Father For Addo -g.c (Addo Se...

frantastickris

139K 14.7K 1.3K

# Book 1 in Addo Chance Series # Addo Grey Chance adalah anak yatim. Dia sudah tidak memiliki ayah sedari k... Еще

Prolog
Satu: 10 tahun kemudian
Dua
Tiga
Empat
Lima
Enam
Tujuh
Delapan
Sepuluh
[A/N] Lil Explanation
Sebelas
Dua Belas
Tiga Belas
Empat Belas
Author Note-DONT IGNORE THIS
Lima Belas
Enam Belas
Tujuh Belas
Delapan Belas
PS
Sembilan Belas
[A/N - break chapter] "This Is My Letter (-Addo)"
Dua Puluh
Dua Puluh Satu
Dua Puluh Dua
[A/N] Soundtrack? OFC!
Dua Puluh Tiga
Dua Puluh Empat
Dua Puluh Lima
Dua Puluh Enam
Dua Puluh Tujuh
Dua Puluh Delapan
Dua Puluh Sembilan
Tiga Puluh
Tiga Puluh Satu
Tiga Puluh Dua
Tiga Puluh Tiga
Tiga Puluh Empat
Tiga Puluh Lima
Tiga Puluh Enam
Tiga Puluh Tujuh
Tiga Puluh Delapan
Tiga Puluh Sembilan
Empat Puluh
Empat Puluh Satu
Empat Puluh Dua
Empat Puluh Tiga
Empat Puluh Empat
Empat Puluh Lima
Empat Puluh Enam
Empat Puluh Tujuh
Empat Puluh Delapan
Empat Puluh Sembilan
[A/N] Real Sekuel VS FFA versi lain? VOTE [CLOSED]
Lima Puluh
Lima Puluh Satu
Lima Puluh Dua
Lima Puluh Tiga: FLASHBACK
Lima Puluh Empat
Lima Puluh Lima
Lima Puluh Enam
Lima Puluh Tujuh
Epilog
BONUS CHAPTER : " Backward 1"
BONUS CHAPTER - " Backward Pt. 2"
BACKWARD CHAPTER PT. 3
Hola! ● Father For Addo ↔ Home Sweet Home
Welcome! Home Sweet Home

Sembilan

2.6K 237 9
frantastickris

Author's POV

"A.. Alice." Addo, berdiri dibelakang Alice, memanggil dengan ragu-ragu. Tapi tak sampai ia perlu untuk mengulang dua kali, gadis pirang yang dipanggil langsung menoleh. "Iya?"

"Mm, ada.. ada yang mau aku k-katakan pada... ummm pada..." Addo ingin menebas lehernya sendiri gara-gara bicaranya yang mendadak tersendat-sendat.

"Pada siapa?" sela Alice.

"Uh, yea, padamu? Eh, iya maksudku padamu." Tawa canggung terlepas dari bibirnya sementara salah satu tangannya mengusap bagian belakang tengkuk. Alice hanya diam saja, menunggu. Addo menarik napas... Sekarang saatnya.

Langsung ia meraih kedua tangan Alice dan mengenggamnya erat. Iris cokelatnya menatap ke dalam mata biru cerah bagaikan langit dari gadis pujaan hatinya, dan ia menarik napas dalam-dalam lagi sebelum bicara to the point.

"Aku menyukaimu."

Alih-alih mendapat balasan, Addo mendengar bunyi Kriiingggg!! Kriiingg!! Kriingg!!!..... nyaring dan buyarlah semua adegan itu.

Atau lebih tepatnya, mimpi itu.

Dengan mata masih terpejam, tangan kiri Addo meraba-raba ke atas lemari kecil disamping tempat tidur, mencari alarm yang heboh sendiri itu untuk mematikannya. Tapi justru tidak ketemu-ketemu.

"Duuuhh!!!" geramnya kesal, lalu menutupi kepala dengan bantal. Usahanya membuahkan hasil, sebab dari bawah sana bunyi alarm lumayan teredam. Dia tidak ambil pusing sebab alarmnya hanya akan berbunyi selama 1-2 menit dan setelah itu akan mati dengan sendirinya.

Singkat cerita, Addo kembali tidur.

***

09:15 AM

Addo mengerjap-ngerjapkan mata untuk yang kedua kali. 'Jam tubuhnya' baru mengirimkan sinyal ke otaknya untuk bangun, maka saat itulah, setelah melakukan beberapa peregangan di kasur, Addo beranjak.

Sambil garuk-garuk kepala, lelaki remaja itu berjalan ke kamar mandi di lantai satu. Kamar mandi rumahnya berada diantara dapur dan ruang tengah. Masih ditengah jalan, tiba-tiba langkah Addo terhenti lantaran melihat ibunya sedang tidur di halaman belakang.

Addo mengucek-ucek mata sekali lagi. "Itu sungguhan Mama?"

Masih tidak percaya dengan penglihatannya, Addo mengganti metode yakni dengan mencubit pipi. Dia meringis, tanda berarti dia tidak dalam kemungkinan tidur sambil berjalan. Tapi hal yang lebih penting lagi adalah pemandangan didepannya tetap tidak berubah. Yang tergeletak di halaman belakang itu memang ibunya!

"Mama!" Addo berlari secepat kilat menuju pintu kaca. Kebingungannya bertambah saat mendapati pintu geser kaca sudah terbuka lebar. Tapi sekali lagi, itu bukan hal yang terpenting. Addo bergegas keluar, menghampiri ibunya. Pat tidur dalam posisi menyamping seperti janin. Lututnya tertekuk, kedua tangannya menyilang memeluk dadanya sendiri. Saat Addo menyentuh pipinya, kulitnya terasa sangat dingin!

"Mama!" Addo menggoyang-goyangkan tubuh ibunya, seiring kepanikan makin bertambah menjalari saraf-sarafnya. "Mama, bangun! Kenapa Mama tidur disini? Kan didalam lebih hangat." Tidak ada respon. "Mama mengigau atau kenapa? Ma,bangun, Ma!"

Kemudian, akhirnya, perlahan-lahan kelopak mata Pat membuka. Senyum otomatis terkembang di wajah Addo. Pat menatap lelaki itu kebingungan, namun Addo sendiri tidak begitu peduli. Ia lega, sebab yang terpenting ibunya ternyata tidak kenapa-napa.

"Grey...son?" gumam Pat lirih.

Addo menggeleng pelan. "Bukan. Ini Addo, anaknya."

Pat mengucek-ucek matanya sebentar. "Ah, iya. Maafkan Mama, Sayang. Kalian tampak sangat mirip."

"Ayo," Addo mengulurkan tangan melingkari pundak ibunya, membantunya bangun, lalu memapahnya ke ruang tengah. Tubuh Pat kini terasa agak hangat, wajahnya juga merah, terutama bagian hidungnya. Addo langsung menduga kalau ibunya demam akibat kemasukan angin malam di halaman sana. Addo menggiring Pat ke sofa, lalu membaringkannya disana dengan lembut.

"Mama kenapa kau bisa tidur disana?" tanyanya sangat penasaran. Ini memang bukan kejadian biasa.

"Um.. karena... ha—HACHIM!!" Pat bersin keras sekali, sampai-sampai membuat Addo tidak tega untuk menanyainya saat itu. Ibunya perlu istirahat dan selimut hangat, bukan pertanyaan.

"Tuh kan, kau masuk angin, Ma." Gumamnya. "Tunggu disini, akan kuambilkan selimut dan obat." Langsung Addo pergi ke tangga, naik ke lantai dua, dan kembali bersama selimut tebal serta obat flu. Addo menyuapi obatnya, lalu menyelimuti ibunya dengan selimut.

Jam dinding menunjukkan pukul sepuluh kurang lima menit. Untung sekarang hari Sabtu jadi sekolah libur.

"Aku mau mandi dulu ya. Mama istirahat saja." Addo mencium pipi ibunya lalu pergi ke kamar mandi. Pat tertegun, tidak mengucapkan apapun sebagai balasan, hanya menatap putranya hingga ia benar-benar berlalu. Sikap anaknya benar-benar manis dan perhatian. Mirip sekali dengan Greyson.

Sudah berapa kali Pat mengatakan kalau Addo super mirip dengan Greyson? Selain wajah, sikapnya benar-benar sama persis dengan ayahnya. Kadang-kadang hal itu membuat Pat terharu sendiri dan ingin menangis. Bagi orang lain mungkin ini berlebihan, tapi memang itulah yang Pat rasakan. Memang susah untuk dijelaskan, apalagi karena orang lain tidak berada diposisinya dan merasakannya sendiri.

Berbicara soal Greyson, Pat penasaran dimana sosok suami hantunya itu sekarang? Pat ingin meminta maaf padanya atas kejadian semalam. Dia menyesal, sebenarnya sama sekali tidak ada maksud untuk melukai perasaan Greyson (dia hantu yang sensitif, ngomong-ngomong). Sekarang didalam benak Pat hanya ada ketakutan kalau-kalau Greyson benar-benar bermaksud dengan kalimatnya dan bisa saja mencelakai Addo. Terlebih alasannya karena tadi Pat sempat melihat bagaimana matanya sempat berubah menjadi merah menyala.

Seandainya kepalanya tidak pusing parah, Pat pasti sudah beranjak dari sofa dan berkeliling mencari Greyson. Tapi apadaya dia sendiri merasakan badannya meriang dan matanya masih mencoba untuk menutup. Pat mencoba memejamkan matanya sebentar, tapi nyaris langsung terbuka kembali sebab ia teringat dengan ucapannya sendiri beberapa jam lalu, "Kau harusnya tidak disini, Greyson! Kau harusnya hidup dengan damai, dalam kematianmu!"

Pat mengigit bibir, merasa kesal pada diri sendiri. Kenapa kata-kata sekasar itu bisa keluar dari mulutnya?

"Mama?" Pat dikejutkan lagi oleh suara Addo. Tahu-tahu anak semata wayangnya sudah berdiri disamping sofa, hanya berbalutkan handuk di pinggang.

"Kenapa kau tidak pakai baju?"

Addo cengar-cengir cengengesan sendiri. "Hehe, aku lupa mengambilnya." Pat hendak mencubit tangannya, namun sayang karena Addo bisa membaca gerakannya, alhasil dia lebih dulu menghindar.

"Iya, Ma, iya maafkan aku! Aku tahu aku hampir enam belas tahun sekarang. Lain kali aku akan ingat bawa baju ganti."

Waktu kecil, Addo memang sering kelupaan membawa baju ganti ketika hendak mandi, dan Pat yang selalu mengambilkannya dari kamarnya. Sekarang dia masih melakukannya, kadang-kadang, kalau dia benar-benar kelupaan. Tapi bukan berarti Pat berhenti menegur kebiasaan buruknya itu.

"Baguslah kalau kau sudah tahu." Kata Pat sambil menggeser sedikit posisi tidurnya

"Ada apa, Ma? Apa sekarang kepalamu ikut sakit? Kulihat tadi dahimu berkerut." tanya Addo bertubi-tubi. Pat cuma senyum, dalam hatinya merasa sedikit heran mendapati anaknya bisa jadi super perhatian hingga ke hal-hal kecil.

"Mama tidak kenapa-napa, Sayang. Sudah sana cepat pakai bajumu! Atau, kau mau putri Mrs. Hellen datang tiba-tiba membawakan surat edaran lalu melihatmu setengah telanjang begini?"

Addo bergidik ngeri, kemudian buru-buru naik ke lantai dua. Pat tertawa pelan. Tetangga sebelah rumah mereka, keluarga Hellen, memiliki seorang putri yang sudah sejak lama naksir Addo. Namanya Lydia. Pat mengetahuinya setelah Lydia sendiri yang mengakuinya.

Tidak seperti kebanyakan ibu lain, Pat tidak ingin apapun dalam urusan kehidupan cinta anaknya. Pat memberikannya privasi penuh untuk urusan itu. Namun jujur dia suka menggoda Addo dengan Lydia, karena dia tahu Addo tidak menyukai gadis itu. Addo nyaris selalu menghindari Lydia setelah insiden waktu mereka pergi bermain ice skating setahun lalu dan Lydia tiba-tiba saja muntah di arena.

Biiiippp....Biiiipppp... Biiiipppp... suara nyaring telepon genggam membelah keheningan rumah saat itu, disusul teriakan Addo dari lantai atas, "Mamaaa, teleponmu berbunyiii!!!"

"Tolong jawab panggilannya, Sayang!"

"Oke!"

Setelah itu Pat mencoba memejamkan mata. Kepalanya masih terasa pening. Sayang sekali baginya karena belum ada genap lima menit, lagi-lagi tidurnya terganggu.

"Mama!" Addo berdiri disebelahnya lagi, kali ini sudah berpakaian lengkap. Dia menyodorkan handphone pada Pat. "Nenek ingin bicara."

Pat tersentak. "Nenek?"

Addo mengangguk. Dengan agak ragu-ragu Pat mengambil handphone-nya. "Halo?"

"Halo, Patricia?" sapa suara wanita yang sudah hampir belasan tahun tidak pernah ia dengar.

"Lisa?"

"Iya, Patricia. Ini aku. Apa kabarmu Sayang?"

Pat terkejut bukan main hingga kehilangan kata-katanya. Lisa adalah nama ibu Greyson.

"Baik," jawab Pat pendek. Peningnya seketika hilang, digantikan oleh pertanyaan-pertanyaan kenapa Lisa Chance tiba-tiba menelponnya. Apa dia bermimpi?

Sementara itu hening lagi ditelepon. Lisa tidak mengatakan apapun, dan Pat juga tidak ingin memulai percakapan lebih dulu. Sampai beberapa saat kemudian Pat mendengar wanita lawan bicaranya berdeham.

"Jadi, Patricia sayang, aku menelepon karena ingin mengundangmu ke pesta pernikahan Alexa."

Kembali Pat terkejut. Tapi yang ini langsung disusul dengan perasaan bahagia.

"Alexa akan menikah?" ulangnya.

"Iya, Sabtu depan. Datang saja ke rumah kami, kuharap kau masih ingat tempatnya."

"Tentu saja aku masih ingat, Lis."

Hening lagi.

"Baiklah. Aku hanya ingin memberitahu itu saja. Sampai jumpa Sabtu nanti, Patricia. Salam juga untuk Addo cucuku."

"Tentu Lis, sampai jumpa." Panggilan terputus oleh Lisa.

"Nenek kenapa, Ma?" tanya Addo penasaran. Sedari tadi dia menunggu dibelakang sofa yang ditiduri Pat. "Dia tidak kenapa-napa, Sayang. Nenek Chance mengundang kita ke rumahnya minggu depan."

Addo tampak bingung. "Untuk?"

"Bibimu Alexa akan menikah Sabtu ini." Namun ekspresi bocah itu masih tetap saja sama: bingung. Sedetik kemudian Pat teringat kalau Addo baru pernah sekalimengunjungi keluarga Greyson, bertahun-tahun lalu sewaktu usianya masih tujuh tahun karena mereka diundang dalam perayaan Thanksgiving. Itupun juga waktu itu Pat agak berat hati dan takut mengajak Addo kesana.

"Kau lupa Bibi Alexa itu yang mana?" Addo terkekeh.

"Uh.. ung, bisa jadi, hehe."

Pat tersenyum. "Wajar saja, soalnya kau kan baru sekali mengunjungi mereka."

"Jadi kapan kita pergi ke rumah Nenek?" tanya Addo, kali ini lebih bersemangat. Sedangkan Pat justru merasa kebalikannya. Dan ekspresi kegembiraan Addo membuatnya tiba-tiba muak.

"Jangan bersikap berlebihan!" Addo terkejut karena diluar dugaan ia malah dibentak. Sejurus berikutnya Addo menundukkan wajahnya. Disaat itulah Pat tersadar kembali akan perbuatannya. Apa yang kulakukan? Kenapa aku membentaknya? Addo juga anak Greyson, dia juga cucunya Lisa.

"Addo..." yang dipanggil mengangkat wajahnya kembali. "Maafkan Mama, ya. Mama tidak bermaksud... Mama hanya, hanya lelah dan, dan--"

"Tidak apa-apa, Ma. Aku mengerti." Senyum simpul terkembang di wajah Addo. Pat beranjak duduk, lalu mengulurkan kedua tangan ke arahnya, "Peluk Mama, Sayang." Addo melakukannya. Mereka berpelukan meski Addo masih berdiri ditempatnya dibelakang sofa. Pat memang biasa memeluk putranya sebagai permintaan maaf. Wanita itu memeluk Addo sebentar, sebelum terakhir mencium keningnya.

"Aku mau ke lantai dua. Mama istirahat ya." Dia lalu pergi. Setelah itu Pat mencoba untuk tidur lagi. Tubuhnya terasa lebih letih dari sebelumnya, sangat membutuhkan tidur. Mungkin pengatuh suasana hatinya yang berkecamuk gara-gara telepon dari Lisa tadi.

***

"Berapa umurnya?" tanya Addo lagi. Pat diam sejenak, mengira-ngira berapa umur Alexa sekarang.

"Mama tidak terlay ingat, mungkin tiga puluh empat tahunan."

"Bibi Alexa yang umurnya tiga puluh empat tahun baru menikah?!"

"Lalu? Apa masalahnya?" tanya Pat balik. Addo mendecak.

"Tidak, hanya saja umur Mama tiga puluh satu dan Papa sudah meninggal. Memangnya kalian menikah pada usia berapa?"

Greyson spontan membuka mata. Penglihatan yang tadi itu menakutinya!

Seketika ia panik sendiri. Bagaimana sekarang? Bagaimana jika Addo benar-benar menanyakan tentang pernikahannya dan Pat? Apa ketakutan mereka pada akhirnya akan jadi nyata? Apa Addo akhirnya akan mengetahui semuanya tentang rahasia mereka?

Beberapa hantu memiliki kemampuan untuk melihat sekilas apa yang akan terjadi di waktu mendatang, yang mana menjawab pertanyaanmu saat menonton film horor kenapa hantunya bisa muncul tepat dimana para tokoh utama bersembunyi/pergi. Greyson salah satu dari hantu yang beruntung itu.

Pintu kamar terbuka dan Addo melangkah masuk. Langkahnya tidak terlalu bersemangat. Dia menghempaskan diri diatas tempat tidurnya. Beberapa menit kemudian Greyson menghampirinya dan mendapati dia sudah tertidur pulas.

"Dasar pemalas," gumam Greyson malas. "Sudah bangunnya siang, sekarang tidur lagi?"

Dia duduk di pinggir kasur putranya, memperhatikan wajahnya yang sedang tidur. Pat selalu bilang betapa Addo benar-benar mirip dengan Greyson—dan Greyson, setelah memerhatikan lagi, setuju. Wajahnya, rambutnya, bahkan bentuk hidungnya yang kecil dan lancip memang mirip dengannya. Kecuali tinggi badannya. Dia agak pendek ketimbang Greyson waktu diusianya. Addo mewarisi gen yang satu itu dari ibunya.

Greyson tetap memperhatikan anaknya yang terlelap sambil bertanya-tanya mungkinkah pertanyaan yang ia dengar tadi akan sungguhan keluar dari mulutnya?—"Memangnya kalian menikah pada usia berapa?"

Seandainya Pat berkata jujur dengan menjawab enam belas... apakah itu tidak akan membuat Addo terguncang? Dan ketakutan Greyson yang lebih buruk belum lagi tiba; bagaimana jika dia mengetahui bagaimana kematiannya yang sebenarnya?

Addo berguling ke arah berlawanan dan Greyson memutuskan untuk pergi dari sana.

***

Lisa meletakkan telepon kembali ke tempatnya. Kemudian dia berpaling pada Alexa yang daritadi duduk tak jauh darinya. Putri satu-satunya itu sedang sibuk merangkai bunga mawar, tulip dan krisan ke dalam sebuah baket.

"Masih terlalu cepat untuk membuat baket untuk pernikahan kan, Lexa?"

Alexa tersenyum. "Ini bukan untuk itu, Bu. Rencananya hari ini aku dan Tanner akan ke makam Greyson. Dia akan suka dengan baket ini." tangannya lincah menyusun tiap tangkai bunga yang berbeda menjadi susunan yang indah didalam baket tersebut. Terakhir, Alexa menghias baketnya dengan sebuah pita pink yang cukup besar. Pita itu dia lilit mengelilingi baketnya sebelum ujung-ujungnya diikat dalam bentuk simpul.

Lisa juga ikut tersenyum memandangi baket bunga Alexa yang telah selesai. "Aku tidak tahu Greyson suka warna pink."

Komentar itu membuat Alexa terkekeh kecil.

"Hmm, itu warna kesukaanku, sebenarnya." Gadis berambut cokelat panjang sepinggang itu bangkit dari sofa, sambil menenteng baketnya. Lisa menyela lagi, "Mau berangkat sekarang?"

Gadis itu mengangguk. "Ibu mau ikut dengan kami ke pemakaman?"

Lisa diam sejenak, menimbang-nimbang. Sebenarnya wanita lima puluh lima tahun tersebut sangat ingin mengunjungi makam putra bungsunya. Sudah lama sekali sejak terakhir kali dia berziarah dan menabur bunga disana. Namun sekarang dia masih disibukkan dengan banyak urusan untuk pernikahan Alexa. Jadi mau tak mau Lisa harus memilih salah satu.

Akhirnya dia menggeleng. "Ibu titip salam saja," katanya agak sedih. Alexa lantas memeluknya. Mereka berpelukan untuk beberapa saat.

"Baiklah." sahut Alexa. Lalu gadis itu pergi mencari saudaranya, Tanner. Dia menemukan lelaki itu sedang duduk di depan laptop sambil makan sekotak besar pizza sendirian didalam kamarnya.

"Ayo berangkat!" panggil Alexa, seraya berjalan masuk.

"Uh.. sekarang?" Tanner balik bertanya. Pandangannya tidak lepas dari layar laptopnya.

"Jangan mencari situs porno, Tanner!"

Tanner tertawa renyah. "Hei, aku bukan lima belas tahun lagi! Aku sudah tiga puluh tahun lebih."

"Ya, ya, terserah. Pokoknya kau antarkan aku dulu ke makam Greyson, nanti kau bisa lanjutkan nonton itu lagi."

"Oke, oke. Waktunya mengucapkan salam perpisahan pada anak itu kan? Tak lama lagi kau akan berpisah dari keluarga Chance, dan meninggalkanku sebagai satu-satunya anak disini," kata Tanner sambil mematikan laptopnya. Alexa mengernyit. Dia tidak mengerti maksud ucapan itu. Entah itu maksudnya menggoda, mengejek, menyindir atau apa.

Tanner lalu mengambil kunci mobilnya. Dan ketika dia berjalan keluar kamar mendahului Alexa, matanya menangkap baket bunga ditangannya. "Hei, aku tidak tahu Greyson suka pink?"

Alexa tersenyum. "Ibu juga menanyakan hal yang sama barusan. Nah, sudahlah. Ayo!"

***

Alexa dan Tanner berjalan berdampingan dalam hening, sehening suasana pemakaman umum ini. Hanya ada beberapa orang yang datang berziarah, sama seperti mereka. Setelah berjalan sekian lama, mereka berhenti disebuah makam yang berada persis dibawah pohon besar. Di batu nisannya tertulis nama adik kesayangan mereka berdua:

| REST IN PEACE |

GREYSON MICHAEL CHANCE

16-08-1997 – 30-11-2013

Alexa meletakkan baket bunganya persis didepan batu nisan Greyson. Sementara Tanner tetap berdiri disampingnya. Dia mengeluarkan baket lain yang berisi banyak kelopak mawar merah, baru dibeli dalam perjalanan sebelumnya. Ditaburkannya kelopak-kelopak mawar itu merata diatas makam Greyson.

"Sebenarnya aku sangat berharap kau bisa menghadiri pernikahanku." kata Alexa seraya mengelus batu nisan Greyson. Perasaan kangen bercampur sedih langsung merasukinya, hingga akhirnya membuatnya memeluk batu tersebut. Sedetik kemudian, tahu-tahu dia menitikkan air mata.

"Bocah ini bahkan sangat mendahului kita dalam pernikahan. Aku masih agak tidak percaya," kata Tanner, sengaja bergurau untuk lebih mencerahkan suasana. Sejujurnya hatinya getir, namun dia berusaha menahannya.

"Aku minta doa restumu, Grey. Doakan aku bisa membangun keluarga yang bahagia..." Alexa berhenti sejenak. Rasa panas dihidungnya akibat tangis membuat tenggorokannya sedikit sakit. "D-doakan agar pasanganku selalu setia seperti Patricia... Greyson, aku..."

Ucapan Alexa terputus lagi. Kali ini tangisannya meledak. Suara isakannya memecah keheningan di pemakaman. Tentu saja ini lazim, menangis di pemakaman itu hal yang sangat wajar.

Tanner membiarkan saudarinya menangis selama beberapa saat. Diam-diam, dia sendiri menyeka air matanya.

Dalam isakannya pun, Alexa menyebutkan nama Greyson sesekali. Tampaknya, ada yang ingin dia katakan namun tidak bisa. Atau lebih tepatnya, tidak sanggup.

Beberapa saat kemudian, Tanner berjongkok seraya memeluk kedua bahu Alexa dari belakang. Alexa melepaskan pelukannya dari batu nisan dan ganti menghambur ke dalam pelukan Tanner. Dengan lembut, tangan Tanner mengusap-usap punggung Alexa. Mereka berdua masih tidak bicara. Kesedihan membungkam mulut mereka berdua.

Pelukan Tanner membuat Alexa makin tenang. Isakannya mereda, meskipun gadis itu masih merasakan sakit jauh di dalam hatinya.

"Ayo pulang." Tanner menyelipkan beberapa helai rambut coklat Alexa ke belakang telinganya. Alexa mengangguk. Namun sebelum pulang, Alexa sempat mencium batu nisan Greyson.

Tanner merangkulnya dan mereka berjalan bersama kembali ke dalam mobil. []

Продолжить чтение

Вам также понравится

Cinta Sang Prajurit Nst

Художественная проза

87.2K 7.1K 80
Ini hanya sebuah fiksi dan jangan sangkut pautkan kepada real life. Selamat membaca. Jangan lupa untuk votenya.
Amora (END) Mia

Художественная проза

3.7M 181K 71
Amora Lendari terbangun di sebuah kelas dengan orang-orang asing di sekitarnya. Kepanikanya bertambah saat mendapati wajahnya dan tubuhnya yang beru...
Love And Hurts (On Going) aliumputih_

Художественная проза

132K 8.3K 24
"Hestama berhak tahu kalau ada bagian dari dia yang hidup di dalam rahim lo, Run." Cinta mereka tidak setara. Pernikahan mereka diambang perceraian...
MY BODYGUARD IS SEXY Jejemaurenn

Художественная проза

635K 5.4K 18
WARNING 18+ !! Kenzya Adristy Princessa seorang putri terakhir dari keluarga M&J group yang diasingkan karena kecerobohannya. Ia hanya di beri satu...