Falling in Your Lies • why do...

By raaifa

5.7K 860 279

"Nice to meet you, I'm Sacharissa Rylance." "Corbyn Besson." "So, you're..." [ w r i t t e n i n b a h a s... More

before...
p r o l o g u e
chapter 1 : cinematographer's project
chapter 2 : a little tour
chapter 3 : actress
chapter 4 : magic word
chapter 5 : airplanes
chapter 6 : too fast
chapter 7 : the first
chapter 8 : you, again
chapter 9 : jealousy
chapter 10 : sweet weekend, at least
chapter 11 : classic you
chapter 12 : you've always got my back
chapter 13 : the first book
chapter 14 : hi from her
chapter 16 : in a rush
chapter 17 : weekend
chapter 18 : beautiful star
chapter 19 : from the bottom of heart
chapter 20 : the party gone wrong
chapter 21 : break up
chapter 22 : (almost) midnight driving
chapter 23 : goodbye, Princeton
chapter 24 : keep sneaking inside my mind
chapter 25 : the truth
chapter 26 : sorry
chapter 27 : leave the cellphone
chapter 28 : liar
chapter 29 : carissa's final decision
chapter 30 : under the moonlight confession
e p i l o g u e
something special called bonus chapter
...after

chapter 15 : circle

136 20 0
By raaifa

-Carissa POV-

"Daniel," panggilku untuk kesekian kalinya hari ini.

"Stop it, Carissa," balasnya. "You look amazing, okay? Now, stop saying things like that."

"You know what, Daniel?" tanyaku. "I just wanna ask you something. Do you see my watch—the grey one?"

Ia terkekeh. "Oh, sorry," katanya. "Maksudmu yang ini?" ia menyodorkan jam tangan yang kucari, entah darimana ia mendapatkannya.

Aku mengangguk dan mengambilnya dari tangan Daniel. "Ya," jawabku lantas mengenakannya

"Tapi, Carissa, ini biru muda, bukan abu-abu," ia menambahkan.

"Tapi ini memang ini abu-abu," balasku.

Daniel menghela napas lalu duduk di sudut tempat tidurku. "Baiklah, terserah kau saja."

Aku memanggilnya lagi. "Boleh aku tanya satu hal lagi?" aku menunggu hingga ia menyetujui. "Warna yang kupakai tidak..."

"Astaga, Carissa," ia menyela. "You look beautiful in that dress. Trust me, okay? Dan jam tangan biru—abu-abu—terserah apa katamu—cocok dengan dressmu yang berwarna pink."

"A—"

"Dressmu berwarna pink, oke? Pink muda. Jangan mendebatku."

"Baik—"

"Kalau kau, kau adalah warna dalam kehidupanku."

Aku mematung, tidak yakin dengan apa yang baru saja ia katakan. "Apa?" kataku berlagak tidak mendengar.

"Tidak ada," balasnya. "Ayo turun!"

"Aku akan menyusul setelah membereskan bajuku," aku memberitahunya.

Daniel mengangguk dan segera menuju ke arah pintu. "Jangan lama," pesannya.

Aku mengangguk setuju.

Diam-diam aku bersyukur Daniel tidak mengulangi ucapannya ketika aku berpura-pura tidak mendengarnya. Jika ia mengulang kembali perkataannya, aku tidak tahu harus mengatakan apa. Kejadian tempo hari ketika aku meninggalkannya di studio dan pulang bersama Corbyn membuatku merasa bersalah. Ia sangat mengkhawatirkanku.

Tetapi peristiwa lain yang terjadi setelahnya membuatku lebih merasa bersalah... dan bingung. Aku menyesal telah mengatakan kalimat itu pada Corbyn malam itu. Andai hari itu aku tidak marah-marah pada Daphne—yang sebenarnya tidak melakukan kesalahan fatal—semua ini tidak akan terjadi.

Setelah adegan dramatisku dengan Corbyn waktu itu, aku membuka ponselku dan mendapati banyak panggilan tak terjawab dari Daniel. Ia pulang tak lama setelah aku menghubunginya, memberitahunya kalau aku sudah tiba di rumah.

Setibanya di rumah, ia membawakanku sekantong penuh cokelat, permen, jelly, dan makanan manis lainnya. Ia terus mengira kalau aku meninggalkan studio karena dirinya dan hal itu membuatku beralibi kalau aku memang tidak enak badan sehingga aku memarahi Daphne dan akhirnya memutuskan pulang karena ingin beristirahat.

Aku mengatakan pada Daniel kalau aku tidak sengaja bertemu Corbyn dan aku memintanya mengantarkanku pulang. Setelah memercayai ceritaku yang penuh dengan kebohongan, Daniel menemaniku sepanjang malam. Tetapi semalaman itu justru membuatku tak henti-hentinya merasa bersalah.

Aku masih tidak percaya kalau malam itu benar-benar mengubah semuanya, terlebih pandangan mengenai pertemananku dengan Corbyn dan perasaanku terhadap Daniel.

Aku melanjutkan langkahku menuruni anak tangga, mataku tidak henti-hentinya mencari sosok Daniel. Beruntung, tak lama kemudian, aku menemukan dirinya sedang berkumpul bersama teman-temannya mengelilingi sebuah meja. Semua orang yang sedang bersamanya tak satupun kukenal, tetapi aku memberanikan diri menghampirinya. Aku tidak punya pilihan lain.

"Oh, hei!" Daniel menemukanku berjalan menuju ke arahnya, ia melambaikan tangannya. "Over here!"

Seruan Daniel membuat kumpulan kecil yang sedang mengobrol bersamanya menoleh ke arahku. Mau tidak mau, aku bergabung bersama mereka. Perhatianku langsung tertuju pada seorang gadis berambut merah yang sedang berbisik-bisik dengan lelaki di sebelahnya.

"Watch this," gadis itu masih mengobrol dengan lelaki di sebelahnya. "Let me guess, you're Daniel's girl, right?"

Mataku mengerjap sesaat untuk memastikan apakah ia benar-benar bicara denganku atau tidak. Karena sekarang ia menatapku dari ujung kaki hingga ujung kepala, membuatku tidak nyaman. "Sorry?"

"Hey, Good Lookin'," lelaki bersetelan biru tua menimpali. "She just asked you—"

"Yeah, Brice. She is," Daniel menyela ucapan lelaki itu untuk menjawabnya. Kemudian lengannya mengelilingi pinggangku. "Bukan begitu, hun?"

"Um... ya?" aku memaksakan sebuah senyuman, namun setelahnya aku mengerutkan keningku ke arahnya untuk menanyakan mengapa lengannya tidak mau lepas dari tubuhku. Sayang, sepertinya Daniel tidak mengerti. Lengannya yang melingkari pinggangku justru semakin erat dan terus menarik tubuhku lebih dekat ke arahnya. "Daniel..." aku berbisik, berusaha mengatakan kalau aku tidak nyaman.

"What, babe? Don't worry I'm here, I'm going nowhere," ujarnya cukup keras untuk didengar teman-temannya.

Ew, apa-apaan.

"Ew," aku mendengar gadis berambut merah itu berkata. Untuk sekali ini, aku setuju dengannya.

Aku tidak mencium bau apa-apa dari mulutnya, yang berarti ia tidak mabuk. Tetapi, kalau ia tidak mabuk, lantas apa? Kenapa Daniel jadi seperti ini?

"Oh, damn!" gumamnya kemudian. "I think I left something upstairs!"

"Let me"

"No, no, no, you don't have to," balasnya membuat satu-satunya harapanku untuk pergi dari sini hilang. "Stay here, okay?" sekarang tangannya memegangi pipiku. "Aku segera kembali."

Sementara aku mematung kebingungan akan sikap Daniel yang tidak seperti biasanya, sebuah kecupan ringan mendarat di ujung bibirku sebelum ia pergi.

Apa ia baru saja menciumku karena hendak pergi ke lantai atas?

Apa-apaan ini? Ini bukan Daniel!

"Hey, Good Lookin', what's your name?" suara Brice membuatku menyadari kalau aku tidak sendirian di sini sekaligus membuatku meruntukki kesialanku.

"It's Carissa."

"Beautiful. I'm Brice, if you were curious."

"Daniel have mentioned that before."

Aku mendengar ia bergumam dan mengagguk-anggukan kepalanya.

Aku mencoba mengalihkan perhatianku dengan bermain ponsel, tetapi tidak ada yang bisa kulakukan. Semua Instagram Stories sudah kulihat, semua kiriman sudah kusukai, tidak ada hal menarik di Twitter, ibuku tidak membalas pesan, Daphne tidak bisa dihubungi, dan Corbyn—pokoknya tidak ada yang bisa kulakukan dengan ponselku.

Gagasan untuk pergi dari sini? Tentu saja ada. Tetapi kalaupun aku berhasil, pergi tanpa dilaporkan pada Daniel, aku tidak tahu kemana aku harus pergi dan apa yang harus kulakukan.

"You're so pretty, why haven't I met you before?" Brice bertanya lagi.

"She lives at Denver. That's why," tiba-tiba saja Daniel muncul di belakangku dan kembali merangkulkan tangannya padaku, kali ini di sekitar pundakku. "Stop flirting her."

Stop flirting her? Are you kidding me?

Aku tidak tahu apakah aku harus bersyukur atau memaki. Daniel terus merangkulku seperti benar-benar hendak mengelemku dengan dirinya.

"Oh, c'mon!" kali ini lelaki yang tadi berbisik-bisik dengan gadis berambut merah yang berkomentar.

In a blink of my eyes, Daniel turns and places his hand around my neck. His face is inches from mine and I am breathing way too hard now. For a second, I think he may be slap me but his hand moves up to my cheeckbone and he gently tucks my hair behind my ear with a smile on his face. My mind start to racing.

"I freaking love you, don't you know that?" he finally said.

As I close my eyes to avoid his, he crash his lips againts mine. He gently moved his lips on mine before he places his hand on my face and kisses my jaw. He gave comfort, confused, and terrified at a moment.

Why does he kiss me unexpectedly, in front of his friends? IN FRONT OF HIS FRIENDS!

"Daniel, stop!" aku berusaha melepaskan tangannya dari wajahku dengan sedikit mendorongnya. "Please, stop! I'm not going to do this!"

Aku melakukan satu-satunya hal yang terbesit dalam benakku, aku pergi menjauh sebelum ia sempat menahanku.

"I'm done," aku bisa mendengar Daniel berbicara pada teman-temannya. "I already told you before, I'm not in this. Can't you just see? She's mad at me. I'm done."

"That's your choice," suara lain berkata. "I dared you to did that to Erika but you choose her."

"That's because"

Aku memutuskan tidak ingin mendengar percakapan mereka lebih lanjut. Aku terus berjalan.

A dare? God, why?!

Tanpa kusadari, tanganku terkepal memegangi bagian bawah dressku. Aku tidak mengerti kenapa Daniel melakukan ini—lagi padaku. Mempermainkan perasaanku, apalagi kali ini di hadapan teman-temannya.

Rasanya, setiap kali ia membawaku terbang, aku selalu mendapati diriku kembali terjatuh karenanya. Terlebih sekarang, ketika aku sedang berusaha berdamai dengan kenyataan—ketika aku berusaha membuat diriku sendiri yakin bahwa perasaanku adalah untuknya dan bukan untuk—ah, ia malah membuatku meragukan perasaanku. Sesuatu yang juga membuatku tidak yakin dengan perasaan yang selalu Daniel katakan padaku.

Aku bisa saja mengatakan semua kekesalan yang ada dalam benakku padanya. Tetapi aku harus menahan diriku agar tidak melakukannya. Aku tidak ingin hari yang sudah ditunggu-tunggunya berjalan dengan tidak baik. Tetapi di sisi lain, aku juga ingin hari ini berjalan baik untukku sendiri. Bukan malah seperti sekarang, menyandarkan diri di pintu menuju halaman belakang dengan perasaan kesal pada Daniel membuncah dalam diriku.

Aku tidak punya hal lain untuk dilakukan selain mengedarkan pandanganku di halaman belakang, mencari sesuatu untuk dilakukan.... Corbyn! Kukira ia tidak datang. Andai ia tidak sedang fokus pada macbooknya, ia mungkin sudah menyadari kehadiranku sejak tadi, jelas ia duduk menghadap ke arah pintu.

Biasanya, yang kulakukan disaat seperti ini adalah menghampirinya dan mengeluarkan seluruh keluh kesahku dan memaksanya untuk memberitahuku apa yang harus kulakuan. Tetapi dengan jarak dan kecanggungan yang ada diantara kami sekarang, bisakah aku melakukan hal yang sama?

Pasalnya, setelah mengetahui kebenaran tentang siapa yang berkirim e-mail denganku selama bertahun-tahun belakangan, aku menjadi bingung dengan perasaanku sendiri. Pantas saja selama ini aku selalu merasa kalau diriku mengenalnya, hati kecilku selalu mengatakan ia bukan orang asing. Jelas, sekarang aku tahu bahwa aku memang mengenalnya. Tetapi dengan nama Daniel.

Salah satu hal yang masih menggangguku adalah bagaimana Corbyn bisa berpura-pura menjadi Daniel dan membalas e-mail yang kukirim. Aku ingin tahu semuanya dan... itu memberikanku ide tentang hal apa yang harus kulakukan sekarang.

Aku menyalakan ponselku, mencari fitur e-mail, dan menggetikkan 2 kata sederhana.  Jika yang dugaanku selama ini benar, seharusnya yang kulakuakan sekarang akan memberikan buktinya.

Terkirim.

Aku melakukan hitung mundur diam-diam. Sekali lagi, aku berharap tebakanku meleset.

Tetapi tidak. Lagi-lagi harapanku tidak terkabul. Corbyn memandang sekeliling untuk mencari sesuatu—yang kemungkinan besar adalah aku—membuatku melambaikan tanganku dari kejauhan ketika matanya bertemu denganku. Ia tidak mengatakan apa-apa, hanya menatapku.

Aku memberanikan diri untuk mengulas sebuah senyuman tipis dengan bibirku.

Corbyn membalas lalu mengangkat kedua alisnya. Kuanggap itu sebagai caranya mengatakan, "Ada apa?"

Kerja bagus, Carissa. Sekarang jawab pertanyaan Corbyn, alam bawah sadarku memang sangat pandai berironi.

Aku menghembuskan napas kasar. Kemudian menunjuk tempat dimana Daniel berada dengan isyarat mataku dan cebikkan dari bibirku. Kuharap ia mengerti, karena hal ini sudah sering sekali terjadi.

Kedua alis Corbyn mengerut. Sepertinya tidak mengerti maksudku.

Aku tidak mungkin mengulang dan melakukan isyarat yang sama, ia jelas tidak akan mengerti. Aku memilih opsi lain, yaitu dengan mengetikkannya di e-mail lalu menunjuk macbook miliknya, memintanya membaca pesan dariku.

Corbyn mengerti dan langsung membacanya sementara aku menunggunya hingga selesai. Ia menepuk-nepuk kursi di sampingnya, aku tidak yakin yang barusan adalah isyarat untukku mengampirinya. Tapi sesaat kemudian, ia menggerakkan tangannya memanggilku.

Aku menunjuk diriku sendiri dengan jari telunjuk, masih tidak yakin.

Ia membalasku dengan sebuah anggukkan, membuatku menghela sebuah napas panjang sebelum berjalan menghampirinya dan menempatkan diri pada kursi di sampingnya. Kuharap satu dari sekian banyak hal di pesta setidaknya berjalan baik.

"Jadi, apa yang sebenarnya ia lakukan hari ini?" Corbyn menutup macbooknya.

"Sebenarnya, sekarang aku sedang berpikir. Apakah dirinya memang semenyebalkan itu atau..." jawabku. "Just... you know? I don't like when someone's flirting on me. That's annoying."

"He did?"

"Almost."

"I know you still keep the worst thing by yourself, but nevermind. That's yours."

"I'm 'bout to tell you, actually."

"I'm listening."

Aku menghela napas. "Tell me is it fine or not, 'cause I start to doubt—"

"Doubt? I think you're not the Carissa I've known."

"What the hell are you talking about?" aku berhasil terkekeh.

"The one that I've known, she always believe in trust. She don't even know what doubt is. She—"

"I still the same person, don't you dare—kau tidak bisa menghakimiku seenaknya. Kau bahkan belum mendengarku menyelesaikan kalimatku."

"Finish it then!"

Aku baru saja membuka mulut untuk menurutinya, hanya saja dering yang terdengar dari ponsel milikku langsung menghentikanku. "Tunggu," aku berbicara pada Corbyn tanpa suara.

"Hello, Mum?" aku berdiri dari tempat dudukku, bermaksud beranjak. Tetapi suara napas ibuku yang panik membuatku kembali memosisikan diri di sebelah Corbyn yang tampak kebingungan. "Mum? Can you hear me? Is everything okay?"

"It's your dad..." ibuku menjeda terlalu lama, membuatku semakin mendorongnya untuk berbicara. "He... he crashed."

"Mum, how canI'm going to Denver now," aku kembali berdiri dari tempat dudukku.

"No, don't, please. Please, stay there."

"I'll come, Mum."

Aku menutup panggilannya, berniat untuk beranjak secepat mungkin saat aku sadar Corbyn berdiri di hadapanku.

"Apa yang baru saja terjadi?" ia menahanku.

Aku menghela napas dan melihat ke atas untuk mencegah air mataku turun. "Aku harus pergi ke Denver."

"Tidak, sebelum kau beritahu aku apa yang terjadi."

"Kau tidak bisa mencegahku."

"Setidaknya beritahu aku."

"Untuk apa? Supaya kau—"

"Carissa, tenangkan dirimu."

Lagi-lagi aku menghela napas, kali ini untuk menuruti apa kata Corbyn. Tetapi bersamaan dengan itu, air mataku ikut membasahi pipiku. "Ini soal ayahku," aku berhasil jujur padanya.

"Tapi—"

"Aku harus pulang. Jangan mencegahku, kau hanya buang-buang waktu."

"Aku tidak akan mencegahmu. Aku pergi bersamamu."

***

[a/n]: iki idih siibid gi ipdit miip yi,,,,

apaan si, annoying bgt😭

aku kelelep lama bgt ya, ilang moodnya huhu maapin. kmrn chap ini ilang setengahnya

Continue Reading

You'll Also Like

508K 37.6K 59
Kisah si Bad Boy ketua geng ALASKA dan si cantik Jeon. Happy Reading.
15.5M 876K 28
- Devinisi jagain jodoh sendiri - "Gue kira jagain bocil biasa, eh ternyata jagain jodoh sendiri. Ternyata gini rasanya jagain jodoh sendiri, seru ju...
1M 87K 30
Mark dan Jeno kakak beradik yang baru saja berusia 8 dan 7 tahun yang hidup di panti asuhan sejak kecil. Di usia yang masih kecil itu mereka berdua m...
75.4K 6.9K 50
Sebuah cerita Alternate Universe dari tokoh jebolan idol yang banyak di shipper-kan.. Salma-Rony Bercerita mengenai sebuah kasus masa lalu yang diker...