Stardust

By maharaniii_

399K 41.2K 6.2K

#21 in Teen Fiction (31/01/2018) "Apapun akhir cerita yang kita punya, bagaimanapun akhir yang kita ciptakan... More

SATU - Reza
DUA - Naya
TIGA - Reza
EMPAT - Naya
LIMA - Reza
ENAM - Naya
TUJUH - Reza
DELAPAN - Naya
SEMBILAN - Reza
SEPULUH - Naya
SEBELAS - Reza
DUA BELAS - Naya
TIGA BELAS - Reza
EMPAT BELAS - Naya
LIMA BELAS - Reza
ENAM BELAS - Naya
TUJUH BELAS - Reza
DELAPAN BELAS - Naya
SEMBILAN BELAS - Reza
DUA PULUH - Naya
DUA PULUH SATU - Reza
DUA PULUH DUA - Naya
DUA PULUH TIGA - Reza
Long Time No See
DUA PULUH EMPAT - Naya
DUAPULUH LIMA - Reza
DUA PULUH ENAM - Naya
DUA PULUH DELAPAN - Naya
DUA PULUH SEMBILAN - Reza
TIGA PULUH - Naya
TIGA PULUH SATU - Reza
TIGA PULUH DUA - Naya
TIGA PULUH TIGA - Reza
[EPILOG]

DUA PULUH TUJUH - Reza

4.9K 698 101
By maharaniii_

Ini adalah minggu terakhir Nigel menjadi guru PKL di SMA Wijaya Kusuma. Senin depan, Nigel sudah harus kembali masuk ke kampus untuk menyelesaikan laporan akhir sebelum akhirnya mulai membuat skripsi. Di minggu terakhirnya untuk menjadi guru pengganti, Nigel betul-betul gelisah.

Ia memikirkan bagaimana caranya supaya ia dan Naya tetap bisa dekat dan sering bertemu saat nanti ia sudah tidak lagi mengajar. Nigel sendiri tidak habis pikir terhadap dirinya. Rasa penasarannya pada Naya berubah menjadi ketertarikan yang ia kira sesaat. Tetapi semakin hari, rasanya perasaan yang ia miliki semakin sulit dikendalikan.

Tapi Nigel tahu persis seperti apa dirinya dimata Naya saat ini. Apalagi jika mengingat respon Naya ketika Nigel menyatakan perasaannya.

"Woi ayo!" Fajar menepuk lengan kiri Nigel pelan seraya bangkit berdiri. Kemudian, yang diajak hanya membalas dengan helaan napas panjang. Lalu dua mahasiswa itu bergegas meninggalkan ruangan yang mereka sebut basecamp itu.

Setelah keluar ruangan, Nigel dan Fajar langsung disambut oleh suasana lorong SMA Wijaya Kusuma sudah sepi. Para siswa sudah masuk ke kelasnya masing-masing karena bel masuk sudah berbunyi lima menit yang lalu.

Fajar yang sibuk membolak-balikkan tumpukan kertas ditangan mulai merasa ada yang janggal dengan sikap teman seperjuangannya itu. "Lo kenapa, Nig?"

"Apaan?" tanya Nigel malas.

"Puasa senin kamis lo, ya?"

Nigel menyipitkan mata, lalu menoleh ke arah lelaki berjas almamater biru navy itu. "Apaan dah lo goblok. Jelas-jelas tadi pagi kita ngopi bareng."

"Terus kenapa?"

"Apanya?"

Fajar menatap Nigel jengkel. "Kenapa lo lemes amat anjing maksud gue," katanya sebal.

"Gakpapa." Ada jeda. "Males aja gue bentar lagi udah mulai balik ke kampus."

"Kirain," balas Fajar.

"Kirain kenapa?"

"Gapapa, sih."

Nigel yang sejak tadi menunduk menatap ujung sepatu pantofel hitamnya langsung menoleh ke arah Fajar lagi, "Lo mikir gue kenapa emang?"

"Nggak mikir apa-apa gue."

"Tai."

"Sumpah!"

"Lo mikir gue galau yak?"

"Hah?" Fajar menoleh sekilas, "apaan, jing? Gue nggak mikir gitu sumpah."

"Terus?"

"Gue kirain lo anemia."

Pernyataan Fajar barusan membuat Nigel menyipitkan mata. "Kok anemia?"

"Iya abisan," ada jeda. "Lemah, letih, lesu, lunglai, dan lemas."

"Najis." Keduanya lalu sama-sama terkekeh menertawakan percakapan mereka sendiri. Lalu, Nigel menghentikan langkahnya saat ia menyadari ada sesuatu yang salah. "Bentar..."

"Apaan?" Fajar yang sudah satu langkah lebih maju ikut-ikutan mematung seraya memutar posisi badannya menghadap Nigel.

Yang ditanya langsung menoleh ke arah belakang, "Kita ngajar di kelas apa?"

"12 IPS 1, kan?" tanya Fajar polos.

Nigel dan Fajar reflek tertawa nyaris bersamaan saat mereka sadar apa yang salah sejak tadi. "Ngapain kita lewat sini, tolol! 12 IPS 1 kan di sebelah sono!"

***

Pukul 10.00 pagi. Naya tidak masuk sekolah hari ini. Badan Naya tidak demam, perutnya juga sedang tidak sakit karena diare. Naya dalam keadaan baik-baik saja. Tapi entah karena apa, gadis itu sedang tidak ingin berangkat ke sekolah dan mengikuti pembelajaran di hari ini.

Padahal, tadi pagi Reza sudah menjemput dan membujuk pacarnya itu agar mau bersekolah. Tapi, bukan Naya namanya jika tidak keras kepala. Alhasil, yang dilakukan cewek itu sekarang hanya berbaring di atas sofa ruang tamunya dengan mata yang mengarah pada televisi. Sesekali ia terlihat menyentuh ponselnya untuk membalas pesan singkat dari Reza.

Masih dengan setengah hati.

Sejujurnya, Naya ingin sekali menanyakan soal Saras kepada Reza. Soal seberapa dekat hubungan dua remaja itu. Tentang apa yang membuat Reza harus sebegitunya peduli. Karena selama ini, Naya hanya sebatas tahu bahwa Saras membutuhkan pertolongan Reza. Sebatas itu.

Reza Gantengku: Gue jajan dulu ya

Naya tersenyum simpul membaca sebaris notifikasi yang masuk ke ponselnya. Naya teringat seminggu yang lalu, kekasihnya itu memaksa untuk me-rename namanya dari Reza Cabul menjadi Reza Gantengku. Walaupun sejujurnya Naya geli bukan main, tetapi ia tidak punya pilihan lain.

Naya Audiva: Ya

Reza Gantengku: Dih najis gitu doang

Naya Audiva: Terus mau gimana setan?

Reza Gantengku: Iya sayang.

Reza Gantengku: Gitu dong

Naya Audiva: Iya sayang

Reza Gantengku: Muah

Naya Audiva: Amit-amit

Reza Gantengku: Muah

Reza Gantengku: Muah

Reza Gantengku: Muah

Reza Gantengku: Muah

Reza Gantengku: Muah

Reza Gantengku: Muah

Naya Audiva: Spam lo tolski

Reza Gantengku: Bales kek muah juga gitu

Naya Audiva: Idie, ogah

Reza Gantengku: Iya iya sayang

Reza Gantengku: Ogah kalo lewat chat kan. Maunya langsung. Oke nanti ya.

Naya Audiva: HAHAHAHAHA UDAH AH GUE GELI

Naya Audiva: Sono makan di kantin

Dua detik setelah pesan terakhirnya ia kirim, ponsel Naya bergetar dua kali. Sebuah panggilan masuk membuat cewek itu mengernyitkan matanya.

Kak Nigel PPL calling...

Setelah menggeser layar ponselnya ke kanan, Naya segera menempelkan benda persegi itu ke telinganya. Lalu ia diam sampai seseorang diujung panggilan bicara lebih dulu.

"Halo, Nay?"

"Iya?" balas Naya malas. "Kenapa, Kak?"

"Lo nggak masuk?"

"Iya."

"Kenapa?" Naya memutar bola matanya. Sudah bisa menebak bahwa Nigel akan bertanya demikian.

Naya kemudian menggaruk pipinya sebentar. "Sakit."

"Sakit apa?"

"Kecapekan. Nggak apa-apa."

Nigel dan Naya sama-sama diam kurang lebih lima detik sampai yang lelaki berdeham. "Gue tadi ngajar di kelas lo jam pertama."

"Iya, tau kok." Naya mengangguk lemah walaupun Nigel tidak bisa melihatnya.

"Yaudah."

"Iya."

"Get will soon, Naya."

"Makasih," kata Naya. "Gue tutup ya, kak. Mau istirahat nih," sambungnya berbohong.

"Oh, iyaaaaa. Istirahat. Get well soon sekali lagi.."

"Makasih."

***

Reza mengunyah baksonya dengan sepenuh hati. Sesekali ia mengangkat pandangannya, memerhatikan kendaraan yang lalu lalang di jalanan depan sekolah. Dua langkah di depannya Sutris terlihat sibuk melayani dua pembelinya yang lain.

"Za!" Tepukan pada bahunya dari arah kiri membuat Reza sontak menoleh dan mendapati Fahmi berdiri di sana dengan beberapa lembar kertas di tangan kanan.

"Oit." Reza tersenyum. "Makan, Mi."

"Udah tadi," balas Fahmi seraya memposisikan diri di bangku kosong sebelah Reza. "Pamor mana?"

"Noh, lagi pesen mi rebus di warung Babe. Nanti juga kesini." Fahmi reflek menoleh ke arah warung Babe yang letaknya bersebelahan dengan lapak dagangan bakso milik Sutris. "Lo udah ngumpulin anak futsal?" tanya Reza sambil mengunyah baksonya.

"Beberapa, sih." Fahmi menatap tumpukan kertas yang ia bawa. "Ini formulir lo. Isi, yak. Paling lambat kumpulin ke gue atau Ridho besok. Soalnya udah mau disetor ke panitia turnamen futsalnya," cerocos Fahmi menjelaskan.

"Sip. Taroh situ aja."

"Ini," kata Fahmi meletakkan dua lembar formulir ke atas meja. "Sekalian punya si Pamor, ya."

"Siap."

"Gue masuk dulu. Masih harus nyari Sona sama Efendi, nih!"

"Efendi yang mana?" tanya Reza lupa-lupa ingat.

Fahmi menggerakkan bola matanya keatas mencoba mengingat Efendi berasal dari kelas mana. "Itu, Efendi 11 IPS 2. Yang pacarnya si Lala."

"Oh, yang gingsul?"

"Nah, itu!"

"Iya. Tau gue. Keren dia main futsalnya." Reza manggut-manggut. "Sona juga lumayan."

Fahmi mengangguk setuju. "Makanya itu  mereka berdua lolos seleksi." Ada jeda. "Cewek lo sakit apaan?" tanya Fahmi tiba-tiba teringat Naya yang hari ini tidak berangkat ke sekolah.

Reza menggeleng, "nggak sakit apa-apa dia."

"Lah? Ijinnya di kelas sakit." Fahmi menyondongkan tubuhnya sedikit kearah Reza. Kemudian yang diajak bicara tersenyum tipis.

"Yaelah," katanya pelan. "Kayak gatau Naya aja sih lo, Mi. Walaupun dia cewek, kalo urusan bolos membolos mah dia doyan juga."

"Iya, sih." Keduanya diam lagi. Sampai suara tarikan kursi dari Pamor membuat Fahmi menoleh. "Woi, isi formulir, yak!" sambungnya.

"Iye." Pamor mengangguk dua kali tanpa menoleh.

Fahmi kembali menatap dua adik kelasnya bergantian, sampai matanya berhenti pada Reza yang sibuk membalas pesan singkat dari pacarnya. "Za?"

"Hm?" Reza mengangkat pandangannya sekilas, kemudian menatap benda elektronik warna hitam yang ada ditangannya. "Apaan, Mi?"

"Kak Nigel yang guru PPL Matematika suka sama cewek lo apa gimana?"

Mendengar pertanyaan Fahmi yang mengarah pada satu nama, Reza langsung menghentikan segala aktifitasnya. Kecuali bernapas. Anak lelaki itu menekan tombol lock button sampai layar HP nya mati. Lalu meletakkan benda itu di samping mangkok bakso. Reza menghela napas, lalu terkekeh.

"Kayaknya."

"Bukan kayaknya lagi setan!" sembur Pamor ikut emosi. "Tapi emang iya. Kebaca banget!"

"Gils. Udah kayak ibu-ibu pengajian menggibah aja lo," balas Reza santai seraya terkekeh.

"Terus lo diem aja?" tanya Fahmi pada Reza. Yang ditanya memasang ekspresi kebingungan.

"Diem aja gimana?" Reza balik bertanya. "Gue mah sah-sah aja kalau semisal ada cowok lain yang suka juga ke Naya. Selama, cewek gue nggak ngasih feedback apa-apa, dan orang itu nggak ngusik cewek gue."

Fahmi tertegun. "Tapi, Za.. Gue bukannya mengompori. Tapi yang diomongin Nigel ke Naya kemaren itu menurut gue-"

"Nigel ngomong apa ke Naya?" potong Reza.

"Jadi Naya belom ngasih tau?"

***

Suara dentingan terdengar pelan ke udara begitu gelas berisi sirup warna merah itu bertemu dengan meja ruang tamu rumah Naya yang terbuat dari kaca. Mbak Tinuk tersenyum ramah, kemudian tangannya meletakkan setoples cemilan di meja yang sama.

"Makasih, Mbak." Naya tersenyum ramah, disusul pria berkemeja putih yang duduk dihadapannya saat ini.

"Iya, neng Naya."

Setelah melempar senyuman kearah Nigel yang juga sedang tersenyum, Mbak Tinuk bergegas kembali ke dapur untuk melanjutkan pekerjaannya. Sementara Naya, entah untuk yang keberapa kalinya hanya diam. Membiarkan suasana di ruang tamu rumahnya terlihat begitu kaku.

"Gue bawa ini," kata Nigel seraya menyodorkan satu kantong plastik berisi makanan.

Naya menatap barang-barang yang dibawa Nigel dengan perasaan tidak enak. Pertama karena sejujurnya ia sedang tidak sakit sama sekali. Dan yang kedua, ia merasa merepotkan. "Makasih banyak, Kak. Tapi seharusnya nggak harus sampe dateng sih. Hehe, kan ngerepotin jadinya."

"Ngerepotin darimana nya sih?" sanggah Nigel. "Nggak sama sekali. Gue seneng malah bisa jenguk." Naya tersenyum sebagai balasan. Suasana kembali hening sampai Nigel memutuskan memulai lebih dulu. "Minggu depan gue udah penarikan dari sekolah lo."

"Oh ya?" Naya melebarkan pupil matanya. Ia bahagia bukan main mendengar bahwa Nigel akan segera pergi dari sekolahnya. Itu berarti frekuensi pertemuannya dengan Nigel juga akan berkurang drastis. Senyumnya mengembang lebar dan tanpa ia sadari wajahnya berubah antusias. "Bagus dong, tugasnya udah mau kelar."

Nigel tertawa kecil membalas ungkapan bahagia yang tersirat dimata Naya. "Lo tambah cantik kalo lagi kayak gitu," pujinya. Apa yang dikatakan Nigel barusan langsung membaut senyuman di wajah Naya memudar terbawa angin. "Tapi nggak masalah sih kan gue masih jadi guru privat lo sampai lo kelar UN."

Naya terdiam. Ia tidak tahu harus bagaimana. Sebetulnya ia ingin sekali menolak dan berkata bahwa ia bisa saja menyewa guru lain. Tapi, bukan Naya namanya jika tidak selalu dikalahkan oleh rasa tidak enak hatinya sendiri. "Tapi kayaknya seminggu sekali gitu, Kak. Soalnya gue udah ambil bimbel sama guru luar."

"Iya, iya," balas Nigel cepat. "Nggak masalah." Melihat respon positif yang diberikan Naya, wajah Nigel berubah bahagia. kemudian ia meraih gelas sirup yang ada di atas meja. "Gue minum ya?"

"Iya, Kak. Diminum hehe." Naya tersenyum hingga deretan giginya yang rapih terlihat. "Sampe lupa nawarin minum."

Keduanya sama-sama diam, kira-kira 10 sampai Naya kemudian bangkit berdiri dari sofa ruang tamu. Kemudian ia meletakkan ponselnya yang belum terkunci di atas meja kaca.

"Bentar kak, gue mau ke toilet." Nigel menjawab dengan anggukan, bibirnya tertarik kecil ke samping. "Kalo lo mau tambah minum ambil aja di dapur." Setelah selesai bicara, Naya langsung berlari kecil menaiki anak tangga. Sementara Nigel berusaha menyibukkan diri dengan setoples cemilan yang sudah disiapkan untuknya.

Mata pria berkemeja putih itu kemudian melirik perlahan saat layar ponsel yang di letakkan Naya di atas meja menyala. Dengan hati-hati Nigel meraih benda itu.

Reza Gantengku: Kamu dirumah, kan?

Nigel membaca pesan apa yang masuk. Kemudian dengan satu gerakan jari, ia menghapus pesan dari Reza untuk Naya setelah membacanya. Lalu pria itu meletakkan ponsel Naya ke tempat semula.

"Yaampun, gue kirain dimana!" kata Naya yang muncul dari arah anak tangga, gadis itu lalu menyambar ponselnya yang ada di atas meja. "Maaf ya, Kak. Lama. Gue nyariin HP dulu tadi di atas. Ternyata HP nya gue tinggal di sini."

Nigel sedikit tergagap. Lalu ia tersenyum. "Santai aja." Dua detik. "Lo masih sakit atau–"

"Udah enggak kok. Udah mendingan." Naya menyambar dengan harapan setelah ia berkata keadaannya lebih baik, Nigel bisa segera pulang dan meninggalkannya sendiri.

"Temenin gue yuk?"

"Hah?"

"Please.."

"Tapi kan–"

"Please," potong Nigel sekali lagi. "Gue baru inget nyokap gue besok ulang tahun dan gue belom siapin kado apa-apa."

"Umm..." Naya terlihat berpikir.

"Please?" pinta Nigel sekali lagi. "Gue bingung kalo nyari kado sendiri."

"Gimana ya..."

"Ayolah, bentar doang. Gaakan sampe sore. Ya?"

***

Reza menggetuk daun pintu yang dicat warna hitam dope itu sekali lagi. Belum ada jawaban. Rumah berlantai dua itu sepertinya sedang ditinggalkan penghuninya. Tapi baru saja ingin berbalik dan memutuskan untuk pulang, pintu yang sejak lima menit lalu ia tunggu terbuka akhirnya bersuara.

Mata Reza menyipit iba begitu melihat seorang anak perempuan dengan kaos warna kuning mustar dan celana kain selutut warna hitam keluar dari dalam rumah. Belum sempat berkata-kata, gadis itu menghapus jarak antara keduanya.

Lalu sekali lagi, ia membenamkan tubuhnya ke dalam pelukan Reza. Dan di saat yang sama, wajah Naya rasanya muncul di pelupuk mata.

"Iya, iya... gue paham." Reza mengangguk sembari mengelus-elus punggung perempuan yang ada dalam pelukannya. Matanya terpejam lebih erat setelah ia merasakan tubuh Saras bergetar menahan isak.

Hari ini adalah hari persidangan perceraian kedua orang tua Saras dan itu artinya, hari ini juga Saras resmi ikut bersama Ayahnya dan Ibunya harus keluar dari rumah yang selama ini mereka tinggali bertiga. Hari ini juga artinya Saras harus membiasakan diri, bahwa kehidupannya tak akan pernah sama seperti dulu.

"Saraaaaaas..." panggil Reza lembut. Ia menangkup wajah perempuan itu supaya bisa menatap matanya. "Gue tau, gue tau.."

Ada jeda.

"Nggak ada satupun anak di dunia ini yang mau orang tuanya pisah. Nggak ada satupun orang di dunia ini yang suka sama perpisahan. Nggak ada sama sekali." Reza menggeleng. "Lo bukan satu-satunya anak yang ngalamin hal kayak gini. Lo nggak sendiri. Udah, jangan nangis-nangis lagi.." Reza mendaratkan ibu jarinya di pipi kiri Saras untuk menghapus air mata cewek itu. "Semuanya bakal baik-baik aja. Ada gue."

Mata Saras sembab. Kantung matanya yang hitam memperjelas bahwa ia kurang istirahat. Tubuhnya lebih kurus daripada apa yang Reza lihat saat mereka pertama kali bertemu dalam acara makan malam keluarga.

"Udah berapa hari nggak makan?" tebak Reza sekaligus bertanya. Saras sejak tadi hanya diam. Kemudian ia menggeleng menandakan ia belum mampu menjawab. "Gue nanya."

Cewek itu masih bungkam. Tapi tangisannya tidak sederas tadi.

"Ras."

"Dua hari."

"Kenapa nggak makan?" tanya Reza tegas, tapi tetap terdengar lembut dan menenangkan. "Makan."

Saras mengangkat wajahnya hingga matanya yang kemerahan karena terlalu banyak menangis terlihat. "Ayo, kita cari makan diluar," ajak Reza.

"B– bentar gue ganti baju du–"

"Nggak usah.. lama," bantah Reza. "Ambil kacamata aja. Siapa tau lo malu kalo diliatin orang-orang. Nanti dikira gue ngapa-ngapain lo lagi," Reza tersenyum tipis.

"Yaudah, gue ambil kacamata aja." Saras mau tidak mau ikut tersenyum.

"Gitu dong, senyum."

"Bentar yaa.."

***

Naya dan Nigel terlihat sibuk memilih baju atasan perempuan yang sekiranya cocok dipakai oleh wanita berusia 50 tahun keatas. Di tangan kiri Naya, ada sebuah gelas plastik berisi jus mangga yang tadi ia beli di stand jus tepat di depan mall.

"Yang mana ya?" Nigel terlihat bingung.

"Nyokap lo suka baju warna apa?"

"Ngg– kalo lo sukanya apa?"

"Hah?" Naya mengangkat alis matanya. "Kok gue?"

Nigel terkekeh. "Iya, maksud gue, lo suka warna apa."

"Ohh," Naya mengangguk. "Yaudah sih kan ini kado buat nyokap lo bukan buat gue."

"Ya siapa tau aja warnanya sesuai sama warna kesukaan lo." Nigel memberi jawaban. "Kan sah sah aja kalo calon mertua sama calon menantu warna bajunya samaan."

Naya tertawa renyah, "apa banget deh." Setelah menjawab perkataan Nigel barusan, Naya tidak mau ambil pusing. Ia berusaha menyibukkan diri dengan ponselnya karena sejak tadi Reza tidak mengabari. Terakhir ia hanya bilang akan kekantin.

Naya Audiva: Kamu dimana

Naya Audiva: Yang

Naya Audiva: Kok jijik ya nulis "yang"

Setelah berusaha mengabari Reza, akhirnya Naya memasukkan ponselnya ke kantong jaket. Hanya butuh dua menit sampai benda itu bergetar dan di detik yang sama, Naya langsung mengeceknya.

Reza Gantengku: Bentar yaa

Reza Gantengku: Masih di sekolah nih. Ada tugas

Reza Gantengku: Chat you later

***

Nigel dan Naya memutuskan untuk mengisi perut setelah nyari satu jam berkeliling mal untuk mencari kado yang tepat. Pilihan keduanya ada pada McD yang terletak di lantai teratas mall. Naya memutuskan duduk di meja yang berhadapan dengan kaca karena gadis itu selalu suka memerhatikan orang-orang yang berlalu lalang.

Saat hendak mendudukkan diri, mata Naya menyipit ia memerhatikan seorang laki-laki berseragam putih abu-abu sedang berjalan bersebelahan dengan seorang anak perempuan. Mereka menuju gedung bioskop yang letaknya tidak jauh dari tempat dimana Naya berada sekarang.

Naya tidak bicara apa-apa. Semua suara Nigel yang menyuruhnya duduk dan mulai makan rasanya seperti radio rusak. Fokusnya kini hanya tertuju pada satu hal.

Reza. Yang beberapa menit lalu mengatakan ia masih di sekolah untuk mengerjakan tugas.

Naya tidak mungkin menangis walaupun sejujurnya ia sangat ingin. Apapun alasan Reza, tidak ada orang yang suka dibohongi. Termasuk Naya.

Jadi setelah membiarkan Reza dan Saras menghilang dari pandangan mata, yang dilakukan Naya hanya duduk. Mengatur napas karena entah sejak kapan dadanya sesak. Kemudian mengambil ponselnya di saku jaket warna pink pastel yang ia pakai.

Naya Audiva: SMA Wijaya Kusuma sekarang punya bioskop?

Naya Audiva: It's ok. Aku masih mau denger penjelasan kamu:)

***

Author Notes:

Sekian lama mengabaikan lapak ini karena sibuk masalah kuliah, keluarga, masalah hati ciaa.
Ternyata bener ya, cerita yang lama ditinggalin itu pas dilanjutin lagi bakalan banyak feeling yg ilang *halah* aku sih ngerasa gitu, mungkin karena udah basi wehehe aku pun harus baca 2 bab terakhir sebelum bikin bab ini. Apalagi kalian yg baca ya wkwk pasti udah lupa2. Sowry karena hiatus lama bgt huhu.

I know ini kayaknya udah terlalu berbelit2 tapi aku target ini selesai sampai epilog di bab 40 aja hehe. Kayaknya aku mau bikin cerita baruuu. Tapi yg ini tetep di lanjut kokkk hehe

Jangan lupa vote dan komen. See you di bab 28

Continue Reading

You'll Also Like

53.3K 4.2K 54
[ C O M P L E T E D ] Bukan hanya perihal pertemuan, bagaimana jika waktu juga memimpin kita pada sebuah perpisahan? --- Copyright ©...
23.6K 3.8K 35
"Mencintai seseorang itu sama seperti daya dalam fisika, sama-sama membutuhkan waktu dan usaha." ~~~ Persamaan itu sama seperti ketika sedang menaklu...
5K 987 16
"Gue cewek baik-baik ya, Gen." "Percaya-percaya. Ibu dari anak-anak gue nanti kan emang harus orang baik, Ta." "Gue nggak mau ya jadi ibu dari anak-a...
862K 77.6K 55
Menurut kalian, apa pengertian bodoh? Apa bodoh itu orang yang tidak bisa memahami pelajaran sekolah yang sulit? Menurut Rilly bukan itu, karena tida...