DARKNESS

By Shinjukyuu

4.7K 671 110

Follow untuk baca ^^ ♡♡♡♡♡♡ Kunjungan klub biologi dari Black Campus ke ibu kota lama Estonial, Dominion, men... More

Bulir 1 : Celosia Leene
Bulir 2 : Visibly
Bulir 3 : Caught
Bulir : 4 Attack
Bulir 5 : Telltale
Bulir 6 : Unwanted Guest
Bulir 7 : The Hidden Girl
Bulir 8 : Heilige's Tribe
Bulir 9 : First Day
Bulir 10 : Feeling
Bulir 12 : The Symptoms
Bulir 13 : Resolve and Dauntless
Bulir 14 : Lost
Bulir 15 : Black Horse Prince
Bulir 16 : Back
Bulir 17 : Dark Night
Bulir 18 : Empty Heart
Bulir 19 : The Same Feeling
Bulir 20 : Primosa Forsythia
Bulir 21 : Show Time
Bulir 22 : Falsehood
Bulir 23 : The King of Stealth
Bulir 24 : Behind The Light
Bulir 25 : Her Decision
Cerita Baru
Bulir 26 : Against of The Darkness
Chapter 27 Empty Soul And The King Of Darkness

Bulir 11 : Cloudy Morning

127 22 2
By Shinjukyuu


Celocia is back. Here you go ... happy reading guys ^^

"Hmm ..."

"Hmm? Apa maksud hmm, Nenek? Apakah mimpiku berarti sesuatu atau hanya bunga tidur biasa?" tanya Sia pada Marsala. Dia menceritakan tentang sosok hitam yang menusuk jantungnya.

"Apa kau akan percaya pada perkataanku?" Marsala bertanya balik. Wanita tua itu tersenyum memperlihatkan wajahnya yang penuh kerutan.

"Tergantung seberapa bisa diterima nalar," jawab Sia.

Marsala mendekati cawan suci. Dia mencelupkan tangannya ke dalam cawan lalu tanpa aba-aba dicipratkannya air itu ke muka Sia yang langsung menjerit terkejut.

"Eh? Kenapa tiba-tiba melakukan itu?" protes Sia sambil mengusap-usap wajahnya.

"Itu masa depanmu," ujar Marsala singkat, padat dan jelas.

Sia tertawa kecil lalu mengeryitkan kening ketika melihat wajah tua Marsala yang terlihat serius. Tidak ada sedikitpun garis tawa di wajahnya.

"A-apakah itu benar? A-aku akan mati?" suaranya bergetar seirama dengan jantungnya yang berdebar kencang.

"Itu akan terjadi kalau sampai raja para Stealth berhasil bangkit."

Mendadak Sia merasakan kembali rasa sakit pada dadanya. Dia mengeryit sembari memegangi dadanya. Menatap keseriusan wajah Marsala.

"Maka dari itu, kami mencarimu. Orang tuamu salah paham hingga membawamu lari dan menyembunyikanmu. Jika sedari kecil kau sudah berada bersama kami, kau bisa membangkitkan kekuatan spiritualmu dan mempersiapkan diri untuk menghadapi kegelapan. Sekarang kita hanya memiliki sisa tiga hari. Ritual itu harapan satu-satunya untuk mencegah kegelapan bangkit," ujar Marsala.

"Ba-bagaimana kalau aku tidak bisa melakukannya dengan benar?"

"Kau akan melakukannya dengan benar. Ada kami semua bersamamu."

"Tidakkah aku harus mengetahui apa yang harus aku lakukan? Mungkin aku harus menarikan tarian aneh atau mengucap-ucapkan mantra?"

"Tidak. Kau tidak perlu melakukan hal seperti itu. Kau hanya perlu mempersiapkan dirimu dan jangan takut. Ingatlah bahwa dulu kau adalah Primosa Forsythia." Marsala meraih gelas dan mencelupkannya ke dalam cawan suci. "Minumlah." Marsala menyodorkan gelas berisi air dari cawan suci padanya.

Kemarin Sia memang merasa agak jijik meminum air mentah, tapi hari ini dia bahkan tidak sempat memikirkan tentang air itu. Dia meraih gelas itu dan langsung meminumnya hingga habis. Memangnya dia bisa berpikir jernih setelah diberitahu bahwa dia akan mati? Dia tahu bahwa setiap manusia pasti akan mati, tapi semua terasa menyeramkan saat mengetahuinya secara langsung.

***

Sia termenung sendirian di depan aula besar. Dia mencabuti rumput dengan asal sembari melihat anak-anak suku Heilige yang tengah bermain. Langit yang mendung pagi ini menggambarkan perasaannya sekarang ini.

Tidak ada hal benar yang terjadi hari ini. Tadi saat sarapan, Holkay dengan terang-terangan menolak ajakannya untuk berteman. Pria itu bahkan mengatakan tidak sudi memiliki hubungan pertemanan dengannya walau hanya dalam mimpi sekalipun. Sia mengingat betapa banyak pria yang menyukainya bahkan berlomba-lomba untuk menyapanya dan berharap dekat dengannya. Tapi, pria itu bersikap sebaliknya. Seolah-seolah dirinya adalah makhluk hina yang dilirikpun tak pantas.

Harinya bertambah buruk saat mengetahui arti mimpinya. Dia akan mati jika raja para Stealth berhasil bangkit.

"Aku ingin pulang," gumamnya sembari melihat tangannya yang kotor karena mencabuti rumput sembarangan.

Sia mendongak ketika seseorang berdiri di depannya. Dia mendapati Armenia dengan wajah pucatnya tengah menggendong keranjang rotan berisikan tumpukan pakaian.

"Kau ingin ikut denganku ke sungai?" tawar Armenia.

***

"Kau terlihat murung," celetuk Armenia saat mereka dalam perjalanan menuju sungai kecil yang tidak jauh dari perkampungan Heilige.

Sia mengeratkan pegangan pada kantong plastik berisi pakaiannya kemarin yang sudah kotor. Merasa ragu untuk becerita pada Armenia.

"Hei, Armenia." Sia bersuara beberapa saat kemudian.

"Ya?" Armenia menoleh pada Sia yang berjalan di sampingnya.

"Apakah aku terlihat begitu buruk untuk menjadi seorang teman?" tanya Sia dengan tersenyum getir.

"Huum ..." Armenia berpura-pura berpikir.

"Jangan katakan kau berpikir sama dengan pria menyebalkan itu!" sergah Sia.

"Pria menyebalkan siapa?"

"Siapa lagi kalau putra kepala sukumu." Sia menghela napas jengah. Dia bahkan tidak berminat menyebut nama Holkay. Niat baiknya bahkan tidak dihargai sama sekali.

"Apa yang terjadi memangnya?"

"Aku tidak mau membahasnya. Jadi kesal lagi rasanya. Menyebut namanya saja sekarang membuatku iritasi." Sia tiba-tiba teringat hal penting. "Oh ya terima kasih sup ayamnya tadi. Holkay mengatakan kamu yang membuatnya."

"Holkay? Katanya iritasi kalau menyebut na-"

"Hyaaa!!!!" potong Sia. "Li-lidahku langsung kelu nih! Ha ha ha. Aku tidak akan menyebut nama Holkay lagi. Aaaahh!!! Kenapa malah sebut lagi. Dasar mulut tidak setia kawan!" Sia menepuk-nepuk mulutnya sendiri dengan kesal. Wajahnya memerah malu karena perilakunya di depan Armenia yang kini tengah tersenyum-senyum padanya.

"Jadi, kau murung seperti tadi karena Kak Holkay?" simpul Armenia.

"Apa? Kau salah paham Armenia! Seperti kurang kerjaan saja. Memang dia siapa memperlakukanku seperti sampah. Aku juga tidak sudi berteman dengannya." Sia cemberut.

"Kak Holkay memang seperti itu orangnya. Kalau kau ingin dekat dengannya, satu-satunya cara adalah kebal pada ucapannya yang sepedas cabai dan setajam bilah pedang itu. Kau harus terus menyerangnya tanpa henti," ujar Armenia.

"Kenapa kau mengatakan seolah aku sedang mengejarnya?" Sia melirik tidak bersemangat pada gadis di sebelahnya ini.

"Bukan?" Armenia malah tersenyum tidak percaya.

"Begini-begini aku memiliki tipe pria idaman tahu. Dan Holkay tidak termasuk di dalamnya." Sia tersenyum puas.

"Kau menyebut namanya lagi." Armenia tidak bisa menahan tawanya.

"Arrrggghhh!" teriak Sia frustasi. "Sudahlah aku tidak mau bercerita padamu lagi." Sia berjalan cepat mendahului Armenia yang masih menertawakannya. Mukanya sudah memerah malu karena apa yang dikatakan Armenia berhasil membuat jantungnya berdebar-debar. Sial. Umpat Sia kesal pada dirinya sendiri.

Armenia berlari kecil untuk menyusul Sia yang malah berjalan semakin cepat. Melihat Armenia yang biasanya terlihat tidak bersemangat dan murung itu berkali-kali tertawa membuat gadis itu terlihat lebih cantik. Sia suka melihat orang lain tersenyum.

Kemudian Sia berlari-lari kecil tidak menghiraukan panggilan Armenia yang memintanya pelan-pelan saja. Sia menoleh dan menjulurkan lidahnya. Armenia menatap tidak percaya Sia bertingkah seperti itu. Dia pun menambah kecepatan larinya sembari memegang erat keranjang rotannya.

Armenia merasakan dadanya bergejolak. Tidak pernah dia melakukan hal-hal sederhana yang ternyata menyenangkan seperti berlari-lari kecil seperti ini. Sejak kecil dia dihadapkan pada rutinitas mempelajari obat-obatan dan menjaga emosi serta hasratnya untuk melakukan hal-hal menyenangkan untuk menjaga kekuatan spiritualnya agar tetap stabil. Maka dari itu wajahnya selalu terlihat pucat dengan mata tidak bersemangat. Tapi, saat ini Armenia bisa merasakan deguban jantungnya yang bersemangat hanya karena berlari-lari kecil mengejar Sia. Gadis yang memendarkan cahaya di kesuraman hidupnya.

Apa kau tidak mendengarkan perintah pemimpin? Jangan terlalu berdekatan padanya.

Armenia menggelengkan kepala teringat ucapan guru pengobatannya.

Dia tidak berbahaya karena bukan Stealth tipe petarung, tapi dia bisa mengalirkan kegelapannya pada gadis itu.

Armenia tersenyum melihat Pao Pao yang terbang mengikuti Sia yang berlari lebih cepat lagi. Makhluk mungil itu terlihat lucu untuknya.

Jadi, jangan dekat-dekat dengannya. Tanpa kita tahu dalam perkataannya bisa terselip sebuah titik kegelapan dan itu berbahaya untuk orang-orang seperti kita yang harus menjaga jiwa tetap bersih.

Armenia mempercepat larinya. Membiarkan ikat rambutnya yang terlepas hingga rambut hitam panjangnya berkibar berantakan. Dia mengejar Sia dengan sepenuh hati. Tidak peduli pada perkataan gurunya tentang Sia.

"Woaahhh!" jerit Sia hampir terpeleset begitu sampai di undakan turun menuju sungai. Dia tertawa kecil tidak jadi terperosot jatuh akibat tak bisa mengerem larinya. Armenia tiba tepat waktu dan memegangi tangannya. "Hampir saja." Sia menghembus napas lega.

"Sudah kubilang jangan lari-lari," ujar Armenia dengan napas terengah. Bulir-bulir peluh mengalir dari sela-sela pelipisnya.

"Berlari itu menyenangkan. Benar, kan?" Sia juga terengah-engah, tapi dia tetap memamerkan senyum lebarnya.

"Ya," sahut Armenia mengakuinya.

Mereka saling pandang lalu tertawa bersama. Sia meraih tangan Armenia dan menggandengnya untuk turun bersama menuju sungai. Sampai di tepian sungai, Sia tidak dapat menahan dirinya untuk masuk ke dalam air. Tepian sungai itu dangkal dan terlihat batu-batu di dasarnya karena airnya yang jernih. Sia melempar tas plastiknya sembarangan lalu segera masuk ke sungai.

"Aaaah segarnya!" Sia mencelupkan kedua tangannya ke dalam air.

"Kita ke sini untuk mencuci ingat!" Armenia mengingatkan.

"Aku ingat dasar cerewet!" Sia mencipratkan air ke arah Armenia yang duduk di atas batu dengan kaki tercelup ke air.

"Hei!" protes Armenia terkejut.

Sia bukannya berhenti malah kembali mencipratkan air pada Armenia hingga gadis itu akhirnya menaruh keranjangnya di atas batu lalu menghampiri Sia. Akhirnya mereka berdua saling melempar cipratan air. Bermain air sebelum mencuci bukan ide yang buruk.

***

Holkay memperhatikan pedang yang baru saja diberikan oleh Marsala. Dia tahu pedang apa yang dipegangnya sekarang. Pedang keramat yang mengakhiri era kegelapan Estonial di masa lalu. Pedang itu terawat dengan baik dan sarungnya berhiaskan ukiran tulisan kuno dan beberapa simbol lama suku Heilige.

"Aku tahu kaulah yang pantas memegang pedang ini," ujar Marsala nampak sumringah.

Holkay masih berfokus pada pedang keramat itu. Pedang itu sempurna. Terlihat kilat putihnya yang tajam dapat menebas apapun.

"Bukankah seharusnya ayah yang melakukannya?"

Marsala menggeleng. "Aku melihatmu. Pedang itu milikmu. Semua terasa benar sekarang."

"Aku tidak bisa menerimanya sekarang. Jika memang pedang ini harus kupegang, aku ingin kepala suku yang menyerahkannya langsung padaku." Holkay meletakkan pedang itu di depan Marsala.

"Kau tidak perlu berpura-pura menghormati ayahmu di depanku. Kau juga berpikir jika ayahmu yang payah itu seharusnya berhenti menjadi kepala suku, kan? Aku juga berpikir sama denganmu. Karena dirimulah yang seharusnya memimpin suku kita."

Holkay tidak mengelak maupun mengiyakan. Dia hanya menutup rapat mulutnya sembari memandang tajam ke arah Marsala.

"Oh, ya, gadis itu pagi-pagi mengunjungiku dan bercerita tentang mimpinya. Kau juga sudah tahu, kan?" ujar Marsala.

"Aku tahu," sahut Holkay. Tanpa basa-basi dia melangkah keluar dari aula besar meninggalkan Marsala yang duduk manis di ruangannya di pojok aula.

Dia mengedarkan pandang lalu melihat langit mendung yang menyembunyikan matahari. Semakin dekat dengan hari kebangkitan itu, langit semakin mendung. Holkay dapat merasakan beberapa Stealth berkeliaran di sekitar penghalang yang dibuatnya bersama para penyerang.

Dia mengedarkan pandang lagi, tapi tak mendapati apa yang tengah dicarinya. Seharusnya dia senang karena tidak harus mendengar ocehan tak bermutu gadis itu yang dengan seenak hatinya mengajaknya berteman. Tentu saja Holkay akan langsung menolaknya. Sama sekali tidak ada untungnya berteman dengan gadis itu, pikirnya. Namun, saat dia tidak melihat gadis itu di manapun membuatnya merasakan apa itu resah.

Bagaimana kalau sampai gadis itu nekad meninggalkan perkampungan dan memilih kembali ke kota? Holkay sempat berpikir ke arah sana. Lama-lama dia merasa kesal karena seperti baby sitter Sia.

Dengan langkah cepat, Holkay mengunjungi rumah Armenia. Sayangnya gadis itu juga sedang tidak di rumah. Rumah mungil yang ditempati Armenia itu terlihat sunyi dan hanya menguarkan bau obat-obatan.

Perasaannya mengatakan Armenia tengah bersama Sia. Holkay meneruskan langkah menuju rumahnya. Berharap gadis itu sudah kembali entah dari mana. Tapi sayangnya rumahnya kosong. Kembali keluar rumah, Holkay memanggil seorang anak perempuan yang sedang bermain dengan teman-temannya.

"Apa kau melihat gadis kota itu pergi?" tanya Holkay.

Gadis itu nampak berpikir sejenak. "Kakak cantik itu tadi pergi bersama Kak Armenia," ujarnya ingat.

Seperti dugaannya. Holkay tersenyum. "Apa kau tahu mereka pergi ke mana?"

"Ummm ... tidak tahu. Eh, tapi Kak Armenia membawa keranjang rotan berisi pakaian," jawab anak perempuan itu.

"Oh, baiklah. Terima kasih," ujar Holkay.

Anak perempuan itu mengangguk dan kembali ke perkumpulan teman-temannya yang sedang asik bermain tanah.

Holkay mendengus kesal. "Mereka ke sungai? Bodoh!"

***

"Andai di sini ada listrik, kau tidak perlu susah-susah mencuci pakaian di sungai seperti ini. Tinggal masukkan mesin cuci, pencet tombol dan pakaian akan langsung kering," ujar Sia sembari mencelup-celupkan pakaiannya ke dalam air sungai yang agak dalam. Dia baru saja melakukan pengalaman pertamanya menjadi manusia primitif.

"Kedengarannya mudah sekali. Kau beruntung," timpal Armenia sembari memeras pakaiannya dan menatanya rapi di keranjang rotan.

"Ya, aku beruntung. Mungkin itu juga alasan buyutku meninggalkan suku."

"Bisa jadi. Manusia cenderung kesulitan menahan hasrat duniawi. Perubahan, kemudahan dan era teknologi menjadi fakto utamanya. Bahkan untuk suku Heilige yang hidup menepi dari semua itu saja masih kesulitan menahan hasrat itu. Maka dari itu tidak semua anggota suku memiliki kekuatan spiritual yang mumpuni."

"Humm, jadi si menyebalkan itu pasti paling handal menahan hasrat duniawinya? Begitu, kan? Tapi, dia bekerja di cagar?" Sia teringat pertama kali bertemu dengan Holkay.

"Bisa dibilang begitu, selain karena itu bakat alami. Tentang Kak Holkay yang bekerja di cagar itu, hanya untuk mengawasi Danau Porte."

"Ha? Mengawasi danau?"

"Danau Porte merupakan gerbang menuju dimensi Stealth. Kak Holkay bertugas memasang penghalang di sana dan mengawasi pergerakan mereka."

Sia teringat Stealth raksasa yang mencoba keluar dari danau. "Ja-jadi di sana te-tempat yang berbahaya? Pa-pantas saja waktu itu kami di larang ke sana." Sia mendadak merinding.

"Ya, begitulah." Armenia selesai dengan perasan pakaian terakhirnya. Dia naik ke atas batu dan memeras bagian bawah pakaiannya yang basah karena bermain-main air dengan Sia. "Hei, kau sudah selesai?" tanya Armenia melihat Sia masih mencelup-celupkan pakaiannya.

"Ah, iya tunggu sebentar." Sia buru-buru menarik pakiannya dan memerasnya. Sekilas Sia melihat bayangan wajah yang bukan miliknya di permukaan air di dekat dia berdiri. Sia mengucek matanya dengan tangan kanan. Hanya ada bayangan wajahnya. "Apa itu tadi?" gumamnya.

"Sia, ayo. Kita harus segera menjemurnya. Kalau tidak pakaian-pakaian ini akan semakin lama kering karena mendung ini," ujar Armenia yang sudah melompat ke tepian sungai yang dipenuhi batu-batu kecil mempermudah jalannya menuju daratan.

Mengabaikan apa yang dilihatnya tadi, Sia segera memeras pakaiannya. "Ya ya!" serunya sembari melangkahkan kaki menuju tepian yang lebih dangkal. Namun, belum ada satu langkah Sia merasa kakinya ditarik sesuatu.

BYUURR.

Armenia membalikkan badan dan matanya terbelalak melihat Sia tercebur ke air.

"Sia!" teriaknya.

"Tolong!" Sia berusaha tetap di permukaan tapi kakinya terasa ditarik semakin ke tengah sungai yang dalam. Dia timbul tenggelam dan tubuhnya terseret arus sungai. Sia sekilas melihat Armenia berlari di tepian sungai memanggil-manggil namanya. Tapi, suara itu semakin terdengar samar-samar. Hidungnya sakit karena berkali-kali tersedak air sungai. Pergerakannya tangannya yang mencoba menggapai sesuatu semakin tak berdaya. Tubuhnya lemas, dia melihat gelembung-gelembung udara yang keluar dari mulutnya mulai semakin sedikit. Tubuhnya ditarik semakin dalam, terombang-ambing di dalam air.

Rasanya sungai tak sedalam ini. Gumamnya membiarkan tubuhnya semakin tenggelam. Sebelum matanya benar-benar tertutup, Sia dapat melihat Pao Pao berada di bahu seseorang.

***

Shinjukyuu / 06 Maret 2018

Continue Reading

You'll Also Like

1.5M 78K 41
(BELUM DI REVISI) Aline Putri Savira adalah seorang gadis biasa biasa saja, pecinta cogan dan maniak novel. Bagaimana jadi nya jika ia bertransmigra...
637K 38.4K 63
(WAJIB FOLLOW SEBELUM MEMBACA!) Ini tentang Amareia Yvette yang kembali ke masa lalu hanya untuk diberi tahu tentang kejanggalan terkait perceraianny...
169K 10.1K 42
Aletta Cleodora Rannes, seorang putri Duke yang sangat di rendahkan di kediamannya. ia sering di jadikan bahan omongan oleh para pelayan di kediaman...
680K 43.1K 31
Kanara menyadari dirinya memasuki dunia novel dan lebih parahnya lagi Kanara berperan sebagai selingkuhan teman protagonis pria yang berujung di camp...