Last Letter From God [END]

By sleepdragon_seo11

118K 9.6K 492

Kehidupan sempurna sangat diimpikan oleh banyak orang. Tak terkecuali namja bermarga Park, Park Jungkook. Tap... More

Me Always Wrong..
What's Wrong with Me?
Misterious Latter..
I Will Ok!
The Dream...
Misterious Letter (Again)
That Girl?
I'm Sick
Chingu.
I'm Not Felling Well.
Hospital
School
Accident
Done?
Critical Conditions
Days
Meet
푸른 사막인가 (Blue Desert)
Come & Go
사라지다 (Lost)
마지막 (The Last)
The Gift
Pemberitahuan!!
Epilog

Bad Reality

4.7K 387 37
By sleepdragon_seo11

Author pov.

Hening..

Satu kata yang bisa menggambarkan kondisi di depan ruang operasi ini. Terlihat tiga manusia yang tengah duduk cemas di kursi tunggu.

Salah satunya adalah Yoongi. Namja pucat itu terlihat cemas. Bahkan ia sejak tadi sudah merapalkan doa-doa untuk keselamatan Seokjin.

Ya, yang kini berada di ruang operasi adalah Seokjin. Hyung sepupu tertuannya itu tengah menjalani transplantasi untuk kedua matanya yang mengalami kebutaan.

Yoongi benar-benar senang ketika mendengar perkataan dokter ketika menyampaikan berita bahagia ini.

Flashback on..

Yoongi tengah duduk di sofa kamar rawat Seokjin dan Jimin bersama dengan tuan dan nyonya Park, ketika pintu kamar rawat itu terbuka dan menampilkan sosok namja tambun dengan jas dokternya.

"Annyeonghaseyo, maaf mengganggu waktu anda sekalian." Ucap dokter itu.

"Ah, anieyo. Apa euisanim ingin melakukan pemeriksaan?" Tanya tuan Park.

"Animida, tuan Park. Saya kemari ingin memberitau kabar bahagia pada anda. Ada seseorang yang ingin mendonorkan kedua matanya untuk pasien Park Seokjin."

Perkataan dokter tambun itu, membuat tuan dan nyonya Park, serta Yoongi menatap tak percaya kearah dokter itu.

"Benarkah, euisanim?" Tanya Yoongi memastikan.

"Ye. Bahkan operasinya bisa dilakukan hari ini. Mengingat kondisi pasien Park Seokjin sudah stabil meski dia masih dalam kondisi koma. Lebih cepat, akan lebih baik. Jadi, saya ingin meminta persetujuan dari pihak keluarga. Apakah pihak keluarga bersedia?"

"Kalau begitu, lalukan operasinya, euisanim. Lakukan apapun untuk menyembuhkan anak saya." Ucap nyonya Park dengan wajah memohonnya.

"Ye, euisanim. Lakukan operasinya." Sambung tuan Park, mendukung perkataan istrinya.

"Baiklah kalau begitu, saya akan menyiapkan ruang operasinya."

Flashback off..

Yoongi meremas tangannya. Ini sudah hampir dua jam, tapi proses operasi masih belum selesai. Matanya sudah berkali-kali melirik lampu yang ada di atas pintu itu. Namun lampu itu masih tetap menyala hijau, tanpa ada niatan untuk mengubah warna menjadi gelap.

Yoongi melirik kearah nyonya dan tuan Park yang duduk di sebrangnya. Ia bisa melihat tuan Park yang mencoba menenangkan istrinya. Tapi, tak dapat Yoongi elak jika tuan Park juga tengah cemas saat ini.

"Tenanglah, samcheon. Aku yakin, Jin hyung baik-baik saja. Dia orang yang kuat." Ucap Yoongi mencoba menenangkan tuan Park. Tuan Park hanya menjawab dengan anggukan.

"Tadi, samcheon sempat berbicara dengan dokter, kan? Siapa yang mendonorkan mata untuk Jin hyung?" Tanya Yoongi, yang sukses membuat Tuan dan nyonya Park terdiam.

"Dokter mengatakan jika pendonor tak ingin identitasnya di ungkap sebelum operasi dijalankan. Jadi, sebelum operasi ini selesai, kami tak tau siapa orang baik itu." Jawab tuan Park.

"Semoga kebaikannya di balas oleh Tuhan." Ucap Yoongi dengan tersenyum manis. Namun, seketika satu hal yang mengganjal melunturkan senyumanya.

"Samcheon, imo. Apa Jungkook tidak kalian beritau?"

.

.

.

Tap! Tap! Tap!

Suara derap langkah terdengar bersahut-sahutan. Tak hanya satu orang, ada sekitar empat orang pemilik derap langkah yang memenuhi koridor rumah sakit.

"Harap beri jalan! Pasien tengah kritis!" Teriak seorang paramedis yang tengah mendorong bed itu dengan tergesa-gesa.

Terlihat seorang namja dengan jas dokter, bername tag Kim Jongin, tengah sibuk menatap cemas kearah pasien yang ada di atas bed itu dengan kondisi berlumuran darah.

"Bertahanlah. Aku tau, kau namja yang kuat. Jadi aku mohon, bertahanlah.. Park Jungkook."

Ya, bed dengan Jungkook yang terbaring di atasnya semakin di dorong dengan segera menuju ke ruang UGD.

Jongin tak henti-hentinya menatap wajah pucat yang dihiasi oleh warna merah itu. Seakan jika ia mengalihkan pandangannya barang sedetik, maka sosok yang terbaring ini akan lenyap begitu saja.

Bed itu di dorong masuk ke ruang UGD. Jongin menjadi dokter yang menangani Jungkook saat ini.

Hyung akan menyelamatkamu, Jungkook-ah. Bertahanlah sedikit lagi.

.

.

.

Didepan ruang operasi, Yoongi, tuan dan nyonya Park dilanda kebingungan. Bagaimana tidak? Mereka tak mengetahui dimana keberadaan si bungsu mereka. Yoongi bahkan sudah menghubungi nomor Jungkook. Tapi, hasilnya hanya suara operator yang menjawabnya. Rasa cemas menyeruak dengan cepat didiri Yoongi. Pasalnya, Yoongi tau jika kondisi Jungkook sedang tidak baik. Ia takut, hal buruk tengah terjadi pada adik kecilnya itu.

"Astaga! Kenapa ponselnya tidak aktif?!"

Yoongi mengusap kasar wajahnya , frustasi. Ia benar-benar cemas dengan kondisi Jungkook.

"Jwesonghamnida."

Atensi Yoongi, tuan dan nyonya Park teralihkan pada sosok yang baru saja mengeluarkan suaranya. Seorang namja dengan jas dokternya mengulas senyum ketika melihat tiga manusia dihadapannya itu.

"Jwesonghamnida, telah mengganggu waktu anda sekalian. Perkenalkan saya Kim Jongin, saya dokter disini." Ucap namja yang tak lain adalah Jongin.

"Ah, ye euisanim. Apa ada perlu dengan kami?" Tanya Yoongi dengan ramah.

"Sebelumnya, saya ingin bertanya sesuatu. Apa anda sekalian keluarga Park Jungkook?" Tanya Jongin.

"Ye, euisanim. Kami keluarganya." Jawab Yoongi.

"Begini, ada yang ingin saya sampaikan kepada anda sekalian. Ini perihal-"

Cklek!

Perkataan Jongin terpotong ketika pintu ruang operasi terbuka. Menampakkan seorang dokter dengan baju hijaunya yang melepas maskernya. Atensi semuanya teralihkan pada sosok dokter itu.

"Bagaimana, euisanim?" Tanya nyonya Park dengan nada cemasnya.

Seakan mengerti dengan kecemasan yang melanda sosok ibu dihadapannya ini, dokter itu tersenyum.

"Operasinya berjalan lancar. Kami berhasil melakukan transplantasi mata untuk Park Seokjin."

"Syukurlah, ya Tuhan."

Tak henti-hentinya nyonya Park mengucap syukurnya pada Tuhan yang telah memberikan kabar bahagia ini. Raut senang juga tergambar di wajah tuan Park dan Yoongi.

"Park Seokjin akan segera kami pindahkan ke kamar rawatnya semula. Kalau begitu saya permisi." Pamit dokter itu dan berjalan pergi.

"Yeobo.."

Tuan Park hanya memeluk erat istrinya yang tengah menangis karena bahagia. Yoongi juga tak henti-hentinya tersenyum senang. Merasa masih ada seorang lagi yang ada di sana, Yoongi membalikkan badannya.

"Jwesonghamnida, euisanim. Kami terlalu bahagia mendengar kabar ini. Lalu, apa yang hendak euisanim bicarakan?" Tanya Yoongi.

"Sebelumnya, saya turut senang mendengar keberhasilan operasi transplantasi pasien Park Seokjin. Keundae, jwesonghamnida.." Jongin menggantungkan perkataannya. Raut wajahnya berubah menjadi mendung.

Yoongi yang melihat perubahan raut wajah dokter di hadapannya ini, menatap penuh heran. Sebelum Yoongi buka suara, Jongin kembali melanjutkan perkataannya.

"Jungkook.."

Deg! Deg! Deg!

Satu nama yang terucap dari bibir Jongin membuat jantung Yoongi terpacu begitu cepatnya. Bahkan raut wajahnya berubah menjadi cemas.

Kenapa perasaanku jadi tak enak seperti ini?

"Apa yang terjadi pada anak bungsuku, euisanim?" Tanya nyonya Park dengan nada cemas yang kentara.

Tak hanya Yoongi ternyata nyonya Park juga dirundung rasa khawatir. Perasaan tak enak juga menyelimuti hati nyonya Park. Naluri seorang ibu menyeruak kepermukaan. Nyonya Park benar-benar cemas sekarang.

"Jwesonghamnida, tapi saya harus mengatakan hal ini. Jungkook.. dia mengalami kecelakan, dan sekarang.. Jungkook.. koma."

Deg!

Jantung tiga orang itu serasa berhenti berdetak. Perkataan Jongin seperti menghipnotis ketiganya hingga hanya bisa terpaku di tempatnya.

Brugh!

.

.

.

Tit.. tit.. tit..

Suara nyaring yang konstan itu terdengar memenuhi ruangan serba putih dengan berbagai alat-alat merumitkan. Disana, terbaring namja tampan dengan berbagai alat-alat merumitkan menemani dirinya. Bahkan menempel disana sini di tubuhnya.

Empat manusia yang berada di ruangan itu, menatap sedih kearah namja tampan yang kini menutup matanya. Sama dengan kondisi dua saudaranya yang lain.

Ya, namja itu Park Jungkook. Namja tampan yang selalu tersenyum itu, kini harus berbaring di ranjang rumah sakit dengan kondisi yang mengenaskan. Bahkan lebih mengenaskan dari dua hyungnya.

"Jungkook-ah.. kenapa kau bisa seperti ini, nak? Hiks.. Mian, eomma tak memperhatikanmu selama ini.. hiks. Eomma terlalu sibuk pada dua hyungmu, hingga eomma melupakanmu.. hiks. Mianhae, Jungkook-ah.. hiks." Ucap nyonya Park dengan linangan air matanya. Bahkan tadi nyonya Park sempat tak sadarkan diri ketika mendengar kabar tentang Jungkook.

Terdengar begitu pilu tangisan dari seorang ibu. Menyayat hati siapapun yang mendengarnya. Itulah yang dialami tuan Park. Ia begitu trenyuh mendengar perkataan istrinya yang menyalahkan dirinya sendiri atas apa yang menimpa Jungkook.

"Yeobo, jangan menyalahkan dirimu. Ini sama sekali bukan salahmu. Ini sudah digariskan oleh Tuhan." Ucap tuan Park berusaha menenangkan istrinya yang kembali terguncang.

"Seharusnya, aku tak membiarkan dia pergi ke cafe sendirian tadi. Seharusnya, aku ikut dengannya ke cafe. Seharusnya, aku bersamanya agar hal ini tidak terjadi." Ucap Yoongi dengan wajah sedih dan bersalahnya. Hanya kata seharusnya, yang membuat Yoongi menyesal. Tapi, semua sudah terjadi. Menyesal juga tak ada gunanya.

Sedangkan Jongin? Jangan ditanya bagaimana perasaannya. Ia begitu terpukul dan sedih. Ia tak bisa melakukan apapun untuk mengembalikan kondisi pasien keras kepalanya ini. Jongin menatap kearah tiga orang keluarga Jungkook. Ada satu hal yang harus ia beritahu pada mereka. Tapi, apa harus sekarang?

"Saya tak tau, apakah ini harus saya sampaikan sekarang. Tapi, mengingat kalian begitu terpukul dengan hal ini, akan lebih baik saya bicarakan be-"

"Katakan sekarang saja jika itu mengenai Jungkook, euisanim." Sela nyonya Park, memotong perkataan Jongin.

"Tapi, anda sedang ter-"

"Saya baik-baik saja. Katakan saja, euisanim. Saya mohon.." pinta nyonya Park. Jongin mengeha nafas panjang sebelum akhirnya pandangannya beralih pada Jungkook.

"Jungkook.. mengidap leukimia stadium akhir."

Seperti terkena petir disiang hari. Tuan dan nyonya Park serta Yoongi menganga di tempatnya. Nyonya Park menutup mulutnya dengan wajah tak percaya.

"Jwesonghamnida, jika saya baru mengatakannya sekarang. Saya kira, akan lebih baik Jungkook sendiri yang menyampaikan pada keluarganya. Tapi, sampai saat ini, dia tetap bersikeras menutupinya. Terutama dari dua hyungnya." Ucap Jongin.

"Astaga, kenapa aku tak menyadarinya jika Jungkook memiliki penyakit yang sama dengan aboji?" Sesal tuan Park dengan mengusak wajahnya frustasi.

"Samcheon, sebenarnya sebelum aku dan appa pindah ke Jepang, appa memberitahuku jika Jungkook mengidap leukimia. Tapi, karena saat itu aku masih kecil, aku tak memberitahu samcheon dan imo. Mianhae, samcheon, imo." Ucap Yoongi dengan nada bersalahnya.

"Aniya, ini sudah terjadi. Seharusnya, aku mengontrol kesehatan anak-anakku. Tapi apa yang aku lakukan? Aku terlalu sibuk dengan dunia kerja." Ucap tuan Park.

"Wae? Kenapa semua ini harus menimpa keluarga kita, yeobo? Wae?! Apa Tuhan begitu membenci kita karena tak memperhatikan titipan-Nya dengan baik?!"

"Tenanglah, yeobo. Jangan menyalahkan Tuhan karena ini sudah menjadi kehendak-Nya. Kita hanya bisa menerimanya." Ucap tuan Park dengan merangkul sang istri.

Yoongi menatap kearah Jungkook. Air matanya bahkan kembali mengalir ketika menatap sosok Jungkook yang terbaring disana.

Jangan ikut tertidur seperti hyung-hyungmu, Kookie. Apa kau mau membunuh kami dengan rasa khawatir seperti ini, huh? Cepatlah sadar dari tidurmu jika kau lelah, Kookie.

.

.

.

Jungkook pov.

Biru.

Hanya itu yang tertangkap oleh netraku saat ini. Tempat yang begitu asing tapi membuat siapa saja akan betah berlama-lama disana.

Gurun biru.

Mungkin aku akan menyebutnya seperti itu. Warna biru yang disebabkan oleh bunga-bunga kecil, yang aku tak tau bunga apa itu. Sangat indah dan mendamaikan hati. Jika boleh memilih, maka aku ingin tinggal disini saja.

Pletak!

"Akh-!"

Aku mengusap kepalaku yang tiba-tiba mendapat sebuah jitakan dari seorang di belakangku. Aku berbalik dan melihat sosok yeoja aneh itu. Siapa namanya? Ah iya, Ai.

"Ya! Akhirnya aku bertemu dengamu, yeoja aneh!"

"Ya! Namaku Ai! Bukan yeoja aneh!"

"Kau aneh! Lihatlah sekarang, kau di tempat ini. Seakan kau itu mengikutiku entah itu di alam nyata, maupun di alam mimpi."

Aku benar-benar kesal dengan Ai. Ia selalu mengikutiku. Muncul disekitarku dengan tiba-tiba. Menolongku bahkan hampir membunuhku juga. Astaga, aku bisa gila hanya di kelilingi oleh seorang yeoja seperti Ai.

"Itu terserahku."

Dengan santainya Ai berjalan di depanku dan mulai bersenandung. Aku hanya mendecih melihat tingkahnya yang kekanakan.

"Apa yang kau lakukan disini? Mengikutiku, huh?" Tanyaku sambil menatap Ai yang tengah memainkan bunga-bunga biru itu.

"Siapa yang mengikutimu? Ini alam semesta, jadi aku berhak berada dimana saja."

"Termasuk kedalam mimpiku? Heol! Aku akan membuat undang-undang khusus untukmu karena telah lancang memasuki mimpi orang lain."

"Aku tak memasuki mimpi orang lain. Hanya mimpimu."

"Aish!"

Bisa-bisa aku masuk rumah sakit jiwa jika terus meladeni Ai. Baru kali ini aku bertemu dengan orang yang menyebalkan seperti Ai. Bahkan ketika Zico masih menjahiliku, aku tak pernah sampai sekesal ini. Astaga bocah ini benar-benar..

"Kau ingin kemana, oppa?"

"Hah.. baru memanggilku oppa? Punya sopan santun juga kau." Cibirku.

"Dasar manusia menyebalkan!"

"Ya! Mengacalah! Kau juga manusia. Manusia aneh, bocah."

"Aku tidak aneh, oppa! Kenapa kau selalu memanggilku aneh?"

"Kau ingin tau alasannya?" Tanyaku. Dan Ai mengangguk dengan antusias.

"Karena kau.. aneh." Ucapku dan berjalan pergi meninggalkan Ai, yang aku yakin, sudah kesal.

"Oppaa!!"

.

.

.

"Hah.."

Brugh!

Aku menghempaskan tubuhku di atas hamparan rumput. Tidak. Aku tidak lelah sama sekali, meski aku sudah menjelajahi tempat indah yang ternyata begitu luas ini. Wajar saja menurutku. Ini hanya alam mimpi.

"Aku pasti merindukan tempat ini setelah bangun nanti."

"Kau yakin akan bangun, oppa?"

Aku menoleh kearah Ai yang kini ikut berbaring di sampingku. Ia tengah sibuk menatap hamparan langit luas di atas sana.

"Tentu saja aku hanya bangun. Ini hanya mimpi, tidak nyata."

"Bagaimana kalau ini adalah tempat tinggalmu, oppa?"

Aku terdiam. Otakku tengah memproses apa yang dikatakan Ai. Namun, sedetik kemudian, tawaku pecah.

"Haha.. apa yang kau katakan, Ai? Tempat ini rumahku? Yang benar saja. Rumahku ada di Seoul. Bukan disini." Ucapku disela-sela tertawaku.

"Kau tak pernah menganggapku serius." Kesal Ai.

Aku menghentikan tawaku ketika teringat akan sesuatu. Sedikit aneh ketika aku menyadarinya.

"Ya, Ai. Aku penasaran dengan dirimu. Dulu, pertama kali aku bertemu denganmu di mimpiku, kau begitu anggun, baik dan lembut ketika menggendong kelinci itu. Bahkan kukira kau seoran malaikat waktu itu. Tapi, kenapa sekarang kau.. cerewet dan menyebalkan, huh? Menyesal aku mengiramu malaikat."

"Itu first meet. Aku harus menampilkan sisi baik dan anggunku. Tak mungkin aku langsung menunjukkan sisi asliku."

"Ya, kau menipuku ternyata."

Aku mendecih dan mengalihkan pandanganku kelangit jingga di atas sana. Aku baru menyadari jika warna jingga langit dan hamparan biru muda di gurun ini, adalah perpaduan yang begitu pas dan indah. Namun, seketika aku merindukan appa dan eomma. Ah, Jin hyung dan Jimin hyung juga. Bagaimana kondisi mereka?

.

.

.

Author pov.

Hujan air mata tak henti-hentinya turun di kamar rawat Jungkook. Nyonya Park tak henti-hentinya menciumi tangan anak bungsunya. Nyonya Park merasa gagal menjadi seorang ibu untuk ketiga anaknya. Seharusnya ia ada disini ketiga anaknya ini. Tapi apa? Hanya penyesalan yang menghampiri nyonya Park.

Tak hanya nyonya Park. Yoongi, namja pucat itu sama terpukulnya dengan nyonya Park. Sosok adik yang selalu tersenyum, usil bahkan manja padanya, kini harus terbaring antara hidup dan mati disana.

Yoongi teringat dengan dua saudara sepupunya yang masih dalam kondisi sama, tengah di kamar rawat tanpa penjagaan.

"Samcheon, imo. Aku akan pergi ke kamar rawat Jin hyung dan Jimin. Disana tak ada yang menjaganya." Ucap Yoongi.

Tuan dan nyonya Park bahkan baru menyadari jika masih ada dua anak mereka yang kondisinya masih sama.

"Baiklah, Yoongi-ya."

"Imo titip Jin dan Jimin padamu, Yoongi."

"Ne, imo. Aku akan menjaga mereka. Aku permisi."

Yoongi melangkahkan kakinya keluar dari kamar rawat Jungkook. Hanya tersisa tuan dan nyonya Park disana. Semua terasa hening, hingga..

Tit! Tit! Tit!

Suara nyaring dengan durasi pendek dari kardiograph membuat atensi tuan dan nyonya Park. Mereka menatap cemas kearah Jungkook. Tubuh Jungkook kejang-kejang. Hal itu menambah kepanikan tuan dan nyonya Park. Tuan Park segera memencet tombol darurat disana berulang kali. Dokter dan beberapa perawat segera melesak masuk kedalam kamar Jungkook. Tuan dan nyonya Park memilih menunggu di luar.

Disaat yang bersamaan, Yoongi baru saja melangkahkan kakinya memasuki kamar rawat Seokjin dan Jimin. Namun, dirinya sudah di sambut dengan bunyi nyaring bersahutan dari benda kotak disamping kedua ranjang itu. Yoongi segera berlari menuju dua ranjang itu dengan wajah cemasnya. Dan semakin dibuat cemas ketika tubuh Seokjin dan Jimin kejang-kejang.

Tanpa pikir panjang, Yoongi segera memencet tombol darurat. Ia memencetnya berulang kali. Hingga suara pintu terbuka membuat Yoongi menoleh. Dokter dan beberapa perawat datang. Yoongi segera keluar dari kamar untuk memberikan ruang yang leluasa bagi dokter menangani Seokjin dan Jimin.

Pandangan Yoongi menangkap sosok tuan dan nyonya Park yang tengah berada di luar kamar Jungkook. Bisa Yoongi tangkap jika paman dan bibinya tengah cemas.

Tak ingin berperang dengan pikirannya, Yoongi memutuskan untuk menghampiri tuan dan nyonya Park. Jarak kamar rawat Jungkook dengan Seokjin dan Jimin, tak terlalu jauh.

"Samcheon, imo, apa yang terjadi? Kenapa kalian cemas sekali?" Tanya Yoongi dengan wajah cemasnya.

"Jungkook, Yoongi-ya.. dia tiba-tiba kejang.. hiks.." ucap nyonya Park dengan isakan.

Yoongi yang mendengar perkataan nyonya park dibuat terkejut. Pikirannya memproses dengan begitu cepat sampai ia tak sanggup mengikuti jalan pikirannya sendiri.

"Lalu, bagaimana kondisi Seokjin dan Jimin? Kenapa kau berada di luar?" Tanya tuan Park.

"Jin hyung dan Jimin.. kondisinya.. sama dengan Jungkook. Mereka kejang ketika aku sampai disana."

Tiga orang itu seperti diberi olahraga jantung dalam sekali waktu. Sekali mendapat kabar baik ketika Seokjin mendapatkan donor mata, dan kini apa yang mereka dapat? Kabar buruk yang bertubi-tubi menghampiri mereka. Yoongi hanya bisa mengusap wajahnya, frustasi.

Kenapa kalian senang sekali menyiksa kami dengan rasa cemas seperti ini? Apa kalian tak kasihan, huh? Tak apa kalian tak kasihan padaku. Setidaknya kasihan pada samcheon dan imo. Mereka benar-benar mencemaskan kalian. Cepatlah bangun, Jin hyung, Jimin, Kookie.

.

.

.

TBC

Oke, satu chap menuju end. Huhu, rei kok brat bnget ya mau end. Tapi tak pa lah, nmanya jga crita. Ada awal psti ada akhir. Dan akhir ini yang bkin dag dig dug reader, dan bkin pusing author. Pusing mau bwt end kyk gmna..

Bacot rei bnyak bangt. Oke lah. Silahkan membaca, jan lpa voment yak? Seiklhasnya kok, rei ngk maksa. Ehe.

Sekian lah. Typo? Maafkeun. udah soulmate jdi ngk bsa di psah.

Salam Reika Ryu.

Continue Reading

You'll Also Like

6.2K 366 18
",Semua yang terlihat baik-baik saja, belum tentu sebaik mana netra memandang" Sayap Kupu-kupu 🦋🦋 itu indah, namun ketika kau memaksa untuk menangk...
27.4K 2.1K 22
Kim Jungkook adalah aku, lalu untuk apa aku masih berdiri di sini sebagai Kim jika pada dasarnya aku hanya bayangan bagi mereka, untuk apa tali kasih...
87.9K 5.3K 27
[END] Kisah pertama sebelum sequel dipublish. Asal mula Jungkook memalsukan identitasnya demi menjaga keluarganya dari bahaya yang mengincarnya. High...
87K 6K 32
Jeon Jungkook adalah anak ke 7 dari 7 bersaudara Jeon Family, Yang mana merupakan anak bungsu paling di sayang.. Namun 'kasih sayang' tidak bertahan...