DARKNESS

By Shinjukyuu

4.7K 671 110

Follow untuk baca ^^ ♡♡♡♡♡♡ Kunjungan klub biologi dari Black Campus ke ibu kota lama Estonial, Dominion, men... More

Bulir 2 : Visibly
Bulir 3 : Caught
Bulir : 4 Attack
Bulir 5 : Telltale
Bulir 6 : Unwanted Guest
Bulir 7 : The Hidden Girl
Bulir 8 : Heilige's Tribe
Bulir 9 : First Day
Bulir 10 : Feeling
Bulir 11 : Cloudy Morning
Bulir 12 : The Symptoms
Bulir 13 : Resolve and Dauntless
Bulir 14 : Lost
Bulir 15 : Black Horse Prince
Bulir 16 : Back
Bulir 17 : Dark Night
Bulir 18 : Empty Heart
Bulir 19 : The Same Feeling
Bulir 20 : Primosa Forsythia
Bulir 21 : Show Time
Bulir 22 : Falsehood
Bulir 23 : The King of Stealth
Bulir 24 : Behind The Light
Bulir 25 : Her Decision
Cerita Baru
Bulir 26 : Against of The Darkness
Chapter 27 Empty Soul And The King Of Darkness

Bulir 1 : Celosia Leene

760 59 15
By Shinjukyuu

First publish : Storial.co


Rintihan kesakitan mengalun ringkih menemani perjalanan sepasang suami istri menyusuri jalanan memasuki ibu kota baru Estonial, Tallin. Sang suami yang tengah mengemudi sesekali menoleh pada sang istri yang sudah bermandikan peluh karena kontraksi kandungannya. Waktunya untuk melahirkan.

"Tahanlah, Meola. Aku melihat sebuah rumah di sana," ujar Daizen, sang suami yang sudah tidak tega melihat kesakitan istrinya.

"Ti-tidak! Ki-kita harus masuk ke kota. Me-mereka akan menemukan keberadaan kita jika berhenti sebelum masuk kota. A-aku bisa bertahan. Arrrg!" jerit istrinya kesakitan.

"Tidak ada pilihan lain. Ini lebih berbahaya untuk kalian berdua. Kita harus berhenti, putri kita tidak bisa menunggu lagi." Daizen meyakinkan istrinya.

Kesakitan tiada tara membuat Meola tidak bisa mengelak lagi. Dia harus melahirkan putrinya sekarang. Atau semua perjalanan mereka sejauh ini ke Tallin akan menjadi sia-sia. Putrinya berhak lahir dan menjalani kehidupannya.

Cahaya lampu yang tak begitu terang terlihat di gang pinggir jalan yang mereka lalui. Mereka tidak memiliki pilihan, tidak ada satu rumahpun sepanjang jalan yang dipenuhi pohon White Birch. Meskipun nanti ternyata itu bukan sebuah rumah, setidaknya gubuk atau pos tidak berpenghuni, mereka berencana akan melakukan persalinan sendiri. Segala keperluan sudah mereka siapkan jauh-jauh hari untuk situasi ini dan Daizen, setidaknya sudah mempelajari tentang persalinan darurat. Tidak sesuai dengan pekerjaannya sebagai dosen sejarah, tapi demi istrinya, putrinya, sebagai seorang suami dan juga calon ayah, dia bisa melakukannya.

"Oh?" Seorang wanita tua keluar setelah pintu rumah kecilnya diketuk ditengah malam cerah karena bulan hampir purnama.

"To-tolong istri saya. Dia akan melahirkan," ujar Daizen sembari menopang tubuh istrinya yang mulai melemah dengan napas berat.

Sejenak wanita tua itu terdiam, lalu dia segera membuka lebar pintunya. "Masuklah," ujarnya.

Daizen segera membawa istrinya masuk dengan perlahan. Mengikuti wanita tua itu menuju sebuah kamar tidur.

"Baringkan istrimu di sini," ujar wanita tua itu sembari menumpuk bantal.

"Ba-baik." Daizen membopon istrinya dan membaringkannya dengan perlahan. Rasa panik melandanya karena merasakan rok istrinya basah. Air ketubannya telah pecah.

"Arrrggh, sakit!" jerit Meola dengan wajah pucat penuh peluh.

"Bertahanlah, Meola. Aku di sini bersamamu. Kau pasti bisa, sayang." Daizen mengecupi kening istrinya dan menggenggam erat jemari istrinya. Meola mengangguk dengan susah payah.

"Apa kau ingin menunggu di luar?" tanya si wanita tua yang sudah menyiapkan sebaskom air dan kain-kain.

"Apa Anda bisa membantu persalinan?" tanya Daizen.

"Itu pekerjaanku," jawab si wanita tua.

Daizen menghela napas lega. Jika wanita tua baik hati ini tidak bisa, Daizen sudah mempersiapkan diri untuk melakukan persalinan meski dengan ilmu minimnya. Mendengar ini adalah pekerjaan wanita tua itu sungguh membuat Daizen kehilangan beberapa beban di pundaknya. Istri dan putrinya ada harapan besar selamat, putusnya dalam hati.

"Aku akan membantu sebisaku. Akan akan mengambil keperluan di mobil dulu." Daizen melangkahkan kakinya dengan cepat menuju mobilnya. Diambilnya semua keperluan persalinan yang sudah disiapkannya. Membayangkan dirinya akan menjadi seorang ayah setelah sepuluh tahun lamanya menunggu membuat hatinya membuncah bahagia. Tentu kebahagiannya akan terasa penuh jika orang-orang itu tidak datang pada keluarganya dan berniat mengambil putrinya. Daizen tidak akan membiarkan itu terjadi.

Setelah melewati prosesi persalinan yang menyakitkan dan melelahkan, tangisan seorang bayi perempuan membuat pasangan suami istri itu menangis bahagia. Putri yang mereka nanti-nanti akhirnya lahir ke dunia juga.

Namun, kenyataan gelap tentang pengejaran membuat mereka kembali dilanda keresahan. Berniat segera pergi melanjutkan perjalanan, akan tetapi keadaan lemah istrinya membuatnya bingung. Jika mereka terlalu lama di sini juga akan berbahaya bagi mereka terurama sang putri.

"Pakaikan cincin ini pada putrimu." Lisian, si wanita tua yang baik hati itu menyodorkan sebuah cincin kecil perak pada Daizen.

"Ini?" Daizen tidak paham kenapa Lisian memberi cincin pada bayi mereka.

"Mereka tidak akan bisa menemukan kalian," ujar Lisian.

"Anda tahu tentang kami?" Daizen terkejut begitu juga Meola yang tengah berbaring menyusui bayinya.

"Tidak ada waktu lagi. Pakaikan cincin ini pada jari manis kanannya," desak Lisian. "Aku tahu kalian mungkin tidak bisa percaya padaku. Tapi, sekarang ini hanya aku yang bisa menyelamatkan kalian bertiga. Kalian tidak ada pilihan."

Daizen dan Meola saling berpandangan. Mereka orang modern yang tidak terlalu mempercayai hal mistis, tapi karena orang-orang itu mereka terpaksa mempercayainya. Meola mengangguk pada suaminya, meminta Daizen menerima cincin itu. Seperti kata Lisian, mereka tidak memiliki pilihan. Jika mereka memang bisa terselamatkan, maka mereka harus mencobanya. Demi putri mereka yang berhak melihat dunia.

***

Dua puluh tahun kemudian.

"Pagi, Wayne! Pagi, Catt!" sapa riang seorang gadis cantik bersurai cokelat, dengan mata bulat jernihnya.

"Pagi, Sia!" Terdengar balasan serempak dari dua orang pria yang baru saja disapa.

"Hentikan. Kau ingin menyapa semua penghuni Black Campus?" protes gadis berkepang yang berjalan di sebelahnya sejak tadi. Sejak tadi gadis bersurai cokelat itu mulai menyapa setiap mahasiswa maupun mahasiswa yang dia jumpai.

"Apa salahnya menyapa? Mereka temanku juga," jawab Sia, si gadis pemilik surai cokelat dan mata bulat yang jernih.

"Mereka akan salah paham kau tahu? Maksudku para pria itu. Kau terlalu baik pada mereka," sahut Veronica.

"Mereka tahu aku hanya ingin berteman. Aku tidak akan berpacaran dengan siapapun, aku milik semuanya." Sia mengerlingkan mata jahilnya.

"Ah, dasar gadis genit ini." Veronica mengumpat dalam hati. Memiliki teman superior seperti Celosia Leene benar-benar menguras kesabaran jika dalam situasi seperti ini.

"Hahahaha." Sia tertawa melihat sahabatnya yang mulai terlihat menyerah padanya. Gadis ini memang hobi iseng pada Veronica. Baginya melihat Veronica yang maniak tumbuhan sampai angkat tangan benar-benar menghiburnya.

"Lupakan soal tadi. Aku harap kau tidak berbohong tentang keikutsertaan dirimu ke acara klub biologi ke ibu kota lama," ujar Veronica mengingatkan Sia.

"Aku sudah berjanji, Vero. Mana mungkin aku mengingkarinya. Aku sudah izin pada mama papa juga. Swear!" Sia membuat tanda peace dengan jari kanannya.

"Baiklah, aku percaya. Kita berangkat besok. Dan karena Dominion lumayan jauh, kita pasti akan menginap di sana. Kau sudah mengatakan pada paman dan bibi soal menginap, kan?" Veronica menatap serius pada Sia yang tengah mengulas senyum pada beberapa mahasiswa yang menyapanya. Sahabatnya ini terlalu cantik, terlalu populer dan terlalu banyak penggemar. Veronica sempat berpikir, bagaimana bisa mereka bersahabat, melihat mereka seperti dua orang gadis yang bertolak belakang. Si populer dan si kutu buku Black Campus. Ah, itu sangat cocok menjadi sebutan untuk mereka.

"Aku sudah mengatakan semuanya. Aku pergi denganmu dan mama tidak akan bisa melarangku. Kau kepercayaan mama." Sia menoleh dan menoel hidung Veronica.

Veronica menggosok hidungnya yang baru saja ditoel Sia. Bibirnya mengerucut. Sia yang selalu jahil padanya, kerap kali melakukan hal-hal manis seperti ini, membuat Veronica diam-diam menyukainya. Baginya Sia seperti adiknya sendiri.

Kaki mereka kembali melangkah menyusuri jalan menuju gedung pekuliahan. Kedua sisi jalan yang dihiasi dengan pohon Maple menarik perhatian Sia. Sesekali dia menankap daun maple yang jatuh tertiup angin lembut di kampusnya dan diberikannya pada Veronica, si pecinta tanaman.

***

"Sayang, apa semua sudah kamu bawa? Mau mama buatkan camilan kesukaanmu?"

"Tidak perlu, Mama. Hanya sehari, besoknya kami sudah kembali ke Tallin." Sia tersenyum sembari memasukkan dua pasang pakaian, satu untuk tidur dan satunya untuk dipakai saat pulang, ke dalam tas ranselnya.

"Baiklah. Herhati-hatilah. Jangan melakukan hal-hal aneh dan apapun yang terjadi jangan sampai kamu melepaskan cincin ini." Meola, sang mama, bertutur lembut sembari menggenggam jemari Sia yang mengenakan cincin.

"Mama mulai seperti Papa saja. Haruskah Mama mengatakan itu tiga kali sehari setiap hari? Aku seperti gadis sakit yang tidak boleh melewatkan obatnya." Sia malah terkekeh.

"Hei, dasar gadis nakal. Pokoknya lakukan saja. Itu akan membuat kami tenang. Oke, sayang?" Meola meyentuh pipi Sia dengan lembut.

Tatapan sayu mamanya, membuat Sia merasa sangat bersalah karena terpaksa berbohong tentang tujuan kepergiaannya. Sedari kecil Sia tidak pernah bisa pergi jauh dari Tallin. Tidak tahu mengapa, tapi orang tuanya selalu tidak mengizinkan. Membatasi keinginannya untuk melakukan berbagai hal seperti berpetualang. Sebenarnya dia bercita-cita ingin menjelajah dunia, tapi jika keluar dari Tallin saja tidak bisa, cita-citanya itu tidak akan pernah tercapai. Meski begitu ini pertama kalinya Sia berbohong pada mama dan papanya. Jantungnya bahkan terasa nyeri karena berdebar terlalu keras.

"Apa aku sekarang menjadi gadis nakal, Pao?" tanya Sia pada makhluk bulat berbulu yang tengah melayang-layang mengelilinginya.

"Pao." Suara Stealth bundar berbulu itu terdengar lucu.

"Hanya sekali, Pao. Aku hanya ingin merasakan udara di luar Tallin." Sia meraih Stealth berbulu yang dia beri nama Pao Pao itu ke dalam pelukannya.

Stealth. Orang Estonial mengatakan itu ada makhluk dari dunia seberang, sejenis siluman. Namun, di sini mereka dijuluki Stealth. Sia dapat melihat mereka sejak kecil, lebih tepatnya ketika dia berusia lima tahun. Awalnya Sia kecil ketakutan karena kemunculan para Stealth dengan wujud-wujud layaknya percampuran binatang dan manusia, atau terkadang berwujud mengerikan seperti monster-monster di film, namun sejak kehadiran Pao Pao yang lebih mirip boneka berbulu, membuatnya berangsur kehilangan rasa takutnya. Para Stealth itu tidak pernah menyakitinya, mereka hanya muncul di sekitarnya lalu pergi. Stealth itu bahkan pernah juga menolongnya waktu dia hampir hanyut ke sungai saat liburan Sekolah Dasar. Sejak itu Sia hampir tidak pernah pernah melihat Stealth lain selain Pao Pao yang terus mengikutinya.

Pao Pao tidak berbicara selain 'pao', maka Sia menamainya begitu. Keberadaannya juga tidak ada yang mengetahuinya, termasuk orang tuanya sendiri. Mamanya sangat histeris sewaktu kecil dia mengatakan melihat makhluk aneh di rumah mereka. Orang tuanya panik dan semakin mengurungnya di rumah. Sia sempat tidak diizinkan untuk bersekolah dan karena itu dia berbohong pada orang tuanya bahwa dia sudah tidak melihat apapun.

Sia menghela napas, kembali membuka matanya sembari mengelus Pao Pao yang sudah menutup mata. Setelah diingat-ingat lagi ternyata ini adalah kebohongan keduanya. Ah, Sia merasa jantungnya berdebar dengan keras. Berbohong itu menakutkan.

***

Pagi-pagi sekali Sia sudah dijemput Veronica. Sahabat Sia itu tanpa curiga sedikitpun berpamitan pada mama Sia tanpa mengatakan tujuan mereka. Dia berpikir Sia sudah mengatakan ke mana mereka akan pergi.

Sekitar dua puluh orang berangkat menuju ibu kota lama yang telah menjadi cagar alam Dominion. Anak-anak klub biologi bersemangat sekali karena mereka akan menemukan banyak spesies tanaman yang katanya hanya bisa ditemukan di Dominion.

Dominion dulunya adalah ibu kota Estonial, namun karena pertempuran manusia dan Stealth pada tiga ratus tahun lalu membuat Dominion hancur tidak bersisa. Itu yang dceritakan di buku legenda sejarah Estonial. Tentu saja anak zaman sekarang tidak terlalu tertarik pada hal mistis semacam itu. Pada zaman serba modern ini, tidak memiliki uang lebih menakutkan daripada para Stealth.

Setelah tiga jam menempuh perjalanan, romobongan klub biologi sampai di Dominion. Mereka tidak membuang waktu untuk memasuki cagar alam setelah menunjukkan surat izin dari kampus. Veronica dan Sia sedikit terpana pada penjaga cagar alam yang muda dan tampan. Tampak tidak cocok dengan seragam cokelat penjaga gerbang cagar alam.

"Ya ampun, aku merasa jatuh cinta pada penjaga tadi. Apa kau lihat anting di telinga kirinya. Cocok sekali dengan wajah datarnya yang dingin. Gunakan pesonamu untuk meminta nomor ponselnya, Sia," ujar Veronica ketika mereka sudah memasuki cagar alam.

"Hei, aku baru kali ini melihat kau begitu tertarik pada pria? Apa ketampanannya begitu memikat?" goda Sia.

"Kau juga melihat dengan kagum tadi, kan?Lihat saja mereka terlihat berbeda, tidak seperti orang Tallin kebanyakan. Setuju?"

Sia mengangguk. Dia sangat setuju sebenarnya. Dua penjaga tadi terlihat begitu menawan. "Ah, itu bunga yang cantik." Mata Sia menangkap bunga merah tak jauh dari tempat mereka berjalan.

"Bunga?" Veronica menoleh untuk ikut melihat. Matanya malah menangkap hal lain. Danau Porte.

"Aku akan memotretnya." Sia membelokkan langkah menuju bunga merah itu berada.

"Sia, jangan! Kita tidak boleh mendekati danau. Penjaga tadi melarang kita untuk ke sana," peringat Veronica.

"Haish, aku hanya akan memotret bunganya. Ayolah, aku tidak akan ke danau." Sia sudah melangkahkan kaki menghampiri bunga merah itu yang berada di tanah agak tinggi dari jalan yang mereka lalui.

"Sia!" jerit lirih Veronica yang tidak dihiraukan Sia.

"Waaaa!!"

Belum sempat Veronica mengambil napas, pekikan Sia mengejutkannya. Veronica tidak melihat Sia. Buru-buru dia naik menuju bunga merah itu. Dilihatnya Sia tergelincir hingga ke samping jalan mereka. Veronica hendak meminta bantuan ke rombongannya, namun mereka semua sudah jauh di depan. Tidak ada pilihan, Veronica segera turun dengan hati-hati ke tempat Sia jatuh di tanah berlumpur.

"Sia, kau tidak apa?" tanya Veronica panik. Dia membantu Sia keluar dari kubangan lumpur itu.

"Aw! Bokongku sedikit sakit," rintih Sia.

"Kau penuh lumpur. Dasar. Sudah kubilang jangan pergi sembarangan. Bisa-bisanya kau terjatuh kemari. Ayo kita naik dan membersihkan dirimu di pos," ajak Veronica.

Sia melihat tangan dan bagian bawah tubuhnya yang kotor karena lumpur. Memalukan sekali karena terpeleset dan jatuh ke lumpur. Wajahnya juga terciprat sedikit lumpur.

"Aku akan membersihkan di danau saja. Aku malu kembali seperti ini." Sia menatap danau yang sudah di depan mata. Tinggal berjalan sebentar.

"Tapi ..." Veronica ragu karena peringatan si penjaga, tapi danau sekarang lebih dekat daripada harus kembali ke pos.

Akhirnya Veronica termakan bujuk rayu Sia untuk mendekati danau. Mereka berdua ternganga melihat keindahan Danau Porte yang tidak boleh dikunjungi. Airnya bersih dan banyak bunga Delphinium di pingiran danau. Tidak ada kesan-kesan menyeramkan sama sekali di sini.

"Tadi saja tidak mau," ejek Sia sembari mencuci tangannya di pingir danau.

Veronica mendengus sembari mengambil beberapa foto bunga dan mengambil beberapa sempel tanaman yang baru dilihatnya. "Ya-ya. Cepat bersihkan tanganmu dan kita harus cepat menyusul. Tidak ada signal di sini, mereka bisa saja sedang kebingungan karena kita menghilang."

"Oke-oke." Sia mengerucutkan bibir sambil melanjutkan pembersihan jemarinya. Dia tidak suka kukunya kemasukan lumpur. Air danau yang jernih membuatnya bisa melihat dengan jelas permata dicincin pada jari manisnya yang kotor oleh lumpur. Sia memutar-mutar cincinnya untuk membersihkannya. Tanpa sengaja, Sia memutarnya hampir ke ujung jarinya. "Ah!" pekik Sia terkejut karena cincinnya terlepas. Tangannya mencoba menggapai cincin yang melayang-layang di dalam air, namun tidak bisa.

"Kenapa?" tanya Veronica menghampiri Sia.

"Cincinku jatuh ke air," jawab Sia. "Ba-bagaimana ini?" Dia berdiri memandangi danau yang memperlihatkan bayangan wajah paniknya.

"Kamu ceroboh sekali? Pasti sudah jatuh ke dasar, kita tidak mungkin mengambilnya." Veronica tidak membayangkan seberapa dalam Danau Porte.

Sia terlihat semakin panik karena melihat Pao Pao terbang tidak beraturan di depannya. Makhluk berbulu itu nampak tengah mengatakan hal-hal yang tidak dimengerti Sia. Bersamaan dengan itu terasa getaran keras seperti gempa bumi membuat mereka sampai terjatuh. Hanya sebentar, namun mampu membuat dua gadis itu saling menatap dengan wajah pucat.

"A-apa yang terjadi barusan itu?" tanya Veronica.

"Gempa?" tanya balik Sia. Veronica mengangkat tangan.

Pao Pao masih berputar-putar di depan Sia. Tiba-tiba saja ucapan mamanya terngiang diotaknya. Sia memegang dadanya yang terasa sesak. Matanya melihat ke arah jemari manisnya yang sudah tidak mengenakan cincin. Bekas lingkaran hitam yang melingkari jari manisnya perlahan memudar.

"Baiklah. Herhati-hatilah. Jangan melakukan hal-hal aneh dan apapun yang terjadi jangan sampai kamu melepaskan cincin ini."

***

Selamat malam, rasanya sudah sekian lama daku pergi berkelana ke barat dan berpisah dengan watty ^^. Balik lagi ini mau promosi Be a Night Staff yang harus bermigrasi ke Webcomics. Dan sekalian ingin mempublish DARKNESS di watty. 

Silakan dinikmati dan jangan lupa untuk mampir ke Webcomics ya.


Continue Reading

You'll Also Like

3.6M 358K 95
Bercerita tentang Labelina si bocah kematian dan keluarga barunya. ************************************************* Labelina. Atau, sebut dia Lala...
141K 13.2K 37
Teman SMA nya yang memiliki wangi feromon buah persik, Arion bertemu dengan Harris dan terus menggangunya hingga ia lulus SMA. Bertahun tahun tak ter...
170K 10.2K 42
Aletta Cleodora Rannes, seorang putri Duke yang sangat di rendahkan di kediamannya. ia sering di jadikan bahan omongan oleh para pelayan di kediaman...
179K 11.4K 19
Ini dia jadinya kalo gadis bar-bar seperti Joana transmigrasi ke dalam sebuah novel romansa dan menjadi anak perempuan dari protagonis yang digambark...