Shoot Me √

Par Lilyla__

167K 18.6K 4.5K

"Berhenti, atau aku akan menembakmu." "Aku tak peduli. Bahkan jika timah panas itu menembus kulitku, aku tak... Plus

Prolog
1
2
3
4
5
6
7
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
epilog
New Work Soon

8

3.3K 473 105
Par Lilyla__

Gadis Pelayan Café

Jungkook telah kembali kuliah. Namun, dia kini memilih tinggal rumah ayahnya dikarenakan misi yang ia terima. Awalnya tentu saja mendapat penolakan dari sang ibu, namun karena melihat wajah serius Jungkook, Ara tak mampu melakukan apapun. Lagipula, Jungkook sudah dewasa, sudah tau apa pilihannya, sudah mengerti hal apa yang baik dan buruk untuknya, percuma menahan Jungkook jika lelaki itu bersikeras untuk tetap bersama ayahnya, Jeon Seojoon.

Jisoo berbeda dari Jungkook. Dia sangat ingin tinggal bersama ayahnya pula, namun dia juga tak tega meninggalkan ibunya seorang diri. Memang, Ara telah memiliki Mark dan Lisa. Tapi mereka bukanlah anak kandung Ara. Mereka hanyalah anak tiri, anak dari suami barunya. Jisoo memilih weekend sebagai waktu untuk berkunjung dan menginap ditempat sang ayah sementara hari lain dia dirumah ibunya.

Jungkook kini berjalan beriringan dengan sang sahabat yang terkenal akan sifat playboynya. Siapa lagi kalau bukan Park Jimin yang sekarang nampak normal dengan warna rambut barunya. Hitam. Entah, angin apa yang membuat lelaki bermata sipit itu untuk mengganti gaya rambutnya lagi.

"Kook, apa kau tau alasan aku mengganti warna rambut?," seolah tau apa yang Jungkook pikirkan, Jimin membuka pembicaraan dengan pembahasan yang sebenarnya sedang Jungkook terka-terka jawabannya.

"Apa aku perlu tau?," Jungkook hanya menanggapi dengan sikap acuh. "Ayo kita bersantai di café depan," ajak Jungkook begitu mengetahui jika langkah mereka akan melewati sebuah café.

"Tentu! Tapi, kau yang traktir. Oke?"

"Apa kau tak punya uang? Kenapa kau malah minta traktir, Tuan Park? Tak biasanya kau mengemis traktiran," ledek Jungkook. Dia terkesan merendahkan. Tapi sejujurnya, apa yang dikatakan Jungkook itu benar. Jimin tak pernah meminta traktiran kecuali jika Jungkook yang menawari, dia akan dengan sedang hati menerima.

"Uangku habis. Aku mengganti semua style, dari ujung kaki sampai ujung kepala. Apa kau tak menyadarinya?," selidik Jimin. Dia curiga jika sahabatnya yang setia dengan kacamata bulat itu tak peduli dengan penampilan barunya.

Krling

Suara pintu café yang terbuka.

"Selamat datang di Mints café, silahkan menuju meja yang anda inginkan," sapa seorang pelayan dengan begitu ramah. Dia menyapa Jungkook dan Jimin ketika dia akan kembali ke belakang dan berpapasan dengan kedua pelanggan yang baru masuk itu.

Jimin dan Jungkook mencari tempat duduk yang sedikit tertutup. Bukan tertutup, lebih tepatnya sedikit tenang. Tempat duduk paling ujung, dekat dengan jendela yang mengarah langsung pada pemandangan jalan raya yang terlihat sibuk dengan adanya kendaran yang lewat. Jimin meletakkan tasnya di kursi yang kosong begitu juga Jungkook. Jungkook segera duduk dan menikmati pemandangan jalanan kota yang sibuk sementara Jimin terlihat kesal.

Jimin mengangkat kaki kanannya dan ditekuk diletakkan dikaki kiri. Sementara tangannya bersedekap. "Kook, kau belum menjawab pertanyaanku tadi. Apa kau tak ada niat untuk melihat penampilan baruku sedikitpun?"

Jungkook menarik ujung bibirnya. Pandangannya teralihkan pada sosok sahabatnya yang tengah merajuk. "Kau tampan," hanya dua frasa yang keluar dari bibir Jungkook. Bukan senang, Jimin malah mengeluarkan wajah datarnya.

"Kau nampak tak ikhlas," desis Jimin. "Ngomong-ngomong," Jimin menurunkan kakinya. Dia sedikit menarik kursi yang didudukinya agar sedikit lebih maju, dan mencondongkan badannya kearah Jungkook. "Kenapa kau dan Jisoo noona berpisah? Kenapa kau memilih tinggal bersama ayahmu?"

Jungkook mampu menebak pertanyaan yang akan diajukan oleh Jimin. "Aku kasihan pada appa. Dia tak punya siapapun. Sedangkan mommy, dia masih memiliki Mark dan Lisa. Jadi, aku memilih untuk menemani appa."

"Hanya itu?"

"Apa aku harus menambah alasan lagi? Kalau harus, kira-kira apa yang tepat untuk dijadikan alasan?"

"Mak...," perkataan Jimin terputus karena datangnya seorang pelayan.

"Permisi.....," suara yang nampak familiar ditelinga Jungkook namun sangat asing ditelinga Jimin. Suara yang nampak dibuat-buat untuk terdengar ramah.

Jungkook dan Jimin menoleh bersamaan kearah pelayan itu. Sosok wanita berbalut kemeja soft pink yang dilipat bagian lengannya hingga sedikit diatas siku dan rambut panjangnya diikat seperti ekor kuda. Dia tersenyum sangat kaku. Jimin nampak tak tertarik tapi Jungkook penasaran. Pelayan itu meletakkan buku menu dihadapan Jimin dan Jungkook. Baik Jimin dan Jungkook menerima buku itu dan membukanya. Jimin fokus dengan berbagai makanan dan minuman yang akan dipesan sementara Jungkook matanya sesekali melirik wanita disampingnya.

"Kau tak perlu berterimakasih. Aku memang terkenal sebagai wanita maut, tapi bukan berarti aku tak punya hati sama sekali."

Jungkook membeku. Ingatan akan kejadian dengan preman beberapa waktu lalu kembali. Dia sedikit tersentak dengan apa yang diingatnya. Sekali lagi, dia memfokuskan pikirannya.

"Tak usah menilai seseorang yang kau sendiri tak tau dia siapa."

"Bis yang kau tunggu sudah datang. Sekarang pulanglah, mandi, makan, belajar lalu tidur."

Tidak mungkin kan itu dia? Begitulah pikir Jungkook ketika dia telah mendapatkan ingatannya kembali.

"Kalian mau pesan apa?," suara yang terdengar sama di telinga Jungkook. Dia segera melihat kearah wanita pelayan itu. Matanya menuju name tag yang tersemat di dada. KIM YERIM.

"Aku mau tiramisu dan ice americano," ucap Jimin. "Kau apa, Kook?," tanya Jimin pada Jungkook. Dia mendongakkan kepala melihat sahabatnya itu. Dan yang dilihatnya adalah, Jungkook melihat pelayan itu tanpa berkedip. Jimin berinisiatif menginjak kaki Jungkook.

Jungkook tersentak. Dia gelagapan dan menatap tajam Jimin.

"Kau pesan apa, Tuan Jeon?," tanya Jimin. "Kasihan dia sudah menunggu dari tadi!"

"Sama dengan dirimu."

"Baiklah. Sama seperti aku tadi ya, nona," kata Jimin. Tak lupa dia tersenyum sambil memberikan wink-nya. Wink maut bagi kaum Hawa.

Wanita itu mengangguk dan kembali ke belakang untuk memasukkan pesanan. Sungguh kurang ramah untuk ukuran pelayan. Jimin kembali fokus pada Jungkook.

"Apa ada yang salah dengan pelayan tadi? Apa kau menyukainya? Kenapa kau melihat seolah ingin menerkamnya? Ada apa denganmu? Kenapa kau tak berkedip sedikitpun ketika melihatnya?," Jimin seperti seorang wartawan yang sedang mewawancarai narasumber penting.

Jungkook menggelengkan kepalanya, ragu. Dia tak yakin namun hati kecilnya yakin seratus persen. Jungkook berharap yang akan menyediakan pesanannya nanti adalah orang yang sama. Dia ingin memastikan sekali lagi, jika suara yang dia dengar itu sama. Sungguh, Jungkook sangat ingin mendengarnya.

"Baiklah," Jimin menganggukkan kepalanya berkali-kali. Paham dengan situasi dan mencoba memahami sahabatnya itu. "Jeon, apa kau mengenal Seulgi noona?"

Jungkook nampak tertarik dengan apa yang ditanyakan Jimin. Bukankah, nama yang disebutkan Jimin adalah sahabat terbaik kakaknya? "Ada apa? Dia sahabat noona. Kemanapun noona selalu bersamanya."

Jimin saling menggosokkan kedua telapak tangannya. Tersenyum penuh arti. Aha! Jungkook mendapatkan jawabannya.

"Apa kau menyukainya?," selidik Jungkook.

"Dia menggoda," bisik Jimin. "Aku mengganti style-ku hingga dompet kering hanya untuknya," Jimin masih berbisik. Jungkook hanya tertawa sambil menggelengkan kepala karena kelakuan temannya. Ganti lagi, begitulah yang ada dipikiran Jungkook.

Tak perlu menuggu lama karena pesanan datang. Dan sesuai harapan, yang mengantar pesanan itu adalah orang yang sama. Tapi, ada yang berbeda dimata Jungkook. Rambut gadis itu berbeda dari yang Jungkook temui tempo hari yang lalu. Rambutnya panjang padahal yang dia temui berambut pendek. Ah, tidak-tidak. Rambut bisa diakali dengan wig. Jungkook tak akan menganggap model rambut menjadi suatu alasan untuk keraguannya.

Yerim meletakkan pesanan dengan hati-hati. Sungguh seperti bukan seorang Yerim. Dia berharap mendapatkan kesan yang baik di hari pertama kerja. Dia tak ingin berbuat kesalahan apapun.

"Silahkan dinikmati, jika kalian ingin menambah pesanan, bisa segera panggil kami," kata Yerim. Terdengar nada yang kaku dari mulutnya. Senyum yang kikuk dan gesture tubuh yang kaku pula. Jungkook tersenyum. Dia merasa, dia sudah mendapatkan jawabannya.

"Ternyata itu memang dirimu. Aku hanya perlu bukti jika itu sungguh-sungguh seorang Rim."

*

Hoseok mengibaskan tangannya berkali-kali. Sudah lima menit dia menghirup udara bercampur asap rokok yang menyesakkan dada. Dia tengah berada di ruangan milik Irene. Berkumpul bersama Rose, Seokjin dan juga sang pemilik ruangan. Ruangan tertutup seperti ini, Irene dengan santainya menghisap nikotin dengan berbagi limbahnya pada ketiga rekannya.

"Eonni, bisakah hentikan rokokmu itu? Sungguh, aku tak bisa berpikir dengan jernih jika kau terus menerus mengeluarkan asap seperti cerobong pabrik," gerutu Rose. Tangannya digunakan untuk menjepit hidung mancungnya. Dia merasa pengap jika Irene terus menerus merokok.

"Apa yang perlu kau pikirkan, Rose? Kita sedang tak mendapatkan misi apapun. Jadi, istrihatkan otakmu sampai misi tiba," jawab Irene santai. Dia menghembuskan asap rokok sehingga asap itu keluar tebal dari mulutnya.

"Uhuk uhuk uhuk," Hoseok terbatuk-batuk. "Irene, sungguh. Aku tak tahan dengan bau rokokmu. Kita sedang tidak berada di aula. Kita sedang berada diruangan kecil tertutup. Jangan merokok," pinta Hoseok.

Irene menggerakkan badannya. Yang semula punggung kecilnya menempel sempurna pada sandaran kursi putar, sekarang dia sedikit mencondongkan badannya untuk mematikan rokok yang baru saja ia hisap. "Sudah? Masih ada yang protes?," tanya Irene dengan tatapan meremehkan.

Seokjin menarik nafas begitu dalam sebelum dia bertanya pada Irene. "Apa kau benar akan membiarkan Rim tertangkap?," pertanyaan Seokjin mengarah pada Changwook yang mengerahkan anak buahnya untuk membunuh Yerim. Bahkan mereka sudah tau tentang sniper bayaran itu.

"Apa aku terlihat demikian?," Irene berbalik bertanya pada Seokjin.

"Aku tak yakin karena memang kau tak meyakinkan," balas Seokjin. Sejauh ini, yang berani menantang Irene adalah Seokjin. Keduanya sama-sama hebat dalam memegang senjata, maka dari itu, meski Seokjin bukan pemimpin atau orang yang dianggap sebagai tangan kanan 'papa', tapi sesungguhnya Seokjin memiliki kiteria untuk menjadi pilihan.

Irene terkekeh. Dia sudah tau jika dia tak dipercayai oleh yang lain terutama Seokjin. "Kau sungguh menyayangi Rim? Aku sungguh cemburu," kata Irene dengan nada mengejek. Dia menyilangkan kakinya dan mengambil sekaleng bir yang ada dalam jangkauannya.

Csssshh

Suara kaleng bir yang terbuka membebaskan udara yang sempat terjebak dalam kaleng. Menenggak bir dengan rakusnya. "Kuberitahu satu hal penting untuk kalian semua. Aku tak akan menyerahkan Rim dengan mudah. Tapi aku juga tak akan membebaskan dia. Jadi, kalian tenanglah. Aku akan melindungi Rim. Tapi aku juga tak akan membebaskannya."

"Apa alasan kau melindungi dan apa alasan kau menahan? Iya, kita semua terikat pada papa. Tapi, apa tak ada cara untuk bebas?," Seokjin mencoba menyuarakan pertanyaannya. Irene tak kaget karena dia sudah seringkali mendapatkan pertanyaan serupa dari Seokjin.

"Aku melindungi karena itu permintaan papa. Dan aku menahan itu karena papa. Jika kau masih membutuhkan alasan yang lebih rinci, silahkan temui papa sendiri."

Semua terdiam. Tak ada yang bisa menemui orang yang disebut 'papa' itu. Mereka terikat tapi mereka juga tak tahu siapa yang mengikatnya. Sungguh, mereka seperti terikat pada iblis karena mereka tak bisa bebas. Iblis yang kuat yang tak bisa ditentang sedikitpun permintaannya.

"Rene," lirih Seokjin. Semua yang ada disana beralih menatap lelaki yang tengah memandang lurus kearah meja. Kedua tangan menyatu digunakan untuk menopang dagunya.

"Hmm?"

"Apa selamanya kau akan menjadi anjing orang tanpa wujud itu?," pertanyaan Seokjin begitu lirih. Namun, semua mampu mendengarnya. Irene membeku beberapa saat.

"Apa kalian suka tinggal disini, diperintah untuk ini dan itu, sedangkan kalian semua masih muda. Masih ada waktu untuk menikmati kehidupan diluar sana," lanjut Seokjin.

"Hyung, kenapa kau membahas hal seperti ini? Kau selalu seperti ini setelah membahas tentang Rim," Hoseok mencoba protes. Mereka semua diawasi. Dan itu membuat Hoseok tak tenang jika membicarakan kebebasan. Kaki Hoseok sudah bergerak-gerak gelisah.

"Oppa, hentikan," lirih Rose. Kepalanya mengangguk menekankan kalimat yang baru saja keluar dari bibir tipisnya.

Irene mencari sebuah kertas dan pulpen. Nampaknya, dia akan menuliskan sesuatu. Irene menuliskan angka-angka yang bagi orang awam tak akan mengerti.

25.I--20.I.16.IX--20.I.XII--II.IX.29.I

Hoseok dan Rose mengernyit. Mereka bingung dengan apa yang Irene tulis. Namun, gadis yang tengah menggigit ujung pulpen itu melirik kearah Seokjin.

"Kenapa?," tanya Seokjin. Dia mengerti arti dari tulisan Irene yang berbunyi 'Ya, tapi tak bisa'. Irene dan Seokjin telah belajar ragam tulisan, dan menurut mereka tulisan seperti itu mampu membantunya disaat genting. Seokjin dan Irene dilatih bersama oleh orang lain yang kini telah tewas. Dan mereka berdua menemukan cara berkomunikasi lain agar tak diketahui orang.

Bagaimana membaca sandi atau kode rahasia itu? Sesungguhnya, sangat sederhana. Mereka hanya mengenakan urutan abjad biasa. Jika abjad itu berada diurutan pertama sampai ke-lima belas, maka menggunakan angka romawi dan sisanya menggunakan angka biasa. Namun, terkadang hal sesimpel itu tak ada yang menyadarinya.

Irene terlihat menulis lagi. Menggunakan sandi lagi, pastinya.

XV.18.I.XIV.VII--IX.20.21--XIII.V.XIV.I.18.VII.V.20.XI.I.XIV--18.IX.XIII

"Maksudmu?," Seokjin tak mengerti. 'Orang itu menargetkan Rim', apa maksudnya?

Irene menghembuskan nafas pelan. Dia terlihat sabar. Tak biasanya dia sabar seperti ini. Ini moment langka.

I.XI.I.XIV--XI.21—XI.I.20.I.XI.I.XIV—16.I.IV.XIII.21—XIV.I.XIV.20.IX—20.IX.IV.I.XI—IV.IX.19.IX.XIV.IX (Akan ku katakan padamu nanti, tidak disini)

Seokjin mengangguk. Dari matanya dia seolah berkata 'ku pegang janjimu'. Sementara Irene, dia yang tau arti tatapan Seokjin hanya mengangguk dan tersenyum sinis. Hoseok dan Rose hanya bisa saling bertatapan karena tak paham.

*

Yerim berjalan pulang dari café. Hari sudah sore dan dia selesai bekerja dihari pertamanya. Sooyoung belum pulang karena dia akan bekerja sampai malam dikarenakan kemarin dia tak bekerja selama seminggu katanya. Dan itu membuat keuangannya menipis. Ah, sungguh Yerim tak peduli.

Tiin tiin

Suara klakson mobil yang baru saja melewati Yerim. Mobil itu terhenti tepat disampingnya namun agak kedepan sedikit. Kaca mobil itu bergerak turun... dan turun...

"Halo, anak baru," sapanya dengan ramah tersenyum lima jari kearah Yerim.

"Oh, selamat sore," balas Yerim formal.

Lelaki itu terkekeh. "Ayolah, Kim Yerim. Jangan formal seperti itu padaku. Mau aku antar?"

Yerim menggelengkan kepalanya begitu cepat. Diantar? Itu adalah hal yang tak boleh terjadi. "Tak perlu, Boss. Saya...,"

"Kim Yerim," suara itu memberhentikan perkataan Yerim. "Jangan panggil boss. Cukup panggil oppa. Minho oppa,"

Yerim memiringkan kepalanya sedikit. Mencerna apa yang didengarnya. Oppa? Apakah boss-nya ini tengah merayu dirinya?

"Yerim? Bagaimana?"

Tersadar dari lamunannya, Yerim segera merespon dengan gelengan kepala lagi. "Oppa, kau tak perlu mengantarku. Kedua oppa-ku tak akan suka aku membawa lelaki ke rumah. Kumohon mengertilah."

"Aku tak akan mampir," Minho segera menjawab. "Aku hanya ingin mengantarmu. Hari mulai gelap dan tak baik wanita sepertimu berkeliaran sendirian diluar."

Yerim memutar bola mataya malas. Bahkan, ketika orang-orang sudah berada dialam mimpi, Yerim masih berkeliaran membasmi preman-preman atau menjalankan misi lain. Jadi, pulang sendirian saat matahari masih memberikan sinar sedikit seperti saat ini, bukanlah hal besar bagi Kim Yerim yang biasa dikenal sebagai Rim.

"Sungguh, oppa. Aku sudah biasa pulang sendirian. Lagipula, rumahku tak begitu jauh. Dan, kau pasti juga lelah. Jadi, segeralah pulang dan istirahat."

Minho nampak berpikir. Sedikit kecewa karena ajakannya ditolak. Namun, apa boleh buat. Dia tak bisa memaksa Yerim. Mungkin nanti, jika Yerim sudah sedikit lebih lama bekerja di café-nya dan sudah tak canggung lagi, dia akan mau menerima tawaran pulang bersama.

"Baiklah. Aku tak akan memaksa. Aku pulang dulu. Hati-hati Yerim..."

Minho tersenyum sebelum menaikkan kembali kaca mobilnya. Dia segera melajukan mobilnya meninggalkan Yerim yang menarik nafas lega. Yerim segera melanjutkan langkahnya yang tertunda menuju sebuah gang sempit. Disana ada tumpukan sampah dan beberapa kardus. Gang sempit yang sepi. Yerim menyingkirkan kardus-kardus yang menutupi kendaraan kesayangannya.

Yerim melepas wig yang dikenakan lalu memasang masker sehingga hidung dan mulutnya tertutup. Wig dimasukkan kedalam bagasi. Yerim akan memakai helm-nya. Namun, sebelum kepalanya masuk kedalam helm, ia malah menurunkan helm itu dan meletakkan diatas jok motor. Tanpa perlu berbalik, "Apa yang kau lakukan? Mau jadi penguntit?"

**

Aku rasa kalian tau siapa yang ditanyai Yerim. Peka sekali dia gaess.. haha. Gimana chapter ini? chapter kemarin juga? Ada sesuatu yang kurang? Bilang ya,,,

Update :110318

Next update :170318/140318

Continuer la Lecture

Vous Aimerez Aussi

50.4K 11.4K 60
Jadelyn Rosélia, gadis berkebangsaan Inggris yang berdiri di antara dua pilihan. Memilih salah satu di antara orang yang ia cintai dengan orang yang...
383K 21.8K 44
Setiap hari kita tidak lepas dari aroma, aroma adonan kue yang baru keluar open, aroma rumput yang baru saja di potong, aroma buku baru yang ada di t...
446K 8.3K 13
Shut, diem-diem aja ya. Frontal & 18/21+ area. Homophobic, sensitif harshwords DNI.
918K 44.1K 40
Alzan Anendra. Pemuda SMA imut nan nakal yang harus menikah dengan seorang CEO karena paksaan orang tuanya. Alzan kira yang akan menikah adalah kakek...