Despacito [Terbit 28 Oktober...

By IndahHanaco

1.6M 170K 9.1K

Ranking : #1 Chicklit (4-6 Desember 2019) #2 Chicklit (29-30 November, 1-4 Desember 2019, 29-31 Maret 2020... More

Satu
Dua
Tiga
Empat
Lima
Enam
Tujuh
Delapan
Sembilan
Sepuluh
Sebelas
Dua Belas
Tiga Belas
Empat Belas
Lima Belas
Enam Belas
Delapan Belas
Sembilan Belas
Dua Puluh
Dua Puluh Satu
Dua Puluh Dua
Dua Puluh Tiga [A]
Dua Puluh Tiga [B]
Dua Puluh Empat [A]
Dua Puluh Empat [B]
Dua Puluh Lima [A]
Dua Puluh Lima [B]
Dua Puluh Enam [A]
Dua Puluh Enam [B]
Dua Puluh Tujuh
Dua Puluh Delapan [A]
Dua Puluh Delapan [B]
Dua Puluh Sembilan [A]
Dua Puluh Sembilan [B]
Tiga Puluh
Special Order Despacito

Tujuh Belas

32.8K 4.5K 92
By IndahHanaco

Kennan ternyata pria yang mengejutkan. Nyaris semua penilaian Febe yang tertanam di kepalanya tentang Kennan, keliru. Misalnya saja, laki-laki itu sama sekali tidak masuk ke dalam kategori pendiam. Siapa sangka jika Kennan adalah lelaki ceriwis yang mengesalkan sekaligus lucu? Seolah salah satu tujuan hidupnya adalah menggoda Febe.

Mana ada orang yang merekomendasikan istrinya untuk melempar pria yang mencoba menggoda Febe dengan botol air mineral kosong? Setahu Febe, lelaki lain akan meminta istrinya untuk mengabaikan gangguan semacam itu. Atau langsung memperingatkan si pria penggoda. Namun Kennan tampaknya memiliki gaya sendiri.

Minggu-minggu pertama mereka berumah tangga, semua berjalan cukup lancar. Mengingat bagaimana mereka dipaksa oleh keadaan untuk menjadi suami istri, hal itu menjadi hasil yang cukup menakjubkan. Kennan tidak memiliki kebiasaan aneh yang membuat dirinya tak nyaman. Febe hanya harus terbiasa menghadapi Kennan yang usil dan bisa memelintir kata-katanya dengan lihai. Juga... hmmm... dipeluk sepanjang malam dengan alasan tak ingin Febe terjatuh ke lantai.

Salahkan Febe yang akhirnya malah tidak benar-benar berniat membeli ranjang baru. Kennan memang melarang, tapi dengan gaya sambil lalu. Andai Febe tetap bersikeras pun, dia yakin lelaki itu tidak akan keberatan. Namun, entahlah. Seolah ada yang menahannya. Ranjang yang lebih besar bukan lagi hal penting.

Febe kadang curiga, dia makin merasa nyaman berada di dekat Kennan. Seolah memang begitulah semestinya. Namun, bukankah itu hal yang wajar? Sebab, sekarang mereka adalah suami istri, tidak ada cara untuk mengubah itu. Kennan dan Febe sama-sama tahu, walau tak ada yang melisankannya dengan suara kencang, tinggal tunggu waktu sebelum mereka menyempurnakan pernikahan itu.

Yang membuat Febe agak terganggu cuma satu. Ketika berada di tengah keluarga suaminya. Koreksi, jika berada di dekat Lydia. Perempuan yang sekarang sudah tampak fit lagi itu, tak banyak berkomentar. Namun, tatapannya membuat Febe merasa seakan sedang dikuliti.

Namun dia terhibur karena ayah mertua dan kedua iparnya menyambut Febe dengan sikap hangat yang kadang membuat terharu. Dia tak pernah mengenal saudara selain Irina, yang sangat keberatan bersikap manis pada Febe kecuali di masa kecil mereka. Kini, dia mendapat dua saudara ipar yang ramah dan berkali-kali berterima kasih karena Febe bersedia menikahi Kennan.

Selain itu, keberadaan Savina yang mengekori Febe ke mana-mana pun menjadi pengalih perhatian yang ampuh. Bahkan makan pun inginnya disuapi oleh tante barunya. Gadis cilik itu menyibukkan Febe hingga dia tak sempat merasa canggung di bawah tatapan menghunjam milik Lydia.

Kennan yang ternyata jauh lebih pengertian dibanding perkiraan Febe, memutuskan bahwa mereka tak perlu terlalu sering mengunjungi rumah keluarganya. Jadi, Febe pun tak perlu tersiksa karena seolah sedang menduduki paku tiap kali berada di depan Lydia.

Dua minggu setelah pernikahannya, Febe mulai menyibukkan diri untuk mempersiapkan liburan ke Santorini. Masalah visa sudah tuntas. Akomodasi dan tiket pesawat malah sudah dibereskan jauh-jauh hari. Vakansi ini sudah dinantikan Febe sejak lama. Dia sudah menyusun rencana untuk menghabiskan waktu di Santorini sejak tahun lalu. Dan menyeriusinya mulai setengah tahun silam. Tidak ada kendala apa pun karena Rosita memberikan izin tanpa bertele-tele.

Namun, kini justru Febe yang merasa tidak nyaman. Bukan karena mencemaskan ibunya. Sebab, dia yakin Dila bisa mengurus Rosita selama Febe tidak berada di rumah. Sumber kekhawatirannya adalah Kennan. Lebih tepatnya, perasaan tak enak.

"Kamu beneran nggak apa-apa kalau kutinggal ke Santorini?" tanya Febe, dua hari sebelum keberangkatannya. Kennan sudah berbaring di ranjang sambil menggulir ponselnya sementara sang istri baru saja masuk ke kamar. Tatapan Febe sempat singgah pada koper berisi keperluannya selama bepergian.

"Nggak apa-apa. Kan sejak awal kita udah sepakat soal itu," jawab Kennan. Lelaki itu masih fokus pada gawainya. Febe berbaring di sebelah suaminya setelah meminta izin untuk menyalakan lampu tidur.

"Memangnya kamu bakalan batal pergi kalau kularang?" tanya Kennan kemudian. Telepon genggamnya sudah diletakkan di nakas. Lelaki itu memiringkan tubuh, menghadap ke arah Febe yang tidur menelentang.

"Ya nggak, sih. Cuma, jadinya nggak enak aja karena ninggalin kamu. Bukan karena aku cemas kamu kenapa-napa. Tapi lebih karena merasa sungkan. Soalnya, kita baru nikah. Kalau mamamu tau aku pergi liburan, takutnya jadi masalah."

"Sebenarnya, kamu sungkan sama aku atau takut dicap jelek sama mamaku?"

"Ngg ... dua-duanya, sih," aku Febe, jujur. Perempuan itu menggigit bibir dengan mata menerawang. "Tadinya  kukira kita bakalan berantem melulu. Atau, minimal, kamu dan aku nggak ...." Perempuan itu menoleh ke kanan untuk menatap suaminya. "Yah, kamu pasti ngerti apa yang kumaksud, kan?"

"He-eh," balas Kennan, kali ini tanpa nada menggoda. "Kan kita udah bikin perjanjian dari awal. Jadi, aku sama sekali nggak keberatan. Sementara soal mamaku, kamu juga nggak perlu pusing. Aku udah cukup umur, nggak akan ngadu macam-macam. Aku udah bisa membedakan mana yang baik dan yang buruk."

Febe mencebik sambil menendang kaki Kennan. Lelaki itu mengaduh sebelum mulai memeluk kaki kanan dan meributkan tulang keringnya yang sakit karena sepakan sang istri. Meski sudah makin terbiasa dengan keusilan Kennan yang pintar disamarkan oleh pria itu, tetap saja kadang Febe merasa gemas.

"Makanya, jangan bercanda melulu kalau lagi diajak ngobrol serius," Febe beralasan. "Tanpa kamu bilang pun aku udah tau kalau yang namanya Kennan itu memang udah tua bangka. Nggak perlu ditambahin kalimat penuh drama yang bikin kesal," cerocosnya.

"Aku belum masuk kategori tua bangka, Fe," sahut Kennan di sela-sela erangannya. "Kamu sendiri yang bilang, aku ini anak manis."

Tuh, kan? Febe akhirnya membalikkan tubuh untuk membelakangi Kennan. "Terserah kamulah. Percuma juga ngomong sama orang yang nggak pernah nganggap omonganku serius," gerutunya.

Febe memejamkan mata sembari menghalau perasaan tak nyaman karena harus meninggalkan Kennan. Dia tak perlu merasa seperti itu, kan? Toh, Kennan sendiri tidak peduli dengan kepergiannya, simpul Febe.

"Kamu lagi PMS, ya? Galaknya kambuh lagi."

"Ken, pertanyaanmu nggak kreatif banget. Itu kalimat sejuta umat tiap kali ada ...."

"Oke," Kennan menukas. "Aku ganti pertanyaannya. Kamu lagi sensitif atau apa? Hari ini galaknya dobel."

Mendadak, tangan kanan Kennan sudah melingkari pinggang Febe. Meski lelaki itu sudah cukup sering memeluknya, Febe tetap saja belum benar-benar terbiasa. Dia masih merinding tiap kali kulit mereka bersentuhan. Namun, berlagak tidak ada efek apa pun yang dirasakan, Febe bergeming.

"Aku nggak sensitif. Tapi kamu memang ngeselin. Tiap diajak ngobrol serius, pasti iseng melulu."

"Maaf."

Kata sederhana itu membuat Febe terdiam. Dia tidak tahu cara terbaik merespons ucapan suaminya.

"Aku serius minta maafnya, Fe. Kadang, godaan untuk ngisengin kamu itu memang nggak tertahankan. Beneran."

"Tapi, tetap harus liat topiknya dong, Ken."

"Iya, iya. Lain kali nggak terulang lagi." Kennan mengetatkan pelukannya, hingga punggung Febe menempel di dada pria itu. "Nggak usah cemas soal Mama. Kamu harus percaya kalau aku bisa bedain yang pantas untuk diobrolin atau sebaliknya."

"Oke," gumam Febe pelan.

"Kamu juga nggak usah mikir yang aneh-aneh. Selama kamu pergi, aku nggak bakalan bikin ulah. Aku akan bantuin Mbak Dila untuk jagain Ibu."

"Kamu nggak akan balik ke rumah mamamu, kan? Maksudku, selama aku pergi."

"Nggak, aku tetap di sini. Kalau pulang ke rumah Mama, pasti dicurigai. Eh iya, satu lagi. Jangan selalu bilang 'mamamu'. Mending belajar nyebut 'Mama'. Karena sekarang ini kamu kan menantu Mama, bukan orang luar."

Kata-kata Kennan ada benarnya juga. Febe pun bergumam, "Iya, aku tau. Tapi kadang masih kagok aja."

Kennan mengalihkan perbincangan dengan membahas rencana trip Febe ke Santorini. "Semua yang kamu butuhkan udah lengkap? Masih ada yang mau dibeli?"

"Nggak ada."

"Kamu sering jalan-jalan sendirian kayak gini, Fe?"

"Kalau yang beneran sendiri, cuma beberapa kali doang. Aku pernah ke Lombok, Bali, Vietnam, dan Amsterdam. Itu pun udah lama dan cuma sebentar doang. Belakangan aku makin jarang pergi karena kondisi Ibu kurang oke."

"Wah, lumayan juga. Aku kalah jauh sama kamu, Fe. Aku masih betah ngubek-ngubek sekitar pegunungan Himalaya. Lain kali, kita kudu liburan bareng, Fe."

Perempuan itu terdiam mendengar ucapan Kennan. Dia menggigit bibir hingga tersadarkan oleh rasa nyeri. Febe baru saja hendak bicara saat suaminya menebak dengan penuh keyakinan.

"Pasti barusan kamu lagi melamun sambil menggigit bibir. Iya, kan? Nggak usah tergoda untuk bohong, deh! Aku nggak bakalan percaya."

"Kok kamu tau?" tanya Febe, tak menyamarkan keheranannya.

"Ya taulah. Kamu itu mirip buku terbuka. Gampang banget kebacanya. Aku cuma butuh waktu 24 jam untuk ngenalin kebiasaanmu," respons Kennan dengan penuh percaya diri.

"Meh, sok banget."

"Serius."

Jari-jari Kennan mengelus punggung tangan kanannya dengan gerakan perlahan. Mungkin lelaki itu tidak menyadari yang dilakukannya. Namun, bagi Febe yang asing dengan sentuhan lelaki, kecuali hubungan satu malam yang tidak diwarnai oleh keintiman pasangan yang saling jatuh cinta ketika bersama Okta, elusan Kennan membuat bulu tangannya berdiri.

"Fe, boleh nanya sesuatu? Aku penasaran dan pengin tau, tapi selama ini nggak berani ngomong. Takutnya kamu tersinggung."

"Wow, kayaknya kita bakalan bahas masalah serius, nih." Febe berusaha bergurau meski jantungnya mendadak berdenyut kencang seolah baru mengakhiri maraton. "Mau nanya apa? Tumben intronya bikin orang deg-degan."

Kennan tertawa kecil. "Tapi kamu harus janji nggak boleh marah, ya?"

"Oke."

"Hmmm, aku cuma pengin tau. Suatu hari nanti, apa kamu nggak kepengin punya anak? Waktu kita ke rumah Mama, kamu kayaknya nyaman banget sama Savina."

Itu pertanyaan yang sama sekali tak terduga. Febe terdiam sejenak sebelum menjawab. "Pengin, dong. Karena aku penyayang anak-anak. Makanya aku senang-senang aja nurutin kemauan Savina. Minta disuapin sampai dimandiin." Napas beratnya diembuskan.

Ingatan pahit akan keberadaan janin yang gagal berkembang di rahimnya itu pun kembali lagi. Meski kala itu Febe hamil tanpa persiapan mental dan harus menghadapi kemurkaan ayahnya, dia tak pernah berniat membuang calon bayinya. Dia masih mengingat bulan-bulan pertama yang begitu berat setelah kehamilannya dihentikan dokter. Rasa kehilangan mendominasi hingga Febe kerap menangis diam-diam di kamarnya. Menangisi dosa yang sudah dibuatnya dan kehilangan yang harus diterimanya.

"Maaf, aku nggak seharusnya nanya itu. Di dekat kamu, mulutku jadi kayak nggak ada remnya," ucap Kennan tiba-tiba. "Jangan sedih lagi ya, Fe."

"Aku memang sedih tapi nggak banyak. Tenang, aku nggak bakalan nangis sesenggukan. Masa-masa itu udah kelewati." Febe tadinya ingin bergerak menghadap Kennan, tapi dia membatalkannya saat menyadari betapa dekatnya mereka secara fisik. "Kenapa kamu tiba-tiba nanya soal anak? Kamu udah pengin jadi bapak, ya?"

"Belumlah. Kejauhan kalau mikir jadi bapak. Ngeseks aja belum, gimana mau..."

"Kennaannn!" Febe menendang kaki suaminya lagi hingga pria itu menjerit kesakitan.

Yang tak diduga, terdengar ketukan di pintu diikuti suara panik milik. "Fe, kenapa?"

Febe malu luar biasa. Namun dia tetap menjawab sembari memelototi suaminya yang berguling menjauh sambil tetap mengaduh. "Nggak apa-apa, Mbak. Tadi ada tikus gede. Pas dikejar Kennan, malah kabur dan hampir lompat ke kasur." Dia tak peduli meski besok Dila akan menginterogasinya tentang tikus yang tak masuk akal itu.

Lagu : The Real Thing (Lisa Stansfield)

Tiap lagu memiliki melodi
Tiap melodi menyimpan jutaan makna
Dan selalu ada cerita di balik alunan nada yang coba dibahasakan dalam sebuah lagu.

Dari mulai lantunan musik country yang menyenangkan. Menyentak dan membuat candu seperti latin pop. Ataupun lagu-lagu lama yang menyimpan banyak nostalgia.

Dalam series kali ini, kami para pecinta oppa dan babang ganteng bakal coba membahasakan sebuah lirik menjadi cerita panjang kepada kalian. Menyajikan konser kecil dari potongan cerita, yang mungkin akan membuat imajinasi kalian bermain-main dalam dentingan lagu dari kami.

Daftar lagu dari konser kami :

1. inag2711 : If I die young dari lagu If I Die young - The Band Perry (setiap Selasa & Jumat)
2. Indah Hanaco : Despacito dari lagu Despacito - Luis Fonsi featuring Justin Bieber (setiap Senin & Kamis)
3. pramyths : The Girl from Yesterday dari lagu The Girl from Yesterday - The Eagles (setiap Rabu & Sabtu)
4. mooseboo : Midnight Tea dari lagu Juwita Malam - Ismail Marzuki (setiap Kamis & Minggu)

Sudah siap mendengarkan lagu-lagu dari kami?

Continue Reading

You'll Also Like

18K 1.9K 10
[END] Hanya kesempatan yang diberikan oleh Tuhan kepada mereka untuk merubah atau mempertahankan cerita yang sudah ada. JAEREN ft. NOREN BXB MPREG
Antara By king pita

General Fiction

147K 12.5K 36
Tentang mereka yang terkena hukum karma. Amazing cover by: @radarneptunus
SCH2 By xwayyyy

General Fiction

129K 17.9K 47
hanya fiksi! baca aja kalo mau
1.2M 17.6K 7
TERSISA 5 BAB Anandra berhenti memertahankan Galiya dalam hidupnya dengan memutuskan sebuah perceraian. Mereka saling mencintai, awalnya. Juga masih...