Kasih di Antara Remaja

By JadeLiong

78.1K 1.2K 16

Pemuda ini tadi terpukul oleh Hoa Hoa Cinjin yang menggunakan pukulan Tong-sim-ciang yang mengandung lweekang... More

01. Pendekar Pahlawan Rakyat
02. Bayi Perempuan Siapa?
03. Ciu-ong Mo-kai Pengemis Sakti
04. Persyaratan Murid Kepada Guru
05. Siucai Lemah Pelatih Silat
06. Kesombongan Tosu Cin-ling-pai
07. Kematian Utusan Kaisar Boan
08. Kecerdikan Puteri Thio-ciangkun
09. Kemusnahan Surat Wasihat Lie Cu Seng
10. Bhok-kongcu yang Tercinta
11. Lepas dari Serigala Masuk ke Sarang Buaya
12. Peminum Darah Pek-hiat-sin-coa
13. Prahara di Cin-ling-pai
14. Tipu Muslihat Dara Pendekar
15. Wanita Pelindung Buronan
16. Dedengkot Iblis Hoa Hoa Cinjin
17. Gadis Berkedok Putih
18. Kaki Tangan Pangeran Mongol
19. Terperangkap Siasat Bhok-kongcu
20. Gua Rahasia Warisan Lie Cu Seng
21. Apakah Cia Han Sin Seorang Patriot?
23. Upaya Sepasang Puteri Thio-ciangkun
24. Rahasia Adik Kandung Perempuan
25. Pembersihan Pengkhianat Cin-ling-pai
26. Amukan di Istana Raja Muda
27. Cinta Kasih Pangeran Yong-tee
28. Kerudung Puteri Hui
29. Penderitaan Hati Karena Wanita
30. Raja Swipoa Ketemu Batunya
31. Barang Titipan Mata-mata Mongol
32. Perbedaan Pendapat Guru dan Murid
33. Duel Menghadapi Racun Utara
34. Terungkapnya Misteri Puteri Cia Sun
35. Rahasia Bayi Perempuan Min-san
36. Benteng Pertahanan Pangeran Galdan
37. Kehancuran Benteng Mongol
38. Patriot Bangsa Berguguran
39. Duel Ilmu Silat dan Ilmu Kebatinan
40. Pertemuan Saudara Kandung
41. Antara Dendam dan Cinta
42. Apakah Bahagia ...?
43. Wanita Pertama dan Terakhir (TAMAT)

22. Pembicaraan Rahasia Pangeran Galdan

1.7K 31 1
By JadeLiong

KUI LOK tersenyum pahit. "Dahulu akupun seorang pemuda yang menyeleweng, Cia-kongcu. Kau seribu kali lebih baik dari pada aku. Akan tetapi, karena pergaulanku dengan pahlawan-pahlawan bangsa seperti Lie Cu Seng, kakekmu Cia Hui Gan, dan yang lain-lain, terbukalah hatiku. Bahagialah orang yang dalam hidupnya dapat menempatkan diri sebagai orang yang dibutuhkan oleh negara, oleh bangsa atau setidaknya oleh masyarakat, dan paling tidak dibutuhkan oleh orang-orang lain di sekitarnya. Orang yang sudah tidak dibutuhkan apa-apanya oleh orang lain, kecuali oleh nafsu diri sendiri, orang demikian itu tidak ada gunanya lagi hidup ..... seperti ..... seperti aku ini ...."

"Kui-locianpwe, jangan kau bilang begitu," Han Sin menghibur. "Aku orangnya yang masih amat membutuhkan bimbinganmu."

"Hemmm, hatimu yang terlampau baik itu mendorongmu untuk menghiburku. Apa yang kau butuhkan lagi dari diriku? Nasehat-nasehat seperti yang sudah kuucapkan tadi? Ah, aku bukan seorang ahli filsafat ....."

"Tidak, Kui-locianpwe. Aku membutuhkan pelajaran ilmu silat! Sekarang terbukalah mataku. Semua nasehat tadi memang tepat. Teecu ingin meniru jejak langkah kakek dan ayah, teecu ingin berbakti kepada nusa dan bangsa. Teecu akan turun tangan menghadapi orang-orang yang tersesat, orang-orang yang membikin celaka sesama manusia. Untuk semua itu, sekarang teecu tahu betul-betul, teecu harus memiliki kepandaian tinggi dalam ilmu silat. Dan kiranya hanya Kui-locianpwe yang akan dapat memberi bimbingan kepada teecu."

Tiba-tiba Kui Lok meloncat bangun, wajahnya yang kurus kering itu berseri. "Bagus! Begini baru pantas kau menjadi seorang she Cia! Ha ha ha, Cia Hui Gan, Cia Sun, lihatlah keturunanmu ini. Sudah sepatutnya kalau dia menjadi ahli waris Thian-po-cin-keng. Ha ha ha!" Ia lalu berlari ke sebuah kamar lain di dalam terowongan di bawah tanah itu, dan tak lama kemudian ia datang lagi membawa sebuah kitab.

"Kau terimalah ini, inilah Thian-po-cin-keng (Kitab Mustika Langit). Inilah yang sebetulnya diperebutkan oleh orang-orang kang-ouw, bukan harta benda di dalam tempat ini. Terimalah dan bersujudlah karena semenjak saat ini, kau langsung menjadi murid Tat Mo Couwsu!"

Han Sin menjatuhkan diri berlutut dan menerima kitab yang kelihatannya kuno sekali itu. Memang dia seorang kutu buku, tentu saja melihat sebuah kitab, ia merasa seperti seorang kelaparan melihat roti yang enak! Seperti seorang kelaparan yang terus saja makan dengan lahapnya roti yang diberikan kepadanya. Han Sin juga sama halnya, begitu menerima kitab itu, lalu membalik-balik lembarannya dan membaca.

Ia tidak tahu betapa Kui Lok memandang dengan terheran-heran melihat pemuda itu membaca kitab dengan mudah seperti orang membaca cerita yang mengasyikkan saja. Padahal dia sendiri, dia harus memeras otak setengah mati untuk dapat menangkap arti dari pada huruf-huruf kuno yang amat sukar dibaca, sukar dimengerti, malah selama puluhan tahun ia hanya dapat memahami sebagian kecil saja.

Melihat pemuda itu begitu tekun membaca kitab Thian-po-cin-keng, saking girangnya Kui Lok tidak mau mengeluarkan suara berisik, tidak mau mengganggunya malah menjauhkan diri dengan diam-diam untuk merawat lukanya. Akan tetapi ia mendapat kenyataan bahwa lukanya di dalam dada amat parah sedangkan racun hawa pukulan tangan Bhok Hong sudah meresap ke dalam jalan darah dan jantungnya! Karena tahu bahwa ia takkan tertolong lagi, Kui Lok kembali ke ruangan itu dan melihat Han Sin masih terus "tenggelam" ke dalam lautan huruf kitab kuno itu.

Berkali-kali Kui Lok menggeleng kepala dan di dalam hati terheran-heran melihat betapa Han Sin terus membaca kitab sampai hari menjadi malam dan pemuda ini seperti tidak merasa betapa sinar matahari telah diganti oleh sinar obor yang dibuat Kui Lok. Terus saja membaca dengan amat tekun dan kelihatan tertarik sekali.

Mengapa Han Sin begitu tertarik? Hal ini bukan hanya disebabkan oleh karena dia memang seorang kutu buku, akan tetapi terutama sekali karena isi pada kitab itu adalah tulisan huruf Tiongkok kuno dan mengandung filsafat-filsafat yang lebih tinggi dari pada kitab-kitab yang pernah dibacanya!

Di samping ini, di antara filsafat-filsafat itu diselipkan pelajaran tentang pengerahan dan penggunaan hawa sakti dalam tubuh, malah dengan lengkap diselipkan pelajaran-pelajaran mukjizat berdasarkan tenaga lweekang seperti Coan-im-tong-te (Mengirim Suara Menggetarkan Bumi), Im-kang-hoan-hiat (Dengan Tenaga Lemas Pindahkan Jalan Darah) dan paling akhir, di antara sajak-sajak kuno terkandung pelajaran ilmu silat Thian-po-cin-keng sendiri.

Dan semua ini, semua pelajaran yang tinggi dan aneh ini ditulis di antara filsafat-filsafat tinggi dan sajak-sajak indah. Kalau bukan seorang ahli tak mungkin dapat menangkap dan memisahkan sari pelajaran dari filsafat dan sajak itu! Han Sin sekali baca saja sudah dapat membedakan mana pelajaran silat mana filsafat atau sajak indah. Inilah yang membuat ia amat tertarik sampai lupa waktu dan lupa diri. Apalagi ketika mendapat kenyataan bahwa semua filsafat yang terkandung di situ adalah sejalan dengan filsafat yang pernah ia baca, malah peraturan-peraturan tentang cara bersamadhi juga sejalan dengan cara-cara yang pernah ia latih.

Berbeda dengan Han Sin, Kui Lok bukanlah seorang ahli sastra. Huruf-huruf kuno itu baginya amat sukar dimengerti, apalagi berisi filsafat dan sajak. Oleh karena itu, maka selama puluhan tahun itu ia hanya berhasil menangkap sari ilmu silat Thian-po-cin-keng sebanyak dua belas jurus saja! Juga karena sukarnya inilah maka semenjak kitab itu berada di tangan Lie Cu Seng, belum pernah ada orang yang dapat menangkap seluruh inti sari pelajaran itu dengan lengkap, seperti hal Kui Lok.

Padahal, ketika Han Sin membaca habis, pemuda ini mendapat kenyataan bahwa ilmu silat Thian-po-cin-keng, biarpun hanya terdiri dari tiga bagian saja, namun setiap bagian mempunyai tiga puluh enam gerakan sehingga seluruhnya terdapat tiga kali tiga puluh enam menjadi seratus delapan jurus!

Karena semalam suntuk Han Sin terus membaca, Kui Lok yang terluka hebat itu tidak kuat mengawani terus dan tahu-tahu kakek ini sudah tertidur bersandar dinding di ruangan itu. Menjelang pagi, kakek ini kaget dan tersadar karena mendengar angin bersiutan yang amat aneh. Ia membuka mata dan merasa betapa dadanya amat sakit, akan tetapi segera ia melupakan rasa sakit ini ketika melihat apa yang dilakukan oleh Han Sin.

Pemuda ini ternyata sedang menggerak-gerakkan kaki, digeser ke sana ke mari sambil memukulkan kedua tangan secara lambat sekali dan mulutnya menyebut jurus-jurus Thian-po-cin-keng. Hebatnya, biarpun pukulan-pukulan itu lambat saja, namun angin pukulannya bersiutan seperti pedang menyambar!

Ketika melihat pemuda itu melakukan gerakan Jip-hai-siu-to (Masuk Laut Sambut Mustika), sebuah di antara jurus-jurus dari Thian-po-cin-keng yang telah ia pelajari, Kui Lok melompat. "Eh, tahan ....., jangan ......!"

Akan tetapi terlambat. Han Sin sudah melakukan gerakan itu, yaitu tangan kiri dipukulkan ke depan lurus-lurus kemudian tangan kanan menyambar dari kanan dan ditarik ke arah dada sendiri secara keras dan mendadak. Kui Lok mengeluh dan membelalakkan mata, akan tetapi ..... ia tidak melihat pemuda itu roboh. Dengan penuh keheranan ia lalu melompat maju, melihat Han Sin sudah berhenti bersilat dan sedang memandangnya dengan senyum.

Kui Lok dengan muka pucat meraba lengan dan dada Han Sin. "Kau .... Kau tidak terluka .....? Gerakan tadi itu ....., dulu aku hampir mati karena hawa pukulanku membalik menyerang jantung ....."

Han Sin menggeleng kepala. "Tidak apa-apa, locianpwe. Ilmu ini hebat sekali, teecu merasa semua hawa di dalam tubuh bergerak-gerak tegang. Hebat, hebat ....!" Dan pemuda ini lalu bersilat lagi.

Kui Lok mengeluarkan teriakan perlahan dan ..... roboh terguling. Han Sin kaget dan cepat menubruk, akan tetapi ternyata kakek itu telah menghembuskan napas terakhir dalam keadaan tersenyum. Dari mulutnya mengalir darah yang mulai menghitam. Ternyata bahwa setelah menderita luka hebat dari pukulan Bhok Hong yang beracun, dalam keadaan berbahaya ini Kui Lok sekarang menerima getaran jantungnya saking heran dan girang melihat Han Sin dengan mudah dapat mempelajari Thian-po-cin-keng, maka jantungnya menjadi pecah dan mengakibatkan kematiannya.

"Kui-locianpwe ......!" Han Sin memanggil dan mengguncang-guncang tubuh kurus itu beberapa kali. "Ah, dia sudah mati ......" Pemuda itu tenang-tenang saja. Ia merasa kasihan kepada kakek ini, akan tetapi tentang mati hidup, bagi pemuda itu bukan apa-apa. Dengan sepenuh hatinya ia yakin bahwa mati atau hidup bagi manusia adalah hal yang sudah semestinya dan wajar.

Manusia mana yang takkan mati kalau saatnya sudah tiba? Tiba-tiba ia teringat bahwa ia tidak tahu akan jalan keluar dari terowongan itu. Ia teringat pula di dalam kitab kuno bahwa ada jalan darah tertentu di belakang otak yang kalau dihidupkan, akan dapat membuat syaraf bagian kepala bekerja sehingga untuk sejenak tubuh yang sudah mati dapat bekerja kembali, sehingga otomatis mata, telinga, hidung dan mulut berikut pikiran dapat bekerja.

Ia lalu mengerahkan seluruh semangat dan hawa saktinya, miringkan kepala Kui Lok dan menotok jalan darah ini, memutar sedikit ke kiri untuk membuka jalan darah dan memberi tenaga pendorong dengan hawa saktinya untuk menghidupkan atau menjalankan darah yang sudah hampir tak bergerak. Karena dorongan hawa sakti dari lweekang yang tinggi, seketika darah di bagian itu menjadi panas dan dapat didorong menggerakkan syaraf-syaraf di bagian kepala. Benar saja, Kui Lok mengeluh perlahan dan bulu matanya bergerak-gerak.

"Locianpwe, mohon petunjuk terakhir. Bagaimana teecu bisa keluar dari sini?" Han Sin membisikkan kata-kata ini di telinga Kui Lok lalu ia menempelkan telinganya sendiri ke mulut Kui Lok untuk mendengarkan jawaban. Kebetulan sekali bagi Han Sin, memang hal inilah yang jadi pikiran Kui Lok pada saat ia menghembuskan napas terakhir tadi, maka begitu syarafnya bekerja ia berkata lemah.

"Di ruang belakang ada Tiat-lo-han .... Dorong ke kiri .... tiga ....." hanya sampai di situ Kui Lok sanggup mengeluarkan kata-kata, darah keburu membeku karena tidak mendapat dorongan dari jantung yang sudah tidak bekerja lagi. Han Sin menarik napas panjang, hatinya lega, juga ada keraguan. Terang bahwa ucapan itu masih belum habis, akan tetapi kata-kata "tiga" itu sudah menjadi pegangan yang kuat baginya. Setelah merebahkan mayat Kui Lok, ia lalu cepat menambah kayu kering pada api obor yang hampir padam dan membuat api unggun.

Hatinya makin tenang karena melihat kayu-kayu kering yang terkumpul di situ, ia merasa yakin bahwa tentu ada jalan keluar, selain jalan keluar dari depan yang sudah teruruk oleh batu-batu besar itu. Mengingat jalan keluar ini, hatinya berdebar. Bhok-kongcu adalah seorang yang mempunyai kekuasaan besar. Apakah tidak mungkin dia mengerahkan ribuan orang untuk menyingkirkan batu-batu itu? Ah, tentu mereka akan menyerbu ke dalam, pikirnya.

Setelah tampak sinar matahari, Han Sin lalu menggunakan pedang Im-yang-kiam pemberian Giok Thian Cin Cu yang selalu dipakai sebagai ikat pinggang, untuk membuat lubang kuburan. Digalinya tanah di dalam ruangan itu dan berkat ketajaman Im-yang-kiam serta tenaga lweekangnya yang besar, tak lama kemudian ia sudah dapat menggali lubang dan mengubur jenazah Kui Lok secara sederhana.

Setelah penguburan selesai, pemuda ini lalu memasuki lorong sampai ia tiba di ruang paling belakang dan alangkah girangnya ketika ia melihat sebuah patung besi berdiri di pojok ruangan. Patung itu kecil saja, paling tinggi dua kaki. Tentu inilah patung Tiat-lo-han, pikirnya. Ia melihat patung itu menempel pada dinding karang. Cepat ia menghampiri dan berbisik, "Tiat-lo-han, harap kau suka menunjukkan jalan keluar untukku."

Lalu dengan kuat ia mendorong ke kiri. Patung itu bergerak miring, akan tetapi memantul kembali dan tidak terjadi sesuatu. Ia teringat akan kata-kata "tiga", maka lalu mendorong lagi untuk kedua kalinya. Alangkah herannya ketika patung itu kini sama sekali tidak bergeming! Ia mengerahkan tenaganya, namun tetap saja tidak dapat mendorong patung itu miring.

Han Sin menjadi gelisah. Ia meneliti patung itu dan meraba-raba. Akhirnya jari-jari tangannya menyentuh ukiran-ukiran pada punggung patung. Cepat ia memeriksa dan ternyata di situ terdapat ukiran beberapa buah huruf kecil yang berbunyi,

"Untuk mendorong ke dua dan ke tiga, pergunakan Heng-pai-koan-im (Puja Kwan Im Dengan Tangan Miring) dan Cio-po-thian-keng (Batu Meledak Langit Gempar) dengan tenaga sempurna."

Han Sin girang sekali. Kiranya demikian. Dia sudah membaca Thian-po-cin-keng dan sekali membaca saja dia sudah hafal sebagian besar dari seratus delapan jurus itu. Di antara yang ia ingat adalah dua jurus yang disebut tadi. Segera ia melakukan jurus Heng-pai-koan-im untuk mendorong patung, dilakukan dengan tangan miring. Akan tetapi, tetap saja patung tidak bergerak, hanya bergoyang sedikit saja. Han Sin kecewa dan ia menduga bahwa tulisan "dengan tenaga sempurna" itu tentu ada artinya. Bisa jadi karena karena belum berlatih betul-betul, jurus Heng-pai-koan-im yang ia lakukan tadi tidak menggunakan takaran tenaga sebagaimana mestinya.

"Aku harus berlatih dulu sampai sempurna, baru berusaha mencari jalan keluar," pikirnya dan ia mulai melakukan pemeriksaan di dalam terowongan itu. Alangkah girangnya ketika ia melihat banyak persediaan makanan di situ, buah-buahan dan di situ bahkan ada daging binatang yang sudah dikeringkan. Juga banyak kayu-kayu kering bahan bakar.

"Ah, Kui-locianpwe tentu telah mengambilnya dari jalan depan. Dengan persediaan ini aku dapat berlatih dengan tenang."

Tidak saja bahan makan, malah airpun banyak di situ, karena dari batu karang di atas menetes banyak sekali air jernih. Dengan menggunakan mangkok butut yang tersedia di situ sebentar saja dapat menadahi air semangkok. Dengan hati amat tenang, Han Sin mulai melatih diri dengan ilmu Thian-po-cin-keng, dari jurus pertama sampai terakhir.

Malah peraturan-peraturan melatih lweekang ia pelajari pula sehingga pengetahuannya tentang ilmu ini sekarang menjadi sempurna, tidak lagi ia melatih lweekang secara "tidak sengaja" seperti dulu. Di samping melatih Thian-po-cin-keng, pemuda ini juga melatih Liap-hong Sin-hoat dan Lo-hai Hui-kiam. Gerakan-gerakannya lincah dan mantap, karena memang bahan-bahan ginkang dan lweekang pada dirinya sudah cukup. Makin matang latihannya, makin girang hatinya. Tidak disangkanya sama sekali bahwa latihan-latihan ilmu silat itu membuat ia merasa enak sekali tubuhnya, membuat semangatnya bangun dan timbul sifat gembiranya. Entah mengapa, ia merasa gembira dan tidak lagi ada sifat pendiam tenang dan agak pemurung seperti yang sudah-sudah.

Ia teringat akan adiknya dan tahulah kini ia mengapa adiknya itu selalu berseri dan bergembira jenaka. Agaknya karena latihan-latihan ilmu silat itulah. Tentu saja hal ini hanya dugaan Han Sin. Sebetulnya hal itu tergantung dari pada watak pembawaan masing-masing, hanya harus diakui bahwa latihan ilmu silat memang betul mendatangkan rasa nyaman dan sehat pada tubuh, juga membangun semangat dan mempertebal rasa kepercayaan kepada diri sendiri, mempertinggi harga diri.

Sebulan lebih Han Sin setiap saat melatih diri. Pemuda ini memang termasuk golongan sedikit orang yang memiliki ketekunan luar biasa. Tiada bosannya ia melatih diri dan belum merasa puas kalau belum sempurna gerakan-gerakannya. Setelah berlatih, baru ia mendapatkan kenyataan bahwa biarpun Thian-po-cin-keng termasuk ilmu silat yang paling tinggi tingkatnya, namun dalam ilmu silat Liap-hong Sin-hoat ajaran Ciu-ong Mo-kai, Im-yang-kun dan Lo-hai Hui-kiam ajaran Giok Thian Cin Cu, masing-masing mengandung keindahan dan keampuhan tersendiri.

Harus ia akui bahwa di antara semua ilmu silat yang sudah ia pelajari, Lo-hai Hui-kiam mengandung sifat yang paling ganas mengerikan, maka diam-diam ia berjanji kepada diri sendiri takkan mempergunakan ilmu ini kalau tidak sangat terpaksa.

Pada suatu pagi ketika ia sedang membakar daging kering untuk dijadikan santapan pagi, ia mendengar suara "duk duk duk" yang terus menerus dan makin lama makin keras suaranya. Suara itu datang dari luar, dari timbunan batu-batu yang menutup jalan keluar. Namun ia tidak memperdulikan dan berlatih terus. Sampai tiga hari ia mendengar suara ini dan pada hari keempat, ia mendengar suara itu sudah keras sekali. Tiap kali terdengar suara "duk", lantai terowongan itu tergetar. Menjelang tengah hari, ia malah mulai mendengar suara-suara orang!

"Ah, Bhok-kongcu tentu mengerahkan tenaga membongkar tempat ini. Hampir empat puluh hari aku berada di sini dan baru ia akan dapat menembus timbunan batu. Hebat memang alat rahasia guha ini, akan tetapi lebih hebat semangat tak kenal mundur dari Bhok-kongcu."

Tentu saja Han Sin tidak ingin diserbu oleh Bhok-kongcu dan kawan-kawannya, maka pemuda ini lalu menjatuhkan diri berlutut, memberi hormat untuk pengabisan kali di depan kuburan Kui Lok, kemudian ia menuju ke ruang belakang, tempat Tiat-lo-han berada.

Ia menjura kepada patung kakek tua itu. "Tiat-lo-han, harap kali ini kau tidak pelit dan mau menunjukkan jalan keluar." Ia, seperti dulu, mendorong ke kiri. Patung itu bergerak dan memantul kembali. Kemudian, Han Sin menggunakan Heng-pai-koan-im dan mendorong sambil mengatur tenaganya dengan tepat. Terdengar bunyi "krekk" dan patung itu bergeser selangkah. Pemuda itu girang sekali.

"Terima kasih ......, terima kasih ......." katanya sambil tersenyum dan terbayanglah wajah Bi Eng. Memang ia sudah amat rindu kepada adiknya itu dan setelah jalan keluar sudah dekat, ia ingin cepat-cepat keluar untuk mencari adiknya yang tercinta itu.

Pada saat itu, sebelum ia melakukan dorongan ke tiga, terdengar suara keras sekali di depan dan ternyata tumpukan batu-batu sudah dapat diruntuhkan. Lalu disusul suara-suara yang ramai-ramai menyerbu ke dalam, di antaranya ia mendengar suara lengking ketawa yang menyeramkan dari Hoa Hoa Cinjin!

Aneh sekali, pada saat itu mendadak timbul semacam pikiran dalam kepala Han Sin untuk menggoda dan mempermainkan orang-orang itu. Dia sendiri merasa heran. Pikiran untuk mempermainkan orang biasanya hanya terdapat dalam kepala kecil Bi Eng! Kenapa sekarang ia seperti ketularan dan bernafsu hendak mempermainkan orang?

Ia tertawa sendiri, kemudian ia melangkah mundur, membalikkan tubuh dan mengeluarkan pekik menyeramkan. Han Sin sudah mempelajari Coan-im-tong-te (Mengirim Suara Menggetarkan Bumi), maka ketika ia keluarkan ilmu ini dan memekik, suara itu menerjang keluar dan menimbulkan getaran serta gema yang amat hebat sampai lantai terowongan itu tergetar karenanya! Sekali gus suara lengking ketawa yang disertai khikang dari Hoa Hoa Cinjin itu tenggelam dan tidak terdengar lagi.

Han Sin mendengar orang-orang menjerit. Dia tidak tahu bahwa suara pekik yang ia keluarkan itu telah merobohkan belasan orang terdepan yang kurang kuat tenaga lweekangnya!

Suara orang-orang yang riuh rendah tadi sirap, untuk sesaat kemudian terdengar kegaduhan seperti orang-orang melarikan diri disertai jerit ketakutan, "Ada setan ....! Ada siluman .....!!" Disusul suara orang lari tunggang-langgang.

Han Sin tertawa geli sampai perutnya kaku. "Ah, kiranya begini menyenangkan menggoda orang. Pantas saja Bi Eng suka sekali menggodaku dan suka main-main."

Pemuda ini merasa cukup menakut-nakuti orang yang pada menyerbu ke dalam guha. Ia mendengar gerengan marah dari Hoa Hoa Cinjin, maka ia pikir tidak baik kalau ia berdiam terus di situ. Ia siap melakukan dorongan ketiga pada patung Tiat-lo-han. Segera ia melakukan jurus Cio-po-thian-keng (Batu Meledak Langit Gempar).

Jurus ini dilakukan dengan pengerahan tenaga lweekang, mendorong ke depan sambil membanting kaki kanan dengan keras. Patung itu terdorong ke kiri dan tiba-tiba dinding batu karang sebelah kanan berlubang sebesar tubuh orang.

Selagi Han Sin kegirangan, tiba-tiba lantai yang diinjaknya nyeplos ke bawah dan tubuhnya ikut terbawa turun! Han Sin kaget sekali namun ia masih dapat menguasai diri, dapat dengan tenang mengerahkan ginkangnya. Ia merasa tubuhnya terus melayang ke bawah sampai beberapa lama, baru lantai itu berhenti dan tubuhnya tentu akan terbanting hancur kalau saja ia tidak menggunakan ginkang.

Dengan ilmu ini, kedua kakinya yang menginjak lantai seperti dipasangi per sehingga ketika lantai berhenti, tubuhnya terpental kembali ke atas setinggi tiga kaki, lalu ia melompat turun dengan tenang. Lantai yang nyeplos itu lebarnya dua meter persegi dan ia mulai meraba-raba di tempat gelap. Di empat penjuru semua dinding batu karang yang kasar. Hal ini menggirangkan hatinya, karena ia merasa sanggup untuk merayap naik.

Setelah mengumpulkan semangat dan mengerahkan hawa sinkang di tubuhnya, pemuda ini lalu mulai merayap melalui dinding kasar, seperti seekor cecak saja! Tiba-tiba ia berhenti di tengah-tengah karena mendengar suara orang-orang bicara di atas. Untuk mendapatkan tempat yang enak ia lalu menggunakan pedang Im-yang-kiam, menggores dan membuat lubang pada dinding itu untuk tempat kaki berpijak dan tangan bergantung. Kemudian ia lalu memasang telinga mendengarkan. Mula-mula ia mendengarkan suara Bhok-kongcu.

"Hemm, dia telah lolos dari sini. Yang ditinggalkan hanya harta pusaka. Tidak ada kitab. Cinjin, bagaimana pikiranmu?"

"Bhok-kongcu, pinto sendiri masih sangsi apakah betul ada kitab yang didesas-desuskan orang itu di sini. Kalaupun ada dan terjatuh ke dalam tangan bocah she Cia itu, apa susahnya kelak kita merampasnya?"

"Hoa Hoa Cinjin, kau terlalu memandang rendah kitab itu. Ayah telah terluka hebat, sampai sekarang masih beristirahat dan sakit, itu saja sudah membuktikan betapa hebatnya orang yang tadinya berada di sini dan telah mempelajari isi kitab. Kalau kita bisa mendapatkan itu, terutama sekali ilmu perang, bukankah itu akan menambah kekuatan untuk melakukan rencana kita, sesuai yang dicita-citakan oleh bangsaku? Ah, betapa inginku dapat lekas-lekas menindas dan mengusir bangsa Mancu yang tiada bedanya dengan anjing penjilat itu dari Tiongkok!"

Han Sin terkejut mendengar ini. Setahunya Bhok-kongcu adalah seorang penting dari pemerintah Mancu, bagaimana sekarang bersama Hoa Hoa Cinjin bicara tentang mengusir bangsa Mancu dari Tiongkok?

"Ssttt, harap kongcu berhati-hati. Kalau ada mata-mata Mancu mendengar, bisa celaka ......." terdengar suara Hoa Hoa Cinjin.

"Mereka semua di luar, orang-orang pengecut itu. Siapa berani masuk selain kau dan aku? Bangsa Mancu pengecut, setelah menjajah Tiongkok malah menjilat-jilat orang Han. Mengangkat orang-orang Han sebagai pembesar dan pembantu, malah kaisar tolol itu berusaha melebur bangsanya menjadi orang Han. Coba kau lihat, alangkah lucunya mereka itu bersikap seperti orang Han, berbahasa Han, berpakaian Han. Ah, muak aku melihat mereka itu, kaisar dan orang-orangnya seperti monyet-monyet meniru manusia!"

"Memang menjemukan," kata Hoa Hoa Cinjin. "Pinto sendiri yang mempunyai darah campuran, darah Mongol dan darah Han, tetap merasa lebih tinggi dari pada orang-orang Han. Memang, kongcu. Tiongkok harus diperintah lagi oleh bangsa kita, baru beres."

"Tak usah kau sangsi lagi, saat bangunnya kerajaan Mongol pasti akan tiba! Roh nenek moyang kita, roh Yang Mulia Jenghis Khan pasti akan membantu usaha yang kurencanakan. Pangeran Galdan takkan gagal. Kegagalannya hanya dapat dibeli oleh nyawaku!"

"Ssttt ....., pangeran ....., eh, kongcu. Harap berhati-hati. Ayahmu sendiri tak pernah berani membuka rahasia pribadi."

"Kau betul, Cinjin. Biarlah mulai sekarang takkan kulupakan lagi bahwa sebelum kerajaan Goan (Mongol) bangun kembali, aku adalah Bhok Kian Teng. Biarlah pangeran Galdan bersabar dan baru muncul kalau kerajaan kita sudah bangun."

"Mari kita keluar, kongcu. Jangan sampai harta pusaka itu tercecer. Tentang bocah she Cia, tak usah khawatir. Pinto akan mengejar dan menangkapnya. Lagi pula ......." Makin lama suara Hoa Hoa Cinjin makin perlahan karena mereka berdua sudah mulai pergi meninggalkan ruang itu. Akan tetapi setelah mengerahkan tenaga pendengarannya, Han Sin masih dapat menangkap sedikit lanjutannya "... adiknya berada di tanganmu ........"

Han Sin menjadi gelisah. Celaka, kalau begitu Bi Eng masih berada dalam tangan Bhok-kongcu atau sebetulnya adalah pangeran Galdan itu. Hemm, dan kongcu seorang pangeran Mongol yang pada luarnya saja membantu pemerintah baru, akan tetapi sebetulnya hendak mengakangi daratan Tiongkok sendiri, hendak membangun kembali kerajaan Goan-tiauw yang sudah hancur, hendak menegakkan kembali kekuasaan Mongol sebagai penjajah di Tiongkok.

"Aduhai tanah airku ........, bangsaku ......., alangkah buruk nasib kita. Seorang musuh, penjajah Mancu masih belum dapat kita usir, sekarang sudah ada ancaman penjajah baru, orang-orang Mongol yang hendak kembali menindas kita ...."

Jiwa patriot yang sudah mulai bersemi di dalam hati Han Sin memberontak. Segera ia melanjutkan usahanya, merayap naik keluar dari "sumur" itu. Diam-diam ia merasa puas bahwa jatuhnya ke situ malah menguntungkan, karena memberi kesempatan kepadanya untuk mendengarkan percakapan yang maha penting. Apakah untuk keperluan macam inikah maka jebakan sumur itu dibuat oleh pencipta gua itu?

Sementara itu, di luar guha juga terjadi hal-hal yang menarik. Untuk mengetahui ini, baiklah kita menengok apa yang terjadi selama Han Sin terkurung di dalam guha terowongan dan mempelajari isi kitab Thian-po-cin-keng. Telah kita ketahui bahwa Pak-thian-tok Bhok Hong, juga terkurung di sebelah luar terowongan karena pingsan dan terluka oleh tenaga gabungan dari Han Sin dan Kui Lok.

Adapun Bhok-kongcu, ketika melihat mulut guha itu tertimbun batu-batu besar, menjadi amat khawatir akan keselamatan ayahnya. Juga nafsunya untuk mendapatkan harta pusaka rahasia dari Lie Cu Seng makin membesar. Cepat ia memberi perintah kepada Tung-hai Siang-mo untuk pergi memanggil bala bantuan. Tak lama kemudian sebuah pasukan terdiri dari ratusan orang datang ke puncak gunung itu dan pembongkaran batu-batu itu mulai dilakukan. Pekerjaan ini memakan waktu lama sekali karena batu-batu besar itu amat berat.

Setelah sepuluh hari, barulah tubuh Bhok Hong dapat ditemukan dalam keadaan terluka dan payah karena selama sepuluh hari tidak makan dan minum. Hanya seorang dengan kekuatan tubuh luar biasa seperti Bhok Hong dapat menahan derita hebat ini dan tidak menjadi mati karenanya. Namun kakek kosen ini harus beristirahat dan berobat untuk memulihkan tenaganya. Oleh puteranya ia segera dikirim ke kota raja untuk beristirahat di gedungnya.

Kemudian Bhok-kongcu memimpin orang-orang untuk melakukan pembongkaran terus. Pekerjaan ini tidak mudah karena ternyata bahwa batu-batu yang menutup guha sebelah dalam ini malah lebih banyak dan lebih sukar disingkirkan dari pada batu-batu yang menutupi sebelah luar.

Bhok-kongcu yang amat bernafsu untuk segera melihat isi guha dan kalau mungkin mendapatkan kitab rahasia yang ia idam-idamkan, memimpin sendiri pekerjaan ini, malah ia menyuruh orang-orangnya membuatkan sebuah pondok kecil di tempat itu untuk dia bermalam! Iapun mengerahkan tenaga orang-orang kang-ouw. Selain Hoa Hoa Cinjin dan Tung-hai Siang-mo, juga kongcu ini mendatangkan Thian-san Sam-sian dan beberapa orang kosen lagi untuk membantu pekerjaan membongkar batu-batu itu.

Pada suatu pagi ketika Bhok-kongcu sedang membongkar batu-batu yang seperti tiada habisnya itu, tiba-tiba ia mendengar bentakan nyaring, "Bhok-kongcu, di mana kakakku?"

Bhok-kongcu berdebar hatinya dan cepat ia menoleh. Ternyata Bi Eng, gadis pujaan hatinya itu, dengan segala kecantikannya telah berdiri di situ, wajahnya agak pucat namun kecantikannya malah makin menonjol.

Selama ini tak pernah Bhok-kongcu dapat melupakan Bi Eng, akan tetapi karena ia menghadapi pekerjaan yang lebih penting, untuk mendapatkan kitab rahasia yang amat ia rindukan maka terpaksa ia menahan hatinya dan tidak pergi mencari Bi Eng yang sudah dibawa pergi oleh suhunya, Ciu-ong Mo-kai. Sekarang, melihat kedatangan gadis ini tentu saja ia merasa kejatuhan bintang. Cepat ia melangkah maju dengan wajah berseri dihias senyum, lalu menjura dengan sikap amat hormat.

"Ah, Cia-siocia ....! Alangkah girang hatiku melihat kau dalam keadaan selamat. Betapa gelisahku selama ini karena tidak tahu kau berada di mana dan bagaimana keadaanmu. Cia-siocia, kebetulan sekali kedatanganmu ini ....."

"Mana Sin-ko? Kau apakan dia ....??" Bi Eng bertanya pula, matanya membayangkan kegelisahan besar.

"Nona Bi Eng, bagaimana kau bisa menyangka yang bukan-bukan? Aku tidak bermusuhan dengan kakakmu, bagaimana aku bisa mencelakakan dia? Andaikata ada apa-apa antara aku dan dia, melihat kau tentu aku takkan tega mengganggu kakakmu itu."

"Bhok-kongcu, tak usah putar-putar omongan! Di mana dia?" Bi Eng tidak sabar dan membanting kakinya.

"Sabar ....., sabarlah, nona manis. Dengan baik-baik kakakmu membawaku ke guha ini. Siapa sangka, sesampainya di sini, ketika kakakmu sudah memasuki guha, tiba-tiba saja batu-batu besar dari atas berjatuhan ke bawah dan menutup guha. Sekarang aku sedang memimpin orang-orangku untuk membongkar batu-batu ini dan menolong kakakmu."

Saking pandainya Bhok-kongcu bersandiwara, Bi Eng yang masih hijau itu tentu saja dengan mudah dapat ditipunya. Gadis ini percaya akan semua cerita Bhok-kongcu, karenanya ia merasa sangat berterima kasih dan ikut membantu membongkari batu-batu dengan hati gelisah.

Ia merasa khawatir kalau-kalau kakaknya takkan dapat ditolong lagi. Dengan susah payah dia telah dapat memberi penjelasan kepada Ciu-ong Mo-kai bahwa dia sama sekali bukannya menjadi sahabat baik Bhok-kongcu seperti yang tadinya dikira oleh kakek pengemis ini, sebaliknya Bhok-kongcu malah hendak membantunya bertemu kembali dengan kakaknya di Lu-liang-san. Ciu-ong Mo-kai menggeleng-geleng kepala ketika mendengar penuturan muridnya.

Continue Reading

You'll Also Like

125K 14.2K 20
Asmara dan perjalanan rumah tangga pasangan menikah Jaehyun dan Taeyong sembari menunggu si buah hati. 120823 || 1 in #Jaehyun #Jaeyong #By: Mommy ...
36.2K 749 63
1. Pedang Abadi (Zhang Sheng Jian) 2. Bulu Merak/Badik Merak (Kong Que Ling ) 3. Golok Kumala Hijau (Bi Yu Dao) 4. Gelang Perasa (Duo Qing Huan) 5. P...
12.7K 318 15
"Ha, Pek I Lihiap datang lagi. Apakah kau rindu padaku?" pahlawan itu gunakan kesempatan untuk menghina Giok Cu karena hatinya masih sakit karena sab...
166K 2.3K 46
"Hai, sekarang aku tahu namaku!" bukan jawab pertanyaan tetapi blo'on itu malah berteriak semaunya sendiri. "Siapa?" seru dara itu yang tanpa disadar...