Kasih di Antara Remaja

By JadeLiong

78.1K 1.2K 16

Pemuda ini tadi terpukul oleh Hoa Hoa Cinjin yang menggunakan pukulan Tong-sim-ciang yang mengandung lweekang... More

01. Pendekar Pahlawan Rakyat
02. Bayi Perempuan Siapa?
03. Ciu-ong Mo-kai Pengemis Sakti
04. Persyaratan Murid Kepada Guru
05. Siucai Lemah Pelatih Silat
06. Kesombongan Tosu Cin-ling-pai
07. Kematian Utusan Kaisar Boan
08. Kecerdikan Puteri Thio-ciangkun
09. Kemusnahan Surat Wasihat Lie Cu Seng
10. Bhok-kongcu yang Tercinta
11. Lepas dari Serigala Masuk ke Sarang Buaya
12. Peminum Darah Pek-hiat-sin-coa
13. Prahara di Cin-ling-pai
14. Tipu Muslihat Dara Pendekar
15. Wanita Pelindung Buronan
16. Dedengkot Iblis Hoa Hoa Cinjin
17. Gadis Berkedok Putih
18. Kaki Tangan Pangeran Mongol
19. Terperangkap Siasat Bhok-kongcu
20. Gua Rahasia Warisan Lie Cu Seng
21. Apakah Cia Han Sin Seorang Patriot?
22. Pembicaraan Rahasia Pangeran Galdan
23. Upaya Sepasang Puteri Thio-ciangkun
24. Rahasia Adik Kandung Perempuan
25. Pembersihan Pengkhianat Cin-ling-pai
26. Amukan di Istana Raja Muda
27. Cinta Kasih Pangeran Yong-tee
28. Kerudung Puteri Hui
29. Penderitaan Hati Karena Wanita
30. Raja Swipoa Ketemu Batunya
32. Perbedaan Pendapat Guru dan Murid
33. Duel Menghadapi Racun Utara
34. Terungkapnya Misteri Puteri Cia Sun
35. Rahasia Bayi Perempuan Min-san
36. Benteng Pertahanan Pangeran Galdan
37. Kehancuran Benteng Mongol
38. Patriot Bangsa Berguguran
39. Duel Ilmu Silat dan Ilmu Kebatinan
40. Pertemuan Saudara Kandung
41. Antara Dendam dan Cinta
42. Apakah Bahagia ...?
43. Wanita Pertama dan Terakhir (TAMAT)

31. Barang Titipan Mata-mata Mongol

1.4K 29 0
By JadeLiong

SENANG juga rasanya melakukan perjalanan dengan gerobak bersama Siauw ong. Sayang, pikir Han Sin. Kalau Bi Eng ikut melakukan perjalanan ini, tentu ia akan girang sekali! Teringat akan Bi Eng, berkerut kening Han Sin, karena sekaligus ia teringat akan sikap Bi Eng mengenai urusannya dengan Tilana.

Ia maklum benar bahwa Bi Eng bermaksud baik. Gadis itu ingin sekali melihat kakaknya berbahagia, mendapatkan seorang isteri cantik jelita dan pandai. Memang, siapa dapat menyangkal bahwa Tilana adalah seorang gadis yang amat cantik dan jarang dapat dicari bandingnya? Dia sendiri, terus terang saja, akan menerima Tilana dengan kedua tangan terbuka, akan merasa berbahagia sekali mengambilnya sebagai isteri yang tercinta ..... andaikata ...... di dunia ini tidak ada Bi Eng!

Bi Eng bersusah payah dan bertekad hendak menjodohkan kakaknya dengan Tilana, karena sebagai adik kandung gadis itu hendak memenuhi tugasnya, membahagiakan kakaknya. Akan tetapi, sebaliknya, Han Sin yang sudah tahu bahwa Bi Eng bukan adik kandungnya, bahkan bukan sanak-kadang, dia yang sudah jatuh cinta sepenuh jiwa raganya kepada Bi Eng, bagaimana dapat memperisteri gadis lain?

Han Sin merenung. Kasihan Tilana ......! Kau ampunkan aku, Tilana. Aku sudah berbuat dosa di luar kesadaranku. Kau sendiri yang memancing malapetaka. Aku sudah melakukan hal terkutuk ..... dan sebagai seorang jantan, seperti kata-kata Bi Eng, sudah seharusnya aku bertanggung jawab terhadap perbuatanku. Menurut patut, aku harus bertanggung jawab dan suka menjadi suamimu, harus melindungimu selama hidupku. Akan tetapi ..... ah, ...... Bi Eng, aku cinta padamu ......

Pada saat itu, Han Sin dengan gerobaknya dikawani Siauw-ong sudah melewati kota Tai-goan dan sudah membelok ke utara. Daerah ini mulai berubah penuh dengan daerah yang kering dan sunyi. Mulai jaranglah orang berjalan, malah akhirnya, beberapa puluh li lagi, Han Sin sudah tak dapat melihat orang di atas jalanan yang amat sunyi. Hanya kadang-kadang saja ada orang-orang menunggang kuda, sikap mereka gagah seperti orang-orang pejuang, atau orang-orang kang-ouw. Malah ada pula yang bersikap seperti perampok-perampok, akan tetapi kesemuanya tergesa-gesa dan tidak memperdulikan pemuda bersama monyet di dalam gerobak kecil itu.

Diam-diam Han Sin geli sendiri. Lie Ko Sian¬seng terlalu penakut. Kenapa untuk mengantar dua buah peti itu harus merasa takut sampai minta bantuannya? Buktinya dia sudah melakukan perjalanan jauh dan tak seorangpun mengganggu perjalanannya!

Tiba-tiba ia mendengar suara berisik dari depan. Suara itu makin lama makin jelas dan dapatlah ia menduga bahwa dari depan datang iring-iringan kereta. Roda-roda kereta itu mendatangkan suara gemuruh. Setelah melalui tikungan, benar saja dugaannya.

Dari jauh ia melihat empat buah kereta atau gerobak yang besar dan aneh bentuknya. Gerobak ini tertutup dengan kain tebal, tiap gerobak ditarik dua ekor kuda yang tinggi besar. Yang mengusiri gerobak adalah laki-laki semua, rata-rata bertubuh tinggi besar, berwajah tampan gagah dengan kepala diikat kain kepala yang lebar. Di depan gerobak-gerobak itu terdapat seorang penunggang kuda.

Ketika Han Sin memandang ke arah penunggang kuda di depan iring-iringan kereta ini, berdenyutlah jantungnya, pucat mukanya. Tak salahkah penglihatannya? Penunggang kuda itu adalah seorang wanita, berpakaian sebagai wanita Bangsa Hui dan biarpun sebagian muka di bagian bawah tertutup kain sutera, akan tetapi mata itu ....! Jidat itu ......! Dia Tilana, tak bisa salah lagi!

Mereka sudah berhadapan. Mata yang indah bening itu memancarkan cahaya aneh ketika melihat Han Sin, kemudian menjadi berapi-api. Han Sin pura-pura tidak mengenal Tilana, lalu turun dari gerobaknya, menuntun kuda supaya minggir dan memberi jalan kepada iring-iringan gerobak itu.

Akan tetapi gadis berkerudung mukanya itu memberi aba-aba dalam bahasa Hui yang dimengerti Han Sin. Gadis itu menyuruh orang-orangnya berhenti. Kemudian gadis itu sendiri melompat turun dari kuda, sekali melompat ia telah berdiri di depan Han Sin dan merenggut kerudung dari mukanya.

"Laki-laki berhati kejam! Kau masih berpura-pura tidak mengenal aku lagi?" bentak perempuan itu yang bukan lain adalah Tilana! Gadis ini wajahnya agak pucat, mungkin karena pakaiannya yang terbuat dari pada kain berwarna putih seperti orang berkabung itu. Han Sin merasa tertusuk hatinya. "Tilana ..... aku .........."

"Tilana sudah mati! Kau tidak lihat pakaianku, aku berkabung untuk kematian Tilana, gadis malang yang menyerahkan jiwa raganya kepala laki-laki yang kejam, yang tidak mengenal kasihan dan tidak mengenal cinta kasihnya. Tilana sudah mati dan sudah sepatutnya ia mati karena membiarkan kerudungnya dibuka orang, membiarkan dirinya dihina orang ......." Suaranya menjadi terganggu sedu-sedan yang naik dadanya, akan tetapi ditahannya sehingga tidak sampai menangis.

Orang-orang lelaki bangsa Hui yang gagal? nampaknya itupun sudah pada turun dari gerobak. Mereka ternyata ada dua belas orang banyaknya, sikap mereka keren sekali. Seorang di antara mereka, yang kumisnya yang paling lebat dan tubuhnya paling besar, bertanya dalam bahasa Hui,

"Nyonya Cia, siapakah orang ini, yang berani menyebut nama kecil nyonya?"

Merah muka Tilana mendengar sebutan "nyonya Cia" ini, dan Han Sin seperti ditikam belati hatinya. Ia terharu sekali. Pemuda yang memiliki kecerdikan luar biasa ini segera mengerti atau dapat menduga bahwa Tilana malah sudah mempergunakan sebutan nyonya Cia atau mengaku menjadi isterinya, isteri Cia Han Sin!

"Kau ..... kau menggunakan nama ...... nyonya Cia ....??" tanyanya gagap dan wajahnya menjadi pucat.

Tilana mengangkat dadanya, sikapnya angkuh. "Seorang wanita sejati harus memiliki kesetiaan. Memang aku isteri Cia Han Sin, kenapa tidak menyebut diri nyonya Cia? Tapi, Cia Han Sin, seperti juga Tilana, telah mati! Kau ini laki-laki berhati keji, yang dengan kejam telah menghancurkan hidup seorang gadis, malah sudah berpura-pura tidak mengenalku!"

"Nyonya, kalau dia jahat, biarlah hamba memberi hajaran kepadanya!" seru laki-laki tinggi besar berkumis itu sambil menggerak-gerakkan cambuk di tangannya.

Han Sin makin perih hatinya. Makin jelas terbayang di depan matanya betapa ia telah berlaku tidak adil kepada Tilana yang betul-betul mencintanya. Ia merasa amat terharu dan kedua kakinya menjadi lemas. Kemudian ia menjatuhkan diri berlutut di depan Tilana!

"Tilana ....., Tilana ....... aku mengaku telah berbuat dosa besar. Kau boleh siksa aku, boleh bunuh aku ...., memang aku laki-laki kejam .......!"

Orang Hui tinggi besar itu mencabut pedangnya dan hendak membacokkan senjatanya ke leher Han Sin. Akan tetapi Tilana membentak, "Jangan bunuh dia! Boleh cambuki dia laki-laki kejam ini!"

Orang Hui itu menyeringai, menyimpan pedangnya lalu mengayun cambuknya. "Tar! Tar! Tar!" cambuk menari-nari di atas tubuh Han Sin. Pemuda ini hendak menebus dosa. Ia rela disiksa. Kalau dia mau, tentu saja dengan pengerahan tenaga lweekangnya ia dapat menerima cambukan itu tanpa merasa sakit, malah kalau ia mau, sekali renggut saja ia mampu merampas cambuk atau mengelak.

Akan tetapi hatinya terlalu sedih dan pada saat itu ia hendak menebus dosanya, maka tanpa mengerahkan tenaga ia menerima datangnya cambukan. Pakaiannya cabik-cabik, malah kulit tubuhnya pecah berdarah. Cambuk menghantam terus ke punggung, ke muka, sampai mukanya berdarah, bibirnya pecah pada ujungnya. Ia terguling dan dipukul terus.

Pada saat itu, terdengar pekik dan Siauw-ong melompat turun, terus meloncat ke atas pundak si pemukul, menggigit pundak dan merampas cambuk. Orang Hui itu berseru kesakitan, cambuknya terampas dan ia terhuyung ke belakang. Siauw-ong melompat turun dengan cambuk di tangan, berdiri di depan majikannya, sikapnya mengancam, memperlihatkan gigi dan mengayun-ayun cambuk dengan pekik menantang!

"Siauw-ong, jangan! Lepaskan cambuk, pergilah ke gerobak!" Han Sin masih sempat mencegah. Monyet itu menoleh kepada majikannya, ragu-ragu, akan tetapi bertemu pandang dengan Han Sin, monyet itu mengeluarkan keluhan panjang melemparkan cambuk ke atas tanah lalu berlari-lari ke gerobaknya.

Orang Hui itu mengambil cambuknya lagi, lalu mencambuki Han Sin lebih hebat pula, agaknya untuk melampiaskan kemendongkolannya karena penyerangan monyet tadi. Sampai bergulingan Han Sin dicambuki, tubuhnya sakit-sakit namun ia tidak melawan, juga tidak mengeluh. Akhirnya ia jatuh pingsan di atas tanah yang berdebu, tubuhnya kotor terkena darah dan debu.

Ketika ia siuman kembali, ia mendapatkan dirinya berada di dalam sebuah gerobak besar. Gerobak-gerobak lain berada agak jauh dari tempat itu, dan ia berbaring dengan kepala di atas pangkuan ......... Tilana! Gadis itu menangis, membersihkan mukanya, mendekap kepalanya pada dada yang berdebar-debar itu.

"Kau suamiku ...... bagaimana aku dapat membunuhmu .......?" Air mata bercucuran dan menjatuhi muka Han Sin, air mata yang hangat dan bening.

Makin terharu hati Han Sin. Tak dapat disangkal lagi, Tilana adalah seorang wanita yang amat cantik jelita, yang berwatak aneh, keras sekali, akan tetapi ...... amat mencintainya. Wanita lain mungkin akan membunuhnya. Ia telah menolak cinta kasih wanita ini, malah sudah menghinanya, sudah mengusirnya. Akan tetapi Tilana malah mengaku sebagai isterinya, kini malah agaknya tidak tega melihat dia disiksa.

"Tilana ......, kau terlampau baik bagiku ...... menerima cintamu ....... aku sudah berbuat dosa kepadamu, kalau kau mau bunuh aku, bunuhlah Tilana ........"

Tilana terisak, mempererat pelukannya. "Tidak ....., tidak .....! Kau laki-laki perkasa, kau terlalu baik hati. Aku tahu, kau lihai dan kalau kau kehendaki, sepuluh orang aku dibantu seratus orangku masih takkan mampu melukaimu seujung rambut. Akan tetapi kau sengaja mengalah, kau sengaja membiarkan dirimu disiksa ......ah, Han Sin ......... Han Sin, aku tidak mengerti, bukankah ini berarti bahwa kau ..... kau cinta kepadaku? Kenapa kau menolak cinta kasihku? Kenapa kau menolak kehendak Tuhan bahwa kita ini berjodoh ......? Kenapa? Kenapa .........?"

Han Sin menggelengkan kepalanya. lalu bangun duduk sambil tersenyum sedih. "Tak mungkin, Tilana ........, tak mungkin aku mencintai wanita lain. Memang kau baik sekali, kau cantik jelita, halus budi, dan gagah perkasa, akan tetapi ...... sayang sekali ..... aku tak dapat mencintaimu "

Tilana menyusuti air matanya, lalu dengan mata merah ia memandang Han Sin dan bertanya, "Kau tidak bisa mencinta wanita lain ..... berarti kau telah mencinta seorang wanita?"

Han Sin mengangguk.

"Siapa dia?" pertanyaan ini memperdengarkan kepanasan hati, membayangkan cemburu yang besar. Han Sin menggeleng kepala. Bagaimana ia bisa menyatakan kepada Tilana bahwa ia mencinta Bi Eng?

"Kau bohong. Kalau betul ucapanmu tadi, kau harus mengaku siapa dia yang kaucinta. Barulah aku akan puas, baru aku mau mengalah ........"

Han Sin berpikir sebentar. Kalau ia diam saja tidak mengaku, tentu ia akan membuat Tilana makin penasaran dan sengsara hatinya lagi.

"Aku mencinta ...... Bi Eng ......."

"Plak! Plak!" Dua kali tangan Tilana menampar pipi Han Sin, sampai panas terasa oleh pemuda itu yang hanya tersenyum sedih.

"Kau ini laki-laki macam apa? Bagaimana bisa seorang kakak mencinta adiknya sendiri seperti cinta kasih seorang pria terhadap wanita?"

Sudah kepalang tanggung bagi Han Sin. Ia harus membuat pengakuan, agar Tilana tidak penasaran lagi. "Bi Eng bukanlah adikku yang sesungguhnya ....., dia ......, dia itu ..... dia itu ....... dia puteri Balita ....."

Tilana tersentak kaget, wajahnya pucat. "Apa ...... artinya kata-katamu ini? Anak ibu hanya aku seorang!"

Han Sin tersenyum. "Banyak rahasia terpendam, banyak hal aneh terjadi di waktu kau masih kecil, Tilana. Sebaiknya kau tanyakan hal ini kepada Balita, orang yang selama ini kau anggap ibumu itu. Aku sendiri masih belum tahu banyak "

Tilana dengan muka pucat memandang Han Sin bibirnya bergerak-gerak perlahan, "Bagaimana mungkin .....? Masa dia itu saudaraku sendiri? Kakak atau adikku .........?" Kemudian, memandangi muka Han Sin yang masih lecet-lecet kulitnya dan berdarah, cinta kasihnya timbul dan sambil menangis ia menubruk pemuda itu.

"Han Sin ...... suamiku, jangan kau mempermainkan aku ...... bilang bahwa semua kata-katamu itu bohong belaka. Aku akan mengampuni kau ....., kaulah orangnya yang akan dapat membahagiakan hidupku. Biarkan aku ikut denganmu, biar aku hidup menderita dan kekurangan di sampingmu. Biarkan aku yang menghiburmu, yang melayanimu, mencuci pakaianmu, memasakkan makananmu ....... Han Sin, kau kasihanilah aku ........"

Han Sin sedih sekali. Andaikata tidak ada Bi Eng, alangkah akan mudah dan senangnya baginya untuk mencinta wanita ini. Ia mengelus-elus rambut yang hitam dan halus itu, membiarkan Tilana menangis terisak-isak di dadanya, membiarkan Tilana melampiaskan kedukaannya. Setelah reda tangis Tilana, Han Sin berkata lemah lembut,

"Tilana, kau seorang gadis yang berhati setia. Akupun demikian, Tilana. Selama hidupku aku hanya dapat mencinta seorang wanita saja. Aku tak dapat mengkhianati cinta kasih di hatiku sendiri, biarpun Bi Eng belum tahu akan perasaanku ini, akan tetapi di dalam hati aku sudah bersumpah takkan mencinta wanita lain. Biarlah kita berpisah sebagai sahabat, Tilana, tentu saja ....... kalau kau sudi mengampuniku. Kalau tidak, kau boleh membunuhku kalau hal itu kau kehendaki ......."

"Han Sin ......." Tilana menahan isaknya. "Aku ....... aku takkan kuat hidup berpisah darimu, setelah apa yang terjadi ....... setelah aku menjadi isterimu ....... bila kita dapat bertemu kembali setelah perpisahan ini ........?"

"Kelak kita tentu akan bertemu kembali, Tilana. Bertemu sebagai sahabat, atau sebagai saudara. Sekarang biarkan aku pergi, masih banyak tugas yang harus kuselesaikan. Andaikata kita takkan saling bersua di dalam dunia ini, akhirnya kitapun akan berkumpul di alam baka. Semua orang akhirnya akan bersatu juga ......."

"Han Sin ......., Han Sin .... sekali bertemu aku jatuh cinta padamu, akan tetapi sekali bertemu kau menghancurkan hatiku .........."

Han Sin hanya menarik napas panjang. Semalam suntuk Tilana menangis dan membujuk, bermohon, merendahkan diri agar supaya Han Sin suka membawanya, suka diikutinya. Malah gadis ini sampai menyatakan bahwa ia sudah akan merasa puas kalau diperbolehkan menjadi seorang pelayannya, biar dia melayani Han Sin dan isterinya kelak, siapapun juga isterinya itu, asal saja ia diperbolehkan ikut dan selalu berada di sisinya. Beginilah cinta kasih yang sudah berakar mendalam di hati wanita.

Han Sin merasa amat terharu dan kasihan. Dia belum pernah mengenal cinta kasih wanita seperti ini. Benar pernah ia merasai cinta kasih Li Hoa, akan tetapi tidak seperti sikap Tilana ini. Ia merasa amat kasihan dan berusaha menghibur hati Tilana.

Pada keesokan harinya, dengan hati berat, mata merah bengkak karena banyak menangis, muka sebagian ditutup kerudung agar tidak kelihatan oleh orang-orangnya bahwa ia masih saja menangis, Tilana akhirnya melepaskan Han Sin. Malam tadi dia sendiri yang mengobati luka-luka di tubuh Han Sin, malah ia menjahitkan pakaian Han Sin yang cabik-cabik bekas cambukan. Setelah tidak ada harapan lagi untuk menahan Han Sin, Tilana mengajukan permintaan agar supaya monyet itu, Siauw-ong dititipkan kepadanya.

"Aku akan memeliharanya baik-baik," katanya, "biarlah untuk sementara ini dia menjadi kawanku biar dengan adanya dia di sampingku aku akan merasa berdekatan denganmu. Pula ...... dengan adanya dia padaku, aku merasa yakin bahwa kau tidak bohong, bahwa tentu kau akan datang mengunjungi aku di lembah Sungai Kuning di perbatasan Propinsi Shan-si."

Memang tadinya Han Sin berjanji hendak mengunjungi tempat tinggal Tilana yaitu di lembah Sungai Kuning. Sekarang Tilana mengajukan permintaan ini, berat baginya untuk meninggalkan Siauw-ong. Akan tetapi, kalau ia menolaknya, tentu akan membuat Tilana tidak percaya kepadanya dan pula, memang di dalam tugasnya yang berat mencari Hoa-ji, lebih baik kalau ia meninggalkan Siauw-ong di tempat yang aman.

Demikianlah, setelah banyak memberi tanda dengan kata-kata dan tangan kepada monyetnya akhirnya Siauw-ong mengerti dan mau ditinggalkan, apalagi ketika dengan halus Tilana memondongnya dan membiarkan monyet itu duduk di pundaknya. Monyet adalah seekor binatang yang mudah mengenal baik buruknya maksud orang dan mudah mengenal isi hati dari gerakan orang itu. Ia merasa bahwa wanita ini tidak bermaksud buruk kepadanya, maka karena takut kepada Han Sin, iapun tidak membantah perintah ini.

Tilana berdiri dengan Siauw-ong di pundaknya, memandang ke arah gerobak kecil yang ditunggangi Han Sin bergerak ke utara, sampai gerobak itu lenyap di sebuah tikungan. Dengan isak tertahan ia lalu melompat ke atas kudanya dan memberi tanda kepada orang-orangnya untuk melanjutkan perjalanan.

****

Makin ke utara, makin terasa suasana perang. Mulai ramailah jalan, berbondong-bondong orang menuju ke selatan. Setiap kali bertanya, Han Sin mendapat jawaban bahwa pertempuran-pertempuran mulai pecah di perbatasan. Bala tentara Mongol sudah mulai menyerang dari beberapa tempat dan selalu mendapat perlawanan yang gigih dari barisan Mancu yang dibantu oleh orang-orang Han. Penduduk yang tidak mau ikut terseret dalam pertempuran, melarikan diri ke selatan, mengungsi.

Memang tak dapat disangkal pula, semenjak jaman dahulu sampai sekarang, tiap kali terjadi pertempuran dalam perebutan kekuasaan, tiap kali terjadi perang, yang paling hebat menderita adalah rakyat. Bagi rakyat di daerah perbatasan ini, selalu menjadi korban. Kalau orang-orang Mongol yang mendesak tentara Mancu keluar dari sebuah kampung, maka seisi kampung itu habis dirampoki oleh orang orang Mongol, diambil barang-barangnya, diculiki wanita-wanitanya dan dibunuhi orang-orang lelakinya.

Kalau orang-orang Mancu yang menang, nasib malang tidak banyak bedanya. Diperas, diambili bahan makan untuk ransum tentara, diganggu wanitanya dan kalau membantah dicap membantu musuh! Inilah sebabnya maka para penduduk itu merasa lebih aman mengungsi, meninggalkan rumah dan kampung halaman, lebih aman mengungsi seanak isterinya, entah ke mana dan entah bagaimana jadinya dan apa yang akan dimakannya. Pokoknya lebih dahulu meninggalkan tempat pertempuran itu, meninggalkannya jauh-jauh neraka dunia itu.

Pasukan-pasukan Mancu mulai tampak, kadang-kadang berkelompok menunggang kuda, kadang-kadang berbaris tak teratur. Han Sin mulai menarik perhatian dan dicurigai. Ketika ia tiba di luar kota Ta-tung, sepasukan tentara Mancu menyetopnya dan ia dengan gerobaknya segera dikurung.

"Siapa kau? Dari mana dan mau ke mana? membawa apa dalam gerobak ini?" Pertanyaan bertubi-tubi menghujani Han Sin yang mendongkol juga melihat sikap mereka. Mereka ini adalah tentara Mancu, berarti tentara penjajah tanah airnya, berarti musuh-musuhnya!

"Mungkin dia mata-mata Mongol!" terdengar seorang tentara berkata.

Akan tetapi, pada masa itu, para tentara Mancu tidak berani sembarangan mengganggu orang Han. Hal ini adalah atas perintah yang keras dari para pembesar Mancu di bawah pimpinan Pangeran Yong Tee. Mereka, orang-orang Mancu ini, dalam menghadapi pemberontakan Mongol amat membutuhkan bantuan orang-orang Han, terutama sekali orang-orang gagah di dunia kang-ouw, maka pada para anak buah dipesan supaya berhati-hati dan jangan sembarangan bersikap kasar terhadap orang-orang Han dari selatan.

"Aku orang she Cia, datang dari Lu-liang-san hendak ke kota Ta-tung. Aku membawa barang antaran, kalian ini menghadang mau apakah? Apa mau merampok?" jawab Han Sin dengan suara bernada marah. Tidak biasanya Han Sin bersikap sekasar ini, akan tetapi bertemu dengan tentara Mancu yang dianggap musuhnya, timbul kebenciannya.

Seorang tentara yang menjadi pemimpin pasukan itu, maju dan berkata dengan suara halus, "Sama sekali tidak, saudara Cia. Orang-orang selatan adalah sahabat sahabat kami. Akan tetapi, kami bertugas di sini dan dalam keadaan perang menghadapi pemberontakan penjahat-penjahat Mongol, kami harus berlaku hati-hati dan memeriksa setiap orang yang memasuki Ta-tung yang menjadi tempat pertahanan."

Kemarahan hati Han Sin tidak men¬jadi reda dengan sikap halus ini.

"Kalian berperang dengan orang Mongol bukan urusanku. Aku sudah menjawab pertanyaan, sudah mengaku she-ku, sudah memberi tahu bahwa aku mengantar barang ke Ta-tung. Kalian percaya atau tidak, juga bukan urusanku. Harap kalian minggir dan membiarkan aku masuk kota."

Jawaban ini membikin marah semua tentara di situ. "Kasar sekali dia! Tangkap saja!" teriak seorang yang berangasan. Akan tetapi kepala pasukan itu masih berkata halus,

"Saudara Cia, kami bersikap lunak kepadamu, kenapa kau bersikap begitu kasar? Kewajiban kamilah untuk memeriksa isi gerobak ini. Harap kau suka membuka dua peti itu."

"Tak mungkin!" Han Sin makin marah. "Setelah menjajah tanah airku, apakah kalian masih hendak menindas dan menghalangi pergerakan bebas seseorang? Peti-peti itu hanya titipan, bukan milikku. Aku sendiri yang bertugas mengantar tidak berani membuka, apalagi orang lain, tentu tak kuperbolehkan."

"Kau melawan?" Si berangasan tadi melangkah maju dan memukul kepala Han Sin. Pemuda ini mengangkat tangan, dua lengan bertemu "dukk!" dan si berangasan menjerit kesakitan, roboh terguling dengan tulang lengan patah-patah! Ia mengaduh-aduh dengan muka pucat.

"Seekor semut sekalipun akan melawan kalau diinjak, apalagi manusia yang tak bersalah tentu akan melawan kalau diserang," kata Han Sin, sikapnya tenang namun sepasang matanya memancarkan sinar yang amat tajam menusuk dan seakan-akan berkilat-kilat, membuat semua orang yang mengepungnya menjadi gentar juga. Kepala pasukan maklum bahwa ia berhadapan dengan seorang pandai, maka cepat ia menjura sambil bertanya,

"Maafkan kelancangan anak buahku. Sicu (tuan yang gagah) apakah mempunyai kenalan orang gagah yang membantu pasukan kami di Ta-tung?"

Han Sin berpikir. Menurutkan perasaannya ia tidak sudi berbaik dengan mereka ini, malah ingin ia menumpas mereka. Akan tetapi pikirannya yang sehat memaksanya bersikap lain. Ia sedang bertugas tidak hanya harus melindungi dua buah peti titipan Lie Ko Sianseng. Ia sudah berjanji melindunginya, kalau sampai terjadi keributan dan peti-peti itu hilang, bukankah berarti ia melanggar janji? Pula, ia sedang mencari Hoa-ji, malah belum berkumpul kembali dengan Bi Eng. Alangkah tidak baiknya kalau ia mencari musuh di sini.

"Aku kenal baik dengan nona Thio Li Hoa. Kalian percaya atau tidak, terserah!"

Kepala pasukan itu menjadi terkejut dan saling pandang juga anak buahnya. Nama Thio Li Hoa siapakah yang tidak mengenalnya? Puteri Thio-taijin yang amat lihai, seorang pendekar wanita yang gagah perkasa! Pada saat itu datang lagi serombongan orang. Mereka ini berpakaian seperti pengemis-pengemis dan sebagian pula berpakaian sebagai tosu (pemeluk Agama To).

"Haii ....... bukankah itu Cia-taihiap dari Min-san .......??" Tiba-tiba seorang tosu tua berseru girang. Tosu ini tua dan gagah sikapnya, rambutnya digelung satu dan sekali ia menggerakkan kaki tahu-tahu tubuhnya sudah melayang dan turun di depan Han Sin. Gerakkannya ringan dan cepat seperti burung terbang saja. Han Sin segera mengenalnya. Cepat-cepat ia menju¬ra. "Eh, kiranya Hee Tojin berada di sini pula.........!"

Ternyata bahwa para tosu itu adalah anggauta-anggauta Cin-ling-pai dan pemimpin mereka adalah Hee Tojin, seorang di antara Cin-ling Sam-eng yang semenjak tewasnya para pimpinan Cin-ling-pai yaitu Giok Thian Cin Cu, It Cin Cu, dan Ji Cin Cu, telah dianggap sebagai ketua Cin-ling-pai. Tentu saja ia mengenal Han Sin yang menjadi tuan penolongnya.

Di lain pihak, Han Sin menjadi heran sekali. Bagaimana orang-orang Cin-ling-pai yang tadinya berjiwa patriotik sekarang tahu-tahu berada di situ dan agaknya bersatu dengan barisan Mancu? Bukankah dahulu orang-orang gagah ini memusuhi Mancu? Lebih besar keheranan hatinya ketika ia mengenal bahwa di antara para pengemis itu terdapat pula Sin-yang Kai-pangcu Kui Kong, murid luar Ciu-ong Mo-kai yang dahulu juga seorang patriot! Kenapa dia dan kawan-kawannya itupun berada di Ta-tung, padahal dulu amat membenci penjajah Mancu? Benar-benar amat mengherankan semua perubahan ini dan andaikata ia belum mendengar keterangan Li Hoa, tentu ia akan merasa tidak senang sekali kepada mereka.

Ketika para pengemis dan tosu kang-ouw ini mendengar dari pemimpin regu tentara Mancu tentang dua buah peti yang dibawa Han Sin, mereka mendekati gerobak Han Sin. Hee Tojin mengerutkan keningnya dan bertanya,

"Cia-taihiap, kita adalah orang-orang sendiri. Harap kau maafkan kalau prajurit prajurit kasar ini tadi mengganggumu. Akan tetapi, pinto rasa kaupun takkan berkeberatan memberi tahu secara berterus terang, siapakah yang mempunyai peti peti ini dan hendak dikirimkan kepada siapa?"

Han Sin maklum bahwa dia mendekati daerah berbahaya, daerah pertempuran dan sudah semestinya kalau para pejuang yang menjaga di situ harus berlaku waspada. Dia sendiri andaikata menjadi seorang pejuang yang berjaga, tentu akan berlaku waspada dan tidak mudah mempercayai orang. Sambil tersenyum ia menjawab,

"Di jalan aku bertemu dengan Lie Ko Sianseng si Raja Swipoa. Nah, dialah yang mempunyai peti-peti ini dan dia minta aku menyerahkan dua peti ini kepada seorang penerima yang akan menyambutku membawa surat kuasanya di Ta-tung.

Terdengar seruan-seruan curiga di antara para pengemis, bahkan Hee Tojin juga memandang tajam. "Milik Swi-poa-ong Lie Ko Sianseng? Cia-taihiap, kenapa kau suka membawakan barangnya? Itulah berbahaya sekali! Tak tahukah kau bahwa Lie Ko Sianseng itu adalah seorang kaki tangan Mongol, orang yang dipercaya oleh Pangeran Galdan?"

Tak senang hati Han Sin mendengar ini. Andaikata mereka ini, para tosu dan pengemis kang-ouw ini berjuang membela tanah air melawan penjajah asing, dia tentu akan turun tangan membantu tanpa ragu-ragu lagi. Akan tetapi mereka ini biarpun memerangi orang Mongol, nyatanya menghambakan diri kepada pemerintah penjajah Mancu!

"Dia itu kaki tangan orang Mongol atau kaki tangan orang Mancu, aku tidak perduli. Bukan urusanku." Jawaban ini membuat para tosu dan pengemis kang-ouw itu merah mukanya. Sudah tentu saja mereka merasa disindir.

"Ah, agaknya kau tidak tahu, taihiap. Apakah kau belum bertemu dengan Ciu-ong Mo-kai?" kata Hee Tojin.

"Siapapun juga takkan dapat merobah pendirianku tadi," jawab Han Sin. "Pendeknya, aku akan membawa barang-barang ini ke Ta-tung, lalu mencari adikku dan pergi meninggalkan Ta-tung. Perang antara Mancu dan Mongol bukan urusanku dan aku tidak mau ikut-ikut. Harap kalian suka minggir dan jangan mengganggu aku."

Hee Tojin sudah mengenal kelihaian pemuda ini, malah pemuda ini adalah pewaris dari pada ilmu-ilmu Giok Thian Cin Cu, jadi menurut tingkat masih terhitung paman gurunya sendiri! Juga orang-orang seperti Sin-yang Kai-pangcu Kui Kong dan beberapa orang lagi di antara tosu dan pengemis kang-ouw itu sudah mengenal Han Sin.

Akan tetapi, ada beberapa orang kang-ouw yang belum mengenalnya dan mereka inilah yang menjadi penasaran sekali. Menghadapi seorang pemuda begini sombong, mengapa saudara-saudara mereka itu begitu bersabar hati dan mengalah?

"Cia-taihiap, harap kau maklumi keadaan kami. Karena barang-barang ini milik Lie Ko Sianseng, terpaksa kami harus memeriksanya, bahkan sebetulnya harus kami sita!" kata pula Hee Tojin secara terpaksa.

Bangkit kemarahan Han Sin. "Tidak boleh! Siapapun juga tidak boleh mengganggu barang ini selama aku masih hidup!"

Hee Tojin mengerutkan keningnya. "Cia-taihiap, kau agaknya sudah terkena bujukan Swi-poa-ong! Kenapa kau sampai melindungi barang-barangnya seperti ini?"

Han Sin melompat dan tahu-tahu ia telah berada di atas atap gerobaknya. Dengan tenang dan gagah pemuda ini bertolak pinggang, memandang ke sekelilingnya, kepada mereka yang mengurungnya, lalu berkata tenang,

"Seorang laki-laki harus memenuhi janjinya. Aku sudah berjanji akan mengantar barang-barang ini sampai ke Ta-tung, dan akan melindunginya mempertaruhkan nyawa! Kalian boleh menggunakan alasan apapun juga, akan tetapi akupun tetap pada janjiku. Sebelum aku mati, jangan harap dapat mengganggu barang-barang ini. Siapa hendak mencoba-coba, boleh maju!"

Continue Reading

You'll Also Like

36.2K 749 63
1. Pedang Abadi (Zhang Sheng Jian) 2. Bulu Merak/Badik Merak (Kong Que Ling ) 3. Golok Kumala Hijau (Bi Yu Dao) 4. Gelang Perasa (Duo Qing Huan) 5. P...
1.3K 42 2
Serial Titisan Dewa Naga Bermula menjalankan wasiat dari Eyang Guru,untuk menemukan Kitab Sakti Dari langit. Perjalanan yg berliku,penuh tantangan,da...
12.9K 212 6
Siok Lan teringat dan wajahnya berseri. Ia tidak merasa malu lagi setelah mendengar Tan Hong bicara kepadanya. Ia lalu mengangkat muka memandang kepa...
1.5M 73.4K 52
Rasa cinta terlalu berlebihan membuat Lia lupa bahwa cinta itu tidak pernah bisa dipaksakan. Rasanya ia terlalu banyak menghabiskan waktu dengan meng...