Father For Addo -g.c (Addo Se...

By frantastickris

139K 14.7K 1.3K

# Book 1 in Addo Chance Series # Addo Grey Chance adalah anak yatim. Dia sudah tidak memiliki ayah sedari k... More

Prolog
Satu: 10 tahun kemudian
Dua
Tiga
Empat
Lima
Enam
Tujuh
Delapan
Sembilan
Sepuluh
[A/N] Lil Explanation
Dua Belas
Tiga Belas
Empat Belas
Author Note-DONT IGNORE THIS
Lima Belas
Enam Belas
Tujuh Belas
Delapan Belas
PS
Sembilan Belas
[A/N - break chapter] "This Is My Letter (-Addo)"
Dua Puluh
Dua Puluh Satu
Dua Puluh Dua
[A/N] Soundtrack? OFC!
Dua Puluh Tiga
Dua Puluh Empat
Dua Puluh Lima
Dua Puluh Enam
Dua Puluh Tujuh
Dua Puluh Delapan
Dua Puluh Sembilan
Tiga Puluh
Tiga Puluh Satu
Tiga Puluh Dua
Tiga Puluh Tiga
Tiga Puluh Empat
Tiga Puluh Lima
Tiga Puluh Enam
Tiga Puluh Tujuh
Tiga Puluh Delapan
Tiga Puluh Sembilan
Empat Puluh
Empat Puluh Satu
Empat Puluh Dua
Empat Puluh Tiga
Empat Puluh Empat
Empat Puluh Lima
Empat Puluh Enam
Empat Puluh Tujuh
Empat Puluh Delapan
Empat Puluh Sembilan
[A/N] Real Sekuel VS FFA versi lain? VOTE [CLOSED]
Lima Puluh
Lima Puluh Satu
Lima Puluh Dua
Lima Puluh Tiga: FLASHBACK
Lima Puluh Empat
Lima Puluh Lima
Lima Puluh Enam
Lima Puluh Tujuh
Epilog
BONUS CHAPTER : " Backward 1"
BONUS CHAPTER - " Backward Pt. 2"
BACKWARD CHAPTER PT. 3
Hola! ● Father For Addo ↔ Home Sweet Home
Welcome! Home Sweet Home

Sebelas

2.4K 246 18
By frantastickris

WARN: bad words & violent & bully
Author's POV

Tangan Addo bergerak super cepat menyalin semua rangkuman materi matematika di papan tulis ke dalam catatannya. Bukan hal baru lagi baginya harus menyalin catatan dalam kecepatan tinggi. Alasan utamanya karena dia sekelas dengan Hayley Pole, anak yang setiap bel pelajaran berakhir berbunyi pasti langsung berlari ke depan kelas menghapus seluruh tulisan di papan tulis dengan cepat. Dia bahkan tidak peduli jika ada orang lain yang belum selesai mencatat---justru sebenarnya dia memang sengaja melakukannya. Itu juga salah satu bentuk bully di sekolah tersebut.

Addo melirik jam tangannya lagi. Tersisa lima menit lagi jam pelajaran usai. Kalau dia tidak cepat menyelesaikan catatannya, maka habis sudah. Addo selalu bergantung pada catatannya untuk dipelajari sebelum test, baginya catatannya adalah yang terlengkap dan dia lebih gampang paham kalau belajar memakai catatan sendiri.

Sementara itu guru matematika mereka masih terus menjelaskan sambil menulis di papan. "Jadi, kesimpulannya, kalau a ditambah b sama dengan 10, maka rumus barunya menjadi..."

"Aw!" Addo meringis dan reflek menoleh ke belakang. Jason tertawa tanpa suara bersama teman-teman gengnya. Tidak usah susah-susah mencari tahu, sudah jelas bahwa merekalah pelakunya. Addo memilih untuk tidak peduli dan kembali duduk dengan benar, namun pada saat itu tanpa sengaja dia menoleh ke bawah dan ada sebuah kerikil berukuran lumayan berada tak jauh dari kakinya.

"Mr. Chance, jangan main-main di kelas ini!" bentak Mrs. Reed, wanita paruh baya guru matematikanya. Rupanya "aduh"-an Addo tertangkap sampai ke telinganya.

"Tapi itu bukan salah saya, Mrs.!"

"Saya mendengar Anda mengaduh tadi. Anda pasti sedang bermain selama saya mengajar, iya kan? Sebegitu tidak pentingnya kah pelajaran ini bagi Anda, Mr. Chance?" Mrs. Reed tetap menuduh.

"Itu ulah Jason, Mrs." Alice menyahut tanpa diminta. Semua mata di kelas—termasuk Addo—serta merta tertuju padanya. "Jason melempari Addo dengan kerikil. Saya melihatnya."

Mrs. Reed langsung mengomeli Jason. Addo terkekeh pelan, sebelum berpaling ke Alice dan menggumamkan "terima kasih" tanpa suara. Alice hanya membalas dengan senyum serta anggukan. Addo tahu hal itu cuma hal yang biasa saja, dan konyol kalau sampai harus salah tingkah hanya karena ditolon, tapi dia tidak bisa mencegah betapa wajahnya seketika terasa memanas dan menurut keyakinannya pasti sudah memerah. Buru-buru Addo memalingkan wajah, berusaha kembali fokus ke catatannya meski kini konsentrasinya malah buyar total.

"Saya tunggu Anda di ruangan saya saat jam istirahat nanti, Mr. Gordon."

"Ba-baik, Mrs."

"Okay, anak-anak, kalau begitu, pelajaran kita akhiri sampai disini." Pun Addo tersentak kaget. Buru-buru dia lanjut menyalin tulisan di papan tulis. Kalau Mrs. Reed sampai keluar kelas dan dia belum selesai menyalin semuanya, tamatlah sudah. Addo melirik ke bangku Hayley yang berada di pojok depan. Sesuai dugaannya, laki-laki berambut pirang keriting itu sudah bersiap mengambil ancang-ancang.

"Tapi sebelum itu," lanjut Mrs. Reed, mengambil perhatian semua anak dan kekecewaan sesaat Hayley.

"Saya punya undangan yang harus diberikan kepada kalian semua."

Semua anak langsung saling berbisik-bisik. Austin yang duduk dibelakang Addo sengaja memajukan badan ke depan. "Undangan apa menurutmu?" Tanyanya. Addo hanya menggeleng pelan, sama sekali tak punya ide soal undangan tersebut. Mrs. Reed mengambil sebuah amplop cokelat dari dalam mapnya, dan mengeluarkan setumpuk kartu berwarna hijau muda. Kemudian dia berkeliling ke setiap meja dan memberikannya pada setiap anak. Ketika Addo mendapat undangannya, dia langsung membacanya dan terbelalak.

Tidak, batinnya memohon. Jangan undangan ini lagi.

Addo meremas kertas hijau tersebut, hatinya mencelos.

"Saya harap ayah kalian bisa meluangkan waktu dan datang menghadiri pesta hari ayah disekolah," kata Mrs. Reed sambil tetap membagi-bagikan kartu undangan.

"Tapi Mrs," Jake mengangkat tangan, menyela. "Bagaimana dengan yang tidak punya ayah?"

Beberapa anak langsung tertawa, tapi mereka semua adalah teman-teman satu geng Jake. Addo menoleh menatap Jake yang duduk di pojok belakang, tanpa sadar mengepalkan tangannya. Satu-satunya hal yang membuat Addo tidak beranjak dari kursinya dan memukul Jake adalah karena kelas masih berlangsung. Maka ia terpaksa berusaha keras untuk menahan amarahnya. Tapi sejujurnya sebagian dari diri Addo sudah tahu dia akan sempat saja dikatai seperti tadi.

"Mr. Walter, jaga omonganmu!" bentak Mrs. Reed, membungkam semua tawa yang masih tersisa. Addo lantas kembali duduk menghadap ke depan, menunduk menatap undangan yang telah menjadi bola remasan penuh kebencian. Bel tanda pelajaran berakhir berbunyi pada akhirnya, dan Mrs. Reed pergi. Hayley sudah melaksanakan tugas rutinnya sebagai tukang hapus papan, tapi Addo yang sekarang tidak peduli lagi.

***

"Addo ayolah! Kumohon! Kami mengerti perasaanmu."

"Addo!"

"Addo, berhenti!"

Dia menghela napas tanda menyerah sebelum berhenti berjalan dan berbalik badan menghadap kedua sahabatnya yang cerewet, Alice dan Matt.

"Bisakah kalian meninggalkanku sendirian?"

Matt mendengus. "Kau selalu begitu! Kami tidak akan pernah meninggalkanmu ketika kau punya masalah!"

"Ini bukan kali pertamamu mendapatkan undangan itu," sambung Alice.

"Lagipula, mereka memang selalu membullymu kan? Ayolah, jangan sedih begitu. Kami tahu rasanya," Matt menepuk-nepuk pundak Addo.

"Benar, kami mengerti perasaanmu." Kata Alice lagi. "Kami mengerti memang sakit rasanya."

"Thanks teman-teman, aku bersyukur punya kalian berdua," Addo akhirnya bisa tersenyum, walaupun hanya berupa ulasan kecil saja. Namun tepat setelah itu Jason, Jake, Dylan dan Aris tiba-tiba datang menghampiri mereka bertiga, mencegat jalan. Ini dia malapetaka datang.

"Wah, wah, lihat! Nampaknya Chance baru habis menangis," ejek Dylan. Yang lainnya tertawa.

"Jangan dengarkan mereka," Matt mengingatkan, seraya mengamati keempat bully didepan mereka satu-persatu. Dia juga sering menghadapi bully, dan terus terang ia cukup lelah menghadapi ulah dari orang yang sama secara terus-menerus.

"Oh iya benar! Lihat, matanya sembab!" seru Aris. Kawat giginya yang kotor karena kurang dirawat tampak saat ia tertawa.

"Ayo pergi darisini," ajak Alice segera. Matt menarik pundak Addo agar ikut, tapi usaha mereka untuk mengabaikan para tukang tindas jelas tidak berefek apa-apa sama sekali.

"Kalian tahu, ketika hari ayah nanti setiap anak akan datang bersama ayahnya. Tapi Chance? Dia akan datang dengan tali gantung diri yang di lab itu!" Seru Jason.

Langkah Addo terhenti. Dia langsung menampik tangan Matt dan kembali menghampiri Jason dan gengnya. Tanpa ba bi bu ia menonjok wajah Jason keras. Hidungnya langsung berdarah. "Brengsek kau!" umpatnya keras. Kemudian tiga orang lainnya langsung mengepung Addo. Mereka mencengkram kedua tangannya sangat kuat. Addo tidak bisa bergerak sedikitpun.

Jason menyeka darah di hidungnya dengan punggung tangan. "Kau harusnya mati, Chance! Gara-gara tingkahmu yang keterlaluan itu, kakakku jadi masuk rumah sakit jiwa!"

"Kau dan kakakmu sama-sama bangsat!" Addo berteriak tak kalah keras. "Berhentilah menggangu hidupku!"

Jason mencengkram dagu Addo dengan kasar. "Jangan banyak tingkah, dasar anak yatim! Mati sana, supaya kau bisa bertemu ayahmu!"

"CUKUP!" Matt berteriak seraya berlari menghampiri, mengeluarkan jurus tendangan-ke-bagian-tulang kering ciptaannya sendiri serta tusukan empat jari di pinggang yang berhasil menumbangkan Jason dari samping. Disaat itulah Jake dan Aris---yang mencengkram tangan Addo---menjadi lengah. Langsung Addo menampik tangan mereka hingga lepas dan memberi mereka pukulan buku-buku tangan di wajah dan perut secaea bergantian.

Dylan sempat mencekik Addo dari belakang, namun dia berhasil menusuk perutnya menggunakan siku kuat-kuat. Setelah mereka semua tumbang, Addo, Alice dan Matt lari.

***

"Aku pulang." Addo menyapa begitu sampai dirumah. Sebenarnya dia tahu rumah sedang sepi. Ibunya masih di sekolah mengurus beberapa hal yang Addo tidak mengerti, dan dia biasanya baru pulang pada pukul lima sore.

Addo melepas sepatu sebelum masuk, menyimpannya di rak, lalu naik ke kamar. Sayangnya dia tidak tahu bahwa ayahnya ada di kamarnya, menunggunya, tapi yang paling "buruk" dari semuanya adalah memerhatikan betapa suram raut wajahnya kala itu.

Addo membanting tasnya ke lantai, sebelum dia melempar dirinya sendiri ke atas tempat tidur. Wajahnya sengaja ditutupi dengan bantal. Greyson yang penasaran datang menghampirinya. Dalam jarak yang semakin dekat, secara samar ia mendengar suara isak tangis.

Addo menangis? Batinnya kaget, kemudian panik serta bingung sendiri harus melakukan apa. Ini pertama kalinya Greyson melihat putraku menangis karena suatu masalah. Dan yang lebih sialnya lagi, dia tidak berani menampakkan diri di hadapannya. Greyson hanya terpaku dipinggir tempat tidurnya sambil berpikir apa kiranya yang terjadi pada Addo hari ini. Apa dia di bully lagi? Tapi Addo tidak pernah sampai meledak begini sebelumnya. Apa yang terjadi?

Greyson tetap diam memandanginya. Tidak tahu harus berbuat apa. Memang tidak banyak yang bisa ia lakukan, atau malah tidak ada?

Setelah menangis lumayan lama, Addo menyingkirkan bantal yang daritadi menutupi matanya. Kemudian dia duduk sebentar dipinggir tempat tidurnya. Masih berusaha menenangkan diri. Pikiran bocah itu dipenuhi oleh banyak pertanyaan dan umpatan. Tapi semuanya berujung pada satu hal saja: ayahnya.

Dia melihat tas sekolahnya yang tergeletak di lantai. Dia tidak melihat undangan terkutuk itu lagi, tapi dia tahu benda tersebut masih ada didalam sana, berupa bola remasan.

"Mama pulang," seru Pat hanya berselang beberapa menit kemudian dari pintu depan lantai satu. Suaranya terdengar hingga ke tempat Addo karena suasana rumah yang sepi. "Addo? Kau di kamar ya? Bisa turun sebentar dan bantu Mama, tidak?"

"Oke, tunggu Ma!" Addo menyeka lagi sisa air matanya, kemudian turun ke bawah.Pat baru pulang bekerja sekaligus belanja untuk makan malam. Dia meminta Addo untuk membawakan belanjaannya ke dalam rumah. Namun Pat menangkap sesuatu yang beda dari putranya.

"Sayang?"

"Iya, Ma?"Jari-jari Pat mengangkat dagu Addo. Kemudian dia menatap mata putranya lurus-lurus. "Matamu bengkak."Addo hanya membisu, meski jantungnya seketika itu juga kembali berdebar panik. Pat masih memperhatikan kelopak matanya yang membengkak. Ucapannya selanjutnya membuat batin Addo meringis.

"Kau seperti habis menangis... Ada apa, Sayang? Kau benar menangis?" tanya ibunya lagi.Addo tetap tidak menjawab, berharap mati-matian ibunya akan mengesampingkan saja masalah tersebut tapi dia mengenal ibunya, jelas harapannya tidak akan mungkin terwujud. Addo merasakan tangan ibunya membelai rambutnya lembut.

"Ini tidak biasanya, Do. Kau harus menceritakannya pada Mama."

"S-sekarang?"

"Iya."Dia menghela napas, akhirnya hanya bisa pasrah. "Um, yah.. ini... oh, oke, aku mendapat undangan hari ayah di sekolah. Pesta tahunan itu..." Addo menunduk, menghindari kontak mata dengan ibunya. "Jason serta teman-temannya mengejekku. Katanya aku akan datang ke pesta hari ayah dengan tali gantung diri milik Papa, sedangkan yang lain dengan ayah mereka."

"Mereka bilang apa?" Cara bicara Pat seketika berubah menjadi tegang. Pandangannya tertancap pada Addo dan tidak bisa lepas. Hatinya mencelus. Tali gantung diri, tiga kata itu bergaung didalam benaknya. Tali gantung diri, tali gantung diri... 

"Mama?" Addo menyadarkan Pat, meski setelahnya wanita itu masih membisu. Mulutnya terasa sangat berat untuk diangkat terbuka. Kemudian dia merasa dadanya tiba-tiba sesak sementara otaknya blank sebagai efek dari syok berat.Batin Pat menjerit dan serasa tercabik-cabik. Jadi Addo sudah tahu? Jadi usahanya selama ini menyembunyikan semuanya sia-sia? Siapa yang memberitahu Addo soal---tunggu dulu, itu dia pertanyaan yang harus Pat cari tahu jawabannya.

"Addo," panggil wanita itu lagi.

"Iya?"

"Tolong kau jujur pada Mama..." jeda selagi Pat menarik napas. Jantungnya berdentum teramat keras sampai-sampai terasa membentur tulang rusuknya. "Kau... kau sudah tahu?"

"Tahu apa?"

"Tentang ... kematian ayahmu."Addo tidak langsung menjawab, tapi gerak-geriknya berubah gelisah. Sikapnya membuat Pat tidak sabaran. "Jawab, Addo!"

Dia tersentak. "A-aku... Hmph, oke, Mama, oke! Aku.. sebenarnya, sudah tahu soal itu... dari dulu."

"Dari dulu?! Darimana kau bisa tahu?"

"Tem—teman-temanku di-di sekolah. Mereka... mereka membullyku dengan itu..."

"Sialan! Jadi mereka tidak membuang tali itu?" Addo cuma bisa berjengit dan mematung mendengar ibunya mengumpat didepan wajahnya. Dia tidak pernah melakukan hal tersebut sebelum ini. "Kutanya lagi. Apa kau pernah melihat tali itu?"Dia mengangguk pelan.

Pat berusaha mati-matian untuk tidak menjerit atau menangis lantaran marah. Semua usahanya benar-benar sia-sia!

"Siapa yang mengatakan hal itu pertama kali padamu?"

Addo diam lagi.

Pat mendesah keras, tidak punya waktu untuk sikap buang-buang waktu ini! Siapapun orang itu, Pat harus berurusan dengannya. Entah apa yang membuat Addo sedemikian ragu untuk mengatakan nama orang itu saja, Pat tidak tahu dan dia tidak menoleransi. "Ayo jawab, Addo Chance!"

"Jason Gordon." Jawabnya pada akhirnya.

Gordon. Pat tahu nama belakang itu dengan terlalu baik. Jason Gordon dan Zachary Gordon... dugaannya hanya satu; mereka pasti anak-anak Ernest, ketua geng bully paling populer di angkatan semasa sekolahnya. Rasanya semua pertanyaan didalam kepala Pat seketika telah terhubung menjadi satu garis yang jelas. Pantas saja mereka sangat benci pada Addo.

Pat mengumpat dalam hati, mengutuk Ernest yang tadinya ia pikir sudah berhenti menggangu hidupnya. Dia sama sekali tak menyangka anak-anaknya akan meneruskan dendam ayahnya.Pat pergi ke ruang kerjanya, lalu mengambil buku tahunan sekolah menengahnya dari laci paling bawah dalam lemari besi bertingkat. Buku tersebut telah berdebu saat ditemukan, tapi selebihnya, kondisinya masih bagus. Pat membolak-balik halaman yang berisi identitas masing-masing siswa, mencari nomor telepon rumah Ernest. Setelah berhasil ditemukan, Pat langsung meneleponnya tanpa berpikir dua kali. Terdengar beberapa kali nada sambung sebelum suara seorang laki-laki menyahut.

"Halo? Dengan keluarga Gordon, dengan siapa saya berbicara?"

"Ernest, ini aku. Patricia Chance."

"Ah, Patricia? Patricia Gilbson?" dia menekankan pada nama gadis Patricia alih-alih namanya setelah menikah. "Apa aku tidak salah dengar? Wah, wah sayangku ada apa? Apa akhirnya kau merindukanku?"

"Aku anggap aku tidak pernah mendengar semua itu terutama kata sayangmu. Aku menelpon karena kita harus membuat perhitungan."

"Perhitungan? Memangnya ada apa?"

"Ini tentang Jason mu dan Addo ku." []  

PS: welcome back to Father For Addo. akhirnya ketauan sama YN ternyata Addo udah tau soal kematian Greyson. tapi ceritanya belum berakhir sampai disini *jeng jeng* (?) karena ini masih di awal dari rahasia masa lalu YN dan Greyson :)

sooo dont leave VOMENT nya yaa. :) thank you

buat yg minta update Psycho, tunggu ya abis ini kalian bisa baca Chapter 3 nya ^^

-kiki x

Continue Reading

You'll Also Like

My sekretaris (21+) By L

General Fiction

1.3M 8.7K 24
Penghibur untuk boss sendiri! _ Sheerin Gabriella Gavin Mahendra
Bed Mate By Ainiileni

General Fiction

499K 17.4K 45
Andai yang mabuk-mabukan di barnya bukan Aruna, Mario tidak akan peduli. Namun karena yang berada di depannya adalah mantan tunangan dari sahabatnya...
51.6K 8.1K 7
Jangan mengharap cinta dari kisah ini, sebab luka lebih banyak menemani sang pemilik kisah. Jangan ajarkan cinta pada sang pencinta, sebab cinta yang...
STRANGER By yanjah

General Fiction

626K 71K 51
Terendra tak pernah mengira jika diumurnya yang sudah menginjak kepala empat tiba-tiba saja memiliki seorang putra yang datang dari tempat yang tak t...