wanita lain ( End )

By kan_rahasia

590K 24.9K 1K

Sedang di (REPOST) Jika mendapati isi bab yang tidak beraturan ceritanya mohon maaf ya. Apa yang akan kalian... More

Satu
Dua
tiga
empat
Lima
Enam
Tujuh
Delapan
sembilan
Sepuluh
Sebelas
Dua belas
Tiga belas
Empat belas
Lima belas
Enam belas
Tujuh belas
Delapan belas
Sembilan belas
Dua puluh
Dua puluh satu
Dua puluh dua
Dua puluh tiga
Dua puluh empat
Dua puluh lima
Dua puluh enam
Dua puluh delapan
Dua puluh sembilan
Tiga puluh
Tiga puluh satu
Tiga puluh dua
Tiga puluh tiga
Tiga puluh lima
Tiga puluh enam
Tiga puluh tujuh
Tiga puluh delapan
Tiga puluh sembilan
Empat puluh
Empat puluh satu
Empat puluh dua
Empat puluh tiga
Empat puluh empat
Empat puluh lima
Empat puluh enam
Empat puluh tujuh
Empat puluh delapan
Empat puluh sembilan
Lima puluh
Lima puluh satu
Lima puluh dua
Lima puluh tiga
Lima puluh empat
maaf
tanya

Dua puluh tujuh

8.6K 511 27
By kan_rahasia

Indri tertegun di depan sebuah bangunan reyot. Seluruh tubuhnya lemas  memandangi dinding dinding bangunan yang sebagian temboknya sudah terkelupas juga retak di setiap tembok.

Bangunan yang tidak terlalu besar dengan tumpukan tumpukan kardus bekas yang di tata rapih dibagian samping kiri teras juga beberapa karung botol pelastik yang tertumpuk di samping kanan.

Halamannya terlihat kotor dan jorok, dedaunan menguning kering berserakan memenuhi teras.  

Dari sekilas orang  yang melihat pasti mengira rumah ini tidak berpenghuni. Indri menghirup kembali oksigen disekitarnya untuk mengisi  paru paru yang menyesak.

Sebelah tangannya tidak lepas memegangi tali tas, dan sebelah tangannya lagi entah sudah  berapa kali  naik turun mengetuk pintu, ragu ragu.

Tidak ada siapa siapa di situ selain dirinya, entah. Keadaannya tidak berubah sedikit pun seperti saat dia berkunjung ke tempat ini bersama Geisa.

Tetap dengan segala perasaan yang berkecamuk Indri mengangkat tangannya sekali lagi bersiap mengetuk tapi selalu terhenti setiap kali jemari jemarinya hampir menyentuh pintu.

Di sisi lain entah kekuatan apa yang menahannya untuk tetap mengetuk dan masuk. Namun di sisi lain entah dorongan apa yang memaksa tubuhnya untuk segera pergi.

Aku bisa," gumam Indri menarik napas kembali di barengi ketukan pelan di pintu.

Tuk... tuk...

Dua kali pintu di ketuk tidak membuat Indri mendengar seseorang menyahut dari dalam.

Dua detik... empat detik...

Baru saja Indri akan melempar ketukan ke tiga. Namun tangannya terhenti saat sebuah suara terdengar dari dalam, di susul bersamaan pintu yang di buka.

"Siapa..?" tanya seseorang dari dalam bersamaan pintu yang terbuka, mempertemukan dua orang manusia berkisar belasan tahun itu.

Indri terperangah dengan bibir yang sedikit bergetar seluruh otot tubuhnya lemas terasa akan copot.

Indri melangkahkan kaki teratur, pelan. Di hadapannya seorang wanita dengan syal hijau tua berwajah mulai menua keriput itu ikut terpaku.

"S-siapa..?" ulangnya bertanya membuka suara mencoba mencairkan suasana di sekitar.

Penglihatan Indri mulai tersamarkan akibat cairan panas yang merembes di kelopak mata.

Bibirnya bergetar perlahan seakan akan sulit untuk membuka suaranya.

Indri menjatuhkan tubuhnya perlahan berjongkok di hadapan wanita itu hingga  tas yang di pegangnya terjatuh ke lantai.

Secepat kedipan mata Indri langsung mendekap kedua lutut wanita di hadapannya dengan kedua bahu terguncang sesegukan.

"Ibu!" Indri menjerit memeluk lutut wanita yang masih diam bergeming.

Dadanya benar benar menyesak membuat lelehan demi lelehan  panas terus mengalir tanpa komando membasahi wajahnya.

"Indri?" gumam wanita itu lalu menundukan kepala perlahan, "Kamu Indri anak Ibu?"

Indri beranjak dari jongkoknya lalu mengangguk kecil sambil berhambur pada pelukan wanita itu. Membuat tubuh wanita itu ikut bergetar di dalam pelukannya.

                            ••••••••••

Siapa yang berani mengirim semua poto itu sama aku? Gumam Leon kakinya mundar mandir tidak keruan di dalam ruangan kantornya.

Seselaki kedua telapak tangannya meremas kasar rambut pendeknya hingga membuat rahangnya mengeras.

Entah semacam teror atau apakah Leon sendiri belum mampuh memastikannya. Namun kedua kalinya amplop itu masuk kantornya membuatnya berpikir keras jika tidak ada yang tidak mungkin jika pengirimnya adalah orang yang sama.

Orang yang kapan saja bisa mengirimkan poto poto itu pada rumahnya lalu di tujukannya pada Indri.

"Sayang!" Sebuah panggilan di barengi suara pintu kaca yang di buka dari luar membuat gerakan kaki dan tangan Leon terhenti.

"Hay!" Gebi melambai tangan menutup pintu kembali, "Kenapa nih kok kusut banget mukanya?" Gebi berhambur pada pelukan Leon.

"Kamu ada apa ke kantor?" Leon mendorong dan melepaskan pelukan Gebi dengan mata menatap pintu.

Namun alih alih menjawab, Gebi malah semakin mengeratkan pelukannya.

"Kamu sama siapa? Kenapa tahu kantor aku?"

"Kamu kenapa sih nggak suka ya aku kesini?" Gebi melipat bibirnya dan membuang wajah saat Leon menatapnya.

"B-bukan gituh. Kamu nggak mikir nanti istri aku tahu."

Gebi terkekeh pelan saat mendengar kata 'istri'. "Kan Indri tahunya aku asisten kamu."

"Ya tarus kamu ada perlu apa ke kantor aku?"

"Aku kangen..m" Gebi berhambur kembali memeluk tubuh Leon lalu kembali bersuara, "Kamu nggak kangen sama aku?"

"A-ah aku kangen ...aku kangen kata siapa aku nggak kangen?"

"Terus?"

Leon melepaskan pelukan Gebi dari tubuhnya lalu duduk di sopa sambil menarik amplop coklat di atas meja dan memberikannya pada Gebi, "Nih!"

"Apa ini?" kening Gebi mengkerut.

"Ini poto poto  kita di apartemn. Dan ini kedua kalinya seseorang mengirimnya pada ku."

Gebi memasuki tangannya meraba raba isi amplop lalu mengeluarkan beberapa poto dari dalam.

Poto poto bugilnya dengan Leon dan sebuah surat.

Bagai mana? benarkan kata ku.
Kamu sudah mengusik sarang lebah jadi jangan harap bisa lepas dari kejaran ku!

"Siapa... siapa yang kirim ini sama kamu?"

"Kalo aku tahu, aku sudah pergi dan tanya mau dia apa."

"Nggak papa lah, bukannya mama kamu udah setuju sama aku." Gebi menaroh amplop kembali ke atas meja kaca bulat di hadapannya. Lalu berjalan mengitari setiap sudut dan berakhir duduk di kursi Leon dengan kaki kanan yang menumpang kaki kiri dan punggung yang menyandar.

"Bukannya ini bagus?" Gebi lalu menegakan posisi duduknya dan menempelkan kedua tangan di atas meja.

"Bukan saat ini sayang!" Leon memasuki kedua telapak tangan ke dalam saku celana dan berjalan pelan ke arah Gebi.

"Kapan? Kamu selalu nggak siap."

"Tunggu aku siap ya. Aku harus menyiapkan semuanya." Leon duduk di atas pegangan kursi di samping Gebi.

"Kapan sayang, aku udah bosen gini gini terus." Gebi memajukan bibirnya lalu membuang wajah.

Membuat Leon tersenyum kecil lalu menangkup wajah Gebi. Membuatnya menoleh pelan di barengi gerakan wajah Leon yang perlahan mendekat.

Gebi mulai merasakan hembusan napas Leon pada wajahnya kedua matanya perlahan memejam bersamaan tangan yang baru saja menangkup wajah Gebi mulai jatuh turun menelusuri leher jenjangnya.

Membuka satu persatu kancing baju seragam  yang dikenakan Gebi.

Membalas kecupan masing masing dengan hembusan napas yang mulai memanas. Leon dan Gebi melupakan keadaannya saat ini berada dimana.

Yang mereka rasa saat ini hanya rasa agresif yang memacu meningkat saat jemari tangan Leon mulai meremas menggelitik kedua gunung kembarnya.

"Pak sudah-.." ucap Lusi tertahan kembali menutup pintu kaca dan berdiri dengan ekspresi campur aduk.

Sial! pekik Leon membenarkan kancing baju dan dasinya.

Lusi mengusap dahinya berulang kali dengan perasaan bimbang. Bayangan tangan atasannya yang berkeliar di dada Gebi terus berputar bagai hantu di dalam bayangannya.

"Lus ada apa?" sebuah tangan menepuk bahu Lusi. Membuat gadis itu mengangkat telunjuknya gemetar.

"Pak Leon?" tannya lagi mengikuti arah telunjuk yang di angguki Lusi masih dengan gemetar.

"Dia kenapa memangnya? Lo kenapa sih kaya abis liat hantu?"

"G-gue nggak sengaja.."

"Lusi, saya tunggu sekarang di ruangan!" suara Leon memotong ucapan Lusi.

Membuat gadis itu membelaka mata  lalu mengangguk beranjak.

"Gue temui dulu pak Leon." pamit Lusi pada teman sekantornya lalu pergi.

"Bungkam mulut kamu atau sekarang juga kamu beresin barang barang kamu dan resign dari kantor saya sekarang juga!" ucap Leon berdiri sambil berkacak pinggang membelakangi  Lusi.

"B-baik pak. Saya akan tutup mulut." suara Lusi gemetar.

"Bagus! Ada apa barusan?" Leon membalikan tubuhnya menghadap Lusi yang berdiri menunduk menatap sepatu phantofel merahnya.

"Sudah di tunggu rapat pak." sahut Lusi.

Leon mengusap wajahnya lalu merapihkan kemejanya sambil berseru, "Sekarang siapkan file dan tunggu saya di luar."

"B-baik Pak." Lusi beranjak pergi masih dengan sisa sisa gemetar di lututnya.

"Sekarang kamu pulang, jangan sampai memancing karyawan aku. Aku sudah terlambat di tunggu rapat." Leon membungkukan tubuh mengecup kening Gebi lalu tersenyum pergi.

                       ••••••••••

Gilang tertegun dengan kening berkerut di depan pintu rumahnya yang terbuka menyaksikan kedua wanita beda usia tengah berpelukan di dalam rumahnya.

"Ada apa ini?"

Pelukan keduanya melonggar sebelum kemudian dua wanita itu membalikan tubuh menatap bersamaan.

"Gilang?" panggil wanita tua dengan bibir melengkung tersenyum.

"K amu?" keningnya mengkerut merasa bingung dengan apa yang saat ini di lihatnya.

Seorang bocah Sma yang selama ini terus memeras uangnya tengah berdiri bingung di ambang pintu.

"Ada apa anda kerumah kami?" tanya Gilang merasa bingung.

"Dia kaka kamu sayang!" jawab wanita tua yang berdiri di belakang Indri.

Membuat Indri menoleh bingung pada Sania, wanita yang belum lama di peluknya lalu teralih pada laki laki yang baru kali ini diketahui namanya.

"Gilang?" Indri berseru tertahan menatap tanpa berkedip sambil melangkahkan kaki .

"Adik ku?" lanjutnya terus bertanya entah pada siapa.

Membuat Gilang, bocah itu perlahan mundur sambil menggelengkan kepala ,"nggak! Ini nggak bener aku bukan adikmu!"

"Orang yang selama bertahun tahun aku cari nyatanya sudah cukup dekat dan menampakan diri. Memeras uang uangku dengan skandal permainan akan membantu menyeret wanita simpanan suamiku. Tapi semuanya tidak terbukti."

Mendengar perkataan Indri membuat Sania terperangah dan mengingat kejadian beberapa minggu yang lalu.

"Dapat dari mana kamu buat obat Mama?"

"Mama nggak perlu ikut pusing nyari cara buat dapat uang."

-----

"Makanan sebanyak ini Lang? Kamu punya uang to di tabung buat kuliah kamu nanti."

"Aku habis nolong orang Mah dan orang itu ngasih aku bayaran gede banget."

"Tolong apa?"

"Mama nggak pelru tahu mending sekarang makan semuanya besok besok aku beliin lagi yang banyak asal Mama sehat.

   "Nggak... Aku yakin kamu bukan kaka ku! Kamu bukan orang nyebelin yang lebih memilih bajingan itu di banding aku dan Mamaku!"

"Apa kamu sudah tahu semuanya, Gilang?"

"Tahu apa?"

"Tahu kalo aku cari cari kamu dan Mama makanya kamu kemarin ngehindar?"

"Kemarin?" Sania kali ini yang menimpali.

"Yah! Kemarin aku sempat ke sini tapi Mama dan dia nggak ada di rumah lalu orang suruhanku bilang kalo kalian sembunyi untuk menghindariku."

"Ayolah Mah cepet."

"Kamu kenapa sih?"

"Orang yang minta tolong aku dateng kesini tapi bawa orang bertubuh besar."

"Ada urusan apa kamu sama mereka Gilang?"

"Nggak ada Mah tapi aku cuman takut hal yang nggak di inginkan terjadi."

"Aku bener bener nggak tahu kalo kamu anak yang selama ini di cari cari Mama Mba. Lagian kalo pun aku tahu aku nggak akan sudi menemui kamu, bantu kamu dan nyeret wanita simpanan suami kamu."

"Apa kamu bilang?"

Continue Reading

You'll Also Like

SCH2 By xwayyyy

General Fiction

109K 16.4K 44
hanya fiksi! baca aja kalo mau
STRANGER By yanjah

General Fiction

278K 31.6K 36
Terendra tak pernah mengira jika diumurnya yang sudah menginjak kepala empat tiba-tiba saja memiliki seorang putra yang datang dari tempat yang tak t...
My sekretaris (21+) By L

General Fiction

139K 1.2K 14
Penghibur untuk boss sendiri! _ Sheerin Gabriella Gavin Mahendra
453K 38.7K 59
jatuh cinta dengan single mother? tentu itu adalah sesuatu hal yang biasa saja, tak ada yang salah dari mencintai single mother. namun, bagaimana jad...