• A Believer •

By ddrddr_

90.6K 8.9K 2K

(17+) [COMPLETE] dipublish 8 November 2019 - tamat 10 Desember 2019 POV 3 [ Edo & Kanya ] "Sebenarnya tujuanm... More

1. Setan Gimbal
2. Confession
3. Gorgeous Kanya
4. Kebohongan kecil (?)
5. Badut cantik AEON TV
6. It Gets Harder Everyday
7. Moron
8. Prinsip
9. Also Known As ....
10. Terbalaskan (?)
11. Sikap Palsu 1
12. Sikap palsu 2
13. Got a Lot of Problems
14. Beginning Problem
15. Dendam (?)
16. Hati yang tak terbalas
17. Kesalahan Sejak Awal
18. Berpisah
19. Menuju Keputusan
20. Fakta Penyelesaian
21. Well Done

extra part of #FLTR

11.3K 455 18
By ddrddr_

Josse Nickolas Natael's pov
The one and only funny moment I keep on my mind, is the biggest thing I hate.

Tahun berlalu secepat Tuhan menghendakinya. Seperti gasing yang berputar setelah dilempar turun kemudian naik secara berkala, kehidupanku juga menyimpan rasa suka dan duka bersama Kirana.

Beberapa tahun silam, teringat ketika aku memohon maaf pada isteriku di atas ranjang. Meminta untuk dia memaafkan segala kebohongan yang sudah kuperbuat padanya. Aku terus memikirkan tentang nasihat Kirana hingga aku demam dan dilarikan ke rumah sakit, tidur di atas ranjang keras dengan selang infuse menempel punggung tanganku selama beberapa hari. Aku berpikir keras bagaimana mengaplikasikan semua nasihatnya. Upayaku untuk menjadi seorang suami dan Ayah yang baik bukanlah sebuah upaya belaka. Sampai dengan beberapa bulan setelah berpikir keras, aku akhirnya menemukan ide untuk membangun sebuah cerminan diri sebagai bentuk garis pembatas.

Seperti sepenggal lirik lagu dari Bryan Adams, everything I do, I do it for you, menjadi sebuah mantra untuk rasa cintaku pada Kirana. She wants me to change, better than the past, and I do what she wants. Aku merubah diriku menjadi jauh lebih baik. Gaya hidup yang sehat dan jadwal kerja teratur, aku merubahnya mulai dari nol dan Kirana selalu berada di belakangku. Dia mendukung apa yang kulakukan, dia mengijinkan apa yang kupinta dengan syarat aku harus selalu bercermin pada apa yang sudah kubangun setelahnya.

If you want something to fun, to relax, you have to build that funny thing you can build.

... Sesuatu yang bisa buat kamu bercermin. Kalau itu buruk, kamu bisa melihat risikonya. Then you have no time to do it.

Dan sekarang, kuperkenalkan Carden sebagai nama dari sebuah club yang kudirikan secara tertutup. Sebuah cerminan diri untuk aku melihat ratusan risiko yang akan kutanggung jika sampai melakukannya. Carden, yang memiliki arti benteng yang gelap, berhasil kudirikan setelah berpikir keras tentang nasihat Kirana. Segala kelakuan gelap yang akan mengundang nafsu banyak orang bejat ada di club tersebut. Bebas, semuanya berkelakuan bebas dan buas.

Di balik meja ini, aku hanya duduk memantau sambil bercermin. Kala aku menjadi orang gila yang bergantung dengan beraneka ragam jenis pil, yang akan kudapatkan hanya satu, kehancuran. Lalu saat menatap ratusan risiko lain dari perbuatan bejat di dalam Carden, yang kudapatkan juga hanya satu, kehancuran yang sama.

"Isterimu baik?"

Aku tersenyum lebar, mempertemukan muka gelasku dengan gelas orang yang duduk di seberang meja. Kami meminum dry martini di gelas masing-masing sebagai pembuka obrolan.

"Yeah, dia baik. Everything was under controll except one, when Dean asked us for give him a sister." Bibirku kembali tersenyum mengingat wajah manis Dean yang ingin punya adik.

Sam terkekeh pelan. Dia kembali meneguk martininya sampai tandas. Kutatap lelaki berpakaian serba hitam di depanku. Kondisinya kelihatan jauh lebih baik setelah berhasil menikahi Licu setahun lalu.

"Bagaimana isterimu?" tanyaku balik.

"Not fine at all. Acara ngidamnya berantakan. Aku selalu gagal memberi apa yang dia minta. Geez, bro, lagi pula Bandung bukan tempat di mana ada orang jual putu ayu jam empat pagi." Sam menggelengkan kepalanya pusing, sementara aku tertawa keras.

"Tipikal, Sam. Aku beruntung Anna bukan wanita yang mudah minta ini-itu. Tapi Licu?"

Lirikanku dibalas dengan tatapan 'I know, don't say it' oleh Sam. Aku semakin terbahak melihat wajah prihatin temanku. Di sebuah ruangan sederhana yang penuh oleh peredam ini, aku dan Sam mulai bercerita banyak hal. Sampai dengan membicarakan masa lalu kelamku yang sebenarnya lucu jika diingat, sekaligus kubenci sepanjang hidup. When I was called as a user.

Aku dan Sam kembali dekat setelah hubunganku dan Kirana membaik. Sam meminta maaf padaku atas semua yang sudah dia lakukan—yang menurutnya itu salah—dan begitu juga sebaliknya, aku meminta maaf padanya dengan niat yang sama. Kami berdua sering mengunjungi club masing-masing. Setelah keuangan Sam membaik secara teratur, lelaki itu membuat gerakan besar untuk mengambil alih kepemilikan Fantasi.

Musik samar-samar masih terdengar. Dua lapis peredam yang sengaja kupasang mengelilingi ruanganku, masih belum bisa mengalahkan suara menghentak dari musik di luar sana. Bahkan, martini mulai membuat kepala Sam mengangguk mengikuti irama samar-samar tersebut. Dia memberi jeda untuk mengangguk-anggukkan kepalanya seirama musik di sela-sela obrolan kami.

"Diperbolehkan untuk berjoget semaumu, Sam," kataku mulai memancing Sam yang sudah mirip cacing kepanasan.

Dia menggeleng mantap. Aku tahu, gelengan itu terasa sangat menyiksa karna tidak sejalan dengan isi hati.

"Di rumah, isteri dan calon anakku menunggu. Jadi jangan meracuniku! Club-mu punya banyak penari telanjang, kalau sampai salah satu ujung jariku menyentuh seinci saja dari kulit wanita-wanita telanjang itu ... kuledakkan club ini seisinya," ucap Sam panjang lebar, mulai melantur karna mabuk.

Aku hanya mendengkus pelan menertawakannya. Tidak kujawab semua ocehan melantur itu karna aku sendiri juga tidak mau menjerumuskan Sam ke dalam lobang hitam buatanku. Carden kubuat untuk orang-orang bejat yang keukeuh mencari kebebasan. Jika mereka bisa sampai datang kemari, itu artinya keinginan untuk eksplor ke dunia gelap sangatlah besar. Aku membiarkan mereka untuk tenggelam, bebas sebebas yang mereka mau. Sebagai bentuk untuk mencari titik puas yang sulit didapatkan. Beruntung bagi mereka yang bisa sadar setelah bosan menikmati rasa puas, menikmati kekalahan saat berkali-kali gambler, atau menikmati kegersangan gairah saat mereka berulang melakukan sex. Mereka akan sadar cepat atau lambat, karena sesuatu yang terasa begitu memuaskan justru sangat berpotensi untuk memberikan rasa sadar yang tinggi.

They will feel so sorry of what they've done here. Sepertiku, saat aku justru merasa sangat puas dengan hidupku yang penuh racun, justru aku merasa sangat sadar, aku akan hancur dalam waktu singkat saat memilih untuk berhenti di lain waktu.

***

Suara berteriak yang khas dengan bocah berumur enam tahun, terdengar dari kejauhan saat aku melangkah memasuki rumah. Dean berlari dari lantai atas demi menyambutku. Sehelai jubah terikat di lehernya. Aku bertaruh dia sedang memainkan peran superhero dengan pedang panjang yang aslinya terbuat dari paralon.

"Hap!" Aku menangkap tubuhnya dan membawanya ke gendongan.

Dean tertawa keras. Dia memelukku sangat erat seperti koala jantan yang merindukan induknya.

"Mana Ibu?"

"Di kamar. Ibu bilang lagi pusing. She mad at you, Yah," katanya tersenyum lebar.

"Oh, ya? Kenapa marah?"

"Karna Ayah sibuk ngurusin gudang tikus, bukannya rumah sendiri," celoteh Dean yang kuyakini hanya dia copy dari ucapan Kirana.

Aku tersenyum menutupi apa yang dimaksud gudang tikus. Kubawa Dean pergi menuju kamarku, menemui Kirana yang katanya sedang pusing akibat perbuatanku.

Kunyalakan lampu kamar yang awalnya mati. Aku menutup pintunya pelan saat kulihat Kirana memang sedang tertidur di ranjang kami. Dean yang berada dalam gendonganku memilih untuk menutup mulutnya rapat-rapat. Dia sudah hapal bagaimana amukan Kirana jika diganggu saat tidur. Dan di rumah ini, hanya aku yang berani membangunkan Kirana dan menerima dengan pasrah segala kekesalannya yang terpaksa harus dibangunkan dari tidur lelap.

Perlahan aku duduk di pinggiran ranjang. Tubuh Dean menegang dalam gendonganku. Dia mendelik, takut saat aku mengangkatnya untuk duduk di atas pinggang Kirana.

"Jangan! Ayah, jangan!" paniknya yang kelepasan bersuara keras.

Aku segera menutup mulut Dean saat tubuh Kirana bergerak pelan di dalam selimut. Wanita itu akhirnya terbangun dengan wajah super sembab. Keningnya mengernyit, tanda tidak suka acara tidurnya diganggu. Melihat Kirana sudah memasang wajah siap mengomel, Dean memeluk leherku erat, takut jika Kirana marah karna terbangun oleh suara Dean tadi.

"Ibu ...," rengeknya ketakutan.

"Rrrgh!! Sakit, sakit!" keluhku membuat Dean menatapku bingung. Dia ingin bertanya kenapa aku menggeram sakit tetapi mulutnya bungkam setelah tahu Kirana marah.

"Baru pulang kamu, huh?! Udah tahu hari libur bukannya ngurusin rumah, malah kelayapan!"

Kirana mencubit pahaku lagi, keras. Spontan aku berusaha melepaskan cubitannya itu sambil menggendong Dean. Putera tampanku ini bahkan ketakutan melihat Kirana marah.

"Maaf, ah ... a-aku minta maaf, jangan dicubit, sakit!" kataku sambil mendesis, membuat Kirana mengalah dan memilih untuk memukul pahaku sekali, tetapi keras.

Lagi-lagi aku mendesis merasakan panasnya pukulan Kirana. Kubenarkan posisi Dean untuk duduk di pangkuanku, agar Kirana berhenti menyiksa pahaku. Dean menatap Kirana takut. Dia sudah tahu bagaimana Kirana akan marah besar melihat dari ekspresinya.

"Ibu ... hiks, Ibu," rengek Dean mulai menghentikan amukan Kirana. Wanita itu menatap tak enak hati pada putera kami.

"Gara-gara kamu!" rutuk isteriku kemudian meminta Dean untuk dia gendong.

Aku terkekeh pelan begitu melihat Kirana mulai menenangkan Dean tanpa banyak bicara. Dia tidak mau terlihat begitu memanjakan anak kami. Dean harus tumbuh jadi anak yang tahu aturan, dia harus memiliki rasa takut dan hormat pada kedua orang tuanya. Tetapi, bukan berarti bocah itu akan takut sepenuhnya pada kami.

Kirana hanya menepuk-nepuk punggung Dean beberapa kali, lalu mengusapnya pelan. Membuat Dean mulai berhenti merengek. Bocah itu diam sambil menatapku dalam. Seperti meminta untuk diselamatkan dari kungkungan Kirana. Hatiku tergelitik melihat pemandangan itu, apa sebegitunya dia parno dengan kemarahan Kirana saat bangun tidur?

"What's wrong?" tanyaku pada Dean. Bocah itu merentangkan kedua tangannya, meminta berpindah gendongan lagi kepadaku, aku menerimanya.

"Dean nggak mau ganggu Ibu tidur siang," ucapnya manis sekali.

Kirana membelai puncak kepala Dean lembut, penuh kasih sayang. Setelah itu Kirana memukul sebelah lenganku keras, justru membuatku terkekeh bukannya memohon ampun.

"Aku minta maaf, tadi Sam datang ke Carden—"

"Sam terus yang jadi benteng, itu alesan kamu aja yang mau nonton tarian erotis di club-mu!" desis Kirana memotong ucapanku.

Spontan kepalaku menggeleng tegas, kedua mataku melotot. Aku menutup kedua telinga Dean menggunakan kedua tangan. Kirana berdeham melihat itu. Dia tersenyum manis pada anak kami kemudian menaruh telunjuknya di depan mulut, memberi kode pada Dean untuk diam di tempat.

Memang, sejak aku melegalkan lima wanita yang sudi meliuk-liukkan badannya tanpa sehelai benang di hadapan banyak orang, Kirana jadi over sensitive.

"Demi Tuhan, Anna. Tadi ada Sam yang berkunjung ke Carden."

Mata Kirana memicing menatapku. Sesaat dia melirik ke Dean lagi, yang dengan polosnya menurut untuk duduk diam di pangkuanku.

"Inget ya, Mas! Carden itu kamu bangun biar kamu sadar! Biar kamu bisa ngaca dan nggak ngelakuin hal edan lagi. Awas sampe aku tahu kamu ada main sama semuanya yang ada di Carden ...." Tangan Kirana bergerak dari leher sisi kiri ke sisi kanan. Melihat gerakan itu, aku meneguk saliva susah payah. "Habis kamu, Mas!"

Kepalaku mengangguk cepat, berkali-kali.

***

Hari libur menjadi satu-satunya alasan aku tidak menginjakkan kaki ke Anderson Group. Aku sudah bukan lagi Nickolas yang workaholic, aku selalu memprioritaskan keluarga kecilku setelah kejadian enam tahun lalu. Di mana semuanya hancur setelah Kirana tahu aku membohonginya.

Dan sekarang, seperti yang sudah terjadi selama beberapa tahun belakangan, aku menggunakan hari libur sebagai quality time bersama Kirana dan Dean. Kami biasanya punya jadwal travelling ke berbagai tempat hiburan, atau sekadar menonton film jeli yang bisa bicara di bioskop terdekat. Dan hari ini, aku memilih untuk memandikan Nico bersama Dean. Membiarkan bulu anjing itu lepek dan diselimuti busa tebal.

"Ayah! Ayah! Ada Bibi di pintu belakang!" teriak Dean setelah memeriksa siapa yang mengetuk pintu besi belakang rumah.

Mendengar laporan Dean, aku segera mengambil tali yang menyambung pada kalung Nico untuk kuikat di sebuah pasak. Ini adalah kebiasaan setiap Bi Yun datang ke rumah, beliau yang sudah semakin tua justru semakin takut dengan keberadaan Siberian kami, tetapi aku sungguh memakluminya.

Setelah memastikan Nico terikat, aku pergi membukakan pintu besi belakang rumah. Kedua mataku membola melihat Bi Yun meringis menahan beban berat di kedua tangannya. Spontan aku mengambil alih belanjaan Bi Yun di pelukannya.

"Inget umur, Bi. Sudah tua jangan bawa-bawa beras lima kilo," gumamku sambil menggelengkan kepala heran.

Bi Yun terkikik kemudian ikut masuk ke rumah. Beliau memang masih rutin untuk datang ke rumah setelah mencuci baju tetangga. Kutaruh beras lima kilogram tadi di sebuah kursi santai samping kolam renang. Dean masih memandikan Nico dengan hanya mengenakan celana kolor saja, bocah itu memang mencari-cari kesempatan untuk main air setiap ada jadwal untuk memandikan anjing kami.

"Mbak Anna pergi?" tanya Bi Yun menyadarkanku.

"Oh? Nggak, dia di dapur, Bi."

"Masak?"

Kugaruk sebelah pelipisku pelan. Belum sempat aku menjawab, Kirana kelihatan berjalan ke halaman belakang. Kedua tangannya penuh membawa nampan berisi empat gelas orange juice. Oh, dia sudah tahu kapan Bi Yun datang.

"Rrgghh!!"

Kedua bahuku mengedik terkejut mendengar teriakan Kirana. Baju wanita itu tiba-tiba basah di bagian depannya. Melihat pemandangan mengerikan itu, aku meringis melihat Dean yang juga memperlihatkan wajah terkejutnya. Tentu aku tahu siapa pelaku yang membasahi baju isteriku.

"O-ow, you got a problem, kid," seruku membuat Dean melempar selang di genggamannya. Aku terkekeh.

"Dean ... Ibu jadi basah kalau gini!" gerutu Kirana, dia melanjutkan langkahnya untuk menaruh nampan tadi ke atas kursi santai, bergabung bersama beras.

Bi Yun juga terkekeh melihat Kirana terus cemberut di sepanjang langkahnya. Wanita berumur itu memilih menggelengkan kepalanya beberapa kali kemudian memasuki rumah, memasak sesuatu untuk makan malam kami.

"Sini kamu!" seru Kirana mencoba menangkap Dean.

Mereka berdua kelihatan kejar-kejaran. Kirana merasa dia sudah ganti baju setelah ikut memandikan Nico juga tadi, dan Dean yang menikmati menjahili Kirana dengan selang airnya. Aku melihat pemandangan itu sambil tersenyum. Pemandangan yang tidak akan aku dapatkan jika pil warna-warni itu masih kukonsumsi.

Keluarga adalah yang terpenting, begitu kata Ibu dulu setelah tahu hubunganku dan Kirana membaik seperti sedia kala.

"Ayah! Ibu nakal, Ayah! Ayah!!"

Kedua mataku mengedip beberapa kali. Memfokuskan pandanganku pada Kirana yang tengah mengangkat tubuh Dean. Wanita itu berpura-pura ingin melempar Dean ke kolam renang.

Aku terkekeh. Melangkah mendekati mereka. Bukannya menyelamatkan Dean dari kekejaman Kirana yang hanya pura-pura, aku memeluk kedua nyawa itu erat.

Sesaat Kirana termenung dalam pelukanku. Bahkan Dean juga bingung, tetapi aku tetap memeluk mereka erat seperti tidak ada hari esok untuk melakukannya lagi.

"Aku sangat mencintai kalian," gumamku sayang.

"Dean juga!"

"Kalian pikir Ibu nggak sayang juga?" tanya Kirana dalam dekapanku.

Aku tersenyum dengan kedua mata memejam. Menikmati indahnya hidupku setelah memiliki Kirana dan Dean. Dua nyawa yang melengkapi hari tuaku esok. Dua nyawa yang mampu membuatku tersenyum sepanjang masa.

"Anna, how much do you love me?" tanyaku meniru apa yang selalu dia tanyakan setiap kami selesai bercinta.

"How long I live, Nickolas Natael?" jawab Kirana juga ikut meniru jawabanku.

Of course, you will always love me as much as I always love you – Josse Nickolas Natael.

***

Trully End•

Terima kasih banyak 🥰 kalian sudah menemani Nickolas dan Kirana selama dua bulan (entah lebih atau kurang)
Author sangat berterima kasih sekali, kalian sudah mendukung semua karya author, dan itu benar-benar amazing! Love you! 😽

Sekarang, author akan mempersembahkan sebuah cerita tetang wanita yang selalu mempercayai perasaannya. Membuktikan segala gundah gulana yang selalu hadir setiap kali menemui lelaki itu. Who is he? Who is the lucky man? Scroll up, and go read the beginning of A Believer.



Continue Reading

You'll Also Like

901K 71.7K 52
By the way i feel bad, i never ask how your life was going
569K 45K 49
"Kalau sama kamu sakit, tapi kalau nggak sama kamu jauh lebih sakit lagi." Bian Sastrowardoyo-putra bungsu dari keluarga konglomerat Sastrowardoyo-me...
585K 48K 32
Raline Arsjad, yang tadinya bertekad untuk husbandfree, dipertemukan dengan pria yang mirip dengannya, Christian Dhirgantara, hingga terciptalah satu...
25K 3.1K 32
This story contains: - Adult content and situations (21+) - Swearing - Subject matter that you may find offensive and disturbing - Toxic relationship...