Summer, Mom and Watermelon

By jeffjung

1.9M 162K 42.1K

𝐔𝐖𝐔𝐂𝐔𝐋𝐓𝐔𝐑𝐄 βœ… πŒπ€π‘π‘πˆπ€π†π„ π‹πˆπ…π„ βœ… 𝐌-𝐏𝐑𝐄𝐆 βœ… More

Prolog
Chit Chat with Haraboji
Mommy's Fanboy
[Special Chapter] Happy Birthday Jung Minhyung
MERAH JAMBU
[Special Chap] ANOTHER PINK
for him. [Another Pink Sequel πŸ”ž]
Boss
Mommy's Fanboy 2.0
Boss II [Re-Update]
[Special Chapter] Rosenante
Tyty, Do You Love Me?
Entrust
Last Romeo
My Page
Cure
[Special Chapter] Vroom Vroom Squad
ChΓ©rie
Reconnaissant
Pieds nus
barbe Γ  papa πŸ”ž
New Heroes
clair de lune
[Special Chap] Abeille
en fuite
Sourire
[Prequel;] Dear Dream
queenty time
Dear Dream
Cure 2.0
fait maison
I L (ambo) U
Mommy's Fanboy 3.0
New Member
Teenager vs Teen-anger
our.
tyraphy
SoufflΓ©
Uwugami
a p r i l
J-A-E-H-Y-U-N
Mouette
Bucin
A letter for daddy
r e d. [18+]
Geschwister
chien enragΓ©
Sweet Crime
una lecciΓ³n
Tiroir πŸ”ž
Dream in a Dream
Soulmate
Domestic

Dearest

22.4K 2.4K 489
By jeffjung

Bgm :
Aboji - BtoB
Dear my Family - SMTown

.

.

.

.

Bintang berkerlap-kerlip dengan riang menemani malam yang cerah ketika Jaehyun berjalan pelan menuntung sang mertua menuju halaman belakang setelah beberapa saat menghabiskan waktu mengelilingi rumah sembari bercengkrama. Tubuh rentanya dibantu duduk perlahan diatas bangku kayu yang menghadap pada kolam renang yang memantulkan cahaya bulan, lelaki tua itu tersenyum dan bergumam terima kasih atas bantuan sang menantu.

"Langitnya sangat indah ya Yoonoh." gumamnya pada Jaehyun yang sedang melilitkan syal pada lehernya. "Iya Ayah, sepertinya musim semi datang lebih cepat." ujar Jaehyun sembari mendudukkan diri disisi sang mertua yang kemudian menoleh untuk menatapnya dengan senyuman. "Taeyong suka musim semi. Wajahnya akan kemerahan jika musim itu tiba." ucapnya. "Dan keriangannya akan bertambah berkali-kali lipat." imbuh Jaehyun membuat keduannya kemudian tertawa bersama.

Jaehyun melirik dengan ekor matanya, bagaimana tawa yang digerus senja itu sangat amat jarang dilihatnya. Tawa seorang ayah yang sedang menceritakan tentang anaknya, dulu Jaehyun sangat ingin mendengarnya dan lewat ayah Taeyong impiannya bisa kesampaian, banyak hal yang kini Jaehyun syukuri bagaimana ia adalah seorang yatim yang tak pernah mencoba membanyangkan kembali mendapatkan hal-hal kecil namun bermakna antara ayah dan anak dalam hidupnya termasuk obrolannya kali ini bersama sang mertua yang masih betah menatap langit malam.

"Apa dia sudah tertidur?" Jaehyun mengangguk. "Sepertinya ia kelelahan seharian ini." tambahnya sembari merapatkan sweater sang mertua untuk menghalau angin yang menerjang tubuh rentanya. "Ayah lega ia mengandung seorang putra lagi." Jaehyun mengalihkan fokusnya dari kancing yang sedang dikaitkannya untuk menatap wajah sang ayah yang berbicara sembari menatap kosong pada langit, setelahnya Jaehyun tersenyum. "Akupun begitu Ayah, Mark akan punya saudara." ucapnya.

"Taeyong dikelilingi laki-laki hebat disisinya, aku amat bersyukur." Aboji berujar lirih. "Ada kau, Sehun dan dua jagoan kalian. Aku tak perlu khawatir lagi bukan?" imbuhnya, sedangkan Jaehyun mengangkat alisnya heran merasa ada yang tersirat dari ucapan sang mertua. "Tentu." jawabnya cepat untuk menepis segala pemikiran aneh yang tiba-tiba memenuhi kepalanya, sang Ayah tersenyum lagi.

"Sudah dekat bagiku untuk menjaganya dari jauh." Lelaki tua itu kembali bergumam membuat Jaehyun harus memiringkan tubuhnya untuk bisa menangkap maksud dari ucapannya. "Maksud Ayah?" tanyanya, yang ditanya kemudian menoleh. "Ayah tau kau sudah tau kondisi Ayah bukan?" jawabnya pada Jaehyun yang langsung menundukkan kepalanya, tangan keriputnya terulur untuk mengusap belakang kepala Jaehyun. "Kau memperhatikan Ayah lebih dari yang Ayah tau." Sang menantu berdehem kemudian membuang pandang untuk menyembunyikan matanya yang mulai berair. "Dia seolah hidup dalam dirimu." gumamnya lagi, membuat Jaehyun seketika menoleh dengan mata merahnya. "Dia?"

"Sudahkah Ayah bercerita tentang jiwa Taeyong yang lain?" Jaehyun mengerutkan alis dan menggeleng. "Siapa dia yang dimaksud Ayah?" tanyanya. Sang mertua lagi-lagi tersenyum lalu menyandarkan punggungnya pada sandaran bangku yang dingin, untuk sejenak suasana diantara kedua lelaki itu hening, hanya kucuran air mancur yang bersuara, Jaehyun dengan sabar menunggu sang mertua menjawab rasa penasarannya.

"Dua puluh delapan tahun lalu ada seorang lelaki yang berbahagia, Tuhan memberinya dua malaikat kecil yang akan menambah suka cita ditengah keluarga kecilnya. Ia amat senang untuk menyambutnya, bekerja siang malam tanpa lelah demi memenuhi segala kebutuhan calon Ibu yang mengandung dua malaikatnya."

"Namun, sesuatu yang berlebihan memanglah tidak baik. Karena terlalu semangat dan bahagianya ia sama sekali tak tau jika Istrinya ternyata tengah menderita sakit. Sampai diusia tujuh bulan kandungan barulah Istrinya memberi tahu bahwa sumsum tulang belakangnya tak lagi berfungsi layaknya orang kebanyakan."

"Dan kesedihan sepertinya enggan pergi jauh-jauh darinya, saat itu juga ia baru tahu jika salah satu bayinya didiagnosa mengidap Twin to Twin Tranfusion Syndrom."

Mata Jaehyun bergerak kesana kemari menatapi wajah sendu sang Ayah mertua yang sedang bercerita. Jaehyun tak bodoh untuk mengeja setiap kalimat yang ia ucapkan, lelaki disebelahnya ini sedang menceritakan dirinya sendiri namun Jaehyun hanya bisa diam dan menyimaknya dengan seksama sampai akhir walau diawal cerita pun ia sudah merasakan pilunya.

"Bayi yang lain tak bisa tumbuh dengan baik karena menerima terlalu sedikit darah, sedangkan yang satunya lagi menerima terlalu banyak darah dan mengalami menumpukan cairan yang menekan hatinya. Keduanya sama-sama menderita terlebih kondisi Ibunya semakin lama semakin memburuk, hingga bayi itu harus dilahirkan ketika Ibunya tak lagi sanggup untuk duduk." Aboji menghela nafasnya pelan, merasakan rasa sesak yang kembali memenuhi rongga dadanya tiap kali ia teringat kejadian pada tanggal satu bulan juli dua puluh delapan tahun silam yang merenggut separuh hidupnya.

"Si kembar harus dikeluarkan sebelum si Ibu menjalani operasi transplantasi sumsum tulang belakang, semua berjalan baik-baik saja namun aku sudah siap untuk kemungkinan terburuknya."

"Bayi itu lahir namun jantung salah satu dari putraku berhenti berdetak, dan bayi itu adalah David. Kembar pertama yang lahir lebih cepat dari Taeyong, kakak Taeyong." sambungnya sembari menoleh pada Jaehyun yang seketika membulatkan matanya ketika mendengar ucapan sang mertua, ia tak pernah tau jika selama ini istrinya memiliki saudara kembar yang telah tiada. Taeyong sama sekali tak pernah bercerita, yang ia tau hanya Ibunya yang meninggal ketika melahirkannya dan ia tak menyangka jika kembarannya ikut pergi bersama sang Ibu.

"Namun pada saat yang bersamaan Taeyong berjuang setiap detiknya untuk bertahan dan menjadi lebih kuat dibalik tubuh ringkihnya yang dipenuhi selang-selang penunjang hidup yang membuatku semakin hancur."

Jaehyun menggenggam tangan sang mertua dan mengusapnya ketika lelaki paruh baya itu mulai terisak, Jaehyun yang menatapnya pun tak kuasa menahan tangisnya ia benar-benar paham bagaimana perasaan mertuanya karena ia pernah ada di titik yang sama. Ia juga seorang Ayah dan suami yang sepenuhnya mengerti betapa kalutnya fikiran seseorang jika ditempatkan pada titik tersebut, setangguh apapun atau setegar apapun orang itu pasti ia akan terpuruk dan goyah, jika bisa ditukar ia dengan suka rela bertukar posisi dengan dua orang yang paling dikasihinya agar ia saja yang merasakan sakitnya. Namun, jalan hidup Jaehyun mungkin lebih beruntung dari Ayah mertuanya.

"Dan sang Ibu, menghembuskan nafas terakhirnya ketika memeluk Taeyong dan David dalam dekapannya." Aboji terisak, benar-benar terisak ditengah sepinya malam dan dinginnya angin. Jaehyun pun begitu, hatinya perih mendengar bagaimana perjuangan Taeyong ketika dilahirkan. Ia tidak tau jika Istrinya itu juga membawa penderitaan yang sama seperti Mark. Lelaki 26 tahun itu bahkan harus mengusap kasar wajahnya yang dipenuhi air mata, dalam hati ia bersyukur Tuhan masih memberi Taeyong kesempatan untuk hidup dan dipertemukan dengannya serta setelahnya pun masih diselamatkan dari masa kritisnya. Jaehyun tidak tau lagi bagaimana caranya untuk mengungkapkan rasa terima kasihnya pada Tuhan, terlebih pada Istrinya yang tak pernah menyerah berjuang untuk tetap bersamanya.

"Kehilangan David dan Ibunya adalah sebuah perjalanan yang penuh dengan rasa sakit, tapi disatu sisi aku pun mengetahui Taeyong adalah petarung yang kuat yang tak memupuskan harapanku untuk tetap bersyukur memilikinya." Jaehyun tersenyum dan membantu sang mertua menghapus air matanya. "Dan dia kini hidup dalam dirimu, yang menjadi benang penghubung antara si sulung Sehun dan Taeyong. Yang menyayangi dan menjaganya serta memperhatikanku lebih dari siapapun. Terima kasih Yoonoh." ujarnya kembali mengusap belakang kepala Jaehyun dengan sayang, Jaehyun terenyuh dengan tatapan penuh kasih sayang yang ditujukan kepadanya dari sang mertua. Ia tak mengira jika mertuanya ini akan seterbuka ini dengan dirinya, padahal jika ditilik kebelakang Jaehyun paham benar bagaimana perangai sang mertua yang serlalu terlihat tegas dan sukar diajak bicara diawal-awal pernikahannya dengan Taeyong namun seiring berjalannya waktu Jaehyun sadar dibalik sikap dinginnya sang mertua menyimpan begitu banyak beban yang harus dipikulnya sendirian.

"Jika aku telah Ayah anggap sebagai penggantinya, maka ijinkan aku untuk berjalan beriringan denganmu, menjadi tempatmu berbagi beban dan tanggung jawab." ucap Jaehyun, matanya menatap lurus pada Aboji yang menatap kosong rumput hijau dibawah kakinya, Ayah dari Istrinya itu kemudian mengangguk mengiyakan.

"Ya, anakku."

— —

Jaehyun berjalan tergesa menuruni tangga sembari memegang sebuah boneka beruang berukuran sedang ditangannya, langkahnya lebar lalu bebelok menuju kamar paling ujung dilantai pertama rumahnya.

"Aboji?" panggilnya pada seseorang yang sedang duduk memunggunginya, yang dipanggil kemudian menoleh dari kegiatannya menatap kosong jendela kamar yang menampilkan pemandangan hijau halaman belakang rumah, wajah pucat berhiaskan senyuman menyambut Jaehyun yang berjalan mendekat kearahnya.

"Bukankah kau harusnya menemani Taeyong bersalin?" tanyanya pada Jaehyun yang sudah berjongkok disebelah kursinya, menantunya itu hanya diam memperhatikan lekat-lekat wajah pucat pasi milik mertuanya. "Aku datang untuk mengambil Sam." jawabnya mengangkat boneka usang itu yang kemudian diusap oleh sang Ayah. "Baiklah, Sam akan menggantikanku menemaninya bersalin." kata sang mertua, tanpa sadar Jaehyun meremas bonekanya.

"Aku tau kau tidak baik-baik saja Ayah." ucap Jaehyun kemudian setelah beberapa saat keduanya hanya saling diam, si lawan bicara menghela nafasnya pelan kemudian kembali memalingkan pandang pada jendela kamar. Bukannya Jaehyun tidak tau jika penyakit yang diderita Ayah mertuanya semakin hari semakin memburuk dan parahnya hal ini hanya diketahui Jaehyun dan Sehun saja tanpa sepengetahuan Taeyong atas permintaan Ayahnya.

Jaehyun benar-benar dilema beberapa bulan belakangan, ia jadi sulit tidur dan nyaris fertigo setiap harinya karena memikirkan banyak sekali hal-hal penuh perhitungan yang mengusiknya seperti persalinan Taeyong, pengobatan mertuanya dan rasa bersalahnya karena menyembunyikan masalah ini dari Istrinya. Lelaki ini bimbang, tidak tau harus berbuat apa sampai semua mengalir begitu saja dan hari ini pun akhirnya tiba.

"Raga ini sudah payah Yoonoh, tapi aku masih merasa egois untuk bisa menyambut cucu keduaku yang akan lahir." gumamnya penuh kesedihan, Jaehyun menunduk dan meremas pegangan kursi untuk melampiaskan emosinya. Jujur ingin rasanya Jaehyun berteriak sekencang-kencangnya untuk melepaskan semua beban yang menggelayuti setiap hembus nafasnya, ia sedih, kacau dan marah pada dirinya sendiri karena lagi-lagi ia merasa bodoh dan terjepit dalam kondisi memilukan seperti ini. Ia pernah kehilangan Ayah kandungnya, tapi rasanya tak semenyakitkan ini.

Banyak binar harapan dalam mata renta yang berair itu tapi Jaehyun pun tau jika raga pucat itu tak lagi lama bertahan, tubuh itu semakin kurus. Jaehyun amat kesakitan melihatnya, inginnya ia berbagi kesedihan ini dengan Istrinya, ia ingin mengatakan semua yang menjadi gundahnya namun ketika ia bercerita maka kepiluan lain akan muncul dan memperumit keaadaan walaupun ia tau ia sudah lebih dulu membuatnya rumit ketika ia menyembunyikan fakta dari Istrinya bahwa sang Ayah takkan bertahan lama berada ditengah-tengah mereka.

Jaehyun menggigit bibirnya untuk menahan isakkan dari air matanya yang juga terus menggenang, matanya menatap pada jemari yang memegang pena dengan gemetar. Sang ayah sedang menuliskan sesuatu disecarik kertas kemudian memberikannya pada Jaehyun yang menatapnya penuh tanya. "Aku ingin kau memberinya nama ini." ujarnya dengan senyuman setelah Jaehyun menerima kertasnya.

"Jung Jeno." eja Jaehyun, sang ayah mengangguk lemah.

"Je artinya raja dan No artinya kerja keras, kelak ia akan bekerja keras bersama kakaknya yang melindungi kedua orang tuanya." sambung Aboji menatap Jaehyun yang menatap lekat kertas ditangannya.

"Ayah harus ikut bersamaku menemui Taeyong, aku mohon!" pinta Jaehyun mengusap kasar air matanya sembari bersimpuh dibawah kursi Aboji yang diam enggan menjawab. Jaehyun tau mertuanya pasti menolak ikut seperti yang dikatakan Sehun namun firasatnya mengatakan ini mungkin kali terakhir dan kesempatan terakhir bagi mertuanya untuk bertemu Taeyong dan bayinya, apapun akan dilakukannya asal Ayahnya bisa ikut bersamanya.

"Aku akan pergi, namun setelahnya kau harus iklaskan aku." hati Jaehyun serasa hancur berserakan mendengarnya tapi entah kenapa ia malah mengangguk mengiyakan.

— —

Tidak ada kata yang sanggup untuk menggambarkan kondisi Taeyong saat ini, sedih? jelas, terpuruk? sudah pasti, hatinya remuk redam ketika melihat sosok Ayah yang menyayangi dan membesarkannya selama ini telah terbaring dingin didalam peti mati dan yang lebih membuatnya hancur adalah ia sama sekali tak tau apa-apa mengenai hal ini. Marah, Taeyong merasa marah dan kecewa akan sikap kakak dan suaminya yang menyembunyikan berita kematian sang Ayah selama berhari-hari darinya namun ia sudah terlalu lunglai untuk menyuarakan amarah dan kesedihannya.

Wajahnya pias, bersender pada dinding rumah duka sembari memeluk Jeno dalam gendongannya ia hanya diam bagai orang linglung, tak ada isakan hanya air matanya yang berbicara karena terus-terusan menetes tanpa henti saat menatap figura besar berhiaskan bunga aster putih yang ada didepannya.

Diambang pintu Jaehyun menatapnya pilu, dalam gendongannya ada Mark yang tertidur. Istrinya itu sedari tadi mengabaikannya, para pelayat yang memberikan penghormatan pun tak digubrisnya sama sekali. Jaehyun benar-benar merasa bersalah pada Taeyong, Istrinya itu pasti merasa terpukul dengan apa yang terjadi dan melihat Taeyong yang diam tanpa suara lebih-lebih membuat Jaehyun semakin merasa menjadi lelaki paling brengsek di dunia, lebih baik Taeyong menangis, berteriak dan menamparnya sampai babak belur daripada melihatnya hanya diam berpandangan kosong dengan air mata yang terus menetes, hatinya amat sakit melihatnya apalagi dalam kondisi fisiknya pasca operasi yang belum pulih benar, sungguh Jaehyun ingin sekali merengkuhnya dalam pelukan karena ia paham beban orang yang diam lebihlah berat daripada orang yang bersuara.

"Sayang?" panggilnya lirih namun Taeyong tak bergeming. Jeno dalam gendongannya bergerak gerak pelan ketika merasakan kehadiran Ayah dan kakaknya yang mengambil tempat untuk duduk disisi Taeyong. Jaehyun memangku Mark agar tidurnya lebih nyaman, melepas jasnya kemudian kembali pada Taeyong yang menatap kosong peti mati Ayahnya. Lelaki berdimple itu tak tahan berlama-lama menatap kondisi istrinya yang demikian, sisi dominannya merasa jengkel dengan keadaan. Segera setelah menidurkan Mark diatas jasnya yang digunakan sebagai bantal lelaki itu mendekat dan berdiri dengan lututnya disebelah Taeyong.

Diusapnya helaian coklat lembut itu kebelakang, menampilkan mata bulat sembab yang basah dengan air mata. Jaehyun mengecup keningnya kemudian membawa kepala Taeyong masuk dalam pelukannya. "Maaf. Maaf! Maafkan aku!" ujarnya berkali-kali penuh kefrustasian, diciuminya puncak kepala Taeyong bertubi-tubi dan membiarkan matanya juga basah dengan air mata, sedangkan Taeyong hanya diam mengeratkan gendongannya pada Jeno yang lantas menangis.

Adakah lelaki yang sanggup berada diposisi Jaehyun saat ini? itulah yang ada dipikiran Sehun saat menatap adik iparnya yang terlihat begitu kacau memeluk Istrinya ditengah kedukaan, tak ada yang bisa disalahkan disini selain keadaan, keadaan yang memaksa Jaehyun berbohong pada Taeyong tentang Ayahnya. Lelaki waras manapun takkan bisa berfikir jernih jika dihadapkan pada sudut pandang Jaehyun selain berpasrah pada keadaan.

"Tak apa kau mengabaikanku, tapi jangan abaikan anakmu. Ia sudah beberapa hari tak bertemu denganmu dan ia menangis ketika kau tak menyapanya." ucapan Jaehyun sukses membuat Taeyong tersadar sejenak dari kesedihannya, dengan perlahan ia menoleh dan melihat bagaimana putra sulungnya tengah tidur beralaskan jas ayahnya diatas lantai ruangan yang dingin.

"Hiks. Mark!" suara isakan Taeyong akhirnya terdengar, lelaki mungil itu melepaskan diri dari pelukan Jaehyun lalu beringsut mendekat pada Mark yang meringkuk. "Minhyungie!" panggilnya sembari meraung mengusapi rambut Mark, Jeno dalam gendongannya juga semakin menagis kencang mendengar Ibunya terisak dengan cepat Jaehyun mengambil Jeno dari pelukan Taeyong dan menggendongnya untuk ditenangkan, sebelah tangannya lagi memeluk Taeyong yang menagis tersedu untuk bersender dibahunya.

"Menangislah yang kencang, luapkan semua kesedihanmu." pinta Jaehyun lirih di telinga Taeyong yang kemudian semakin menjadi-jadi. Tangisannya amat memilukan, bahkan para kerabat yang sedang berkumpul didepan ruangan pun tak bisa menyembunyikan kesedihan ketika mendengar tangis Taeyong.

Setelah Taeyong mulai tenang Mark kembali dalam pangkuan Jaehyun dan Jeno digendong oleh Ibunya, Taeyong menyuapinya susu walaupun nafasnya sendiri masih tersengal karena sesegukan. Jaehyun terdiam cukup lama memikir dan menimbang ulang kalimat yang akan diucapkannya.

"Aku tak bermaksud menyembunyikan apapun darimu, tapi pahamilah aku menempatkanmu diatas apapun dalam kondisi apapun. Kau prioritasku, dan maaf karena Aboji sendiri yang memintaku melakukannya." ucapnya pada Taeyong yang diam. "Aku pun bingung sayang, seumur hidupku bersamamu tak pernah sekalipun aku berbohong padamu. Namun keadaan lah yang membuatku harus melakukan demikian." tambahnya sembari menggenggam erat tangan Taeyong dan memaksa mata bulat itu balas menatapnya. Netra Taeyong mencari pembenaran dalam mata suaminya, dan tentu saja ia mendapatkannya hanya dengan sekali tatap. Jaehyun memang sungguh-sungguh mengatakannya namun kenapa ia tak mempunyai firasat apapun tentang Ayahnya, ia bahkan tak bisa membaca kebohongan Jaehyun lebih cepat.

"Ayah bahkan belum sempat melihat Jeno dan mengucapkan selamat tinggal padaku." ucap Taeyong diselingi isakkan, Jaehyun langsung memeluknya untuk meredam tangis itu dalam dekapnya. Lagi-lagi Jaehyun merasa paham dengan bagaimana perasaan Taeyong saat ini karena ia juga pernah mengalaminya, ditinggal pergi Ayah tanpa firasat dan tak sempat bertemu untuk yang terakhir kali ataupun mengucapkan selamat tinggal, itu adalah hal yang amat menyakitkan yang meninggalkan ampas penyesalan.

"Aku paham kau sedih, marah, kecewa, hancur namun Ayah sudah meminta untuk diiklaskan." ujar Jaehyun berusaha menenangkan Taeyong yang sesegukan. "Ia sudah menunggumu datang terlalu lama, sekarang biarkan dia pergi dengan tenang ya?" sambung Jaehyun lirih, Taeyong menoleh pada figura sang ayah yang tersenyum kepadanya, memang sudah hampir seminggu dari lamanya jenazah itu ada dirumah duka menunggu Taeyong sembuh dan datang barulah akan dilakukan proses kremasi. Tidak ada hal lain yang bisa Taeyong lakukan selain merelakan Ayahnya, toh ditangisi sepilu apapun tubuh itu takkan pernah lagi memeluknya seperti dulu. Ia menatap Jaehyun yang memberinya penguatan, beralih pada Sehun yang menatapnya dengan pandangan memohon, akhirnya Taeyong mengangguk mencoba iklas walau hatinya masih belum percaya jika sang Ayah sudah tiada.

Jaehyun dan Taeyong menjadi orang terakhir yang memberi penghormatan pada mendiang sang Ayah, bunga aster putih sudah penuh didekat peti matinya pertanda begitu banyak orang yang hadir untuk melepas kepergian lelaki paruh baya itu untuk selama lamanya. Hingga Taeyong mencoba tegar memegang figura foto Ayahnya didepan Jaehyun dan Sehun yang mengangkat peti matinya dibantu beberapa kerabat menuju tempat kremasi. Taeyong sudah tak sanggup lagi menangis, ia sudah pasrah dan terlalu lelah badan juga pikiran membuatnya harus bersandar pada Jaehyun yang setia menopangnya ketika menunggu proses kremasi yang sedang dilakukan.

"Ayah ini aku Taeyong, maaf mengganggu waktumu. Bagaimana kabarmu? apa kau makan teratur? apa Ibu memasakkan makanan enak untukmu? Aku rindu, aku merasa sudah terlalu lama mata ini tak menangkap kehadiranmu di sekitarku. Aku datang bersama Jeno, ia sangat mirip sekali denganmu bukan? Ia pasti sangat kecewa karena sama sekali belum melihat wajah harabojinya."

"Maaf karena baru kali ini datang mengunjungimu, karena aku juga butuh waktu untuk bisa menerima kenyataan ini. Ayah aku ingin saat ini berada didekatmu lagi, bercerita banyak hal bersamamu, bersandar dibahumu seperti biasa sambil memakan semangka dingin bersama Mark."

"Dan tentang Jaehyun, aku tak tau apa pesanmu untuknya tapi terima kasih telah memberinya segenggam restu untuk menikahiku. Berkatnya aku bisa memiliki keberanian untuk mengunjungimu. Ayah tau dia lelaki hebat bukan? ya memang benar, ia membuatku tak benar-benar kehilangan sosokmu. Ia melindungiku sepertimu, mengayomiku seperti seorang kakak dan mencintaiku sebagai pasangan hidup. Aku tak tau bagaimana hidupku jika tanpanya, setengah hidupku kusandarkan padanya."

"Minghyung dan Jeno tumbuh dengan sehat, aku akan menceritakan banyak hal kelak tentangmu pada Jeno yang sama sekali belum melihat rupamu. Menceritakan bagaimana galaknya haraboji dan kebun semangkanya. Waktu kebersamaan ini terasa begitu singkat Ayah. Rasanya baru kemarin raga ini terlelap dipangkuanmu. Namun kini ternyata Tuhan ingin mengambilmu dari pelukku. Ayah, selamat jalan, aku ikhlas melepasmu terbang sampaikan salamku pada Ibu dan David disana. Aku selalu menyayangimu. Terima kasih telah meninggalkanku bersama sosok yang tepat."

Taeyong mencoba tuk tak terisak didepan tempat penyimpanan abu Ayahnya, sembari menggendong Jeno yang tertidur diletakkanya setangkai bunga tulip kuning disamping figura Ayahnya, untuk ketentraman hati dan ayahnya yang telah tiada kini ia iklas dan kuat menjalani hari tanpa sosok orang tua tunggal yang sedari kecil menemaninya. Ayah akan selalu ada dalam hatinya walau sosoknya kini hidup dalam diri Jaehyun, suaminya.

— —
tbc

...
Sudahkah peluk Ayah dan Ibu hari ini? 🙂

Continue Reading

You'll Also Like

70.5K 8.1K 28
Jaemin dikejutkan ketika sang pacar menyatakan bahwa bayi merah yang digendong oleh ibunya adalah anaknya. Sementara sang pacar sudah menghilang enta...
81K 6K 20
Semua bermula dari nomor tak di kenal yang meminta pertolongan pada mereka untuk datang ke alamat yang sudah dikirimkan, tanpa tau apa yang akan terj...
132K 11.7K 71
"Jadi, saya jatuh dan cinta sendirian ya?" Disclaimer! Ini fiksi nggak ada sangkut pautnya di dunia nyata, tolong bijak dalam membaca dan berkomentar...
PENGASUH By venta

Fanfiction

65.9K 7.7K 54
Pusat organisasi pembunuh bayaran telah terbongkar dan menjadi buron oleh negara. Salah satu cabang dari organisasi ini, memilih untuk membanting set...