Kasih di Antara Remaja

By JadeLiong

78.2K 1.2K 16

Pemuda ini tadi terpukul oleh Hoa Hoa Cinjin yang menggunakan pukulan Tong-sim-ciang yang mengandung lweekang... More

01. Pendekar Pahlawan Rakyat
03. Ciu-ong Mo-kai Pengemis Sakti
04. Persyaratan Murid Kepada Guru
05. Siucai Lemah Pelatih Silat
06. Kesombongan Tosu Cin-ling-pai
07. Kematian Utusan Kaisar Boan
08. Kecerdikan Puteri Thio-ciangkun
09. Kemusnahan Surat Wasihat Lie Cu Seng
10. Bhok-kongcu yang Tercinta
11. Lepas dari Serigala Masuk ke Sarang Buaya
12. Peminum Darah Pek-hiat-sin-coa
13. Prahara di Cin-ling-pai
14. Tipu Muslihat Dara Pendekar
15. Wanita Pelindung Buronan
16. Dedengkot Iblis Hoa Hoa Cinjin
17. Gadis Berkedok Putih
18. Kaki Tangan Pangeran Mongol
19. Terperangkap Siasat Bhok-kongcu
20. Gua Rahasia Warisan Lie Cu Seng
21. Apakah Cia Han Sin Seorang Patriot?
22. Pembicaraan Rahasia Pangeran Galdan
23. Upaya Sepasang Puteri Thio-ciangkun
24. Rahasia Adik Kandung Perempuan
25. Pembersihan Pengkhianat Cin-ling-pai
26. Amukan di Istana Raja Muda
27. Cinta Kasih Pangeran Yong-tee
28. Kerudung Puteri Hui
29. Penderitaan Hati Karena Wanita
30. Raja Swipoa Ketemu Batunya
31. Barang Titipan Mata-mata Mongol
32. Perbedaan Pendapat Guru dan Murid
33. Duel Menghadapi Racun Utara
34. Terungkapnya Misteri Puteri Cia Sun
35. Rahasia Bayi Perempuan Min-san
36. Benteng Pertahanan Pangeran Galdan
37. Kehancuran Benteng Mongol
38. Patriot Bangsa Berguguran
39. Duel Ilmu Silat dan Ilmu Kebatinan
40. Pertemuan Saudara Kandung
41. Antara Dendam dan Cinta
42. Apakah Bahagia ...?
43. Wanita Pertama dan Terakhir (TAMAT)

02. Bayi Perempuan Siapa?

2.6K 29 1
By JadeLiong

CIA SUN tiba-tiba tertawa mengejek. "Baik, sam-wi losuhu. Lepas dari pada tahu atau tidaknya aku tentang surat wasiat itu, aku ingin sekali mengetahui. Sam-wi adalah tiga orang hwesio tua yang sepatutnya melakukan hidup suci dan beribadat, melepaskan diri dari ikatan duniawi, kenapa sam-wi mencari surat wasiat tentang harta karun? Apakah kalau sudah mendapatkan harta karun, sam-wi lalu hendak memelihara rambut dan berubah menjadi hartawan-hartawan?"

Merah muka tiga orang hwesio itu. Inilah penghinaan yang amat besar, mereka anggap penghinaan karena memang cocok sekali dengan idam-idaman hati mereka. Siapa orangnya tidak kepingin kaya raya, pikir mereka membela diri.

"Cia-sicu, tak usah banyak komentar. Pendeknya kau berikan atau tidak surat wasiat Lie Cu Seng itu?"

Sebagai jawaban, Cia Sun meloloskan pedangnya dan melintangkan senjata ini di depan dadanya. "Sekali lagi kutekankan, Thian-san Sam-sian. Aku Cia Sun bukan seorang yang suka membohong. Aku tidak pernah mendengar atau melihat surat wasiat yang kalian maksudkan itu. Terserah mau percaya atau tidak."

"Kalau begitu kau harus membayar hutang ayahmu!" Sambil berkata demikian Gi Thai Hwesio mulai menyerang, diikuti oleh dua orang sutenya. Penyerangan mereka teratur dan amat kuat, merupakan barisan Sha-kak-tin (Barisan segi tiga) yang berbahaya.

Akan tetapi Cia Sun adalah seorang pendekar yang sudah banyak mengalami pertempuran, ilmu kepandaiannya tinggi sekali dan ia sudah memiliki ketenangan. Selama ia menghadapi musuh-musuh yang amat banyak, baru sekali karena kepandaian puteri Hui itu memang luar biasa dan aneh. Kini menghadapi keroyokan Thian-san Sam-sian, ia bisa berlaku tenang dan pedang ia gerakan cepat memutari tubuhnya merupakan benteng kuat melindungi tubuh sambil kadang-kadang sinar pedangnya menyelonong ke kanan kiri untuk mengirim serangan-serangan yang tak kalah hebatnya.

Pertempuran kali ini malah lebih hebat dari pada tadi ketika Cia Sun melawan Ang-jiu Toanio. Empat batang pedang berkilauan saling sambar di antara sambaran tiga buah tasbeh yang bergulung-gulung sinarnya. Selama menanti sampai belasan tahun semenjak dikalahkan oleh Cia Hui Gan, Thian-san Sam-sian telah melatih diri dengan tekun, maka kepandaian mereka kalau dibandingkan dengan dahulu ketika menghadapi ayah Cia Sun, sekarang mereka telah menjadi lebih kuat dan lihai.

Namun, Cia Sun juga telah mendapatkan kemajuan sehingga pada saat itu tingkat ilmu silatnya sudah melampaui tingkat ayahnya. Maka pertempuran ini adalah pertempuran mati-matian yang membuat tubuh mereka lenyap ditelan gulungan sinar senjata mereka. Hanya debu mengebul ke atas dan para pelayan menjauhkan diri dengan muka pucat.

Kera kecil yang sudah sejak tadi muncul, mengeluarkan bunyi cecowetan dan kaki tangannya bergerak-gerak seperti orang bersilat. Kera inipun bukan kera sembarangan karena sudah dapat menggerak-gerakan ilmu silat yang sering ia lihat kalau tuannya, Cia Sun, berlatih. Akan tetapi menghadapi tiga orang hwesio yang demikian lihai, tentu saja ia tidak berani mendekat, hanya ribut sendirian bersilat melawan angin sambil mengeluarkan bunyi seakan-akan menjagoi tuannya dan memaki-maki tiga orang hwesio itu.

Sebetulnya kalau melawan seorang di antara tiga hwesio itu, tentu Cia Sun akan menang. Tingkat kepandaiannya masih lebih menang setingkat dari pada seorang di antara mereka. Akan tetapi dikeroyok tiga, ia sibuk juga dan terdesak hebat. Monyet peliharaannya, Lim-ong, makin ribut. Agaknya binatang ini mengerti bahwa tuannya terdesak dan berada dalam keadaan berbahaya. Monyet ini sudah terlampau sering ikut tuannya merantau dan menyaksikan Cia Sun bertempur, maka matanya menjadi awas dan ia dapat melihat keadaan pertempuran.

Pada suatu saat, pedang di tangan Gi Thai Hwesio dan tasbeh di tangan Gi Hun Hwesio menyambar dengan cepat dan berbareng ke arah tubuh Cia Sun. Pendekar ini cepat menggunakan pedangnya, sekali tangkis ia dapat membikin terpental dua senjata ini. Akan tetapi pada saat itu, Gi Ho Hwesio menyerangnya dengan sambaran tasbeh ke arah kepala dan tusukan pedang ke arah perut. Monyet kecil menjerit ngeri.

Cia Sun merendahkan tubuhnya dan melintangkan pedang. Tasbeh melayang melewati atas kepalanya dan pedangnya bentrok dengan pedang lawan. Pada saat berikutnya Gi Thai Hwesio dan Gi Hun Hwesio sudah menyerangnya lagi, membuat ia kewalahan dan meloncat ke sana sini sambil menangkis dengan pedangnya untuk menyelamatkan diri. Namun tetap saja pundak kirinya terkena sambaran tasbeh di tangan Gi Thai Hwesio. Biarpun ia tidak sampai terluka karena keburu mengerahkan tenaga lweekang ke arah pundaknya, namun ia merasa pundaknya sakit sekali dan gerak-gerakannya menjadi kurang lincah karenanya. Dengan terpukulnya pundak kirinya Cia Sun menjadi semakin terdesak dan keadaannya benar-benar berubah berbahaya.

"Orang she Cia, apakah kau masih membandel?" tanya Gi Thai Hwesio, membujuk karena melihat pihaknya terdesak.

"Aku tidak tahu tentang surat wasiat!" kata Cia Sun sambil memutar pedang menghalau hujan senjata.

"Kau memang sudah bosan hidup!" kata Gi Hun Hwesio membentak dan kini tiga orang hwesio itu mengerahkan tenaga memperkuat serangan. Cia Sun terhuyung mundur, kedudukannya berbahaya sekali dan gerakan pedangnya sudah lemah.

Tiba-tiba terdengar angin bersiutan dan tiga orang hwesio itu mengeluarkan suara kaget sambil melompat mundur terhuyung-huyung. Tiga buah pisau kecil runcing telah menancap di pundak mereka, pundak sebelah kanan dan tepat sekali mengenai urat besar membuat tangan kanan mereka lumpuh. Mereka menjadi pucat dan tahu bahwa Cia Sun dibantu orang pandai.

"Kami akan kembali lagi .....!" Gi Thai Hwesio menggerutu sambil pergi dari situ diikuti oleh dua orang sutenya. Mereka maklum bahwa untuk melawan terus percuma saja setelah mereka menderita luka yang cukup hebat itu, maka sebelum pembantu Cia Sun muncul dan mendatangkan kerugian yang lebih besar lagi kepada mereka, lebih dulu paling baik mereka angkat kaki.

Cia Sun maklum bahwa ia dapat bantuan orang. Akan tetapi ia tidak memperlihatkan muka girang seperti monyetnya yang sekarang bertepuk-tepuk tangan melihat tiga orang lawan tuannya itu melarikan diri. Ia mengenal pisau-pisau kecil itu. Mengenal pisau yang merupakan hui-to (pisau terbang) ini yang lihainya bukan kepalang. Ia tahu siapa penyambitnya dan karenanya, biarpun ia telah dibebaskan dari bahaya maut, mukanya malah menjadi suram.

Dugaannya tidak meleset. Terdengar anak kecil menangis dan muncullah Balita mengendong anaknya!

"Hik hik," Balita tertawa mengejek. "Kanda Cia Sun, kalau tidak ada aku, bukankah kau sudah menjadi mayat di tangan tiga orang anjing gundul tadi? Kanda Cia Sun, biarlah aku tinggal di rumahmu ini sebagai penjaga keselamatanmu."

"Balita, kenapa kau masih saja menggangguku? Pergilah, aku lebih baik mati dari pada kau dekati!" Cia Sun menjawab marah.

Balita hendak memaki, sepasang matanya sudah mendelik, mukanya sudah menjadi merah sekali, akan tetapi tiba-tiba dari pintu depan muncul seorang wanita muda cantik menggendong anak kecil pula. Melihat wanita itu, tiba-tiba sikap Balita berubah. Ia pura-pura tidak melihat, akan tetapi lalu berkata dengan suara mohon dikasihani, "Kanda Cia Sun, kenapa kau begitu kejam kepadaku? Tidak ingatkah kau betapa selama tiga hari tiga malam kita saling mencinta sebagai suami isteri? Tidak ingatkah kau bahwa yang kugendong ini adalah anakmu? Ah, kanda Cia Sun ..... apakah kau tidak kasihan kepadaku dan anakmu ini .....?"

Cia Sun juga melihat betapa isterinya keluar dan menjadi pucat sekali mendengar dan melihat sikap Balita, malah isterinya lalu menangis dan sambil merintih lari lagi masuk ke dalam gedung.

"Siluman, jangan kau ngaco tidak karuan!" bentaknya.

Balita tertawa. Sikapnya berubah lagi setelah isteri Cia Sun masuk ke dalam.

"Hik hik hik! Cia Sun, kau tidak tahu bahayanya menyakiti hati seorang wanita. Baik, kau tunggulah saja pembalasanku. Hik hik hik!" Balita lalu membalikkan tubuhnya dan pergi dari situ, cepat sekali seperti melayang dan sebentar saja lenyap di balik batu-batu putih yang mengelilingi puncak itu.

Cia Sun berdiri seperti patung. Hatinya gelisah sekali. Baginya sendiri, ia tidak takut menghadapi bahaya. Akan tetapi dalam ancaman Balita tadi terkandung sesuatu yang mengerikan. Bagaimana kalau iblis wanita itu mengganggu isteri dan anak-anaknya? Balita memiliki ilmu kesaktian yang luar biasa dan ia tahu andaikata Balita menghendaki nyawanya, nyawa isteri dan anak-anaknya, dia sendiri tidak berdaya menolaknya. Tidak ada yang akan dapat menolongnya, demikian pikirnya dengan gelisah.

Tiba-tiba ia teringat akan seorang sakti yang masih terhitung susiok (paman guru) ayahnya. Orang sakti itu bukan lain adalah Ciu-ong Mo-kai (Raja Arak Pengemis Setan) bernama Tang Pok, seorang pengemis aneh yang telah diangkat menjadi kai-ong (raja pengemis) dari seluruh perkumpulan pengemis di daerah selatan. Untuk daerah selatan, boleh dibilang Ciu-ong Mo-kai Tang Pok adalah orang sakti nomor satu yang jarang ada lawannya.

"Kalau saja susiok-couw sudi membantuku, tentu dia dapat mengusir Balita ......" Cia Sun berkata seorang diri sambil menarik napas panjang. Akan tetapi di mana dia bisa mencari susiok-couw itu? Tempat tinggal Ciu-ong Mo-kai tidak tentu, dia seorang perantau yang tidak pernah bertempat tinggal di suatu tempat. Muncul di sana sini dan wataknya amat aneh. Andaikata dapat ditemukannya juga, belum tentu sudi membantunya.

Kembali Cia Sun menarik napas panjang, kemudian ia teringat kepada isterinya. Tentu dia cemburu, pikirnya. Tentu dikiranya aku bermain gila dengan Balita sampai mempunyai anak yang tidak sah. Cia Sun tersenyum pahit. Balita telah melakukan pembalasan, biarpun hanya dengan menimbulkan kebakaran dalam rumah tangganya. Memang patut ia dihukum karena perbuatannya yang ia sendiri anggap tidak patut itu. Dengan perlahan ia lalu berjalan menuju ke pintu.

Akan tetapi pada saat itu terdengar ledakan keras. Cepat ia membalikkan tubuh dan masih sempat melihat betapa sebuah batu putih yang besar telah hancur berkeping-keping. Kemudian di bekas tempat batu itu berdiri seorang tosu yang bertubuh tegap dan bersikap keren. Di punggung tosu itu terselip sebatang pedang. Entah dari mana datangnya tosu itu, dan sepasang matanya membuat Cia Sun terpaku di mana ia berdiri. Mata tosu itu bukan seperti mata manusia, bersinar-sinar menakutkan. Rambutnya digelung ke atas, jenggot dan kumisnya lebat. Sukar menaksir usianya, karena rambut dan brewoknya masih hitam, akan tetapi pada mukanya terbayang usia tua.

Karena terpesona oleh sinar mata yang luar biasa itu, Cia Sun sampai tak dapat mengeluarkan suara untuk menegur atau menyambut, hanya berdiri memandang. Ia seorang yang pemberani dan tabah, namun sinar mata itu benar-benar membuat hatinya berdebar. Di dalam sinar mata itu terkandung ancaman yang bahkan lebih mengerikan dari pada ancaman Balita.

Tosu itu membuka mulut dan terdengarlah suaranya yang parau dan serak seperti suara burung gagak. "Bocah she Cia! Kau berikan surat wasiat Lie Cu Seng kepada pinto (aku)!"

Cia Sun tercengang. Sudah dua kali orang menyebut-nyebut tentang surat wasiat Lie Cu Seng yang sama sekali tidak mengerti di mana tempatnya.

"Totiang," jawabnya sebal. "Aku benar-benar tidak tahu apa itu surat wasiat Lie Cu Seng."

Tosu itu tidak berubah air mukanya, akan tetapi suaranya menunjukkan bahwa dia marah. "Bocah tidak tahu diri, kau kira sedang berhadapan dengan siapa berani membantah?" Setelah demikian, tosu itu menggerakkan tangan kiri ke depan perlahan saja. Akan tetapi alangkah kagetnya Cia Sun ketika ia merasakan adanya dorongan yang tidak kelihatan, hawa pukulan yang bukan main kuatnya sehingga biarpun ia sudah mengerahkan lweekangnya, tetap saja ia terjatuh terjengkang! Belum pernah selama hidupnya ia menghadapi manusia sehebat ini pukulan jarak jauhnya. Bahkan Balita sendiri kiranya tidak sekuat ini!

"Apa sekarang kau masih berani banyak membantah?" terdengar lagi tosu menyeramkan itu mendesak.

Cia Sun sudah merayap bangun, wajahnya pucat. Jarak antara dia dan tosu itu ada lima tombak jauhnya, namun dengan pukulan jarak jauh seenaknya saja tosu itu mampu merobohkannya. Benar-benar bukan lawannya. Akan tetapi kalau betul-betul dia tidak tahu menahu tentang surat wasiat itu, bagaimana?

"Totiang, aku benar-benar tidak tahu tentang surat wasiat yang totiang maksudkan itu ....."

Sepasang mata tosu itu mengeluarkan sinar yang membuat Cia Sun seakan-akan merasa dibelek dadanya dan dilongok isi hatinya. Kemudian tosu itu berkata lagi, "Tidak diberikan ya tidak apa. Rebahlah kau!" Kini tangan kirinya kembali didorongkan ke depan, tidak perlahan seperti tadi melainkan disentakkan.

Cia Sun hendak mengelak karena dapat menduga bahwa ia diserang secara hebat sekali, akan tetapi tiba-tiba saja tosu itu menarik kembali tangannya dan wajahnya memperlihatkan penasaran. Dari belakang rumah gedung itu berkelebat bayangan seorang pengemis jangkung kurus yang pakaiannya penuh tambalan, rambut dan jenggotnya awut-awutan dan memegang sebuah tempat arak. Hanya sekelebatan saja Cia Sun melihat bayangan ini yang tertawa terkekeh-kekeh, lalu lenyap kembali. Tosu itu juga berkelebat lenyap dan Cia Sun hanya mendengar suara tinggi kecil berkata mencela.

"Hoa Hoa Cinjin masih suka menggoda segala orang muda, lucu sekali!" Dalam ucapan ini terkandung ejekan berat.

Lalu terdengar suara parau si tosu tadi, "Pengemis iblis, kau mencari apa keliaran di sini?"

Suara-suara itu terdengar dari tempat jauh sekali, tanda bahwa dua orang aneh itu sudah pergi jauh, meninggalkan Cia Sun yang berdiri termangu-mangu. Itulah Ciu-ong Mo-kai Tang Pok, pikirnya. Tak salah lagi. Ayahnya dulu pernah menggambarkan keadaan susiok-couwnya, seorang pengemis yang membawa tempat arak. Akan tetapi ia merasa kecewa sekali mengapa kakek itu tidak mau singgah di rumahnya. Betapapun juga ia dapat merasa bahwa munculnya kakek pengemis itu telah menolong nyawanya dari ancaman tosu yang bernama Hoa Hoa Cinjin.

Hoa Hoa Cinjin! Teringat akan nama ini tiba-tiba jalan darah di tubuh Cia Sun serasa membeku. Mengapa tadi ia lupa? Hoa Hoa Cinjin! Ah, siapa orangnya yang tidak pernah mendengar nama ini? Seorang saikong yang amat jahat, ditakuti seluruh orang kang-ouw, memiliki kepandaian yang jarang keduanya di kolong langit. Bagaimana orang seperti ini yang jarang dijumpai orang, tiba-tiba muncul di situ? Dan kemunculan Ciu-ong Mo-kai, apa pula artinya ini?

Cia Sun menarik napas panjang. Di dunia ini banyak sekali orang-orang sakti, pikirnya. Ia merasa dirinya kecil, lupa bahwa dia sendiri juga dianggap sebagai seorang pendekar yang sakti oleh puluhan ribu orang, karena tingkat kepandaian Cia Sun sebetulnya sudah mencapai tingkat tinggi dan tidak sembarang orang dapat menandinginya.

****

Tepat seperti yang diduga oleh Cia Sun, isterinya menangis saja di dalam kamar tanpa mau menjawab pertanyaan-pertanyaan. Ia tahu betapa besar cinta isterinya kepadanya, dan tahu pula watak isterinya yang amat cemburu di samping cintanya. Tentu munculnya Balita tadi menusuk perasaannya dan membakar hatinya.

"Isteriku, jangan kau percaya obrolan wanita tadi. Dia itu seorang iblis betina," Cia Sun menghibur isterinya.

"Kau manusia kejam .... ahh .... lebih baik aku mati saja ...." ratap nyonya Cia sambil menangis kemudian menutupi kepalanya dengan bantal, tidak mau lagi mendengarkan suaminya.

Percuma saja Cia Sun menghibur isterinya karena tidak didengarkan lagi. Sambil menghela napas duka Cia Sun mengangkat anak perempuannya yang menangis dan didiamkan ibunya, menimang-nimangnya sampai anak itu tertidur, hatinya berduka sekali.

Semua pelayan dalam rumah yang berjumlah tiga orang, yaitu dua orang pelayan laki-laki dan seorang pelayan wanita tua yang semenjak Cia Sun masih kecil telah menjadi pelayan Cia Hui Gan, merasa ketakutan dengan adanya peristiwa-peristiwa siang tadi. Dua orang pelayan laki-laki sudah bersembunyi di kamar belakang tidak berani keluar.

Pelayan wanita she Lui yang amat setia, dengan tubuh gemetar dan muka pucat menjaga di depan pintu kamar majikannya, mendengar tangis nyonyanya dan iapun ikut menangis. Siang tadi sambil bersembunyi ia melihat segala kejadian, melihat pula kedatangan wanita cantik dengan rambut riap-riapan yang menggendong anak. Sebagai seorang wanita yang sudah tua dan banyak pengalaman, ia dapat menduga apa yang telah terjadi. Tentu tuannya telah mempunyai anak di luar dan kini terjadi percekcokan antara tuan dan nyonyanya.

Malam itu amat menyeramkan bagi uwak Lui dan dua orang pelayan laki-laki. Malam gelap dan sunyi sekali, seakan-akan meramalkan datangnya malapetaka yang mengerikan. Uwak Lui yang berada di luar kamar akhirnya tertidur di atas lantai. Ia tidak merasa betapa angin malam bertiup perlahan mendatangkan hawa dingin sekali.

Tengah malam lewat, keadaan makin sunyi. Tiba-tiba uwak Lui terkejut karena kakinya ditarik-tarik Ketika ia membuka mata, ia melihat Lim-ong, monyet kecil itulah yang menarik-narik kakinya. Kemudian monyet itu meloncat dan melesat pergi, lenyap ditelan gelap. Akan tetapi uwak Lui tidak memperdulikannya lagi karena ia amat tertarik oleh suara-suara yang terdengar di saat itu.

Mula-mula terdengar suara wanita tertawa menyeramkan, suaranya terdengar dari dalam kamar majikannya. Hatinya tidak enak. Biarpun suara ketawa ini menimbulkan bulu badannya berdiri semua, dengan nekat ia membuka pintu kamar dan terhuyung-huyung masuk. Pelita di atas meja masih bernyala, mendatangkan bayang-bayang yang menyeramkan di dalam kamar yang setengah gelap itu.

Hampir saja uwak Lui terguling roboh pingsan ketika matanya yang tua melihat apa yang berada di kamar itu. Majikan perempuan, nyonya Cia telentang di atas ranjang mandi darah, lehernya hampir putus! Dan majikannya Cia Sun, menggeletak di lantai dekat ranjang, juga mandi darah dengan dada penuh luka-luka! Matanya yang kurang awas masih melihat berkelebatnya bayangan keluar jendela.

"Ya, Tuhan .......!" Suara ini hanya mengganjal tenggorokannya saja. Dengan mata terbelalak ia melangkah maju ke tempat tidur dua orang anak kecil yang berada di pojok kamar. Ia melihat Han Sin, anak laki-laki berusia dua tahun itu duduk di atas kasur menggosok-gosok matanya dan Bi Eng, bayi berusia tiga bulan itu mulai menangis. Cepat uwak Lui merahi bayi itu, digendongnya dengan tangan kiri dan memondong Han Sin dengan tangan kanan, lalu lari keluar tersaruk-saruk. Dari tenggorokannya keluarlah kini teriakan-teriakan menyayat hati.

"Tolong .....! Tolong .....! Ya, Tuhan ...... tolonglah ......!" Ia membawa dua orang anak itu lari ke kamar belakang, menuju ke kamar belakang, menuju ke kamar dua orang pelayan laki-laki. Sampai disitu ia menggedor-gedor pintu, akan tetapi dua orang pelayan laki-laki itu saling peluk di kamar, tidak berani keluar!

Sambil menangis tidak karuan uwak Lui lalu tinggalkan kamar itu, lari ke kamarnya sendiri. Ia menurunkan Han Sin dan Bi Eng di atas tempat tidurnya. Dua orang anak itu mulai menangis dan uwak yang setia ini, sekarang sibuk menghibur dan menidur-nidurkan mereka."

Ketika memandang kepada Bi Eng, hampir ia menjerit. Ini bukan Bi Eng! Bukan! Bukan bayi yang setiap hari ia gendong, bukan anak majikannya! Ia menoleh kepada Han Sin. Anak laki-laki itu memang betul Han Sin, putera sulung majikannya. Akan tetapi bayi perempuan ini, biarpun sebaya dengan Bi Eng, terang sekali bukan bayi perempuan majikannya! Uwak Lui bingung bukan main. Dari mana datangnya bayi perempuan yang juga amat montok dan mungil ini? Bayi ini mempunyai tanda kecil merah di bawah telinga sedangkan Bi Eng tidak. Di mana Bi Eng .....?

Uwak Lui teringat kembali kepada majikan-majikannya ketika dua orang anak itu sudah tertidur. Ia harus kembali ke kamar itu. Ia bergidik dan kembali dadanya sesak. Air matanya mengucur keluar. Tidak kuasa ia memandang isi kamar yang amat mengerikan itu. Akan tetapi, masa harus didiamkan saja? Dan siapa tahu, barangkali Bi Eng masih berada di kamar itu.

"Aduuuhh ........ Cia-siauwya ....... Cia-hujin ....." dengan air mata mengucur dan langkah terhuyung-huyung, nyonya tua yang amat setia dan sudah menganggap majikan-majikannya seperti anak-anaknya sendiri, menuju ke kamar maut tadi.

Hampir ia tidak kuat berdiri lagi ketika sudah memasuki kamar. Hampir ia tidak kuat menahan jerit tangisnya. Akan tetapi ia menguatkan hatinya dan matanya mulai mencari-cari, siapa tahu Bi Eng masih ketinggalan di situ. Akan tetapi tidak ada anak lain lagi. Sekarang baru ia menuju ke tempat tidur dan menubruk majikannya.

"Cia-hujin .....!" Tiba-tiba matanya terbellak. Penuh kengerian ia memandang muka nyonya Cia. Muka yang biasanya tersenyum ramah dan cantik itu kini telah rusak, pecah-pecah pipi dan keningnya. Ia terbelalak heran. Tadi ia tahu benar bahwa nyonyanya ini hanya terluka di lehernya saja, hampir putus. Akan tetapi mukanya tidak apa-apa. Kenapa sekarang menjadi rusak muka itu seperti ada orang yang datang lagi merusaknya?

Ia menengok ke arah tubuh Cia Sun yang menggeletak di lantai. Kembali ia terbelalak dan hampir menjerit. Matanya penuh ketakutan memandang ke sana ke mari, mencari-cari apakah di situ tidak ada orang lain. Benar-benar aneh dan mengerikan. Tadi Cia Sun menggeletak dengan baju penuh darah karena luka-luka di dada. Akan tetapi sekarang darah itu tidak kelihatan lagi karena tubuhnya telah tertutup oleh sehelai selimut yang aneh. Selimut indah dari sutera kuning, selimut yang belum pernah ia lihat sebelumnya! Saking herannya uwak Lui menghampiri mayat Cia Sun.

Benar saja selimut itu asing, jangankan di dalam rumah, malah selamanya ia belum pernah melihat selimut seperti itu. Corak dan warnanya aneh sekali, akan tetapi amat indahnya. Tak terasa lagi nyonya tua ini memegangi selimut itu, meraba-raba kainnya yang halus dan hangat.

Dengan selimut masih d tangan dan mulutnya sesambatan sambil menangis, tiba-tiba ia mendengar suara tangis dari atas genteng! Suara tangis terisak-isak.

"Ah .... kanda Cia Sun ...... kanda Cia Sun ....... kau tega tinggalkan aku ......!" Tangis itu makin tersedu-sedu dan uwak Lui dapat mengenal suara itu. Suara Balita. Siang tadi ia telah mendengar pula suara wanita cantik yang aneh itu.

Kemudian tangis terhenti dan berubah suara ketawa yang merdu sekali akan tetapi yang membuat uwak Lui menggigil seluruh tubuhnya. Ia teringat akan dua orang anak kecil yang ditinggalkan, maka saking khawatir kalau-kalau terjadi hal-hal yang kurang baik, ia cepat berlari meninggalkan kamar majikannya, menuju ke kamarnya sendiri. Saking bingung, duka, takut, dan kaget, uwak Lui yang tua ini sampai lupa bahwa selimut kuning itu masih ia pegang dan terbawa olehnya ketika ia lari ke kamarnya.

Setelah tiba di kamar, ia cepat-cepat menjenguk Han Sin yang masih tidur di samping adiknya. Akan tetapi ketika ia memandang kepada bayi perempuan yang mempunyai tanda merah di dekat telinga, uwak ini menjerit dan selimut yang dipegangnya tadi jatuh ke atas lantai. Ia mundur dua tindak, dengan mata terbelalak dan mulut ternganga memandangi wajah anak perempuan yang tidur nyenyak. Kemudian ia melangkah maju lagi untuk memandang lebih teliti.

Naik sedu sedan dari dada uwak itu. Wajahnya lebih pucat dari wajah mayat-mayat yang berada di kamar majikannya. Anak perempuan yang berada di situ ternyata telah berubah pula! Ini bukan anak yang ada tanda merah di dekat telinganya tadi. Anak ini juga perempuan juga sebaya, juga montok dan mungil, akan tetapi bukan Bi Eng juga bukan anak perempuan yang bertanda merah tadi! Heran, ajaib! Apakah yang terjadi? Tidak kuat uwak ini menghadapi semua ini.

"Siluman .....! Iblis .....! Tolong .... tolong ......!" Ia berlari sampai terjatuh-jatuh menuju ke kamar dua orang pelayan, dan kini ia menggedor terus pintu kamar pelayan-pelayan itu yang dengan tubuh menggigil membuka pintu dan mereka mendapatkan uwak Lui sudah terguling roboh di depan kaki mereka, pingsan!

****

Ketika pelayan-pelayan yang tiga orang itu mengurus jenazah Cia Sun dan isterinya pada tengah malam itu, mereka merasa ketakutan. Mereka mendengar suara hiruk-pikuk, seperti orang-orang berjalan di dalam rumah dan meja kursi terbalik. Akan tetapi tidak kelihatan orangnya, hanya ada angin bersiutan yang beberapa kali membuat pelita padam. Dengan tangan menggigil pelayan-pelayan itu menyalakan kembali pelita tanpa berani melihat apakah yang menyebabkan datangnya suara-suara itu. Uwak Lui lalu memasang hio dan bersembahyang, mohon kepada Thian supaya melindungi mereka dan mengusir siluman-siluman itu!

Pada keesokan harinya suara-suara itu lenyap dan setelah terang barulah ketahuan bahwa rumah gedung itu telah digeledah dengan teliti sekali. Sampai-sampai kamar mandi diperiksa semua. Peti-peti dibuka, lemari-lemari dibongkar. Akan tetapi anehnya tidak ada barang yang hilang.

Seorang di antara pelayan laki-laki lalu lari ke bawah puncak, ke dusun terdekat untuk minta bantuan penduduk dusun. Karena nama Cia Sun sudah dikenal baik sebagai seorang dermawan dan sudah banyak pendekar ini menolong mereka, maka berduyun-duyun penduduk dusun itu datang untuk melayat dan membantu penguburan jenazah Cia Sun dan isterinya.

Uwak Lui diam-diam mengasuh Han Sin dan adiknya. Sama sekali ia tidak mau bicara tentang ditukarnya Bi Eng sampai dua kali, karena ia tahu bahwa kalau ia bicara tentang itu, tentu menimbulkan geger dan juga bagi dia sama saja apakah asuhannya itu benar-benar Bi Eng atau bukan. Anak kecil yang terakhir ditukarkan ini amat manis dan montok, sehat dan mungil tidak kalah oleh Bi Eng yang asli. Maka ia berjanji di dalam hati tidak akan membuka rahasia ini dan tetap menyebut anak kecil itu dengan nama Bi Eng.

Malam tadi tidak hanya terjadi keanehan di dalam gedung yang menimbulkan rasa takut hebat pada tiga orang pelayan itu. Juga di dalam hutan tak jauh dari puncak itu terjadi hal yang aneh. Kelihatan di dalam hutan itu Balita menggendong anak sambil sebentar-sebentar menangis dan sebentar-sebentar tertawa.

Tiba-tiba dari atas dahan pohon melompat seekor kera terus menyerangnya dan mencoba untuk merampas bayi yang dipondongnya, Monyet ini bukan lain adalah Lim-ong, monyet peliharaan Cia Sun yang memang biasanya suka bermalam di pohon-pohon. Serangan monyet ini bagi orang lain tentu ganas dan berbahaya. Akan tetapi tidak demikian terhadap Balita. Sekali saja wanita ini menggerakkan tangannya, tubuh monyet itu terlempar jauh dan jatuh tak bergerak lagi! Setelah Balita pergi, baru monyet itu bergerak perlahan, mengerang dan merayap perlahan memasuki segerombolan pohon.

Di lain bagian dari hutan itu, Ang-jiu Toanio juga menggendong anaknya, berlari-lari. Tiba-tiba terdengar suara geraman hebat sehingga hutan bagian itu seakan-akan tergetar. Kemudian munculah seekor harimau yang besar sekali, sikapnya galak, kulitnya loreng dan taringnya besar runcing. Di belakang harimau ini muncul pula seorang laki-laki tinggi gundul, telinganya pakai anting-anting, mukanya lucu, kepalanya yang gundul meruncing ke atas. Dilihat dari wajahnya, jelas bahwa dia bukan orang Han.

Baik harimau maupun orang aneh itu tidak memandang kepada Ang-jiu Toanio, melainkan kepada bayi yang digendongnya, nampaknya keduanya merasa mengilar sekali!

Ang-jiu Toanio adalah seorang berkepandaian tinggi yang tentu saja tidak takut melihat harimau itu, malah ia menjadi marah dan membentak keras, "Setan! Suruh pergi kucingmu itu sebelum kubikin mampus dia. Bikin kaget anakku saja."

Akan tetapi orang gundul itu tertawa ha ha, he he, lalu bicara dengan suara bindeng (suara hidung), "Belikang anakmu padanya, dia lapang!"

Selain bindeng, juga bicaranya tidak jelas, tanda bahwa dia itu seorang asing.

Ang-jiu Toanio yang sudah banyak melakukan perantauan, mengerti bahwa dia berhadapan dengan seorang Mongol. Sebetulnya ia merasa geli mendengar suara yang bindeng itu, akan tetapi karena mendengar kata-kata yang minta anaknya untuk dijadikan mangsa macan itu, ia menjadi marah sekali dan lenyap geli hatinya.

"Binatang, jangan main gila di depan Ang-jiu Toanio!" bentaknya.

"He he he, aku Kalisang tidak takuti segala tangang melah atau tangang hitam!"

Ang-jiu Toanio makin marah, akan tetapi tiba-tiba macan itu menubruk dengan kekuatan yang dahsyat dan cepat sekali. Ang-jiu Toanio mengelak dan hendak mengirim pukulan, akan tetapi orang Mongol yang bernama Kalisang itu sudah melompat ke depan dan mengulur tangannya yang panjang untuk menjambret pundaknya. Ia cepat menggunakan tenaga Ang-see-chiu untuk menangkis.

"Plak!" Dua tangan bertemu dan orang Mongol itu miring tubuhnya, kesakitan dan panas sekali tangannya bertemu dengan si Tangan Merah. Akan tetapi alangkah kagetnya Ang-jiu Toanio ketika tangan kiri lawannya tiba-tiba mulur panjang sekali dan tahu-tahu tangan itu sudah dapat merampas anaknya dari gendongan.

"Jahanam, kembalikan anakku!" Ang-jiu Toanio menubruk maju menyerang si tangan panjang yang lihai itu. Akan tetapi Kalisang sudah melompat ke belakang dan terus saja lari cepat bukan main. Kedua kakinya yang kecil panjang-panjang itu berlari seperti terbang saja.

Ang-jiu Toanio terus mengejar, akan tetapi harimau besar itu menghadangnya dan menubruk dari pinggir. Dalam kegemasannya, Ang-jiu Toanio memukul dada harimau dengan tenaga Ang-see-chiu.

"Bukk!" Tubuh harimau yang besar terlempar ke belakang. Akan tetapi tubuh harimau itu kuat sekali dan karena dia bukan manusia sehingga jalan darah dan otot-ototnya tidak sama dengan manusia pula, maka pukulan tadi hanya membuat ia sakit dan terlempar, sama sekali tidak mendatangkan luka di dalam tubuh. Ia menggereng keras dan menyerang lagi.

Ang-jiu Toanio gemas bukan main. Dengan halangan ini, terpaksa ia tidak dapat mengejar si tangan panjang. Ia lalu menghujani pukulan dan tendangan, tidak memberi kesempatan kepada harimau ini. Akhirnya ia dapat menyambar ekor harimau dan dengan tenaga luar biasa wanita muda itu membanting tubuh harimau sekuatnya.

"Blekk!" Harimau itu mengaum dan lari terbirit-birit, takut menandingi wanita kosen itu. Ang-jiu Toanio tidak memperdulikan binatang hutan tadi dan cepat lari ke depan mencari bayangan Kalisang. Akan tetapi betapa kaget dan cemasnya karena ia tidak dapat mencari Kalisang yang lenyap di waktu gelap. Ang-jiu Toanio menjadi cemas sekali. Ia mengejar terus, lari secepat mungkin sambil memaki-maki dan kadang-kadang menangis.

Sementara itu, sambil tertawa-tawa serem Kalisang membawa anak kecil itu bersembunyi di dalam semak-semak, mendekap mulut anak itu supaya jangan menangis. Setelah Ang-jiu Toanio berlari jauh sekali, ia keluar dan memanggil harimaunya. Harimau besar itu datang dan melihat anak kecil dalam pondongan, ia mengaum dan memperlihatkan taringnya.

"Heh heh, anakku, kau udah lapang (lapar) sekali! Heh heh heh!"

Setelah berkata demikian, ia melemparkan anak bayi itu ke atas tanah di depan binatang buas itu! Si harimau mendekam, matanya bersinar-sinar, mulutnya meringis dan kaki belakangnya sudah menegang, siap menubruk dan menikmati daging bocah yang tentu lunak, segar dan lezat itu.

Akan tetapi tiba-tiba pada saat harimau maju hendak menubruk, binatang ini sebaliknya terlempar ke samping, menggeram kesakitan dan bergulingan.

Adapun bayi itu tahu-tahu telah disambar orang dan di lain saat telah berada dalam pelukan tangan kiri seorang saikong yang memegang pedang.

Inilah Hoa Hoa Cinjin, saikong sakti yang kemaren sudah muncul di depan Cia Sun.

Melihat hal itu, Kalisang marah sekali. Ia menubruk maju dan kedua tangannya mulur sampai panjangnya hampir dua meter! Akan tetapi, pedang di tangan Hoa Hoa Cinjin berkelebat dan Kalisang menjerit kaget sambil menarik kembali tangannya. Betapapun juga, ujung jari tangan kirinya terbabat sehingga terluka dan sapat di bagian kukunya.

"Setan Mongol, kau tidak mengenal Hoa Hoa Cinjin?" bentak saikong itu keren.

Nama besar Hoa Hoa Cinjin memang sudah terkenal. Bahkan orang Mongol ini pernah mendengar nama itu. Tadipun ia telah membuktikan sendiri kelihaian saikong yang matanya begitu mengerikan, lebih mencorong dari pada mata harimaunya. Hatinya jerih dan sambil memekik aneh orang Mongol itu lari pergi dari situ, diikuti oleh harimaunya yang juga takut menghadapi saikong yang bermata setan itu.

Hoa Hoa Cinjin tertawa dan memandang bocah dalam pelukannya.

"Anak baik ....... anak baik ..... kau patut menjadi muridku. Hemm ..... hendak kulihat kelak siapa yang bisa mengalahkan kau." Iapun pergilah dari hutan itu sambil membawa bocah yang tidak menangis karena kini merasa hangat dalam pelukan, dibungkus dalam jubah lebar tebal, menempel pada dada yang panas.

Semua kejadian ini tidak ada orang lain melihatnya, hanya monyet kecil. Lim-ong yang melihatnya. Monyet yang sudah terluka parah oleh pukulan Balita ini, diam-diam mengintai dan menyaksikan semua itu. Ia lalu menyelinap di antara daun-daun pohon dan di lain saat iapun menggendong seekor monyet kecil, monyet jantan yang masih kecil sekali. Ia mengeluarkan bunyi cecowetan dan aneh, dari kedua matanya keluar dua butir air mata. Monyet betina itu, Lim-ong menangis.

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali jenazah Cia Sun dan isterinya telah dibersihkan, diberi pakaian baik-baik dan dimasukkan dalam dua buah peti sederhana yang diusahakan oleh penduduk dusun. Kemudian hio dipasang dan semua orang bersembahyang memberi penghormatan terakhir kepada pendekar budiman dan isterinya itu. Uwak atau Bibi Lui meratap-ratap dan menangis ketika membawa Han Sin dan Bi Eng yang diajak sembahyang pula. Dua orang anak kecil yang tidak tahu dan mengerti apa-apa ini, tidak menangis. Akan tetapi ketika mendengar uwak Lui dan semua penduduk menangis pilu, mereka pun mulai menangis. Suara tangis mereka memenuhi ruangan depan gedung itu di mana dua peti mati itu ditaruh berjajar.

"Kanda Cia Sun ...... ohh, kanda Cia Sun ......!"

Mendengar seruan ini, wajah uwak Lui menjadi pucat dan otomatis tangisnya berhenti. Juga para penduduk memandang orang yang datang ini dengan heran dan tertarik. Balita dengan mengendong anak, rambutnya tetap riap-riapan dan pakaiannya sobek sana sini, datang terhuyung-huyung sambil menangis.

Setelah ia tiba di ruangan depan itu, tiba-tiba uwak Lui mempunyai pikiran yang cerdik. Uwak yang setia ini segera berdiri dan menyambut kedatangannya, sedikitpun tidak takut biarpun ia tahu bahwa wanita ini adalah seorang iblis betina yang menyeramkan dan mungkin sekali menjadi pembunuh majikan dan nyonyanya. Ia melirik ke arah bocah di dalam gendongan Balita, akan tetapi Balita agaknya sengaja menutupi bocah itu sehingga tubuh dan muka anak kecil itu tidak kelihatan sama sekali.

"Toanio apakah sahabat mendiang majikanku dan hendak bersembahyang? Silahkan .... silahkan, biarlah kugendongkan dulu anak toanio itu," kata uwak Lui dengan ramah tamah sambil cepat menghampiri Balita dan memegang kaki anak kecil itu untuk digendong. Bayi anak majikannya sendiri sudah tadi-tadi ia baringkan ketika ia mendapatkan akal untuk melihat dan mengenal anak di gendongan Balita.

Continue Reading

You'll Also Like

104K 1.4K 60
Cerita Silat ini mengisahkan tentang Hee Thian Siang yang keblinger pada seorang gadis kangouw yang hanya pernah dilihatnya dari jarak jauh. Untuk it...
6.1K 463 32
[ON-GOING] Sequel dari book "We Are Family!!" Bisa dibaca terpisah tapi lebih baik baca We Are Family dulu<3 ________________________________________...
941K 13.8K 22
Mature Content || 21+ Varo sudah berhenti memikirkan pernikahan saat usianya memasuki kepala 4, karena ia selalu merasa cintanya sudah habis oleh per...
166K 3.7K 121
Di dalam cerita THPH, ada tiga orang jago pedang yang mewarisi ilmu dari Chang Man-tian - salah satu tokoh dalam Pedang Sakti Langit Hijau, karya per...