Sarah

By SilviaRodiana

12.6K 1.2K 191

Aku hanya selalu berpikir, bahwa hidupku terlalu sempurna untuk menjadi nyata. Kisahku layaknya seorang putri... More

Prolog - The Night
Chapter One - Sarah's Life
Chapter Two - Two Sides
Chapter Three - The Dream
Chapter Four - Fire and I
Chapter Five - A Slice of Her
Chapter Seven - Nightmare
Chapter Eight - Reality
Chapter Nine - First Love?
Chapter Ten - Family
Chapter Eleven - Him, Him, and Him
Chapter Twelve - A Door
Chapter Thirteen - Black vs White
Chapter Fourteen - The Frame
Chapter Fifteen - Trust You
Chapter Sixteen - Toast
Chapter Seventeen - Being Afraid
Chapter Eighteen - The Past
Chapter Nineteen - Starts
Chapter Twenty - Dead Body
Chapter Twenty One - Dead Body (2)
Chapter Twenty Two - Dark inside White
Chapter Twenty Three - Dream Castle
Chapter Twenty Four - He's Dark

Chapter Six - He is White

471 52 6
By SilviaRodiana

—SR—

Gadis itu tampak lelah. Ya, dia lelah dengan semua mimpi buruk yang selalu hadir ketika mata mulai terpejam. Dia lelah mendengar jawaban yang tak memuaskan dari keluarganya. Dan ... dia lelah menjadi dirinya yang terlalu mudah terkecoh oleh sesuatu.

Sepekan ini, Gilang akan mengikuti berbagai pelatihan dan simulasi gabungan dengan sekolah unggulan lain. Jadi, Sarah harus menerima kenyataan bahwa dirinya akan sendirian selama di sekolah. Namun, tak seperti biasa, kali ini dia ikhlas menerima. Merasa membutuhkan ruang untuk sendiri dan menenangkan pikiran.

Jam istirahat ini, Sarah memilih duduk di taman belakang sekolah. Tempat ini tidak bisa dibilang sepi, beberapa siswa-siswi terlihat di sana. Sedang memakan bekal, membaca, ada juga yang bercanda dengan temannya. Hanya Sarah yang duduk seorang diri di bawah pohon besar, tak melakukan apa pun selain mengamati mereka.

Lagi-lagi, ia merasa asing pada dunia. Entah kenapa, dia merasa ini bukanlah tempatnya. Mungkin, karena tak ada seorang pun yang bisa menerimanya. Dia seperti alien dari planet tetangga, yang tidak diinginkan kehadirannya.

Gemuruh menggelegar, langit menggelap, dan seketika rintik hujan mengantam tanah. Guyuran air yang begitu deras membuat Sarah panik. Dia berada di bawah pohon yang paling jauh dari teras. Kalau nekat menyeberang taman yang cukup luas ini, maka pasti dia akan basah kuyup. Sarah mendadak takut jatuh sakit.

Jadi, dia berdiri di bawah pohon. Bukan pilihan terbaik, karena petir dan gemuruh silih berganti menunjukkan eksistensinya. Sarah memeluk tubuh sendiri, rasa dingin mulai menyergap. Dia merapatkan tubuh di  batang pohon, menggumam doa apa pun yang ia bisa.

Hujan semakin deras, angin pun bertiup kencang. Di bawah pohon itu, Sarah mulai kebahasan. Dia mulai berpikir untuk berlari menerobos hujan, ketika samar bayang seseorang berlari padanya terlihat. Laki-laki itu kini berdiri di hadapannya dengan tubuh basah kuyup.

"Lo ngapain di sini? Hujan deras dan banyak petir, nanti lo tersambar!" kata Sam, setengah berteriak bertarung hujan.

"Tadi Sarah cuma duduk, terus hujan," sahut gadis itu agak keras. "Sarah takut mau nyeberang taman."

Langit kembali bergemuruh, Sarah refleks menutup kedua telinga dengan telapak tangan. Sam mendongak, melihat kilat cahaya seperti pertunjukan di langit.

"Yaudah, ayo, kita balik ke kelas. Nyeberangnya bareng gue, nggak usah takut."

Berdiri di bawah pohon pun sama basahnya, pikir Sarah. Jadi, dia menuruti Sam. Laki-laki itu merangkul bahunya, sebelah tangan lagi diletakkan di kepala Sarah. Tak berarti memang, karena kenyataannya, Sarah tetap basah kuyup ketika sampai di teras sekolah. Namun, ada hangat yang diam-diam merasuk. Tiba-tiba, Sarah merasa ada seseorang yang bersedia menerimanya.

Gadis itu menoleh, melihat Sam bergidik di sebelahnya. Cuaca memang sangat dingin.

"Kita ke kantin aja dulu, beli teh hangat. Nanti baru masuk kelas," ajak Sam.

"Eh? Bukannya sekarang sudah masuk, ya? Memang anak kelas unggulan boleh bolos?"

"Darurat," balas Sam, berjalan mendahului Sarah menuju kantin. Gadis itu membuntuti, lalu duduk di seberang Sam. Mereka berdua menggigil, sebelum Sarah bersin berkali-kali.

"Nih, minum." Sam memyodorkan teh manis hangat yang baru saja diantarkan pedagang.

Sarah mengambil gelas itu dengan tangan bergetar, mulai meneguk isinya. Bersyukur karena bisa mendapat kehangatan dari segelas teh itu.

"Lo ngapain duduk di bawah pohon itu? Sudah tahu jaraknya jauh dari teras, apalagi kelas kita," ucap Sam, lalu meneguk tehnya.

Sarah menggeleng. "Enggak, cuma duduk. Abang nggak ada, Sarah malas ke kantin sendirian."

"Ya ajak teman ceweklah," balas Sam.

"Enggak punya." Sarah cemberut, ingat tidak ada seorang pun yang ingin jadi temannya di sekolah itu.

"Cantik, sih."

"Apa?" Sarah mendongak, ingin memastikan ucapan Sam tadi. Namun, laki-laki itu sudah membuang muka. Tatapannya tak lagi di sana, berkeliling tak tentu arah.

"Kamu ngomong apa tadi?" ulang Sarah, tetapi Sam tak menanggapi. Dia bisa melihat, wajah lelaki itu dipenuhi rona merah sekarang. Sarah bingung, kenapa wajahnya bisa memerah, padahal cuaca sedang sangat dingin. Apa jangan-jangan teh Sam rasanya pedas? Ah, Sarah tidak mengerti. Otaknya tidak sanggup mencerna apa yang sedang terjadi pada laki-laki di hadapan.

"Samuel, kamu ngomong apa tadi?"

"Kita ke kelas, yuk? Nanti dicari guru." Laki-laki itu langsung bangkit, berjalan meninggalkan Sarah, lengkap dengan tanda tanya di kepalanya. Kenapa Sam cepat sekali berubah? Tadi dia bisa baik dan menolongnya, tetapi secepat angin menjadi aneh dan kaku. Ada apa dengan pria itu?

Suara bersin Sarah terdengar sekali, sebelum ia memutuskan untuk menyusul Sam kembali ke kelas. Sampai di mejanya di barisan paling belakang, gadis itu terkejut mendapati sebuah jaket hitam yang terlipat rapi. Ia yakin, itu jaket Sean yang dia kembalikan kemarin. Kenapa sekarang ada di mejanya?

Sarah menoleh pada Sean, dia tampak sedang fokus menulis sesuatu. Takut, Sarah tidak bertanya.

"Makasih, Sean," gumamnya, lantas mengambil jaket itu dan segera menuju kamar mandi sebelum guru masuk. Setidaknya, dia lega karena bisa mengganti seragam yang basah dengan jaket Sean. Rasa dinginnya berkurang sedikit.

—SR—

Suara klakson motor membuat Sarah terlonjak. Dirinya sedang berdiri di depan gerbang, bingung karena sopir ayahnya baru saja menelepon, memberitahu akan lama menjemput karena mobilnya mogok. Sarah yang tidak pernah bepergian sendiri menjadi bingung, bagaimana caranya pulang. Saat sedang kebingungan, dia malah dikagetkan oleh klakson motor Sam, membuatnya tambah gelagapan.

"Kenapa?" tanya Sam, tak melepas helmnya.

"Anu ... mobilnya mogok, katanya lama baru bisa jemput. Sarah bingung."

Sam menepuk jok belakang, menyuruh Sarah naik ke motornya. Namun, gadis itu ragu. Dia tidak pernah dibonceng siapa pun selain Gilang. Dia takut, kalau pulang bersama orang lain, dia akan tersasar.

"Ayo, biar gue antar."

"Itu ...," gumam Sarah. Dia bingung, bagaimana cara menjelaskan pada Sam, apa yang menjadi ketakutannya saat ini.

Ponselnya berdering, nama Gilang muncul di layar. Sarah menjawabnya cepat, langsung menyemburkan kegelisahannya.

"Tenang, ya," ucap Gilang. "Adek tunggu di pos satpam, biar Mama jemput. Abang sore baru pulang."

Sarah menggigit bibir, bingung.

"Bang ... Sarah tadi kehujanan, bajunya basah. Sarah kedinginan, Abang. Mau cepet pulang." Gadis itu mulai menangis kecil, membuat Gilang ikut panik.

Tiba-tiba, ponsel putih Sarah direbut Sam.

"Kak, ini gue, Samuel White. Biar gue yang antar Sarah pulang, ya. Tenang aja, adik lo aman sama gue."

Sam menyerahkan lagi ponsel pada Sarah. Panggilan Gilang masih tersambung.

"Kamu pulang sama Sam aja, Dek, tapi hati-hati, ya. Sam pernah ke rumah kita, dia tahu jalannya. Tapi, kalau tempatnya terlalu asing, kamu langsung loncat aja dari motornya," kata Gilang.

"Nanti Sarah mati dong," balas gadis itu tanpa berpikir.

Gilang meyakinkannya akan baik-baik saja, lalu ia naik ke motor merah Sam. Sepanjang jalan, tak ada yang membuka percakapan. Sarah sibuk menoleh ke kiri kanan, tak mengerti bagaimana semua sisi jalan bisa terlihat sama di matanya. Tak ada satu belokan pun yang dia ingat.

Tiba di depan rumahnya, akhirnya gadis itu bisa mengembus napas lega.

"Sam, makasih!" ujarnya sambil menyerahkan helm pada Sam, lalu berlari masuk ke rumah tanpa memedulikan cowok itu. Bahkan, panggilan Rani pun tak disahuti. Ia berlari menaiki tangga, langsung membuka pintu yang menghubungkan ke teras atas. Dari sana, dia bisa membuktikan bahwa firasatnya tadi tidak salah. Seseorang membuntuti mereka.

Sebenernya, mau kamu apa?

—SR—

TBC

Ups, siapa coba yang buntuti Sarah?

Nantikan Minggu depan, ya.

Jangan lupa cek cerita lain di akun:

Kavii98_ Fifi_Alifya azdiyare_ahsan708 rodeoexol IndahCatYa AnnyoosAn

Siapa tau suka juga sama cerita di akun:
MeylindaRatna Talithaa56

Babai,

SR

Continue Reading

You'll Also Like

804K 96K 12
"Gilaa lo sekarang cantik banget Jane! Apa ga nyesel Dirga ninggalin lo?" Janeta hanya bisa tersenyum menatap Dinda. "Sekarang di sekeliling dia bany...
298K 14.6K 32
Anna kaget saat dia membuka matanya, bukan nya berada disurga atau alam baka dan bertemu dengan ibu dan ayahnya yang telah meninggal, dia malah terba...
898K 13K 26
Klik lalu scroolllll baca. 18+ 21+
477K 52.3K 23
( On Going + Revisi ) ________________ Louise Wang -- Bocah manja nan polos berusia 13 tahun. Si bungsu pecinta susu strawberry, dan akan mengaum lay...