Sarah

By SilviaRodiana

12.6K 1.2K 191

Aku hanya selalu berpikir, bahwa hidupku terlalu sempurna untuk menjadi nyata. Kisahku layaknya seorang putri... More

Prolog - The Night
Chapter One - Sarah's Life
Chapter Two - Two Sides
Chapter Three - The Dream
Chapter Four - Fire and I
Chapter Five - A Slice of Her
Chapter Six - He is White
Chapter Seven - Nightmare
Chapter Eight - Reality
Chapter Nine - First Love?
Chapter Ten - Family
Chapter Eleven - Him, Him, and Him
Chapter Twelve - A Door
Chapter Thirteen - Black vs White
Chapter Fourteen - The Frame
Chapter Fifteen - Trust You
Chapter Sixteen - Toast
Chapter Seventeen - Being Afraid
Chapter Nineteen - Starts
Chapter Twenty - Dead Body
Chapter Twenty One - Dead Body (2)
Chapter Twenty Two - Dark inside White
Chapter Twenty Three - Dream Castle
Chapter Twenty Four - He's Dark

Chapter Eighteen - The Past

338 45 7
By SilviaRodiana

"Aku hanya terlalu kecewa pada dunia. Tidak lebih."

-SR-

"Kamu."

Air mata Sarah surut, berganti isakan kecil.

"Kok mau ngelupain Sarah?" tanyanya tergugu. Melihat Sean dengan mata sayu, berharap lelaki itu hanya bercanda.

"Karena kamu ... mengingatkan aku sama orang-orang yang paling aku sayang, sekaligus yang paling aku benci."

Tidak hanya Sarah, Gilang dan Rani pun dibuat melongo, tidak mengerti akan ucapan Sean. Bagaimana bisa, menyayangi dan membenci seseorang dalam waktu bersamaan? Terdengar sangat mustahil.

"Ke-kenapa?" Sarah bertarung melawan isakan, sampai membuatnya tergagap. Namun, dia sungguh ingin tahu, siapa yang dimaksud oleh Sean. Apa ini alasan Sean selalu menatapnya tak suka?

"Kamu mau tahu?" Sarah mengangguk menjawab remaja lelaki itu. "Ayo, bangun. Aku ceritain semuanya. Tapi ... di kursi, ya? Aku pegel jongkok begini."

Tanpa protes, Sarah melompat bangkit. Buru-buru berjalan ke sofa, lalu menghempaskan tubuh. Gilang mengembus napas lega, begitu pun Rani. Akhirnya perhatian Sarah teralihkan. Rani menatap Sean, mengulas senyum yang dibalas Sean dengan anggukan. Kemudian wanita itu menghilang ke dapur, menyiapkan camilan untuk mereka.

"Abang, tolong ambilin Sarah minum dong. Haus ...," rengek gadis itu sambil memegangi tenggorokan, bertingkah seolah tidak minum selama seabad. Gilang berdecak, menepuk kepalanya sekali, lalu mengeluyur ke dapur. Meninggalkan Sarah yang sedang duduk bersila di sofa abu-abu, dan Sean di seberangnya.

"Ambil sendiri, Sarah. Gilang lebih tua dari kamu, nggak sopan kamu merintah dia." Sean bicara sambil menatap Sarah yang sedang membersihkan hidungnya.

"Sarah minta tolong, Sean, bukannya merintah. Sarah takut masuk dapur." Sarah membela diri.

"Bilang aja malas, Non," cibir Sean. Dia tahu betul, tempat dispenser ada di ruang makan, bukan dapur.

Gilang datang dengan satu jug air putih, empat gelas, dan tiga kaleng minuman dingin. Dia melempar sekaleng pada Sean, yang menangkapnya gesit, lalu menuang segelas air untuk adiknya yang pemalas itu. Setelah rasa haus terobati, Sarah kembali bertanya pada Sean, siapa orang yang tadi dia maksud.

"Oh ...." Sean mengangkat pandangan ke langit-langit, menghela napas sedalam mungkin. Dia tidak tahu, apakah sanggup membuka luka lama itu pada orang baru. Namun, sepertinya Sarah memang harus tahu tentang semuanya.

"Siena dan Siera." Laki-laki berwajah tirus itu menelan saliva dengan susah payah, lalu menenggak minumannya lagi, sebelum tatapannya kembali pada Sarah.

"Kembaranku."

Mata Sarah membulat, begitu juga Gilang. Antara percaya dan tidak, Sean yang sangat tertutup itu, kini bisa membuka diri pada mereka.

"Dulu, kami keluarga yang sangat-sangat bahagia. Siena dan Siera seperti tuan putri di rumah, dan aku satu-satunya pangeran di sana. Siena dan Siera selalu menjadi kesayangan, sementara aku selalu menjadi kebanggaan. Siena dan Siera tidak boleh menangis, sementara aku tidak boleh mengeluh. Semua keinginan kami selalu dicukupi, apa pun itu. Hingga akhirnya, Siena dan Siera menjadi manja, sementara aku menjadi egois."

Sean berhenti sejenak, seolah meminta kekuatan pada embusan angin yang lembut menerpa wajahnya. Kembali mengingat masa lalu, membuka luka lama yang selama ini coba ia tutupi, ternyata tak semudah yang dibayangkan. Terlalu sakit di sana. Di relung hati terdalamnya.

"Sam anak tunggal, selalu sendirian. Orang tuanya sering menitipkan Sam di rumah kami, karena mereka terlalu sibuk untuk mengawasi satu anak. Akhirnya, kami seperti saudara kandung. Sampai suatu hari ... Sam berubah. Mungkin, dia dewasa lebih cepat dari yang seharusnya. Dia telah melihat Siena dan Siera sebagai gadis, bukan lagi sebagai teman, apalagi saudara yang harus ia jaga. Sejak saat itu, Siena dan Siera menjauhinya. Tapi, aku tetap menjadi temannya."

Kepala Sean menunduk, menatap kaki yang terbungkus kaus kaki putih. Sekali lagi dia menarik napas panjang, guna mencari kekuatan.

"Sampai suatu hari, Sam menunjukkanku sesuatu. Sebuah kastil mimpi, yang dia rancang untuk masa depannya. Dia menyebutnya, S for Secret."

Sean terdiam, ingat pertama kali ia baku hantam dengan Sam, sesaat setelah melihat kastil mimpi Sam.

"Dia akan memenuhi kastil itu dengan rahasia. Setiap tingkat, menandakan keberhasilannya. Di tingkat dasar, dia melakukan rahasia menjijikan yang membuatku naik darah, lalu menghajarnya. Sejak itu aku tahu, Sam telah jauh berubah. Sakit hati, kecewa, dan rasa cemburu membuatnya kehilangan arah, dan menjadikanku musuh terbesar dalam hidupnya."

Gilang menunduk, lantas melirik adiknya yang tampak sangat serius mendengar cerita Sean. Dalam hati ia sempat bertanya, benarkah Sarah mengerti apa yang dikatakan Sean? Atau hanya pura-pura mendengarkan?

"Kenapa Sam harus benci sama kamu, Sean?" Pertanyaan Sarah membuat Gilang mengulum senyum, adiknya benar-benar mendengarkan rupanya.

"Dia cemburu karena aku punya keluarga yang lengkap. Karena Mama dan Papa selalu menyanjung dan mendukungku. Juga karena Siena dan Siera sangat sayang kepadaku. Dia benci karena selalu menjadi nomor dua setelahku."

Seketika, Sarah menoleh pada Gilang yang sedang duduk di sampingnya. Lalu bertanya, "Bang, Abang nggak benci sama Sarah, kan, karena Mama sama Papa lebih sayang sama Sarah daripada Abang?"

"Idih, pede! Siapa yang bilang Mama Papa lebih sayang kamu, ha? Siapa?" Gilang mencebik, kemudian menekan jidad adiknya dengan telunjuk. Membuat Sean tersenyum kecil melihat keakraban mereka. Dahulu, dia pun seperti itu. Bahagia bersama kedua saudarinya.

"Ma! Mama lebih sayang sama Sarah, kan, dibanding sama Abang?" teriak Sarah, berharap ibunya mendengar.

"Mama sayang semua!" sahut Rani dapur, membuat Gilang menjulurkan lidah pada adiknya.

"Mama, ih, nggak seru!" Sarah melipat kedua tangan di dada, mendelik pada kakaknya, sebelum tatapan kembali pada Sean yang sedang mengulum senyum di seberang sana.

"Terus, Sean? Kamu dan Sam berantem, gitu?" tanyanya.

Sean mengangguk. "Sejak saat itu, aku minta Sam diusir dari rumah. Papa dan Mama nggak ngizinin, karena nggak enak sama orang tuanya. Tapi aku maksa, tanpa bisa menjelaskan apa yang terjadi dengan Sam. Semua orang nggak percaya sama aku, dan akhirnya aku tersudut."

Sarah menunduk, memainkan jemari dengan gelisah. Seperti ikut merasakan ada di posisi Sean dahulu. Terpojok tanpa seorang pun yang mendukung.

"Terus?" Namun, dia masih ingin tahu kelanjutan cerita itu.

"Dari hari ke hari, aku semakin jahat di mata Mama dan Papa. Semua yang aku lakukan tiba-tiba salah. Tapi, Siena dan Siera selalu mendukungku, mereka nangis setiap kali aku kena marah. Bahkan waktu itu, tamparan yang harusnya untukku, malah mengenai Siena, karena dia melindungiku. Siera selalu bilang, kami kembar, hati kami terbagi. Kami akan tahu, kalau salah satu berbohong. Kami akan selalu jujur satu sama lain. Tapi tetap aja, mereka nggak percaya sama aku."

Sarah tidak tahu, bagaimana rasanya ketika tak ada yang memercayai. Selama ini, yang ia ingat, seluruh keluarga memercayainya. Jadi, dia tidak bisa mengukur, betapa kecewa hati Sean saat itu.

"Sampai suatu hari ... Siena dan Siera hilang. Mereka seperti ditelan Bumi. Dan semua bukti mengarah padaku. Anjing pelacak yang ditugaskan mencari mereka, malah berputar di kamarku. Dan waktu itu ... ada potongan baju yang terakhir mereka gunakan di kamarku. Semua orang, bahkan polisi menyimpulkan, aku yang sudah membunuh mereka. Dan menyembunyikan mayatnya entah di mana."

Sesak. Itulah yang Sean rasakan saat ini. Semua terjadi begitu saja, tanpa ia sempat menyadari apa pun.

"Aku tahu, mereka sudah meninggal. Aku nggak bisa lagi merasakan keberadaan mereka. Tapi, bukan aku, bukan aku yang membunuh mereka. Kami tercipta dalam indung yang sama, menghirup udara dari paru-paru yang sama selama 9 bulan. Berbagi sakit ketika telah dilahirkan. Benarkah ... aku bisa membunuh mereka? Bahkan kalau Siena atau Siera tergores sedikit saja, aku merasakan perih yang sama. Tapi ... malam itu aku tidur, pulas banget. Aku bahkan ragu, entah berapa lama aku tidur. Aku nggak tahu."

Gilang beranjak, duduk di samping Sean, lalu menepuk pundaknya. Berusaha meyakinkan, bahwa setidaknya, sekarang dirinya mempunyai orang lain yang bisa dipercaya.

"Dan waktu aku bangun, semuanya berubah. Semua orang membenciku, dan orang-orang yang membelaku sudah hilang, entah ke mana. Sejak itu, Papa membuangku. Aku hidup di rumah yang sudah diwariskan almarhum Eyang sebelum meninggal. Hidup dengan mencari uang sendiri, semua sendiri."

Sarah menggigit bibir, tak sadar bila wajahnya telah basah oleh air mata. Melihat wajah Sean, benar-benar memukul sanubarinya. Sungguh, dia tidak tega melihat laki-laki itu terlihat begitu rapuh. Namun, di sisi lain dia ingin tahu, semua yang telah terjadi dalam kehidupannya.

"Apa lo nggak berusaha membela diri?" tanya Gilang.

Sean mengangguk. "Semua sudah gue lakukan. Tapi semakin bersuara, gue malah semakin salah. Gue putus asa, menyerah sama dunia. Karena itu, gue terima waktu Papa membuang gue. Bahkan, gue nggak diizinin datang ke pemakaman Mama, sebulan setelah kepergian Siena dan Siera."

Perih, hanya itu yang bisa digambarkan Gilang akan hatinya saat ini. Dia merasa simpati pada Sean, yang harus melewati semuanya seorang diri. Kalau begitu, wajarlah Sean menjadi tertutup dan tak memercayai siapa pun, karena kekecewaan pada dunia terlalu mendalam.

"Terus ... apa hubungannya dengan Sarah? Kenapa Sarah bisa mengingatkan lo, sama Siera dan Siena?" tanya Gilang sambil mengerutkan hidung.

Menjawabnya, Sean membuka tas punggung hitam yang tergeletak di dekatnya duduk. Ada sebuah agenda di sana, dia membukanya di depan Gilang, lalu menyodorkan sehelai foto. Dua senyum terpampang di sana. Senyum yang mengingatkan Gilang pada seseorang. Sarah.

-SR-

TBC

Yiha! Update dong! Yuk, dibaca dibaca dibaca. Jangan lupa vote dan komen ya 🤭

Kavii98_
Fifi_Alifya
azdiyare_ahsan708
rodeoexol
IndahCatYa
AnnyoosAn
Talithaa56
MeylindaRatna

Love,
SR

Continue Reading

You'll Also Like

ALZELVIN By Diazepam

Teen Fiction

5.8M 323K 36
"Sekalipun hamil anak gue, lo pikir gue bakal peduli?" Ucapan terakhir sebelum cowok brengsek itu pergi. Gadis sebatang kara itu pun akhirnya berj...
1.1M 43.4K 51
"Gue tertarik sama cewe yang bikin tattoo lo" Kata gue rugi sih kalau enggak baca! FOLLOW DULU SEBELUM BACA, BEBERAPA PART SERU HANYA AKU TULIS UNTUK...
3.2M 159K 25
Sagara Leonathan pemain basket yang ditakuti seantero sekolah. Cowok yang memiliki tatapan tajam juga tak berperasaan. Sagara selalu menganggu bahkan...
520K 56.6K 23
Berkisah tentang seorang Gus yang dikejar secara ugal-ugalan oleh santrinya sendiri. Semua jalur ditempuh dan bahkan jika doa itu terlihat, sudah dip...