Falling in Your Lies • why do...

By raaifa

5.7K 860 279

"Nice to meet you, I'm Sacharissa Rylance." "Corbyn Besson." "So, you're..." [ w r i t t e n i n b a h a s... More

before...
p r o l o g u e
chapter 1 : cinematographer's project
chapter 2 : a little tour
chapter 3 : actress
chapter 5 : airplanes
chapter 6 : too fast
chapter 7 : the first
chapter 8 : you, again
chapter 9 : jealousy
chapter 10 : sweet weekend, at least
chapter 11 : classic you
chapter 12 : you've always got my back
chapter 13 : the first book
chapter 14 : hi from her
chapter 15 : circle
chapter 16 : in a rush
chapter 17 : weekend
chapter 18 : beautiful star
chapter 19 : from the bottom of heart
chapter 20 : the party gone wrong
chapter 21 : break up
chapter 22 : (almost) midnight driving
chapter 23 : goodbye, Princeton
chapter 24 : keep sneaking inside my mind
chapter 25 : the truth
chapter 26 : sorry
chapter 27 : leave the cellphone
chapter 28 : liar
chapter 29 : carissa's final decision
chapter 30 : under the moonlight confession
e p i l o g u e
something special called bonus chapter
...after

chapter 4 : magic word

211 43 31
By raaifa

-Carissa POV-

"Kupikir kita harus selesaikan naskahnya hari ini," ujar Zach, seorang teman yang dikatakan Silena di telepon. Aku ingat aku pernah melihatnya menghadiri sebuah event sama denganku.

Aku terkekeh. "Ya, harus. Sudah cukup bergelut dengan ide dan skrip selama tiga hari."

"Tiga?" tanya Silena. "Kupikir satu ditambah satu itu cuma dua. Benar, tidak, Zach?"

"Aku tiga," balasku. "Aku memulai lebih dulu dari pada kalian."

"Tentu saja, kau benar—seperti biasa."

Aku beruntung karena teringat Silena hari itu, teman internet—tidak, sahabat internet yang sudah lama kukenal lewat sebuah komunitas sinematografer. Saat aku bicara dengannya di telepon, pikiran kami langsung terhubung bahkan ketika aku baru menyebut dua kata kunci, yaitu kompetisi dan New Jersey. Ia mengatakan ia sangat ingin mengikuti kompetisi itu tetapi tidak punya cukup orang untuk bekerja sama dengannya.

Makanya, ketika aku mengajaknya bergabung bersamaku, ia langsung setuju. Bahkan ia membicarakan beberapa ide cerita yang dipikirkannya saat itu juga, semangatnya benar-benar melebihi semangatku.

Aku mengandalkan Silena dan Zach untuk masalah belakang layar sementara aku menyetujui permintaan Daniel untuk menjadi aktrisnya. Usulannya hari itu membuatku merindukan sekolah teaterku sekaligus membangkitkan semangat nekat dalam diriku.

Aku tahu aku tidak seharusnya melakukan ini, tetapi usulan Daniel benar-benar membuatku tertarik. Sebenarnya, aku memilih menjadi sinematografer karena aku tidak diizinkan orang tuaku untuk menjadi aktris film. Mereka menyatakan ketidaksetujuannya saat aku sudah mantap memutuskan untuk terjun ke dunia film selepas sekolah. Mereka tidak pernah mengatakan alasannya. Setiap aku bertanya, mereka selalu berbelit-belit. Tetapi aku tidak ingin melawan mereka.

Ini akan menjadi kompetisi pertama di mana aku berperan sebagai aktrisnya, bukan di belakang layar. Bukannya aku tidak senang menjadi seorang sinematografer, aku menyukai pekerjaanku. Hanya saja aku ingin mewujudkan mimpiku. Selain itu, aku berharap aku bisa membuktikan pada orang tuaku bahwa aku bisa menekuni keduanya, baik yang dapat dilihat orang lain maupun tidak.

"Aku jadi penasaran," ujar Silena. "Apa yang membuatmu tiba-tiba memutuskan untuk berpindah haluan menjadi aktris? Padahal kau sangat berbakat dalam sinematografi, prestasimu tidak sedikit."

"Sebenarnya aku lebih dulu mengenal akting daripada sinematografi," aku memberitahu.

"Tunggu," sela Zach. Tadinya kupikir ia tidak mendengarkan percakapanku dan Silena karena ia sibuk mengetik skrip. "Aku ingin meminta pendapat kalian untuk bagian akhir filmnya."

"Happiness is the richest thing we will ever own, eh?" aku langsung teringat kalimat Donald Duck yang dikutip Corbyn beberapa hari yang lalu. "Jadi, jangan pernah meninggalkan apa yang menjadi kebahagiaan hanya untuk sebuah impian."

"Dan akhir dari ceritanya adalah tokoh yang diperankan Carissa akan kembali pada Corbyn," Silena menyimpulkan. "Karena ia sadar, meskipun pada akhirnya ia bisa menggapai mimpinya, tetapi tanpa Corbyn, ia tidak sempurna—ia tidak bahagia."

"Wow. I can tell that you both are really amazing!"

"Ya," Silena menyetujui. "That's why you're nothing without us."

Kami tertawa bersama setelahnya.

Silena memintaku menceritakan bagaimana aku tertarik pada akting dan aku memberitahunya bahwa aku pernah mendaftar sekolah teater pada saat kelas 5 dan menceritakan beberapa pengalamanku mengikuti pentas drama di sekolah. Aku juga mengatakan bahwa aku pernah bermimpi menjadi aktris. Tetapi alih-alih mengatakan kalau orang tuaku tidak menyetujuiya, aku memilih untuk mengatakan bahwa hal itu membuatku berubah pikiran untuk menekuni sinematografi.

Corbyn baru saja datang dengan sekantong penuh makanan ringan di tangannya.

"Dari mana saja kau?" Zach langsung mengambil alih sebungkus chips ketika Corbyn kembali duduk di sebelahnya.

Aku mengangguk, ikut membenarkan pertanyaan Zach. "Kita ada di teras rumahmu tapi kau menghilang sejak tadi."

Corbyn terkekeh. "Kalian tahu, aku menjauh untuk menjawab telepon," jelasnya. "Daripada aku berbicara sambil bolak-balik di hadapan kalian, lebih baik aku berjalan-jalan."

"Jadi telepon itu membawamu sampai mana, huh?" kata Silena seraya mengambil alih macbook dari tangan Zach untuk melihat manuskripnya.

"Saat teleponnya mati, aku setengah jalan menuju minimarket," balas Corbyn. "Aku tuan rumah yang baik. Jadi, aku membelikan kalian ini."

"Baguslah," gumamku ikut meraih keripik yang dipegang Zach lantas memasukkannya dalam mulutku.

"Lihat, mobil siapa itu!" ucap Corbyn datar sambil membuka sebungkus makanan ringan lagi.

Namun sedatar apapun nada bicara Corbyn, kami semua tetap ikut melihat ke arah yang sama dengannya. Benar saja, sebuah mobil berwarna hitam baru saja menepi tepat di depan rumah Corbyn.

"Itu pacarku," jawab Silena yang hanya menatap sekilas mobil itu kemudian melanjutkan kembali kegiatannya merevisi skrip.

"Corbyn?" ujar pacarnya Silena mematung setelah mengucapkan permisi. "Sedang apa kau—"

"Tunggu," potong Corbyn. "Jadi, Silena ini pacarmu?"

Lelaki itu mengangguk. "Dan jangan bilang kau meminta gambar poster itu padaku untuk ditunjukkan pada pacarku?"

"Tidak, yang itu tidak benar," tutur Corbyn. "Poster itu untuk Carissa, ia yang mengajak Silena bergabung. Aku tidak mengenal Silena sebelumnya."

"Sudah pernah kubilang, 'kan?" Silena menarik kekasihnya untuk duduk di dekatnya. "Princeton itu sempit."

Lelaki itu hanya mengangguk lalu memerhatikan apa yang sedang dilakukan kekasihnya.

"Jadi, dimana kau mengenal lelaki ini, Corbyn?" tanya Silena, tatapannya masih terus tertuju pada macbook.

"Lelaki ini," orang yang dimaksud langsung mengulang sambil mencebikkan bibir pada kekasihnya. "Apa-apaan."

Corbyn terkekeh. "Aku punya 3 kelas bersama dengan Jonah di kampus."

Jadi, yang menjawab teleponku kemarin itu pacarnya.

***

"Hei, Carissa!" Daniel mendaratkan dirinya pada sofa empuk di sebelahku.

"Hei," aku hanya balas menyapa. Aku sedang membaca dan memberi high light pada dialogku di naskah yang baru saja selesai kurang dari 4 jam yang lalu.

"Sudah makan malam?"

Aku menggeleng.

"Bagus," gumamnya. "Wanna go out?"

Pertanyaan itu membuatku langsung menatapnya. "Apa?"

"Ayolah, kau mendengarku," gerutunya.

Aku terkekeh. "Ke mana?"

"Suatu tempat," lagi-lagi ia tidak memberitahuku. "Ayo!"

"Ya, baiklah," aku meletakkan high lighter dan naskah film pendek di meja. "Tunggu di sini! Aku akan berganti pakaian."

Aku menuju kamarku di lantai dua lantas mengganti pakaianku dengan celana jeans dan hoodie favoritku. Lalu mengucir rambutku, memoleskan bedak, dan mengaplikasikan sedikit lipbalm.

Tidak sampai sepuluh menit, aku kembali menuruni tangga sambil melilitkan jam di pergelangan tanganku. "Ayo!" ajakku.

Daniel langsung berdiri dari tempatnya. "Cepat sekali," gumamnya lantas menuju ke luar.

Aku mengekornya menuju mobil.

Menghabiskan beberapa hari di Princeton rasanya seperti kembali menjadi gadis berusia 11 tahun. Hanya mengalir mengikuti kemana hidupnya membawa dirinya. Semuanya terasa lebih ringan di sini. Meskipun pada kenyataannya, kegiatanku lebih padat daripada di Denver.

Aku merasa memiliki semangat baru. Kupikir mungkin itu karena lingkungan yang baru atau mungkin... Daniel.

Selama ini, kupikir dengan berbagi ceritaku bersamanya lewat e-mail itu cukup untuk membuatku selalu merasa terhubung dengannya. Tetapi ternyata mendeskripsikan sebuah perasaan melalui tulisans memang kurang tepat untukku. Aku tidak mahir melakukan itu dan aku sangat benci fakta yang satu ini.

Berada di dekatnya jelas terasa lebih nyata. Ia bahkan bisa mengerti sebelum aku mendeskripsikan apa yang kurasakan. Aku suka bagaimana ia duduk di sampingku dan ikut berkomentar ketika aku mengeluh tentang apa yang sedang kukerjakan atau berbicara banyak hal yang tidak kuketahui ketika menemaniku memindahkan data proyekku ke dalam macbook. Itu membuatku merasa kekosongan dalam hidupku kembali terisi.

Kupikir sebuah tulisan sudah cukup untuk membuatku jatuh cinta. Tetapi dengan berada di dekatnya dan merasakannya, itu membuatku jatuh lebih dalam lagi.

"Ayo, turun!" ajak Daniel.

Aku memerhatikan sekelilingku. "Di mana kita?"

"Bukan tempat mewah," jawabnya, jelas tidak menjawab pertanyaanku. "Tapi kita bisa melihat Princeton dari sini."

"Okay, anything else?" tanyaku.

"Jangan bilang kau tidak suka jagung bakar," ia menyipitkan matanya padaku. "Karena aku mengajakmu ke sini untuk itu."

"Tentu saja, aku suka," jelasku.

***

"Malam yang indah, benar, 'kan?" Daniel ikut bersandar di kav mobilnya bersamaku.

Kami telah selesai dengan jagung bakar. Tetapi aku tidak ingin pulang terlalu cepat, aku masih ingin menikmati malam ini. Jauh dari skrip yang harus kuhapalkan dan proyek yang mulai kugarap bersama teman-temanku dari Denver.

Aku mengangguk setuju. "Lihat bintang-bintang di sana?" aku meminta agar pandangan Daniel mengikuti arah jari telunjukku yang menunjuk sekumpulan bintang. "Kurasa itu menjadi favoritku malam ini."

"Kau seharusnya tidak melupakan bulannya," balasnya. "Karena bulan itu sama luar biasanya dengan diriku."

"You wish!" aku menyikutnya. "Tapi baiklah, keduanya menjadi favoritku."

Ia hanya tertawa.

Menghabiskan waktu berdua dengan Daniel adalah hal yang sudah sering kulakukan, apalagi sewaktu ia masih tinggal di Denver. Tetapi setiap kali menghabiskan waktu bersamanya rasanya tidak pernah sama, selalu saja ada kesan yang berbeda. Itulah yang membuatku menyukai setiap waktu bersamanya.

"Plin-plan," ejeknya. "Pilih salah satu."

"Tidak bisa!" gerutuku.

"Kenapa tidak bisa?" tanyanya. "Kalau kau diberi sebuah pilihan, kau tidak boleh memilih keduanya."

"Tidak semua hal bisa dijadikan pilihan, Daniel," jawabku. "Maksudku, begini, jika aku memilih malam tanpa bulan itu tidak lengkap, sama halnya dengan malam tanpa bintang. Keduanya saling berkaitan, malam tidak akan lengkap jika keduanya dipisahkan."

"Berkaitan," ulangnya. "Seperti aku dan kau."

Aku terkekeh untuk menghindari rasa terkejutku karena kalimat yang baru saja diucapkannya. "Bercandamu tidak lucu."

"Tidak, aku tidak sedang bercanda," kata Daniel kemudian memberi jeda sebelum berkata lagi. "Biasanya, aku bukan tipe orang yang mudah percaya. Tetapi sekarang aku percaya bahwa love at the first sight itu benar-benar ada. Sebelum kau, aku tidak pernah tahu bagaimana rasanya melihat seseorang kemudian tersenyum tanpa alasan. Sekarang kau di sini, aku tidak mau kehilanganmu karena menyia-nyiakan kesempatan ini. I think I'm falling for you, Carissa."

Aku tidak tahu aku harus menangis karena haru atau berteriak dan berjingkrak-jingkrak senang. Aku memang tidak pernah bertemu lagi dengannya sebelum di Princeton, tapi jauh di lubuk hatiku aku tahu betul kalau aku menaruh hati padanya. Yang terjadi sekarang membuatku tidak percaya, e-mail itu membuatnya merasakan yang sama denganku juga. Aku—

"Aku tahu ini terlalu cepat," ujarnya menginterupsi pikiranku. "Aku juga tidak yakin kalau kau akan—-"

"I do the same," selaku.

Daniel langsung membawaku ke pelukannya setelah menatapku beberapa saat lamanya. Pelukannya kali ini benar-benar terasa berbeda, kupikir ia akan bisa merasakan jantungku yang berdegup lebih kencang daripada biasanya. Ia membelai rambutku dan aku merasakan bibirnya di atas keningku setelahnya.

Aku nyaman berada di dalam pelukannya. Aku tidak ingin melepaskannya, tetapi aku tidak mau menjadi pusat perhatian, jadi aku terpaksa melepasnya.

"So, is that mean we are dating now?"

"I think so," Aku terkekeh. "You say the magic word and your bestie will be your girlfriend."

***

[a/n]: yang udah baca ini pokonya harus give a listen to Mad At You by Why Don't We, keren banget banget banget soalnya. suaranya Corbyn juga stuck di kepala.

btw, lirik fav kalian bagian mana?

oh iya, jangan lupa juga nanti malem liat live nya the boys di halogen, siapa tau Mad At You dibawain live buat pertama kalinya, siapa tau.

xoxo all

Continue Reading

You'll Also Like

76.5K 7.6K 23
Brothership Not BL! Mark Lee, Laki-laki korporat berumur 26 tahun belum menikah trus di tuntut sempurna oleh orang tuanya. Tapi ia tidak pernah diper...
9.8M 183K 41
[15+] Making Dirty Scandal Vanesa seorang aktris berbakat yang tengah mencapai puncak kejayaannya tiba-tiba diterpa berita tentang skandalnya yang f...
30.4M 1.6M 58
SUDAH TERSEDIA DI GRAMEDIA - (Penerbitan oleh Grasindo)- DIJADIKAN SERIES DI APLIKASI VIDIO ! My Nerd Girl Season 2 SUDAH TAYANG di VIDIO! https:...
96.7K 17.7K 187
Jimin membutuhkan biaya untuk operasi transplantasi ginjal sang bunda namun dia bingung mencari uang kemana dalam waktu kurung 2 bulan. Sementara CEO...