Shoot Me √

By Lilyla__

167K 18.6K 4.5K

"Berhenti, atau aku akan menembakmu." "Aku tak peduli. Bahkan jika timah panas itu menembus kulitku, aku tak... More

Prolog
1
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
epilog
New Work Soon

2

5.5K 574 56
By Lilyla__

MISSION

“Kookie, nanti kau bisa pulang sendiri, kan? Noona harus mencari bahan untuk tugas membuat sebuah gaun. Gaun yang unik dan trendy,” kata Jisoo sebelum dia berpisah dengan adiknya menuju ke gedung fakultas yang berbeda.

“Noona tenang saja. Aku bukan anak kecil lagi. Aku bisa pulang sendiri,” ungkap Jungkook begitu kesal karena noona-nya selalu saja memperlakukannya seperti anak kecil.

“Anak pintar. Noona tinggal dulu ya,” kata Jisoo. Tangannya tak lupa mengacak gemas surai kecoklatan milik adiknya.

Jungkook mendengus kesal. Kedua tangannya menggenggam tali tas yang berada dipunggung.

“Jungkook!,” seorang lelaki dengan tinggi dibawah Jungkook datang dan langsung merangkulnya. Rambut orange-nya terlihat mencolok jika berada di area kampus seperti ini. Kelima jemari tangan kanannya menyisir rambut kearah belakang. Senyum lebar membuat kedua mata sipitnya tenggelam.

“Park Jimin? Kau mengagetkanku saja,” Jungkook tak melepas rangkulan sahabatnya. Dia hanya tersenyum sambil tangannya membenarkan letak kacamata yang mulai menuruni garis hidungnya.

“Maaf. Aku melihatmu berpisah dengan noona-mu. Jadi, aku segera berlari untuk menyusulmu. Jisoo noona semakin hari semakin cantik.”

Jungkook segera melepaskan tangan Jimin yang berada dibahunya ketika mendengar Jimin memuji noona kesayangannya. “Apa kau menargetkan Jisoo noona?,” tanya Jungkook penuh selidik.

Jimin menggelengkan kepalanya dengan cepat. Reflek. Dan itu artinya adalah jawaban terjujur yang keluar dari dalam diri seorang Park Jimin. Playboy fakultas Ekonomi yang terkenal sejagad Hwayang University.

“Lalu kenapa kau memujinya?”

“Apa kau sedang PMS? Aku sudah seringkali memuji Jisoo Noona. Jangan salah paham. Lagipula, aku tak ingin mati ditangan Seo Joon ahjussi. Jadi aku tak akan berbuat macam-macam pada kedua anaknya ini,” kata Jimin. Tak peduli apapun dia memeluk gemas pada Jungkook.
Lelaki berkacamata bulat itu jengah dengan perlakuan orang-orang disekitarnya. Kenapa mereka memperlakukannya seperti seorang anak TK?

“Kenapa kau diam?,” Jimin menghentikan aktivitas memeluknya. Dia membenarkan letak tas yang melorot karena memeluk Jungkook.

“Kenapa setiap orang memperlakukanku seperti seorang anak kecil?,” tanya Jungkook tanpa basai-basi. Dia melanjutkan perjalanannya, karena yakin jika Jimin akan mengikuti dan menjawab pertanyaannya.

Jimin benar-benar mengikuti langkah Jungkook. Dia berusaha menyamai lelaki bergigi kelinci dengan kacamata bulat ala harry potter yang setia bertengger dihidung besarnya.
“Kau sungguh mau tau alasannya?,” sungguh, bukan pertanyaan yang Jungkook harapkan sebagai sebuah jawaban. Dia ingin yang lain.

“Baiklah. Aku akan jawab,” Jimin menyerah. Dia tau sahabatnya itu tak suka dengan jawaban yang terkesan candaan jika sedang bertanya serius. Dia pasti akan diam seribu bahasa seperti seorang perempuan yang tengah pms saat sedang patah hati. Wow, menyeramkan bukan?

“Jadi begini. Kau itu imut. Menggemaskan. Seperti seekor kelinci. Sungguh, aku tak bohong. Tak percaya? Nanti setelah kelas Nam ssaem kita bisa pergi ke tempat yang jual kelinci untuk membuktikannya. Dan gayamu. . . . . Sungguh, aku tak pernah berpikir jika temanku, tidak. Tapi sahabatku yang sejak dalam kandungan ini menggunakan style kolot seperti ini!,” Jimin bercerita dengan gaya yang heboh. Gaya yang membuat seorang Jeon Jungkook malu jika mendapati kenyataan kalau temannya seseorang yang autis seperti Park Jimin.

“Kau tau? Aku tak suka style culun-mu ini. Kenapa kau tak muncul dengan gaya anak rumahanmu? Sungguh kau lebih tampan saat menjadi anak rumahan.”

“Aku nyaman seperti ini, Jim. Aku suka dengan gayaku."

“Ya sudahlah. Aku bersyukur kau menggunakan gaya cupu seperti ini. Karena sesungguhnya, aku minder jika kau tetap tampan. Percaya atau tidak, wanita diluar sana akan melirikmu dibanding aku jika kau tak menggunakan dandanan cupu ini. Kesimpulannya…….,” Jimin menjeda kalimatnya. Jungkook tau. Dia tak mau membuang waktu terlalu lama. Dengan menarik nafas, dia segera berlari meninggalkan seorang Park Jimin.

“Kenapa kau lari?!!! Aku mau mengucapkan terimakasih!!! Aku mau memelukmu!!,” Jimin menggendong tas-nya dengan benar sebelum berlari mengejar Jeon Jungkook yang sudah sibuk menghindarinya.

*

“Hirai Momo?,” Yerim membuka suaranya ketika sebuah foto dijepit diantara telunjuk dan jari tengahnya. Yerim  tak menaruh minat sedikitpun pada gadis berambut pirang yang ada di foto. Gadis keturunan Jepang yang akan menjadi targetnya.

“Eoh. Papa meminta kita untuk mengambil berlian yang ada di..,” Irene menjeda kalimatnya. Dia tersenyum licik lalu menjulurkan lidahnya. Telunjuk lentiknya menunjuk tepat di lidah yang ia julurkan.

“Tindik?,” Yerim sedikit terkejut. “Jangan bilang tugasku kali ini memotong lidahnya,” Yerim mendengus menebak apa yang harus dilakukannya.

“No no no… kau tak perlu memotong lidahnya. Cukup dapatkan berliannya. Lain halnya jika dia memberontak,” sekali lagi Irene menjeda kalimatnya dengan sebuah senyuman miring yang sedikit menyeramkan dan memikat disaat yang bersamaan. “Jika dia memberontak, lakukan sesuai yang kau pelajari disini.”

Irene memberesi dokumen-dokumen yang dia bawa lalu meninggalkan Yerim seorang diri. Tenggelam dalam pikirannya sendiri.

“Bangsat… sampai kapan aku bisa berhenti. Aku bahkan tak mengenal gadis ini,” sekali lagi, tangan Yerim mengangkat foto itu dengan jari telunjuk dan jari tengahnya. “Hirai Momo… lebih baik kau menurut daripada bernasib buruk,” Yerim menghembuskan nafasnya dengan keras. Kesal menjadi ‘anjing’ piaraan orang yang wajahnya saja tak dia ketahui bercampur dengan kesal karena terkekang.

.

“Oppa, aku harus bagaimana? Lagi-lagi tugasku merampas dan ini bisa berujung pada membunuh,” keluh Yerim. Tangannya melempar kerikil yang digenggam kearah sungai. Kini Yerim duduk bersandar dibawah sebuah pohon dipinggir sungai dengan ditemani oleh seorang lelaki berlesung pipi yang manis.

Yang dimintai pendapat tidak segera mengutarakan pendapatnya. Melainkan tertawa terbahak-bahak seolah esok tak ada kesempatan untuk tertawa lagi. Mulutnya bergerak tiada henti mengunyah permen karet yang sudah tak terasa manis.

“Namjoon oppa! Aku tak memintamu tertawa!,” sungut Yerim. Tangannya yang ringan tergerak memukuli lelaki yang setia ada disampingnya sejak kedatangannya di sungai.

“Maaf. Aku tak sengaja untuk tertawa. Aku ada dipihak netral. Jika aku memberitahumu langkah yang harus kau ambil, itu artinya, aku ada dipihakmu. Aku tak mau,” putus Namjoon.

“Memang apa yang kau takutkan? Seorang hacker yang juga gammer sepertimu takut dengan mafia? Wow,.. mencengangkan,” ledek Yerim. Dalam hati tetap berharap agar hacker handal, teman diluar markasnya itu mau membantu membuatkan data palsu untuk kabur.

“Kau selalu mengeluh setiap bertemu denganku. Aku sudah berkali-kali mengatakan. Carilah jalan keluar sendiri. Aku dulu juga bagian dari organisasi. Tapi aku akhirnya bisa bebas karena aku berusaha mencari jalanku sendiri. Dan lagi. Orang yang sudah dilatih untuk menjadi anjing sepertimu akan sulit untuk keluar dan bebas.”

“Sudahlah! berbicara denganmu membuat kepalaku semakin sakit,” Yerim mengambil helm yang ada disampingnya. Berdiri dan mengenakan helm itu sekenanya sebelum menaiki motor sport yang tak jauh dari tempatnya menikmati suasana sungai.

Suara mesin yang dinyalakan bersamaan dengan kemepul asap yang keluar dari saluran pembuangannya, tak membuat Namjoon terganggu. Dia malah tersenyum ketika Yerim memasukkan gigi pertama dan pergi menjauh.

“Kau tak pernah bisa keluar dari jeratan orang gila itu, Yer.. kau bisa bebas jika kau mengeluarkan alat pelacak didalam tubuhmu. Setelah itu, aku akan membantumu,” gumam Namjoon.

*

BRAKK

Seorang lelaki menggebrak meja kerjanya. Dia begitu kecewa dengan hasil kinerja dari anak buahnya. Disampingnya berdiri seorang wanita yang tengah mencoba menenangkan lelaki yang dirundung emosi. Emosi meluap yang akan meledak kapanpun.

“Bodoh kalian semua! Aku sudah menunggu kabar baik selama ini dan kalian tak mendapatkan setitik informasi-pun?!!!”

“Tenanglah, sayang… jangan marah-marah seperti ini. Tak akan berguna. Lebih baik kita ganti tim lagi,” usul wanita bertubuh tinggi ramping yang tengah mengusap lengan lelaki yang dilanda emosi itu.

“Seo Joon,” panggil lelaki itu setelah berusaha menetralkan nafasnya. Matanya yang sempat berakaca-kaca ditahan agar tak menangis. “Ganti lagi mereka.”

Lelaki yang dipanggil itu tersentak. Lagi? begitu pikirnya. “Tapi kita sudah mengganti tim lebih dari lima puluh kali. Dan hasilnya nihil.”

“Apa kau mau membangkang? Aku tak peduli. Bahkan jika kita mengganti tim ribuan kali. Aku tak peduli!”

“Lalu, ini sudah lama pula, bukankah akan semakin sulit untuk tim baru beradaptasi?,” seseorang bernama Jeon Seo Joon tetap bertahan dengan pendapatnya. Dia tak mungkin merombak tim lagi. Apalagi tim yang sudah tidak terpakai akan dipecat.

“Seo Joon-ssi, aku tau ini berat. Kau harus menjelaskannya lagi dari awal. Tapi, bukankah itu tugasmu? Lagipula, kita kehilangan harta yang berharga. Kumohon mengertilah. Hanya kau yang kami percaya untuk menangani kasus ini,” wanita itu berkata dengan lemah lembut. Tatapan penuh permohonan keluar dari mata cerahnya.

Tak ada pilihan lain. Tak ada pilihan lain bagi Seo Joon untuk menolak permintaan atasannya. Dia mengangguk. Memberi kode pada tiga lelaki berjas hitam yang baru saja mendapat amukan dari sang bos untuk keluar dari ruangan.
Seo Joon bernafas lega ketika anak buahnya keluar. Dia segera berbalik menatap bos-nya yang masih menunduk dengan kedua tangannya bertumpu pada meja.

“Changwook, apa kau yakin akan memulai dengan tim baru lagi?,” sekali lagi. Sekali lagi Seo Joon meyakinkan.

“Apa kau pikir aku bercanda?”

“Tidak. Hanya saja, ini sudah sepuluh tahun berlalu. Kita sudah melewati banyak penyelidikan dan pencarian. Tapi itu nihil. Dan ini bukan tim pertama atau kedua. Tapi ini kelima puluh tiga. Dan jika jadi, maka aku akan membuat tim kelima puluh empat.”

“Bahkan ke seribu satu-pun, aku akan membuatnya Joon. Tolong jangan bantah topik yang sensitif ini. Aku yakin dia masih bertahan. Masih ada harapan untuk menemukannya. Jangan lupa, berhentikan mereka yang sudah tak dipakai.”

Perbincangan terhenti ketika terdengar suara pintu terbuka. Dua orang anak lelaki berseragam sekolah memasuki ruangan itu. Ji Chenle dan Mark Lee. Dua nama yang tersemat dalam name tag seragam yang keduanya kenakan.

“Eoh? Jagoan sudah pulang,” sambut ramah wanita yang tak lain adalah ibunya. “Ada Mark juga. Chenle, ajak Mark ganti baju dulu. Eomma akan siapkan makanan untuk kalian,” baru saja wanita itu akan beranjak, suara sang anak menghentikannya.

“Apa Seo Joon uncle masih belum menemukannya?,” tanya Chenle. Raut wajahnya begitu sendu. Changwook hanya bisa memejamkan mata menekan rasa sedih ketika sang anak menanyakan hal yang dibahasnya baru saja.

“Kami akan menemukannya, Tuan muda,” jawab Seo Joon dengan senyum ramah.

“Yoona, siapkan makan untuk Chenle dan temannya. Dan Chenle, ajak temanmu ganti pakaian terlebih dahulu,” Changwook menginterupsi. Dia tak ingin anaknya ikut terlibat dalam pembahasan ini lebih jauh. Yoona, sang istri mengangguk, berjalan dengan anggun kearah Chenle dan Mark. Kedua tangannya merangkul bocah SMP itu.

“Uncle,” Chenle berhenti melangkah untuk melihat kearah Seo Joon. “Tolong temukan noona. Lakukan perintah Appa sampai noona kembali,” setelah mengatakan demikian, Chenle pergi lebih dulu, meninggalkan Mark dan Yoona yang berjalan sedikit dibelakang.

*

Sebuah bir kaleng berada didalam genggaman seorang gadis yang tengah duduk diatas motor sport-nya. Penampilannya sedikit mencolok, namun dia tak peduli. Stocking coklat tua yang hanya sebatas diatas lutut, disambung dengan ankle boot senada. Celana berbahan kulit yang pendek berwarna coklat tua polos, dan rompi lengan panjang yang juga berbahan kulit berwarna coklat tua dengan tank top berwarna hitam untuk bagian dalamnya. Rambut sebahunya dibiarkan tergerai bebas.
Bosan. Menunggu target adalah hal yang membosankan. Berkali-kali membuka ponselnya untuk memastikan bahwa dia tak salah lokasi. Hwayang University. Gemas, gadis itu menenggak minumannya sampai habis, lalu meremas kalengnya dan membuang secara asal.

Mata Yerim tiba-tiba menangkap objek yang menjadi targetnya. Buru-buru dia turun dari motornya. Membenarkan rambutnya yang sedikit berantakan dengan modal kaca spion, lalu mengenakan masker. Dan topi khas bertuliskan ‘Rim’ juga telah disiapkan. Setelah merasa semua selesai dan pas, dia mengikuti sang target.

Berjalan dibelakang dengan jarak yang stabil, berjalan menuju belakang kampus. Tempat yang cukup sepi. Merasa diikuti, objek yang diikuti mempercepat langkahnya. Kepalanya tak bisa diam. Sesekali terlihat jika dia mencari sesuatu.

“Kau mencari apa, Hirai Momo? Atau perlu kupanggil…. Momo-san?,” ledek Yerim. Tangannya berada didalam saku celana. Senyum sinis dan meremehkan terukir di wajah cantik Kim Yerim.

“Mau apa kau mengikutiku?,” yang dipanggil Momo berbalik. Dia tak menyangka gadis dihadapannya terang-terangan memanggil namanya.

Simple. Just give me one thing. That is…. In your mouth,” kata Yerim santai. Dia melangkah perlahan kearah Momo yang mulai berjalan mundur.

“Aku tak akan memberikannya. Kalian licik! Pergi kau, Rim!”

“Woah… ternyata kita impas,” Yerim terkekeh. Tangannya bergerak untuk menarik sedikit maskernya sehingga berada dibawah hidung. “Kau tau kode-ku dan aku tau namamu. Sungguh ini sangat impas,” Yerim tergelak membuat Momo kesal. Tak lupa dengan tepukan tangan mengejek dari Kim Yerim.

Cklek

Momo mengeluarkan pistolnya untuk membela diri. Diarahkannya pistol itu ke Yerim. Namun, gadis itu tak bergeming.

“Ahli menembak, kau sodori pistol. Woahhh…… Sungguh itu sangat tak berguna, Momo-san,” balas Yerim.

“Aku tak peduli! Kalian mendapatkan berlian ini, maka kehancuran terjadi pada timku,” Momo masih membela dirinya.

Yerim mengangguk. Tangannya bergerak untuk menurunkan maskernya lagi. Sehingga wajahnya tak tertutupi masker sama sekali karena masker itu berada dibawah dagu. “Kau sudah dengar tentang Rim? Seperti apa agen rahasia Rim itu, kau pasti sudah mendengarnya,” lagi-lagi Yerim tertawa melihat wajah pucat dan tangan gemetar dari gadis berambut pirang dihadapannya.

“Aku tau. Tapi..,” Momo menegakkan lagi pistolnya. Diarahkan tepat di kepala Yerim. Tangannya siap menarik pelatuk. “Aku akan buktikan, bahwa Rim itu bisa dikalahkan!”

Prove it. Jika kau ingin menyesal. Orang sepertimu sungguh tak pantas menjadi kurir. Memegang pistol saja tak bisa.”

Dor

Suara tawa keluar setelah tembakan. Tawa wanita yang begitu puas dengan apa yang terjadi. . .

**

How about this chapter? Boleh komen kok.. hehe

Ada pertanyaan? Gunakan kolom komentar dengan baik…

Sampai jumpa next chapter.. ^.^

Update : 040218
Next update : 100218

Continue Reading

You'll Also Like

922K 44.5K 40
Alzan Anendra. Pemuda SMA imut nan nakal yang harus menikah dengan seorang CEO karena paksaan orang tuanya. Alzan kira yang akan menikah adalah kakek...
11.1K 636 6
Oneshoot . . . Seulmin 💛 Wenga 💙 Vrene 💝 Jungri 💜
130K 14.8K 42
Kim Jisoo seorang anak dari jajaran orang-orang berpengaruh di Korea. sedang, Kim Seokjin adalah seorang tentara yang nantinya akan melaksanakan dan...
460K 46.3K 37
Menceritakan tentang seorang anak manis yang tinggal dengan papa kesayangannya dan lika-liku kehidupannya. ( Kalau part nya ke acak tolong kalian uru...