Imperfect Coach

By VaniaLianna

327K 21.8K 939

Sepanjang hidupnya Fiona tidak pernah mendapat pelatih vokal segalak Aldenio Baravi Serge. Seorang tunanetra... More

Prolog
1. Pelatih Vokal
2. Latihan Pertama
3. Kebersamaan Tak Terduga
5. Datangnya Leo
6. Keluarga Serge
7. Alden Sakit
8. Mereka Yang Berharga
9. Dianggap Sebagai Kakak
10. Rumor Tentang Fiona
11. Kejadian Malam Hari
12. Menanyakan Kepercayaan
13. Pelukan Alden
14. Perdebatan Alot
15. Kembali Tersakiti
16. Alden Punya Mantan
17. Kemalangan Fiona
18. Kesalahan Fatal
19. Pembalasan
20. Sebuah Kalung
21. Piknik Bersama
22. Satu Kisah di Pantai
23. Perasaan Tidak Berbalas
Trivia; Gapapa Baca Aja
24. Pesimis Asmara
25. Kematian Oma
26. Penilaian Diri
27. Officially Dating You
28. Jauhi Dia
29. Kado Untuk Nio
30. Camping Bersamamu
31. Kita Akhiri Saja
32. Let Him Do As A Father
33. Hadiah Dari Papa
34. D-Day
35. Dia Sudah Hancur
36. Life Journal (End)

4. Sisi Kejam Fiona

7.5K 734 32
By VaniaLianna

Bangun tidur Fiona langsung tertuju pada jaket Alden yang kemarin dia pakai. Wangi parfum Alden masih melekat walau sudah bercampur dengan bau badannya. Aroma Leather yang kuat memberikan kesan maskulin dan mewah. Fiona langsung menyukainya.

Fiona berencana memakai jaket itu hari ini untuk ke sekolah. Kebetulan pagi ini cuaca lumayan dingin. Fiona tidak peduli jika nanti orang-orang menatapnya aneh karena dia tidak pernah memakai pakaian cowok sekalipun itu kasual.

Mengingat Alden, Fiona jadi tidak sabar untuk bertemu dengannya nanti saat latihan. Kejadian kemarin masih membuatnya bertanya-tanya meski Fiona tahu dia tidak akan mendapat jawaban. Alden terlalu sulit ditebak.

***

"FIONA!!!" Ica berteriak heboh di ujung koridor saat melihat Fiona datang. Perempuan itu berlari menghampiri Fiona.

"Kenapa lo teriak-teriak?" tanya Fiona.

"Lo udah tau?"

Fiona mengernyit. "Tau apa?"

"Satu sekolah ngomongin tentang perselingkuhan Kevin sama Risa. Di mading ada foto mereka, dan lo dicap udah dicampakin Kevin!" Ica sedikit tersulut emosi.

Namun alih-alih terkejut, Fiona justru biasa saja. "Oh."

Ica ternganga. "Oh? Itu doang reaksi lo?"

Fiona berjalan mendahului Ica menuju kelasnya. "Gue udah tau, dan gue yang suruh orang buat pasang foto mereka di mading."

"Wow!" Ica membuntuti Fiona. "Lo enggak sakit hati, Na?"

Fiona menyunggingkan senyum miring. "Sakit hati, lah! Tapi lo tau apa risiko buat orang yang udah khianatin gue?" Fiona berbalik menghadap Ica. "Rasa malu yang melebihi kematian."

Mungkin Fiona terlihat baik hati. Namun sesekali dia rela menjadi jahat. Selama dia bisa melampiaskan rasa sakit hatinya, sekalipun menjadi iblis dia tidak keberatan.

***

"Sayang, please aku bisa jelasin semuanya sama kamu."

Begitu sampai di kelas, Fiona mendapati Kevin berdiri di depan kelasnya—menunggunya.

"Emang kamu mau jelasin apa? Aku enggak tau maksud kamu," sahut Fiona. Wajahnya menatap Kevin dengan sorot bertanya dan tidak lupa tersenyum kecil.

Kevin kebingungan. "Kamu ... kamu belum?'

"Oh, tentang kamu sama Risa? Emang kalian kenapa?" Fiona berusaha memancing Kevin.

"Aku sama Risa enggak ada apa-apa. Beneran. Foto yang di manding, itu semua palsu!"

"Tali sepatu kamu." Fiona berjongkok, membantu Kevin membetulkan simpul tali sepatunya. Adegan ini seperti ada yang salah saja. "Biar aku benerin."

Kevin terlihat salah tingkah karena tindakan Fiona. "Fiona enggak perlu."

Fiona kembali berdiri. Menatap Kevin dengan pandangan ... meremehkan. "Sayangnya, aku sendiri yang foto kamu sama Risa waktu kalian berduaan, mesra-mesraan, dan masuk ke hotel." Fiona menginjak sepatu Kevin kuat-kuat hingga membuat pria itu berteriak kesakitan.

Sedikit berbohong mungkin tidak apa-apa. Bukan Fiona sendiri yang membidik foto mereka, tetapi Sasa yang sudah dia bayar.

"Gue emang suka sama lo. Gue kejar-kejar lo. Dan lo cukup pintar buat ngambil kesempatan emas. Nembak gue, padahal lo aja enggak suka sama gue. Lo cuma suka sama duit gue. Padahal gue mau kasih lo sepuluh emas batangan andai lo setia dan enggak main belakang, tapi lo justru pilih cewek yang bahkan enggak bisa kasih lo satu emas batang aja." Kata-kata Fiona begitu tajam dan menusuk.

Ada banyak pasang mata yang mulai mengalihkan atensinya pada mereka. Saling berbisik satu sama lain. Namun Fiona memanfaatkan situasi ini dengan baik. Dia mendekati Kevin yang terdiam. "Lo tau? Enggak ada pengampun buat pengkhianat kayak lo. So, nikmatin hadiah terakhir dari gue."

"Lo enggak bisa mempermalukan gue kayak gini Fiona!" Kevin menggeram.

"Kenapa enggak bisa?" tanya Fiona. "Gue udah dicap sebagai cewek yang dicampakin. Lo juga harus dapet yang lebih buruk dari gue!"

"Lo emang pantesnya dicampakin Fiona!"

Fiona menoleh pada Risa yang baru saja datang. "Hei, gue sama sekali enggak keberatan dicampakin Kevin. Kalo yang campakin gue itu pangeran Inggris, gue baru nangis darah."

Fiona mengambil botol minumnya yang berisi jus jeruk, lalu meminumnya sambil berjalan ke arah Risa. "Karena selanjutnya ... lo yang bakal dicampakin Kevin." Fiona menumpahkan sisa jus jeruknya ke kepala Risa sampai habis.

Fiona berlalu dari hadapan Risa maupun Kevin. Sebelum benar-benar pergi, dia menyeringai tipis.

***

Fiona baru saja kembali dari toilet bertepatan dengan bel istirahat. Fiona berencana mengajak Ica ke kantin, tetapi dia menemukan satu kotak makanan ada di atas mejanya. Dia tidak tahu itu milik siapa.

"Ini kenapa ada di atas meja gue?" tanya Fiona pada Ica yang duduk di bangku depannya.

"Tadi ada yang nganterin makanan. Katanya sih buat lo," jawab Ica.

Fiona mengernyit. "Dari siapa?"

"Enggak tau. Orangnya, sih, cakep berjas gitu. Terlalu ganteng buat jadi kurir."

Buru-buru Fiona membuka kotak makanan itu. Ada satu kertas pesan di atasnya. Fiona membacanya dan seketika dia dapat menebak siapa yang mengirimnya makanan.

Ini makanan sehat. Jangan jajan sembarangan, Fiona!

Fiona mengulum senyum ketika memikirkan Alden seperhatian ini sampai mengirimnya makanan. Fiona teringat Alden pernah bilang dia lebih suka makanan rumahan karena lebih sehat.

"Lo ngapain senyum-senyum?" Ica keheranan. "Jadi lo tau ini dari siapa?"

"Kepo!" Fiona duduk di bangkunya, lalu dengan semangat makan makanan itu.

***

Sudah nyaris satu jam Fiona menunggu Alden di rumahnya, tetapi pria itu belum kunjung pulang. Bi Marni bilang, Alden meminta Fiona menunggu karena dia sedang ada urusan di luar. Fiona bosan. Dia sudah mengalihkan kebosanannya dengan melakukan banyak hal sampai akhir berakhir di sebuah ayunan berwarna putih.

Fiona duduk termenung sembari menatap Nio Serge yang dirantai supaya tidak kabur. Salakannya yang galak tidak membuat Fiona berhenti memikirkan betapa perhatiannya Alden padanya hari ini. Seseorang dari keluarga konglomerat, mengiriminya sekotak makanan sehat ke sekolah. Fiona tertawa menyadari betapa mujurnya dia.

Derum mobil yang memasuki halaman membuat Fiona menolah. Matanya membulat antusias saat melihat Alden turun dari mobil bersama Kris. Dia berlari menghampiri Alden lalu ikut berjalan sejajar dengannya.

"Kak Alden, Kak Alden, Kakak tadi yang kirim kotak makanan, kan?" tanya Fiona dengan semangat, tetapi Alden diam saja. "Kak Alden perhatian banget, sih. Ngaku dong, kok, diem aja?"

Melihat Alden yang tetap diam, Fiona lantas mengintip Kris di belakangnya. "Kris, kamu yang tadi ke sekolah, kan?" tanyanya. Fiona terbiasa bicara santai dengan Kris, dan pria itu tidak mempermasalahkannya walau usia mereka berjarak.

Kris hanya menanggapinya dengan segurat senyum tipis.

Fiona kembali menatap Alden. "Kak Alden dari mana? Aku nunggu sejam."

Dilihat dari pakaiannya yang rapi meski dengan style yang sama seperti sebelumnya, Fiona bisa menebak Alden berurusan dengan hal penting. Namun, Fiona tetap banyak bertanya meski tidak ada satu pun yang Alden jawab. Alden kembali ke mode irit bicara, tidak seperti kemarin.

Fiona menahan lengan Alden ketika tiba-tiba pria itu tersandung anak tangga yang tidak terlalu tinggi, tetapi mampu membuat pria itu hilang keseimbangan. Andai Fiona dan Kris tidak menahannya, mungkin saja Alden sudah jatuh tersungkur.

"Kamu jangan banyak bicara saat saya sedang jalan tanpa tongkat. Saya jadi enggak dengar intruksi dari Kris." Suara Alden begitu tegas. Dia melepas tangan Fiona di lengannya lalu kembali berjalan saat Kris memilih menuntunnya saja.

Fiona terdiam di tempatnya. Dia menatap punggung Alden yang semakin menjauh. Alden marah. Sebab Fiona terlalu berisik ketika dia butuh konsentrasi tinggi untuk berjalan tanpa tongkat. Menghela napas, Fiona memukul mulutnya sendiri. Dasar kaleng rombeng!

***

Fiona langsung berdiri ketika Alden masuk ke ruang musik. Kali ini pria itu menggunakan tongkat. Pakaiannya sudah berubah menjadi pakaian rumahan, hanya celana training hitam dan kaus kebesaran berwarna cokelat. Kacamata serta rambut Alden yang dikuncir sebagian selalu menjadi hal paling menarik bagi Fiona.

Namun mengingat belum lama Alden marah padanya, Fiona berhenti mencari hal menarik lainnya. Dia mengigit bibir bawah.

"Kita langsung mulai saja latihannya." Alden duduk di kursi yang berhadapan dengan pianonya.

"Kak Alden marah ya sama aku?" Bukannya menjawab, Fiona justru menanyakan hal lainnya pada Alden.

Alden tidak langsung menjawab. "Cuma kesal."

"Tapi Kakak diem aja dari tadi."

"Saya, kan, bukan kamu yang banyak omong," balas Alden. "Sekarang kita mulai."

Meski sempat tersinggung, Fiona tidak marah. Dia hanya mencebik.

Mereka mulai sesi latihan dengan mengulang dan menambahkan latihan sebelumnya seperti pemanasan, pernapasan, dan teknik vokal. Alden mengajarinya dengan telaten, tetapi Fiona terus membuat kesalahan. Sehingga kesabaran Alden benar-benar dipermainkan.

"Fiona, berapa lama kamu belajar bernyanyi?" tanya Alden usai menghela napas panjang.

Fiona mendongakkan kepala seolah sedang berpikir. "Em ... lama pokoknya. Dari aku kecil udah belajar nyanyi."

"Kamu seharusnya sudah lebih baik dari ini, tapi kenapa kamu terus melakukan kesalahan?" tanya Alden.

Menundukkan kepala, Fiona menatap sepatunya dalam diam. "Bapak mau tau alasannya?"

"Saya bukan Bapak kamu!"

"Sebenernya ... saya lagi galau Pak." Fiona beralih duduk bersila di lantai. Wajahnya berubah melas. "Saya diselingkuhin, diporotin juga duitnya. Terus dicap cewek yang dicampakin sama warga sekolah. Kan, saya jadi galau."

"Fiona?" panggil Alden.

"Iya, Pak?"

"Berapa kali saya bilang saya bukan Bapak kamu?"

Alden ini sensi sekali kalau dipanggil bapak.

***

Alden duduk termenung di tempat tidurnya. Fiona sudah pulang beberapa saat lalu diantar oleh Kris. Kini yang ada dipikirannya hanya tentang Fiona yang tadi justru curhat tentang mantan pacarnya sambil menangis bombai.

Bukannya melatih, Alden justru sibuk mendengarkan kisah percintaan remaja yang bahkan belum lulus SMA. Awalnya Alden tidak ingin mendengarkannya, tetapi semakin dramatis saat Fiona menceritakannya, semakin penasaran dirinya.

Alden penasaran tentang mantan pacar Fiona. Alden juga penasaran bagimana perilaku Fiona selama di sekolah. 

***

Alden mah sensian cuma dipanggil bapak juga 😂


Pict by Pinterest

Visualisasi Alden sebenernya nyaris kayak gini. Style nya betulan mirip, cuma tinggal dikasih kacamata hitam.


Bentukannya Fiona yang lucu begini aja bisa serem juga ternyata

.
.
.

Aku semakin sering ditagih, semakin semangat buat update

Follow instagram @wpvanili untuk info-info seputar ceritaku ya

Terima kasih sudah membaca
❤️❤️❤️


Continue Reading

You'll Also Like

529K 49.9K 115
Gadis Sekarwangi, tidak pernah menyangka jika rumahtangga yang ia bangun bersama suaminya, Pradipta harus berakhir ditengah jalan karena sang suami k...
469K 69K 33
Mili sangat membenci kondisi ini. Dikejar-kejar oleh Mamanya sendiri yang mau menjodohkannya. Bahkan, titah untuk menikah sebelum usia 24 tahun terus...
1.1M 52.6K 37
"Jalang sepertimu tidak pantas menjadi istriku, apalagi sampai melahirkan keturunanku!" Bella hanya menganggap angin lalu ucapan suaminya, ia sudah...
254K 12.8K 30
"Ayo bahagia bersama, Sa." Sudah tidak ada lagi cinta dalam diri seorang Teressa Anastasia. Kegagalan kedua orang tuanya dalam pernikahan membuat dia...