Melamarmu

Skyluptor tarafından

139K 14.7K 3.7K

Yeri hanya melakukan hukum jual beli sesuai dengan syari'at. Namun ia tak menyangka ijab qabul jual beli yang... Daha Fazla

Starring
1 | Assalamu'alaikum
2 | Pandangan Pertama
4 | Mahram
5 | Mother Vibe
6 | Ijab Qobul
7 | Jangan Jatuh Cinta
8 | Curhat
9 | Lembaran Baru
10 | Pilihan
11 | Izin
12 | Kuliner Malam
13 | Berangkat
14 | Pulang
15 | Celaka
16 | Panda
17 | Pergi
18 | Rindu
19 | Rumit
20 | Restu
21 | Aku Datang
22 | Melamarmu
23 | Simulasi
24 | Mahramku
25 | Akad
26 | Walimatul 'Urs
27 | Khalwah
28 | Jakarta
VOTE
OPEN PO

3 | Ayah?

4.2K 505 113
Skyluptor tarafından

Yeri memandang pantulan dirinya di cermin, merapikan sejenak jilbabnya setelah itu ia keluar dari kamar. Di depan televisi, di dapatinya sang Abi yang baru pulang kerja dan Haikal yang tengah bermain ponsel.

Ia menghampiri Abinya, mencium tangan dan duduk di sebelah Haikal. Walaupun sudah di rumah, Abinya tetap saja sibuk. Serumit itukah bekerja di KUA?

"Bulan depan Ramadhan, terus Syawal makin banyak yang daftar buat nikah," celetuk Abinya sembari menatap kertas-kertas di depannya.

"Setiap taun kan emang gitu Bi," seru Umi Rina yang keluar dari dapur sembari membawa air teh manis hangat untuk Abi.

"Taun ini beda, banyak banget yang mau nikah. Bahkan beberapa ada yang baru lulus SMA langsung nikah,"

Abi menatap Umi sembari meminum teh nya, "Terus anak kita yang udah dua puluh satu taun kapan nikahnya?"

Gerakan tangan Yeri yang hendak memakan biskuit terhenti, sementara di sebelahnya sang adik tengah menahan tawa.

"Biarin aja jadi perawan lapuk Bi, si teteh mah terlalu pilih-pilih sama calon suami," celetuk Haikal kemudian tawanya lepas.

"Abi, Riana itu—"

"Anak temen Abi ada yang lulusan Gontor. Kamu mau, kalau di jodohin sama dia?" Yeri menunduk mendengar pertanyaan Abinya itu. Ia bimbang.

"Ri, kita itu bukannya maksa kamu buat cepet-cepet nikah. Cuman kamu tau sendiri kan, udah berapa banyak laki-laki yang kamu tolak. Kamu bilang iya-iya aja, eh pas dateng kamu bilangnya gak mau, belum siaplah, apalah. Kamu gak tau seberapa malunya Umi sama Abi kalau ketemu keluarga yang kamu tolak."

Yeri menatap biskuit di genggaman tangannya dalam diam mendengar ucapan sang Umi. Sungguh, ia sama sekali tak bermaksud membuat keluarganya malu. Sama seperti jual beli, harus ada rasa suka sama suka. Namun dari beberapa laki-laki yang datang langsung ke rumahnya, tak ada satu pun dari mereka yang membuatnya merasa tertarik setampan apapun itu.

"Kalau kamu gak mau juga gak apa-apa, Abi gak maksa. Mungkin belum ketemu jodoh kan?" Abi tersenyum penuh pengertian pada putrinya. Ia tak terlalu berharap Yeri menikah di usia ini sejujurnya, hanya saja mengingat cukup banyak temannya yang ingin putrinya ini menjadi menantu mereka membuatnya cukup jengah.

Ia juga tak mengerti apa yang membuat putrinya menjadi idaman.

"Maaf Abi, Umi,"

Haikal berdehem dengan suasana yang kurang mengenakkan ini, ia kemudian berdiri dari duduknya dan mengambil peci hitam di atas meja.

"Udah mau magrib, Ikal ke masjid dulu ya!" Pamitnya dan segera keluar rumah.

Yeri melirik Umi dan Abinya takut-takut, yang di dapatinya adalah senyuman dari sang Umi padanya. "Sana ke majlis, anak-anak udah nungguin kamu kayaknya,"

Ia menghela nafasnya lega, ia pikir sang Umi masih marah padanya. Yeri mengangguk dan segera mengambil mukena miliknya kemudian berlari kecil keluar rumah begitu melihat jam menunjukan pukul lima sore.

"Makin banyak temen undangan nikah yang Umi dapet, makin pengen Umi cepet-cepet ngebesan,"

Salman melirik istrinya itu dan tersenyum, "Sabar aja, Abi yakin bakal ada nama Riana di KUA taun ini,"


















"Tumben ke masjid jam segini. Biasanya juga kalo udah adzan baru berangkat," cibir Jundi begitu mendapati Haikal di depan rumahnya. Ia memberikan sepotong kiko padanya begitu menutup pintu pagar rumah.

"Di rumah tuh Abi bahasnya nikah terus, jadi males kan," Haikal memakan kikonya sembari berjalan menuju masjid. Rumah Jundi dan masjid memang tak terlalu jauh karena itu Haikal memutuskan menghampirinya untuk menemani ia di masjid.

"Lo mau nikah? Sama siapa? Salma juga kan belum tentu mau sama lo!"

Haikal menatap Jundi datar, "Teteh Yeri maksud gue, yakali gue," decaknya.

Jundi terkekeh dan duduk di teras masjid sembari memakan kikonya, "Ada lagi yang mau ngelamar teteh Yeri?"

Haikal menggedikan bahu, "Gak tau, gak ngerti gue sama tipenya teteh. Yang sholeh di tolak, yang tahfidz di tolak, yang kaya di tolak, yang ganteng di tolak, terus dia nyari yang kayak gimana?"

"Yang kayak lo kali, pas-pasan!"

"Enak aja, gue ganteng!" Serunya sembari membuang bungkus kiko asal.

"Heh, buang sampah sembarangan denda lima juta!" Seru Iyang dari dalam masjid.

Jundi dan Haikal menatap anak itu heran. Iyang kan komplotannya Haikal, tumben juga sudah di masjid jam segini.

"Iyang kesambet setan apa udah ada di masjid jam segini?" Seru Haikal heboh.

Iyang menghampiri dua temannya dan duduk di sebelah Jundi, "Di suruh mamah nganter dan ngawasin dedek Bia ngaji,"

Haikal dan Jundi hanya mengangguk, ketiganya memandang lurus ke depan. Menatap sosok Alvano, Zainal dan bang Mark yang berjalan ke arah masjid.

"Gue kagum sama bang Mark," celetuk Jundi tiba-tiba dengan pandangan lurus ke depan. "Ayah bilang, Athalla group itu yayasan besar. Perusahaannya di mana-mana, tapi bang Mark gak nunjukin itu semua dari gaya hidupnya. Dia cenderung sederhana dan apa adanya walaupun banyak duit. Udah gitu dia dari Kairo pula, kalau gue jadi cewek kayaknya udah klepek-klepek sama bang Mark,"

"Setuju gue sama lo Jun, rasanya gue mau ganti bang Lukman sama bang Mark aja," timpal Iyang.

Dari ujung sana, Zainal tengah melambaikan tangannya pada mereka dan Mark tersenyum tipis, seolah malu berjalan dengan anak kurang perhatian ini.

"Nah!" Jundi melirik Haikal, "Teteh Yeri kita jodohin aja sama bang Mark, gue yakin teteh gak bakal nolak sama modelan bang Mark," usulnya.

Haikal terkekeh, "Gue gak yakin teteh mau. Bang Mark tuh ganteng, teteh tuh kayaknya gak terlalu suka sama yang ganteng. Ngeliat om Jafar juga biasa dia mah,"

"Tapi kalau teteh emang tertarik sama bang Mark gimana?" Iyang menunjuk Yeri yang berada tak jauh dari ketiga orang tadi.

Di sana, nampak Zainal dan Alvano tengah menyapa Yeri dan mengajaknya ngobrol sesaat. Sementara di antara mereka, Mark tengah memperhatikan Yeri yang tertawa atas gombalan Zainal. Setelah itu ada keributan kecil antara Alvano dan Zainal yang membuat Yeri tak bisa menghentikan tawanya. Namun bukan itu fokus mereka, melainkan tatapan Mark pada Yeri. Saat pandangan Yeri tanpa sengaja bertemu dengan Mark, perempuan itu tersenyum tipis dan mengangguk sambil berlalu ke dalam masjid.

Ketiga orang yang duduk di teras masjid saling melirik.

"Kayaknya kita punya misi,"

















"Udah pada di pake mukenanya?" Tanya Yeri pada anak-anak kecil yang berkumpul di majlis.

Sudah menjadi kegiatan sehari-harinya mengajar mengaji anak-anak kecil di komplek ini selepas magrib. Meski yang mengaji di majlis hanya anak berusia 4 sampai 10 tahun, dan jumlahnya tak lebih dari 10, namun tetap saja Yeri terkadang pusing mengurusnya. Terutama ketika mereka selesai tadarus, mereka pasti akan berlari di dalam majlis dan tertawa. Namun beruntung ada Sarah yang dengan sukarela membantunya di majlis.

"Ibu, Bia mau di sebelah Aqila awohnya!" Seru seorang anak kecil berusia 4 tahun dengan mukena bergambar frozen.

"Balqis deket ibu aja ya, biar dedek Bia yang di situ," Yeri berusaha memberi pengertian pada anak muridnya yang tengah memeluk anak bernama Aqila.

"Aqis mau deket Qila!" Anak berusia lima tahun itu tak mau kalah.

"Bia yang deket Aqila!" Bia menarik lengan Balqis agar melepaskan pelukannya pada Aqila. Sementara yang di peluk hanya tertawa.

Selalu begini setiap akan sholat magrib, seperti tak ada habisnya keributan kecil antara Bia dan Balqis. Jika di biarkan pasti akan ada yang menangis, jika di lerai mereka tetap keras kepala. Yeri jadi serba salah kan.

"Bia deket ibu aja ya, atau mau di tempat ibu?" Yeri menenangkan muridnya yang paling kecil itu.

"Gak mau! Mau deket Aqila!" Anak itu sudah menunjukan raut sedih, siap menangis. Yeri kelabakan di buatnya sementara Iqamah sudah berkumandang.

"Bia di tempat ibu, nanti pulangnya kita beli es krim ya!" Bisik Yeri pelan. Bia menatap ibu gurunya itu sejenak kemudian menggeleng.

"Bia mau deket ibu asal pake ini awohnya!" Ia menunjuk kerudung hijau yang semula Yeri pakai.

Yeri menghela nafasnya sesaat dan mengangguk, dari pada menangis lebih baik ia turuti kan?






















Selesai sholat, membaca wirid dan dzikir, setelah itu barulah mereka memulai ngaji. Hanya saja, ada yang kurang saat Yeri hendak melipat mukena yang di kenakannya. Sosok anak kecil yang semula sholat di sebelahnya menghilang entah kemana. Masalahnya, anak itu memakai jilbabnya.

"Kenapa teh?" Tanya Sarah menyadari kebingungan Yeri.

"Liat Bia gak?"

"Waktu sholat tadi dia keluar, katanya mau pulang,"

Yeri berdecak. Masa ia dia harus pulang ke rumah memakai mukena? Masalahnya ia memakai mukena blouse saat ini, jika ia pakai yang potongan mungkin tak akan jadi masalah.

"Berdoa aja dulu, teteh mau cari Bia,"

Yeri keluar dari dalam majlis dengan sedikit tergesa, mencari Bia. Bangunan masjid dan majlis memang sama, hanya di sekat oleh tembok dan ada pintu kecil yang menghubungkan masjid dengan majlis di dalam. Hanya saja, mana berani Yeri melirik ketempat masjid, karena itu ia mencari keluar masjid. Berharap anak yang di cari muncul di depannya.

Namun sudah ia cari ke sisi masjid dan dekat bedug anak yang di cari tak ada sama sekali. Sempat berpikir, mungkin anak itu ada di dalam masjid ke tempat kakaknya. Kemudian ia menunggu di dekat pintu masjid. Berharap Haikal atau temannya yang keluar. Sampai sebuah suara cempreng yang di kenalnya membuat kekhawatirannya sirna.

"Tuh kan, Bia lebih cantik!"

"Bia! Ibu cari ka—" kalimatnya menguap begitu saja saat sosok yang menggendong Bia bukanlah Iyang, kakaknya. Melainkan Mark, saudara Alvano yang dari Jakarta itu. Yeri segera menunduk dan menutup wajahnya. Ia malu dilihat yang bukan muhrim hanya dengan balutan mukenanya.

"Ibu, Bia udah tanya ayah. Kata ayah, Bia lebih cantik dari pada ibu!" Seru anak itu seraya turun dari pangkuan Mark.

Dan lagi, kenapa anak itu memanggil Mark dengan sebutan ayah?

"Ibu cariin Bia kemana-mana. Ayo ngaji dulu!" Yeri menarik tangan kecil Bia. Ia harus merelakan jilbab panjangnya menyapu lantai karena tinggi Bia yang tak seberapa.

"Tadi Bia lari-lari di depan masjid, yaudah saya bawa ke dalem takut jilbabnya makin kotor. Ah, soal panggilan itu–"

"Makasih." Sela Yeri cepat setelah mendengar penjelasan Mark. Ia pamit setelah membawa Bia dalam gendongannya. Meninggalkan Mark sendiri di depan masjid yang tengah tersenyum. Perempuan itu lucu sekali, begitu pikirnya.

Mark sendiri cukup kaget begitu mendapati Yeri di sana. Ia kira guru ngaji Bia itu Uminya Haikal, ternyata dugaannya salah. Malah ia dapat bonus bisa melihat wajah perempuan itu saat memakai mukena. "Bawaannya pengen ngimamin sholat," ehm.

"Hoi bang! Senyum-senyum sendiri di depan masjid, ke sambet loh!" Alvano menghancurkan imajinasinya, membuatnya beristigfar dalam hati. Kenapa juga ia berpikir begitu tadi.

"Apa sih," Mark mengalihkan pandangannya dari pintu majlis pada Alvano.

"Yuk pulang, gue laper,"

"Duluan aja, abang mau nunggu isya."

Alvano mengangguk dan segera pergi dari masjid bersama Haikal, Iyang, dan Zainal yang menyeret Jundi.

"Bang nitip Bia ya!" Teriak Iyang begitu mereka keluar gerbang masjid.

Mark hanya mengangguk dan kembali masuk ke dalam masjid. Mendengar nama Bia membuatnya otomatis mengingat Yeri. Eh, tunggu apa?

Sementara di dalam majlis, Yeri sudah memakai jilbabnya lagi. Meski ujungnya sedikit kotor, tapi itu tak masalah. Ia menatap Bia yang nampak anteng membaca asal iqranya.

"Bia kenapa panggil kakak tadi ayah?" Tanyanya sedikit penasaran. Habisnya ia malu karena itu juga. Bia yang memanggilnya Ibu dan Mark yang ia panggil ayah terasa aneh dan asing.

Bia mendongak menatap Yeri, "Kak Iyang bilang, kalau ibu kan sama ayah. Bia bener kan?"

Yeri menghela nafasnya, anak ini polos sekali. "Iya, tapi ibu di sini kan ibu guru. Jadi gak harus ada yang kamu panggil ayah,"

"Kenapa?"

"Karena ayah itu pasangannya ibu. Sama kayak mamah dan bapaknya Bia." Jelas Yeri singkat. Berharap Bia mengerti.

Bia nampak berpikir sesaat, "Kalo gitu ibu guru jadi pasangan aja sama ayah guru. Jadi bisa Bia panggil ibu ayah!" Serunya semangat.

Yeri menghela nafasnya pasrah. Entah harus seperti apa ia menjelaskannya agar Bia paham. Tapi mengingat kejadian tadi...


















... Yeri malu sendiri mengingatnya.

































___
tbc

Okumaya devam et

Bunları da Beğeneceksin

246K 19.5K 94
"Jadi, saya jatuh dan cinta sendirian ya?" Disclaimer! Ini fiksi nggak ada sangkut pautnya di dunia nyata, tolong bijak dalam membaca dan berkomentar...
182K 28.7K 52
Jennie Ruby Jane, dia memutuskan untuk mengadopsi seorang anak di usia nya yang baru genap berumur 24 tahun dan sang anak yang masih berumur 10 bulan...
4.4K 508 52
Seorang idola besar mempunyai rasa cinta kepada seorang perawat rumah sakit biasa . "I Love You kak Yuju !" (Park Woojin) "Apa?" (Choi Yuju) *-*-*-*...
1.7K 392 32
[TRIOLOGI BAGIAN 2] "Untukmu malaikat tanpa sayap yang kucintai sampai akhir." ••• Dimata Sahara, Angelo itu sempurna dengan caranya sendiri. Tidak t...