Voice Later [Book 2] ✔️

By inflakey

35.9K 4K 382

Voice Later : The voice that can be heard now ~ BOOK 2 -------- WARNING ------- KONT... More

Voice Later BOOK 2
1 ~ Tears
2~ First Or Not
3~ Brothers
4~ Like or Not
5~ Confession
6~ Get Out
7~ After-
Informasi
Biodata Karakter
8~ Tiring and Miss you
9~ Bunkasai
10~ Bunkasai 2
11~ Like this last time
12~ Oldest Brother
13~ Old wounds
14~ Encounter
15~ Change Of Story
16~ Punch-
17~ Good Bye-
18~ Genesis
19~ With Tears~
20~ Without Tears~
21~ The Moment
22~ Get It Back
23~ Be a Part of Family
~ Miyamoto's Family ~
25~ An answer
26~ Not alone-
27~ Voice Each Other
28~ Destiny
29~ Berteman lagi.
30~ The Voice
Afterwords
| EXTRA 2.1|
| EXTRA 2.2 |

24~ Let's Start Again!

792 107 10
By inflakey


Bab 54

Book 2 Chapter 24

Matahari pagi masih bersembunyi dan tak memberikan tanda akab segera muncul. Suara kicauan burung-burungpun tak mampu untuk memanggil sang mentari.
Daiki terduduk pada futon yang disediakan untuknya tidur. Sebuah ruangan yang hanya terdiri dari lemari penyimpanan dan beberapa lukisan yang dipanjang, ditengah ruangan terdapat Daiki yang duduk menatap pada pintu yang mengarah pada luar rumah. Menatap pintu tersebut seakan matanya dapat menembus pintu tersebut.

Setelah berpikir lama Daiki berdiri dari duduknya kemudian melepaskan yukata tidurnya dan menggantinya dengan baju miliknya yang sebelumnya.
Daiki membuka pintu yang menghubungkan dengan lorong dan berjalan beberapa lama hingga menggeser sebuah pintu. Daiki menatap seseorang yang tertidur pulas pada futon, masuk lebih dalam ruangan seraya kembali menggeser pintu ruangan tersebut. Dengan dengkul kanannya Daiki menopang tubuhnya tepat disamping orang yang masih terlelap tersebut.

"Rui?"suara pelan Daiki berusaha membangunkannya.

"Rui?"panggilnya sekali lagi seraya menggerakkan pipi Rui pelan. Rui terlihat terganggu dan mulai mengerjapkan matanya.

Rui menatap Daiki seakan penuh kebingungan. Setelah benar-benar sadar, Daiki membantu Rui untuk duduk dari tidurnya. Lagi-lagi tatapan kebingunan muncul dari sepasang manik coklat milik Rui. Daiki tersenyum membalas tatapan tersebut.

"Ada tempat yang ingin aku tunjukkan padamu"suara Daiki yang pelan seakan tak ingin percakapan mereka membangunkan orang lain yang berada diruangan lain.

"Ikut aku"ujar Daiki yang berdiri kemudian mengulurkan tangan kanannya kepada Rui. Rui berdongak menatap wajah serta tangan Daiki secara bergaian, sampai akhirnya dia menerima uluran tangan Daiki.

Daiki menarik tubuh Rui hingga tubuhnya berdiri dan berakhir pada pelukan Daiki. Daiki terkekeh dan mengecup pucuk kepala Rui.

"Kau punya jaket atau semacamnya?"tanya Daiki. Rui mengangguk dan menunjuk pada lemari storage dikamar miliknya.

Daiki berjalan menuju lemari tersebut dan meraih sweater dengan kancing dari lemari teraebut yang tergantung pada hanger. Daiki membawa sweter tersebut dan mengenakannya pada Rui. Setelahnya, Daiki mengajak Rui untuk keluar dari kamarnya. Menyusuri lorong panjang hingga mereka sampai pada genkan besar rumah. Daiki meraih sepatu miliknya kemudian meriah alas kaki lainnya yang sekiranya muat pada Rui. Mereka berjalan menuju pintu namun terhenti saat pintu bergeser dan menampaknya pelayan wanita yang menatap mereka bingung.

"Rui -sama, mau kemana pagi-pagi seperti ini?"suara wanita tersebut.

"Aku ingin mengajak Rui jalan-jalan. Sampaikan saja pada Riku -san dan lainnya"suara Daiki menjawab.

"Tidak mau sarapan dulu, tuan Chikafuji?"tawar wanita tersebut.

"Tidak perlu. Terima kasih banyak"ujar Daiki yang kemudian berlalu bersama Rui dengan sebelumnya mereka memberikan salam dan berlalu.

Mereka berjalan keluar dari gerbang besar rumah tersebut dan berjalan terus menyusuri jalanan aspal yang tidak begitu besar. Tautan tangan mereka tak terlepas sedikitpun. Hanya keheningan yang menyelimuti mereka. Daiki sesekali melirik pada Rui yang berada disamping kirinya. Napas Rui nampak mulai terengah membuat Daiki menghentikan langkahnya dan mengarahkan tubuhnya menghadap Rui. Rui ikut menghenti langkahnya dan menatap Daiki dengan bingung. Daiki terkekeh pelan yang semakin membuat Rui bingung.

"Baru jalan sebentar sudah lelah?"ejek Daiki dengan kekehannya. Rui terlihat merengut dan menatap kesal pada Daiki. Daiki mengacak rambut Rui lembut kemudian melepaskan tautan tangan mereka. Setelahnya Daiki membelakangi Rui dan berjongkok.

"Naik"ujar singkat Daiki. Rui menggeleng cepat sebagai penolakannya. Daiki menoleh pada Rui dengan wajah masamnya.

"Pilih aku gendong dibelakang atau didepan?"suara Daiki kembali. Wajah Rui seketika merona masih diiringi dengan gelengannya.

'Daiki juga akan lelah' angin berhembus dari bibir Rui.

"Hanya sampai ujung jalan ini. Setelah ini kita masih harus berjalan kestasiun. Kau yakin kuat?"suara Daiki yang menggoda Rui. Rui menggembungkan pipinya, pipi memerahnya semakin terlihat. Daiki terkekeh kecil kemudian meraih tangan Rui dan membawanya keatas punggungnya. Dengan mudah Daiki berdiri dari jongkoknya seraya membenarkan posisinya.

"Badan seringan ini, mana mungkin membuatku lelah"suara Daiki seraya melanjutkan langkahnya. Daiki dapat merasakan pukulan kecil pada bahunya, yang diperoleh dari Rui yang seakan menuai protesnya. Daiki kembali terkekeh dengan langkah ringannya.

"Jangan terlalu banyak bergerak. Aku bisa menjatuhkanmu"suara lembut Daiki terdengar, membuat Rui terdiam dengan wajahnya yang kembali merona. Rui menyesap aroma rambut Daiki, yang tak lama tangannya mulai melingkar pada leher Daiki. Tarikan bibir Daiki semakin menjadi saat merasakan kehangatan dari orang yang sedang dirinya gendong.

"Aku akan bekerja sangat keras untuk membeli mobil. Jadi kita tidak perlu berjalan seperti ini"Daiki yang kembali memulai pembicaraan. Tangan Rui mengerat tanda respon darinya.

"Tapi kalau aku membeli mobil. Aku tidak akan bisa memperlakukanmu seperti ini lagi"jawab Daiki pada dirinya sendiri. Rui nampak terkekeh tak bersuara memdengar hal kekanakan yang diucapkan oleh Daiki.

"Haaa~ Apa tidak perlu aja?"kembali Daiki bersuara.

"Ah! Paling tidak aku bisa membeli motor. Rui bisa memelukku sepanjang perjalanan"ujar Daiki seketika yang kembali mendapatkan pukulan dari Rui. Daiki terkekeh menerima perlakukan dari Rui, Rui pun tak bisa menyembunyikan rasa senangnya.

Perjalanan yang memakan waktu hampir sepuluh menit berjalan kaki akhirnya terlampaui. Seperti yang diucapakan Daiki sebelumnya. Dirinya akan menurunkan Rui usai mencapai jalanan utama. Keramaian baik orang maupun kendaraan telah terlihat. Suara bisingpun mulai terdengar walaupun hari masih begitu pagi. Daiki kembali meraih tangan Rui dan membawanya berjalan untuk mengikutinya. Mereka berjalan menuju stasiun terdekat untuk menaiki kereta pagi.

Rasa penasaran yang menyelimuti Rui semakin menjadi. Dia ingin bertanya pada Daiki, ingin kemana mereka pergi. Namun, rasa bahagianya saat ini juga begitu besar sehingga dirinya tak begitu memikirkan akan kemana mereka.  Hanya mengikuti langkah Daiki, dengan tangan dingin Daiki yang dapat Ia rasakan ditelapak tangannya sepanjang jalan. Semua hal yang menyelubungi pikirannya seakan lenyap begitu saja.

Perasaan bahagianya saat ini...

Yang paling dia inginkan adalah...

Berharap... Jika ini bukanlah mimpi.

***

Mereka kini duduk pada kursi dalam kereta yang sudah melaju. Daiki membuka sebuah kotak bekal yang sebelumnya mereka beli pada stasiun kereta.

"Ini-"suara Daiki yang menyodorkan kotak tersebut pada Rui.

Rui mengangguk dan menerimanya. Daiki kemudian meraih satu lagi kotak bekal dan membukanya. Memakannya usai mengatakan selamat makan.

Perjalanan dengan kereta memakan waktu yang cukup lama, melewati beberapa pemberhentian dan melakukan beberapa perpindahan stasiun. Beberapa kali Rui tertidur dan kembali terbangun dengan Daiki yang berada disisinya yang terus terjaga. Memperhatikan wajah Rui yang terlelap bukanlah hal membosankan untuknya. Tarikan dari kedua sudut bibirnya pun juga tak pernah menghilang. Tautan kedua tangan mereka juga tak terlepaskan. Jaket milik Daiki yang sebelumnya Ia kenakan, kini telah berpindah menutupi tubuh Rui guna menjadikannya selimut untuk tubuh Rui.

Dalam perjalanan yang menempuh waktu dua jam lebih, mereka akhirnya mengakhiri perjalanan dengan kereta mereka. Rui menghirup udara dengan kasar dan menghembuskannya, seakan mengeluarkan seluruh rasa lelahnya. Daiki terkekeh kemudian mengacak rambut Rui.

"Masih kuat berjalan?"ujar Daiki seraya menggerakkan kepalanya seakan memberi isyarat kalau merka tidak akan melakukan pemberhentian akhir mereka disini.

"Kita masih harus naik bus sekitar dua puluh menit"tambah Daiki. Rui mengangguk cepat tanda terimanya. Daiki kembali tersenyum dan menarik pelan tangan Rui untuk mengikutinya. Namun Rui menarik kembali tangannya seakan menolak mengikuti Daiki. Daiki kembali menoleh pada Rui dan mengernyit.

'Sebenarnya kita mau kemana?' akhirnya Rui mengeluarkan pertanyaan yang terus menemaninya sepanjang perjalanan.

Daiki menghela napas dengan senyumannya. Tangannya berpindah dan menangkupkan kedua tangannya pada pipi Rui.

"Ketempat, dimana kita bisa memulainya kembali dan menerima takdir kita"jelas Daiki. Mata Rui nampak berbinar mendengarnya. Rasa penasarannya semakin membesar.

Mereka akhirnya menaiki sebuah bus dengan cat hijau putih yang mendominan. Mata Rui tak lepas dari pemandangan yang terus disuguhkan oleh alam dari balik jendela busnya. Seakan melupakan tujuan serta rasa penasarannya. Memandang pemandangan yang masih begitu asri sangatlah menenangkan. Pemandangan tersebut berupa deretan persawahan serta gunung dan rumah-rumah penduduk yang dibangun tidak begitu besar. Tidak ada yang namanya gedung bertingkat seperti yang biasanya terlihat pada kota-kota besar.

Seperti kata Daiki sebelumnya sekitar dua puluh menit mereka akhirnya turun dari bus setelah melewati beberapa halte. Kembali Daiki menuntun Rui untuk berjalan dengannya. Mereka berjalan beberapa menit sampai akhirnya mereka sampai pada sebuah lahan luas dengan patung-patung batu yang berbentuk sama tersusun rapi. Rui menghentikan langkahnya membuat Daiki juga berhenti. Daiki menatap Rui yang dapat dirinya lihat, Rui menatap takut pada lahan tersebut. Daiki tersenyum kemudian meraih wajah Rui membuat Rui menatapnya.

"Jangan takut. Aku tidak akan mengajakmu bunuh diri bersamaku"sahut Daiki ditemani dengan kekehannya. Rui mengayunkan tangannya dan memukul pelan dada Daiki. Daiki meringis kecil kemudian berlanjut dengan kekehannya.

"Sebentar lagi sampai"lanjut Daiki dan melanjutkan perjalan mereka.

Mereka sampai pada sebuah batu yang berdiri tegak. Batu tersebut nampak begitu bersih, seperti sudah ada seseorang lebih dulu sebelumnya. Rui tersentak saat melihat tulisan yang berada pada batu tersebut 'Chikafuji Shougo'. Kemudian menatap pada Daiki yang nampak tersenyum padanya.

"Ya- Ini makam ayahku"suara Daiki terdengar. Mata Rui berubah menjadi sayu dan mengalihkan pandangannya dari Daiki.

Daiki menghela napasnya dan kembali menatap batu nisan dihadapannya tersebut. Kedua telapak tangannya menyatu dan mata terpejam, melakukan sikap untuk berdoa. Rui yang menyadarinyapun ikut menyatukan kedua telapak tangannya dan berdoa untuk ayah Daiki tersebut. Tak seberapa lama Daiki membuka kembali matanya kemudian berjongkok menyamakan tingginya dengan batu tersebut.

"Ini sudah lama sekali, Ayah"suara Daiki terdengar. Rui yang mendengar suara Daikipun mulai membuka matanya dan langsung mendapatkan Daiki yang berjongkok selangkah didepannya.

"Aku tidak tau kapan terakhir kali aku kesini-"Daiki menahan suaranya.

"Ha~ Aku rasa aku bahkan tidak pernah kesini... Maaf-"sambung Daiki.

"Aku butuh waktu yang lama untuk kemari dan menyapamu-"
Tangan Daiki terangkat dan meraih tangan Rui. Menggenggamnya kuat hingga Rui dapat merasa sedikit sakit. Rui yang berencana protes tertahan saat melihat Daiki menunduk tak berniat menunjukkan wajahnya saat ini.

"Aku benar-benar mengumpulkan banyak sekali keberanianku untuk kesini"sambung Daiki. Genggamannyapun tak mengendur.

"Aku seharusnya bisa menerimanya. Aku bahkan tidak mendengarkan orang lain dan tetap keras kepala. Aku juga menyakit banyak orang-"

"Ibu... Bibi... Mereka terus bertahan demi aku. Terlebih... Kini aku menyakiti orang yang sangat aku cintai"

"Hanya memikirkan diriku dan terus bertindak egois. Menganggap kalau aku yang paling menderita didunia ini. Aku... Hiks-"suara Daiki kini tertahan dengan isakan yang berusaha Ia tahan. Rui nampak tersentak, menatap Daiki dimana kini punggungnya begitu bergetar menahan tangisnya. Rui menggerakkan tubuhnya, memeluk Daiki dari punggung Daiki. Tangannya membalas genggaman Daiki. Seakan berusaha menenangkan Daiki, Rui mengelus salah satu bahu Daiki.

"Aku... Aku bukan anak yang bisa ayah banggakan. Aku juga terus membuat Ibu khawatir padaku. Aku hanya bisa menyusahkannya"Daiki yang terus berucap. Rui nampak menggeleng sebagai tanda protesnya.

Daiki seakan terus meluapkan seluruh perasaannya selama ini. Dihadapan makam ayahnya, dimana dirinya baru pertama kalinya datang dan juga pertama kalinya dirinya menangis. Meluapkan segalanya yang selama ini pendam. Yang selama ini dirinya tahan, dan melapaskan seluruh egonya.

Rui memberikan bahunya sebagai sandaran untuk Daiki. Kini Daiki dihadapannya bukan seperti Daiki yang sering Ia lihat.

Daiki yang terus menunjukkan sisi kuatnya. Daiki yang terus terlihat tenang. Daiki yang terus terlihat tegap dan gagah. Kini bahu gagah dan tegapnya nampak bergetar. Wajah tenangnya kini nampak begitu murung.

Namun, bagi Rui itu semua bukan masalah untuknya. Melihat sisi Daiki yang sama sekali belum pernah dirinya lihat, hanya padanya saja Daiki menunjukkan sisinya yang seperti ini. Daiki sudah benar-benar percaya pada saat ini. Itu cukup membuat Rui bahagia.

Daiki meraih tubuh Rui memeluknya erat kemudian mulai menyesap aroma tubuh Rui. Semburat merah nampak muncul pada pipi Rui. Daiki nampak melepaskan napas panjanganya seakan ingin mengakhiri keadaan lemahnya saat ini. Daiki menarik tubuhnya kemudian menatap Rui yang juga menatapnya disertai senyuman manisnya. Rui menangkupkan wajah Daiki. Kecupan lembut diberikan oleh Rui tepat pada kening Daiki. Daiki menatap Rui tak berucap yang kemudian senyuman mengiasi wajahnya. Wajah kusut Daiki kini sudah hilang dan kembali wajah tenangnya menghiasi wajahnya.

"Ada yang ingin aku berikan untukmu"suara Daiki memulai percakapan mereka.

Rengutan alis Rui terbentuk menatap bingung Daiki yang merogoh saku jaketnya. Dalam posisi mereka yang masih terduduk didepan batu nisan ayah Daiki, Daiki memgeluarkan sebuah kotak kecil coklat yang terbuat dari kayu. Rui menatap kotak tersebut serta Daiki secara bergantian. Daiki tersenyum kemudian mengalihkan pandangannya kearah batu bisa ayahnya.

"Ayah- Kau pasti mengenalnya"Daiki yang meraih pinggang Rui seakan sedang mengenalkan Rui.

"Ayah, aku rasa ini semua takdir. Entah bagaimana aku dan Rui dipertemukan seperti ini-"

"Ayah- Aku mencintai Rui. Aku sangat mencintainya. Aku tau... Ayah bukanlah orang pendendam. Dan aku yakin... Apa yang aku pilih tidak akan salah"

"Saat melihatnya pertama kali... Entah kenapa aku merasa sangat tenang dan ingin dia selalu berada disampingku. Karna itu aku memutuskan untuk membawanya bersamaku"

"Ayah, kau akan menjadi saksinya"Daiki meraih tangan Rui. Mengarahkan punggung tangan Rui kearah bibirnya. Rui nampak tersipu menatap Daiki.

"Selama ini kita menjalin hubungan tanpa kejelasan dariku. Jadi kali ini... Aku akan benar-benar mengatakannya, Rui-"jelas Daiki pada Rui.

Daiki membuka kotak kecil ditangannya. Dua buah benda bulat dengan warna silver yang mengkilap terpampang dari dalam kotak tersebut. Rui menatap kaget pada cincin tersebut dan Daiki secara bergantian.

"Rui, aku mencintaimu. Kau mau memulai dari awal denganku lagi?"ujar Daiki menyodorkan kotak tersebut pada Rui.

Mata Rui mulai berkaca. Seakan kebahagian yang dia anggap cukup, kini sudah lebih dari cukup. Yah~ Ini sudah terlalu berlebihan untuknya.

"Rui- Kau mau terus bersamaku mulai sekarang?"tanya kembali Daiki. Air mata Rui tak bisa terbendungi lagi. Kini giliran dirinya yang menangis. Air mata yang keluar tanpa aba-aba itupun seakan mewakili kebahagian Rui. Rui mengangguk dengan isakan kebahagiannya. Daiki meraih tubuh Rui dan memeluknya.

"Jawab aku"ujar singkat Daiki tepat pada telinga Rui. Rui kembali mengangguk, namun tangan Daiki menahan kepala Rui untuk bergerak.

"Jawab aku dengan suaramu-"kini Daiki mulai mengeluarkan permintaan egoisnya. Rui tersentak kecil, tubuhnya membatu menatap Daiki yang sudah memberikan jarak antara mereka.

"Kali ini, biarkan aku yang mendengarkan suaramu untuk pertama kalinya. Biarkan aku mendengar jawabanmu dari bibirmu"ujar Daiki menatap dalam Rui. Rui meneguk ludahnya, air matanya kini telah mengering. Angin sejukpun menemani mereka berdua. Rui membuka mulutnya perlahan. Bibirnya nampak bergetar berusaha untuk mengeluarkan suaranya.

"Ak... Ak... Aku-"

=TO BE CONTINUE=

HALOO~ Pada kesempatan kali ini saya ingin menyampaikan kalau pada tanggal 15 kemarin adalah ulang tahun dari Daiki -san (っ´▽')っ Tapi karena saya punya aktivitas dari tanggal 16 hingga 18 saya lupa untuk menyampaikannya. Persiapan yang dilakukan tanggal 15 lumayan padat terlebih saya masih harus bekerja hehe Tapi saya harap kalian bisa bersama-sama mengucapkan selamat pada Daiki -san (σ≧▽≦)σ Juga tanggal 20 kemarin adalah ulang tahun Ishii -san ヽ(´∀`)ノ saya harap mereka akan tetap terus menerima job dari In -sama (*´∇`*)

Continue Reading

You'll Also Like

1.7M 109K 46
Selamat membaca cerita Angkasa dan Raisa❤❤ Bercerita tentang. Angkasa Saputra Wiratama. Murid laki-laki paling berpengaruh di SMA Merah Putih. Selain...
13.8M 1.1M 81
♠ 𝘼 𝙈𝘼𝙁𝙄𝘼 𝙍𝙊𝙈𝘼𝙉𝘾𝙀 ♠ "You have two options. 'Be mine', or 'I'll be yours'." Ace Javarius Dieter, bos mafia yang abusive, manipulative, ps...
2.6M 217K 65
Kesepian yang selalu menemaninya. Ketakutan yang selalu menghantuinya. Beribu pertanyaan dan kebingungan yang selalu dipikirkannya. Ia adalah gadis b...