Falling in Your Lies • why do...

By raaifa

5.7K 860 279

"Nice to meet you, I'm Sacharissa Rylance." "Corbyn Besson." "So, you're..." [ w r i t t e n i n b a h a s... More

before...
p r o l o g u e
chapter 1 : cinematographer's project
chapter 2 : a little tour
chapter 3 : actress
chapter 4 : magic word
chapter 5 : airplanes
chapter 6 : too fast
chapter 7 : the first
chapter 8 : you, again
chapter 9 : jealousy
chapter 10 : sweet weekend, at least
chapter 11 : classic you
chapter 12 : you've always got my back
chapter 13 : the first book
chapter 14 : hi from her
chapter 15 : circle
chapter 16 : in a rush
chapter 17 : weekend
chapter 18 : beautiful star
chapter 19 : from the bottom of heart
chapter 20 : the party gone wrong
chapter 21 : break up
chapter 22 : (almost) midnight driving
chapter 23 : goodbye, Princeton
chapter 24 : keep sneaking inside my mind
chapter 25 : the truth
chapter 26 : sorry
chapter 28 : liar
chapter 29 : carissa's final decision
chapter 30 : under the moonlight confession
e p i l o g u e
something special called bonus chapter
...after

chapter 27 : leave the cellphone

82 18 2
By raaifa

-Corbyn POV-

Aku menatap lurus jalanan yang penuh sesak di hadapanku. Pikiran untuk kembali dan membatalkan janji yang sudah kubuat sempat terlintas di dalam pikiranku. Tetapi aku kembali meyakinkan diri untuk terlebih dahulu melaksanakan niatku, terlebih lagi jika hal tersebut didukung perjanjianku bersama Daniel. Setelah itu baru aku bisa bertemu dengan Carissa di tempat Silena.

Sekarang, tepat satu hari setelah aku berbicara dengan Daniel, aku memutuskan untuk bertemu dengan Tori dan menyelesaikan semua masalah kecil yang mengganjal di hatiku. Selain agar masalah ini cepat selesai, seingatku besok Tori harus kembali melanjutkan tournya. Aku tidak bisa menyia-nyiakan waktu lagi.

Alasan lain yang lebih mendorong niatku adalah fakta bahwa aku akan pergi ke rumah Silena untuk menonton premiere filmnya dan aku akan bertemu dengan Carissa di sana. Silena meneleponku kemarin untuk memberitahuku bahwa film yang kami buat telah selesai sepenuhnya dan ia memiliki ide untuk mengadakan semacam premiere. Hal itu awalnya tidak membuatku tertarik sama sekali, sampai ia bilang kalau dirinya akan mengundang semua yang terlibat. Barulah saat itu aku menyetujui untuk datang.

Aku punya kesempatan untuk bertemu Carissa dan berpikir untuk menyelesaikan masalahku dengannya juga. Aku tidak bisa menunda lebih lama lagi.

Sampai di tempat yang kujanjikan, aku memarkirkan mobilku. Aku tidak melihatnya di duduk di luar kedai kopi, kuasumsikan kalau ia belum datang. Aku mematikan mesin mobil dan segera turun menuju ke dalam kedai untuk mengantri dan memesan.

Setelah mendapatkan segelas minuman di masing-masing tanganku, aku menempatkan diriku di tempat duduk tepat di sebelah jendela. Lagi-lagi aku memikirkan Carissa. Mengkhawatirkan dan bertanya-tanya tentang apa yang sedang ia lakukan sepertinya ini akan menjadi rutinitas baruku mulai sekarang. Pikiran itu selalu muncul entah dari mana asalnya.

Aku merogoh saku celana jeansku untuk mencari ponsel. Setelah memutuskan kalau aku harus berhenti memikirkan Carissa dan lebih baik segera menghubunginya. Tetapi ponselku tidak ada di sana, sepertinya aku meninggalkannya di rumah.

Lebih dari 15 menit aku menghabiskan waktuku hanya dengan memikirkan sesuatu yang berhubungan dengan Carissa mulai dari A sampai Z. Aku sudah menghabiskan setengah bagian kopiku dan Tori belum juga datang. Mungkinkah ia melupakan janjinya?

Sebaiknya tidak.

Sebuah sling bag mendarat di meja dengan tangan seorang wanita bercat kuku biru muda di atasnya, Tori. Ia duduk di hadapanku, napasnya sedikit memburu. "Kau sudah lama menungguku?" ia bertanya. "Maaf, kukira aku akan sampai dalam 15 menit. Tetapi ternyata jalanan sangat macet. Aku jadi sampai 2 kali lipat lebih lama dari waktu yang kuperkirakan."

"Aku belum lama."

Ia mengulas sebuah senyuman. "Apa kabar?" sapanya.

"I'm well. You are?"

"Me too," balasnya lantas menyeruput kopi dalam gelas. "Kau tahu, ketika kau memintaku datang ke sini aku sedikit—um..."

Aku tersenyum. "Aku juga terkejut kau menyetujuinya dan datang ke sini," jawabku. "Kupikir kau tidak akan datang."

"Aku sudah menyetujuinya, mana mungkin aku tidak akan datang."

Aku tersenyum, lagi.

Ia meminum kopinya lagi. "Apa yang ingin um... kau bicarakan?"

"Aku tidak yakin, sebenarnya," kataku jujur. "Hanya saja, aku—"

"It's not about getting back together, isn't it?"

"No, of course it's not." Aku sudah menyadari dan hampir merasa yakin kalau perasaanku untuk Tori mulai memudar sejak Carissa datang ke Princeton.

"Good to hear," gumamnya.

"Kau tahu, aku merasa tidak enak karena sikapku padamu malam itu. Aku membentakmu dan—ya, aku tidak perlu mengatakan ini. Tapi aku benar-benar kesal dan kacau saat itu. Aku sadar, aku tidak seharusnya melakukan itu padamu."

Tori terkekeh. "Kau memang berbeda," ujarnya sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Maksudku, in the positive way, jangan salah sangka."

Aku menghembuskan napas yang tanpa kusadari telah tutahan sejak tadi. Ini tidak secanggung yang kubayangkan, aku terlalu berlebihan.

"That's not a problem, I'm okay. You drunk and I already know you didn't mean it." tambahnya. "Mungkin memang ini yang seharusnya terjadi. There's parting in every meeting, right? But don't worry, we're still can be friends. You can rely on me dan kuharap sebaliknya juga."

Aku tersenyum. "Aku minta maaf," ujarku, bingung mengapa aku terus mengatakan hal itu.

"Kau tidak perlu minta maaf," ujarnya. "Aku juga membuat kesalahan."

Aku tidak tahu harus menjawab apa, aku menunggu ia melanjutkan kalimatnya.

"Seharusnya aku tidak membicarakan tentang film itu di pesta," jelasnya. "Itu masalah pribadi, benar, 'kan? Aku tidak seharusnya membicarakan hal seperti itu di depan umum. Kau memang seharusnya marah."

"You're being more wise now," gumamku.

"Really?" ia terkekeh. "Bet that's just your feeling."

Aku ikut tertawa bersama Tori.

"Baiklah, kalau begitu aku—"

Suara dering ponsel menginterupsiku dan kami saling menatap.

"Ponselku tertinggal," ujarku membuat Tori langsung membuka tasnya untuk mengambil ponsel dan menyuruhku menunggu sementara ia menjawab panggilannya.

"Ada apa?" tanyaku melihat perubahan raut wajah Tori ketika ia selesai dengan panggilannya.

"Bukan masalah besar," jawabnya. "Seperti biasa, ibu menyuruhku melakukan sesuatu."

"Kau yakin itu bukan masalah besar?"

Ia mengangguk. "Tidak, aku serius. Ibuku hanya memintaku membeli beberapa obat."

"Baiklah," gumamku sambil berusaha mengingat di mana apotek terdekat. Hasilnya tidak ada. "Tapi... jarak dari sini menuju apotek lumayan. Aku akan mengantarmu."

***

"Terima kasih, lagi," kata Tori ketika aku menghentikan mobilku di depan rumahnya. "Aku selalu menyusahkanmu."

Aku tersenyum. "You can rely on me, remember?"

"Kuharap ini yang terakhir," kekehnya. "Terima kasih—kali ini untuk semuanya."

Aku mengangguk dan tersenyum selagi ia turun dari mobilku. Ia berdiri di dekat pagar rumahnya hingga aku melajukan mobilku kembali.

Masalahku dengan Tori sudah selesai dan rasanya seperti sebuah beban baru saja diangkat dari pundakku. Aku merasa begitu lega, meskipun baru menyelesaikan satu dari sekian masalah yang ada di kepalaku beberapa waktu terakhir. Andai menyelesaikan masalah perasaanku pada Carissa semudah ini, aku tidak akan menundanya lagi.

Aku segera menuju ke rumah Silena, tidak sabar untuk—premiere filmnya dan—bertemu Carissa.

"Hei, dari mana saja kau?" ujar Jack ketika aku tiba dan duduk di sebelahnya.

"Aku—"

"Baiklah, kita mulai saja sekarang," Silena menghentikan ucapanku. Ia mengklik ikon play melalui laptopnya yang tersambung pada protektor kemudian menempatkan dirinya di sebelah kekasihnya.

14 setengah menit filmnya diputar dan yang kulakukan hanyalah bertanya-tanya di mana Carissa. Aku tidak melihat dirinya maupun Daniel. Mereka seharusnya ada di sini juga.

Aku berkali-kali berupaya menanyakan keberadaannya pada teman-temanku, baik ketika filmnya masih diputar maupun sekarang, setelah filmnya selesai diputar. Benakku dipenuhi semua tentang Carissa, sampai-sampai aku tidak mengikuti alur cerita filmnya. Yang lebih parah lagi, ketika Zach memaksa kami semua untuk memberikan ulasan atas filmnya. Aku hanya gelagapan dan mengatakan semuanya bagus.

Aku tidak pernah mendapat kesempatan untuk menanyakan keberadaan Carissa. Cerita saat memasang proyektornya, kabel speakernya, kuenya, semua pembicaraan mengenai hal itu selalu menyelaku.

Setelah beberapa jam berada jauh dari rumah, sekarang aku baru mengumpat karena kebodohanku meninggalkan ponsel. Aku tidak mungkin meminjam ponsel temanku hanya untuk menghubungi Carissa dan menanyakan keberadaannya.

"Coba saja Carissa ada di sini," Silena mengambil sepotong kue lagi.

"Carissa dan Daniel," Jonah mengoreksi.

"Ya, itu maksudku," balas Silena. "Mereka satu paket."

"Lalu kenapa mereka tidak datang?" tanyaku mengambil kesempatan.

Zach langsung menatapku. "Kupikir justru kau adalah orang pertama yang mengetahui hal ini."

"Tahu apa?"

"Carissa pulang ke Denver hari ini," jelas Silena.

"Kau tidak serius, 'kan?"

"Tentu saja ia serius," timpal Jack. "Daphne juga kembali ke Denver hari ini, ia bilang penerbangannya pukul 5."

Jonah mengangkat sebelah alisnya. "Uh, siapa Daphne?"

"Itu tidak penting," ujarnya, tapi aku bisa melihat wajah Jack bersemu merah. "Kupikir Daniel juga tidak datang karena mengantar Carissa ke bandara—kau tahu, seperti saat pertama kali Carissa datang."

Carissa pulang ke Denver hari ini dan ia bahkan tidak memberitahuku—bahkan Daniel tidak memberitahuku?

Tunggu, ponsel.

"Sorry, guys," kataku cepat. "Aku teringat sesuatu. Aku harus pergi. Terima kasih kuenya."

Aku tidak menunggu jawaban. Beranjak dari rumah Silena, sesegera mungkin mencapai dan menghidupkan mesin mobil, itulah tujuanku. Berharap aku menemukan sesuatu dalam ponselku, aku menekan pedal gas kuat-kuat, berusaha sampai di rumah secepat yang kubisa.

Jam digital pada mobilku menunjukkan 3.55 PM, aku masih punya waktu sebelum penerbangannya. 15 menit untuk mencapai rumahku serta mengambil ponsel dan sisanya untuk pergi ke bandara. Meskipun ini musim panas, aku masih mengharapkan kemungkinan cuaca buruk tiba-tiba saja terjadi supaya Carissa menunda penerbangannya. Setidaknya aku harus melihatnya, aku harus bertemu dengannya.

Telapak kakiku menekan pedal gas lebih kuat lagi. Tetapi keberuntunganku sepertinya sedang berbading terbalik dengan keinginanku. Tepat dua blok setelah itu, jalanan di hadapanku macet dan beberapa meter di depannya orang-orang berdesakan.

Garis polisi.

"Permisi," aku keluar dari dalam mobil dan menghentikan seorang lelaki paruh baya yang sedang berjalan kaki. "Ada apa di sana?"

"Sebuah mobil baru saja menabrak pembatas jalan."

"Baiklah, terima kasih banyak."

Sial, kenapa ini harus terjadi sekarang? Kenapa mobil itu tidak menabrak pembatas jalan kemarin saja?

Tidak ada yang bisa kulakukan selain kembali ke dalam mobilku. Jangankan untuk memutar balik dan mengambil jalan lain, mobilku bahkan tidak bisa bergerak karena terjebak di antara kemacetan New Jersey. Sisa 10 menit perjalananku berubah menjadi dua kali lebih lambat.

Sampai di rumah, aku tidak mematikan mesin mobilku. Aku turun dan langsung menuju ke dalam kamar tidurku untuk mengecek ponsel.

Aku menemukannya di antara buku-buku cerita milikku yang membuatku semakin terburu-buru karena teringat Carissa.

Ponselku mati.

"Corbyn?" suara ibuku berteriak.

"Ya?"

"Kau baik-baik saja?"

"Ah, ya," balasku. "Hanya sedikit terburu-buru karena melupakan sesuatu."

Menunggu ponselku kembali menyala setelah menghubungkan pengisi daya, kakiku tidak bisa diam. Sementara pikiranku sibuk memikirkan bagaimana jika baik Carissa maupun Daniel tidak memberitahuku. Apa mungkin Carissa sebegitu marah padaku hingga—

Notifikasi pesan masuk.

From: Carissa Rylance
I'll flight to Denver in 2 hours.

2.47 PM tertera di sana, menunjukkan waktu ketika pesan dari Carissa sampai padaku.

Aku sudah mencapai pintu depan untuk kembali ke dalam mobilku dan pergi ke bandara untuk menyusul Carissa saat aku berhenti untuk melihat jam pada ponselku, 4.24 PM. Kalau penerbangan Carissa akan dilangsungkan dalam waktu 2 jam teehitung mulai saat Carissa mengirim pesan itu, maka sekarang aku hanya punya waktu sekitar 30 menit. Sementara bandara 1 jam perjalanan jauhnya dari tempat tinggalku. Semuanya akan percuma ketika aku tiba di bandara.

Aku melanjutkan langkahku menuju ke mobil, bukan untuk menyusul Carissa, melainkan untuk mematikan mesin. Duduk di dalam mobil, aku menyempatkan diri untuk mengecek jadwal penerbangan di website bandara. Hasilnya, baru setengah perjalanku menuju bandara dan Carissa sudah terbang ke Denver, nihil.

Pilihanku hanya tinggal satu, mengetikkan pesan singkat untuk Carissa.

To: Carissa Rylance.

lease make sure u have a save flight♡
-sent
Hope you'll come back at the end of summer for the movie event.
-sent
I love you, always.
-deleted

***


[a/n]: tamat engga hayolo.

Continue Reading

You'll Also Like

8.4M 519K 33
"Tidur sama gue, dengan itu gue percaya lo beneran suka sama gue." Jeyra tidak menyangka jika rasa cintanya pada pria yang ia sukai diam-diam membuat...
5.2M 102K 7
Di lamar dengan cara romantis, mungkin menjadi impian banyak perempuan. Itu juga yang diharapkan oleh Kara. Sampai impiannya menjadi kenyataan, ia di...
883K 42.6K 40
Alzan Anendra. Pemuda SMA imut nan nakal yang harus menikah dengan seorang CEO karena paksaan orang tuanya. Alzan kira yang akan menikah adalah kakek...
1.6K 121 14
pernahkah kalian mendengar plastic Surgery atau dikenal dengan istilah operasi plastik? ya, operasi plastik untuk mempercantik diri. Dan ini dialami...