DUA PULUH SATU - Reza

11.1K 1.2K 110
                                    

Media: James Arthur - Can I Be Him

***

"Belajar, belajar, belajar!" suruh Pak Yunus dua kali lipat lebih tegas terhadap murid perempuan berambut panjang yang berdiri di hadapannya dengan selembar kertas hasil ulangan harian di tangan kanan. "Kenapa cuma dipelajaran saya nilai kamu selalu merah?"

Naya menunduk. Menatap ujung sepatu adidas warna putih miliknya yang sejajar. "Naya, kamu ini sudah kelas dua belas. Ujian Nasional tinggal menghitung bulan. Kamu nggak akan lama lagi belajar di SMA ini. Jadi tolong, kamu perbaiki nilai matematika kamu. Entah itu kamu belajar dan tanya-tanya sama teman, entah belajar sendiri. Pokoknya tingkatkan, ya?"

"Iya, Pak."

"Kamu ikut bimbel?" tanya Pak Yunus, suaranya melunak daripada beberapa puluh detik yang lalu. Naya mengangguk. "Bagus, minta jam tambahan pelajaran matematika."

"Iya," Naya mengangguk. "Nanti saya minta, Pak."

"Pak–" Suara yang familiar di telinga Naya membuat perempuan itu mengadahkan kepala dan menoleh ke arah kiri. "Oh– lagi ada urusan, ya, Pak? Yaudah saya–"

"Ooh, enggak, Mas Nigel, ini cuma ngasih arahan sama siswa." Pak Yunus mencegah kepergian Nigel dari hadapannya. "Ada apa?"

Nigel mentap Naya sekilas, lalu ia menyunggingkan senyum ramah. "Ini, hasil ulangan harian anak kelas sepuluh A tadi pagi." Tangan kanan lelaki berkemeja biru laut itu menyerahkan setumpuk kertas hvs kepada Pak Yunus.

"Iya. Nanti saya sendiri yang koreksi." Pak Yunus tersenyum. "Naya?"

"Iya, Pak?"

Pak Yunus menepuk bahu Nigel dua kali, "Ini kakak PPL pengajar mata pelajaran matematika. Kalau kamu ada yang kurang ngerti sama pelajaran saya, kamu bisa tanya-tanya sama kakak yang ini."

"Ooh–" Naya menjilat bibirnya sebagai reflek sebelum kemudian mengangguk pasrah. "Iya, Pak," sambungnya disusul senyuman canggung.

"Pak Yunus," panggilan lain datang dari arah ruang guru. Bu Rustina datang tergopoh-gopoh menghampiri Pak Yunus yang juga sedang menatapnya. Seperti ada sesuatu yang akan ia sampaikan dan keadaannya sangat tiba-tiba. "Ada tamu."

"Tamu darimana?" Pak Yunus otomatis memutar posisi berdirinya.

"Dari kantor dinas."

"Ooh," Pak Yunus menganggukkan kepala. "Ya sudah mari kita temui." Pria berkacamata itu kemudian menoleh lagi ke arah Nigel, "Saya tinggal duluan, Mas Nigel?" katanya pamit.

"Ooh," Nigel mengangguk. "Silakan, Pak."

"Saya juga duluan, Kak," tambah Naya dengan senyuman tipis di sudut bibirnya. Lalu dua detik setelah Pak Yunus berjalan ke arah ruangan kepala sekolah, Naya juga berbalik badan untuk menuju ke kelas dua belas IPS satu.

Perempuan itu berjalan dengan mata yang mengarah pada kertas berisi jawaban dengan nilai empat di sudut kanan atas dan sengaja ditulis dengan tinta warna merah. Naya lalu menghela napas. Entah apa yang salah pada dirinya. Sejak sekolah dasar, perempuan itu membenci segala sesuatu yang berbau hitungan.

Naya berani bersumpah, di pelajaran yang lain, nilainya di atas rata-rata. Tapi khusus pada pelajaran matematika, Naya nol besar.

"Naya," seseorang yang memanggilnya dari arah belakang membuat Naya menoleh dan mendapati Nigel sudah berjalan cepat untuk berusaha menyamakan langkah. "Hei?"

"Hai, kak," balas Naya malas. Tapi walaupun ia sedang dalam mood yang tidak bagus, perempuan itu tetap saja berusaha untuk tersenyum.

Tapi Nigel bukan orang bodoh yang tidak berpengalaman perlihal membaca kondisi hati seorang perempuan. Lelaki itu lalu tersenyum simpul, "Udah, jangan dipikirin."

StardustWhere stories live. Discover now