22
(17/21+) [COMPLETE] dipublish 30 Januari 2019 - tamat 09 Mei 2020 POV 3 [ Darren & Keesha ] Sinopsis: Janji dari Lady Killer untuk membuat seorang wa...