After R

Par star_sun04

38.2K 2.7K 646

⚠️17+ Sasya, terpaksa menyerahkan masa SMA-nya pada Badboy penguasa sekolah. Berkepribadian pendiam dan pema... Plus

Prolog
1. Perkara Awal
2. Ikut Campur
3. Mem-Bully
4. Di-Bully
5. Bolos Sekolah
6. Tatapan Jauh
7. Si Ganteng Brengsek
9. Perintah Pertama
10. Perintah Kedua
11. Terpaksa
12. Kecupan
13. Menggoda

8. Menyerah

2.4K 179 56
Par star_sun04


"Bian ngajak cabut, lo mau ikut nggak?"

Sesaat setelah Razka mengangkat kepala, Sasya langsung menyandarkan keningnya pada bahu Razka.

Menyembunyikan kepalanya dari orang yang baru saja membuka pintu kelasnya. Jantungnya berdegup kencang, dadanya naik turun dengan cepat. Namun Sasya sedikit lega. Setidaknya bukan Bu Aurin atau teman sekelasnya yang memergoki mereka. Seperti yang Sasya kira.

"Nanti gue nyusul." Sahut Razka menatap temannya yang menggangu berdiri di ambang pintu. Lalu mengusirnya dengan gerakan dagu.

Sasya tidak mendengar respon apapun lagi selain suara pintu yang tertutup. Pertanda kalau sahabatnya Razka —kalau tidak salah dari suaranya terdengar seperti suara Gintang itu sudah pergi.

"Lo nge-grepe gue," ujar Razka memasukkan kedua tangannya ke saku celana.

Sasya mengangkat kepala dan menatap tangannya yang meremas kemeja bagian dada Razka. Lalu buru-buru membawa kedua tangannya ke belakang punggung dengan pipi merona.

"So-sorry,"

Gumam Sasya sambil menunduk lalu menggigit bibir bawahnya. Tapi sedetik kemudian Sasya memejamkan mata, menyesali permintaan maafnya.

Harusnya Razka yang meminta maaf padanya. Cowok itu keterlaluan dan kurang ajar. Nyaris mencuri first kiss nya. Sasya selalu berusaha menciptakan jarak aman dengan lawan jenisnya. Tidak pernah seintim itu dengan sembarang cowok. Tapi Razka sudah beberapa kali berhasil melakukannya.

Dan ... Posisi mereka tadi sangat memungkinkan Gintang yang melihatnya salah paham.

Razka menyandarkan bokongnya, setengah menduduki meja guru sambil terus menikmati eksepsi wajah Sasya yang sekarang terlihat dari samping.

"Ini baru pemanasan, lo udah syok duluan," ejeknya.

Tiba-tiba sifat posesifnya keluar, hanya Razka yang boleh menggoda dan mengambil kesempatan seperti barusan. Tidak boleh ada cowok lain selain dirinya.

Sasya semakin menundukkan kepala, membuat sebagian rambutnya menutupi sisi wajahnya. Sasya bukan lagi cewek polos yang tidak tahu apa-apa diusia remajanya.

Bisa dibilang Sasya penikmat drama Korea, yang di dalamnya disuguhkan scene romantis. Saling tatapan, bergenggaman tangan, pelukan, penyatuan bibir dan adegan yang lebih vulgar yang biasanya langsung Sasya skip. Sebagai cewek normal, Sasya ingin menyerahkan hal-hal seintim itu pada orang yang dicintai dan mencintainya. Melakukannya saat sudah dewasa dan menikah. Bukan karena paksaan atau keuntungan satu pihak saja. Apalagi kenakalan bertameng kesenangan menikmati waktu remaja.

Tapi Razka nyaris ... Ah, nggak. Lebih tepatnya mulai mencurinya satu persatu.

Rasa pegal karena sudah cukup lama berdiri membuat Sasya sadar, dia harus segara mengakhiri semua ini kalau hidupnya pengin kembali tenang dan normal lagi. 

Sasya menarik nafas panjang, sengaja menghembuskan nya sambil meniup poni rambutnya. Lalu menghadapkan tubuhnya pada Razka.

"Bi-bilang, apa yang lo mau sekarang?"

Razka menyeringai. Pertanyaan ini yang ditunggunya.

"Bilang kalo lo nyerah,"

Lo boleh nyerah, tapi salah satu syaratnya ... Lo harus ngasih gue ini.”

Seketika ucapan dan sentuhan Razka beberapa waktu lalu datang tanpa diundang.

Sasya menggelengkan kepala. "Nggak, nggak mau!"

Tidak masalah mengaku kalah atau menyerah. Sasya hanya keberatan dengan syaratnya. Otaknya masih cukup waras untuk memberikan ciuman pertamanya pada cowok brengsek seperti Razka.

"Jadi lo suka gue perlakuan terus-terusan kayak gini?" Sahut Razka. "Senang liat teman-teman lo—"

"Jangan libatkan mereka!" Potong Sasya.

"Jadi?" Razka menaikkan sebelah alis tebalnya.

"Gue bakal berlutut kalo lo mau. Tapi please, berhenti sampai di sini, Razka," Sasya menatap Razka serius.

"Lo lebih milih ciuman sama lutut gue daripada bibir gue?"

Ingin rasanya meremas rambut Razka karena frustasi. Tapi karena tidak berani, Sasya hanya mengepalkan kedua tangannya di samping rok sekolah dan menghirup nafas kesal.

"Lo bilang, i–itu salah satu syaratnya. Berarti masih ada syarat lainnya, kan?" ‘yang lebih masuk akal.’ Lanjut Sasya dalam hati.

Razka memutar bola matanya. Seolah-olah berpikir keras. Padahal Sasya sendiri tahu Razka sengaja mempermainkannya.

Cowok itu kemudian mengangguk. "Gue kasih dua pilihan. Ciuman atau ikuti semua perintah gue mulai dari sekarang, ..."

Razka menyunggingkan smirk melihat ekspresi wajah Sasya.

"... Sampai batas waktu yang nggak bisa gue tentukan." Lanjutnya dengan intonasi yang terdengar menakutkan.

Mata sayu Sasya membulat sempurna dengan mulut sedikit terbuka. Razka gila. Benar-benar gila.

Sasya tidak menyesal bersikap kurang baik pada Gea. Cewek itu lebih dari pantas mendapat balasan dari perbuatannya di masa lalu. Bahkan apa yang Sasya lakukan pada Gea tidak sebanding dengan apa yang Gea pernah lakukan padanya dulu. Tapi Sasya tidak pernah berpikir kalau tindakannya memberi Gea pelajaran berakhir dengan hidupnya terancam ditangan seorang Badboy ganteng. Yang mirisnya ada dalam daftar riwayat cowok yang pernah Sasya sukai.

Razka dan Gea tidak terlihat akrab sebelumnya. Bahkan Gea belum genap satu bulan menjadi siswi baru di sekolahnya. Tidak ada gosip apapun juga tentang mereka. Lalu kenapa Razka memainkan hidupnya hanya karena membela Gea?

Sasya tidak merasa sedang dalam permainan yang harus memenangkan sertifikat kejuaraan dan piagam. Jadi menyerah atau mengaku kalah bukan masalah. Razka yang tiba-tiba menciptakan permainan dengan Sasya yang menjadi korban. Lalu hanya ada angin tapi tidak ada hujan, sekarang cowok itu datang ingin mengakhiri permainan. Dengan Sasya yang harus mengaku kalah dan menyerah.

Otak Sasya masih cukup waras untuk berciuman dengan Razka. Selain merasa rendahan, hal itu juga pasti akan menimbulkan masalah baru lagi nantinya. Tidak ada jaminan kalau Sasya melakukannya, Razka langsung mau membebaskannya. Tapi, mengikuti semua perintah Razka juga bukan pilihan tepat. Itu sama saja dengan Sasya menyerahkan masa SMA-nya pada cowok itu.

Sasya butuh pilihan yang benar-benar mengakhiri semuanya dan membuat hidupnya normal lagi. Karena ciuman atau mengikuti semua kemauan Razka, keduanya sama-sama akan terus berurusan dengan cowok brengsek itu.

"Kalo lo tetap diam, gue anggap lo pilih dua-duanya sekaligus."

Sasya menatap Razka dengan ekspresi marah sekaligus frustasi. Setelah diputuskan Tamara, sepertinya otak Razka ikut putus juga. Pandangan Sasya turun pada telinga Razka. Aaaaaahhh  ... Rasanya ingin berteriak sekerasnya di sana. Tapi yang keluar dari mulutnya hanya gumaman lirih.

"Gue ... nyerah," Sasya memejamkan mata. "Dan ... mau nurutin semua keinginan lo," lanjutnya pasrah.

"Tapi, ... " Sasya membuka mata. "Lo nggak bakal minta yang macem-macem, kan?" sambungnya lagi, dengan raut takut dan cemas yang begitu kentara.

"Pintar." Tangan Razka terulur mengacak rambut Sasya disertai senyuman kemenangan di bibirnya. "Nanti juga lo tahu apa aja yang bakal gue minta. Yang pasti, yang harus lo tau dari sekarang, gue nggak nerima bantahan ataupun penolakan."

Melihat Sasya yang keberatan dan akan melayangkan protes, Razka langsung menjatuhkan ancaman.

"Lo nggak mau kan, gue ngelakuin sesuatu lagi sama teman-teman lo?"

"Gue bilang jangan libatkan mereka!" Jerit Sasya.

"Oke." Razka mengangguk santai. "Sebagai gantinya, berarti lo tahu, kan, lo yang harus selalu siap gue apa-apa kan."

Razka berusaha menahan tawa melihat ekspresi pucat Sasya. Meskipun brengsek, kewarasannya masih mampu mengendalikan diri untuk tidak terlalu kurang ajar menyentuh Sasya. Razka hanya senang menggoda cewek itu. Memainkan emosinya dengan kalimat-kalimat bermakna berlebihan, lalu menikmati setiap ekspresi yang ditunjukkannya.

"Nggak akan ada siapapun lagi di pihak lo ataupun gue. Sekarang cuma tentang lo dan gue,"

Razka berdiri tegak beberapa senti di depan Sasya. Tangannya terulur menyelipkan rambut cewek itu ke belakang telinga. Lalu mencondongkan tubuh untuk berbisik;

"Ayo, kita mulai cerita tentang kita."

Sasya menatap Razka dengan mata memerah. Bibirnya yang digigit terlihat sedikit gemetar. Tenggorokannya terasa sakit dengan urat-urat yang terlihat mengencang. Sasya menahan diri untuk tidak menjatuhkan air mata.

Dan Razka hanya meresponnya dengan menaikkan sebelah alisnya lalu menyeringai menyebalkan. Sebelum akhirnya berniat menyeret kakinya untuk pergi.

Mendengar langkah kaki Razka yang mulai menjauh, Sasya meraih bukunya di atas meja. Berbalik badan dengan cepat lalu melemparkannya dibarengi teriakan pada Razka.

"Cowok brengsek!" Teriak Sasya dengan nafas memburu dan air mata yang tanpa sadar jatuh.

Merasakan punggung lebarnya dihantam sesuatu dan teriakan keras dibelakangnya, membuat langkah Razka terhenti didepan pintu. Razka berbalik badan, kemudian berjalan pelan mendekati sang pelaku.

Melihat Razka kembali menghampirinya, membuat Sasya merasa menyesal dan mengutuk diri. Menyesal kenapa buku yang dilemparnya. Kenapa tidak laptop Bu Aurin yang melayang dan berakhir melukai belakang tubuh Razka.

Sasya menutup rapat matanya melihat tangan Razka melayang ke arah wajahnya. Terasa kedua tangan Razka menangkup pipi kanan kiri Sasya. Kemudian sedikit mengangkatnya agar wajah Sasya bisa terlihat lebih jelas. Karena tinggi mereka tidak sama jadi keduanya butuh gerakan khusus. Sasya yang pendek perlu mendongak dan Razka yang lebih tinggi harus menunduk untuk bertatapan dengan sempurna.

"Bagian mana yang kemarin lusa kena tampar cewek barbar itu?"

Suara Razka terdengar lembut. Selembut ibu jarinya yang menghapus air mata dan mengelus-elus pipi Sasya.

Perlahan Sasya membuka mata lalu berkedip-kedip pelan menikmati wajah ganteng cowok brengsek didekatnya. Sasya membenci hatinya yang berkhianat pada otaknya. Kembali terpesona untuk kesekian kalinya pada cowok yang tidak semestinya.

"Bukan gue yang nyuruh. Tapi kalo lo mau nampar balik, lo bisa tampar gu—"

Plak.

Sasya menatap tangan kanannya yang bergetar setelah melayangkan tamparan pada Razka.

Razka tersenyum. "Masih mau lagi?"

"Pergi!"

Razka menatap lekat wajah Sasya. Sasya ini baru keliatan cantik sekarang atau memang dari dulu tapi Razka yang nggak sadar?

Sasya membuang muka. Memutar leher sebisanya ke arah pintu. Lalu terlihat gugup dan salah tingkah. Bukan karena Razka yang terus menatapnya lekat, tapi kembali mendengar suara kaki yang mendekat. Kali ini lebih dari satu pasang sepatu dibarengi dengan suara keluhan berisik dan obrolan yang saling bersahutan.

"Razka, please, pergi!" Panik Sasya.

"Males buka pintu. Nunggu teman lo yang ngebukain dulu,"

"Razkaaa!" Rengek Sasya panik.

Dan dalam hitungan ketiga pintu kelasnya terbuka. Menampilkan pesona teman-teman Sasya.

Hanya sebagian saja yang memilih langsung ke kelas. Sebagiannya lagi mampir ke kantin dan toilet. Dan sekarang terjadi kemacetan di tengah pintu kelasnya. Suara berisik dan dorong-dorongan dalam sekejap hilang.

Tanpa berbalik badan untuk menyambut atau melihat teman-temannya, Sasya sudah bisa menduga reaksi wajah mereka.

"Selamat bertemu di waktu yang sesering mungkin." Bisik Razka sambil menepuk dua kali puncak kepala Sasya.

Razka kemudian memasukkan kedua tangannya ke saku celana. Berjalan dengan pongah melewati teman-teman Sasya yang langsung membuka jalan untuknya.

Ayo, kita mulai cerita tentang kita.”

Selamat bertemu di waktu yang sesering mungkin.”

Sasya sadar bukannya selesai, permainan yang sesungguhnya baru saja dimulai.

Cewek itu masih berdiri ditempatnya. Tangannya menyentuh tempat dimana jantungnya berdegup cepat. Sebelum akhirnya berbalik badan untuk menghadapi rasa bersalah dan menampung pertanyaan dari teman-temannya.

★★★

"Nggak pada jadi cabutnya?"

Razka yang baru saja masuk kelas langsung menghampiri bangkunya dan menatap heran teman-temannya.

"Noh, Bian, nggak mau kalo nggak sama lo." Sahut Dean menunjuk teman sebangkunya dengan dagu.

"Kan, gue bilang nanti nyusul," ujar Razka melirik Bian yang sedang melipat tangan di dada dan menyandarkan kepala pada sandaran kursi.

Bian tidak merespon. Cowok itu malah menutup matanya.

"Bagus, ya. Baru deket udah peluk-pelukan, cium-ciuman,"

Sindir Gintang frontal disebelah Razka sambil memainkan ponselnya.

"Siapa yang peluk-pelukan, cium-ciuman?"

Karel yang baru kembali dari ruang guru ikut bergabung. Duduk mepet di kursi yang sama dengan Dean.

"Teman sebangku gue," Sahut Gintang.

"Serius? Sama siapa? Tamara, bukan?" Karel menatap Razka dengan penasaran sekaligus kesal seandainya dugaannya benar.

Razka menyeringai.

Iya, pelukan. Tapi nggak ciuman, yang ada dilempar dan digampar.

"Urusan sama cewek yang lo sebut namanya barusan itu udah kelar. Ada seseorang yang menarik perhatian gue sekarang," Jawab Razka lalu ikut memasrahkan tubuhnya pada sandaran kursi seperti Bian.

Karel mengangguk mengerti. "Bagus deh. Dua kali lagi gue liat lo ngebucin ke Tamara, serius, gue langsung ajak Bian, Dean sama Gintang bikin surat pengunduran diri jadi teman lo, Az."

"Mm." Gumam Razka.

Ke empat sahabat Razka memang sering menasehatinya untuk move on dari mantan pertamanya itu. Mereka kesal sendiri tiap kali Razka menemui dan mengemis cinta pada Tamara. Apalagi setelah ditolak Razka akan marah-marah pada siapapun yang dilihatnya.

Kemudian Bian, cowok pendiam tapi sekali ada yang mengganggu kenyamanannya akan bertindak kasar dan sekalinya berucap akan berkata pedas itu akan bilang;

Berhenti bertindak norak, Az. Apa yang lo suka dari cewek menjijikkan itu? Tampang jelek, kelakuan murahan. Sadar, dia nggak ada pantes-pantesnya buat lo.

Atau kadang...

Ayo, temui Tamara lagi sama gue. Gue patahin kakinya biar dia mau nerima lo.”

Lalu setelahnya Razka akan sedikit tentang.

Bian memang tidak segan-segan meremukkan tulang Tamara kalau saja Razka mengizinkannya.

Mereka laki-laki, tahu cinta itu butuh perjuangan dan punya peran yang lebih besar dalam mengejar. Tapi kalau seseorang yang diperjuangkan sudah tidak ingin memberi kesempatan dan bersikap menjijikkan pilihan terbaik adalah tinggalkan.

Karena setelah ditinggalkan dan kehilangan biasanya seseorang akan sadar.

Tapi ada yang menarik dan membuat mereka sedikit penasaran. Kaivan, cowok yang kabarnya berstatus pacar Tamara setelah beberapa bulan cewek itu putus dari Razka, terlihat cuek-cuek saja melihat Razka melakukan segala cara untuk merebut Tamara dari sisinya.

Bahkan saat Razka dan Kaivan berada di lapangan yang sama, karena satu ekstrakurikuler. Kaivan yang merupakan senior sekaligus kapten basket  —yang mungkin sebentar lagi posisinya akan digantikan Razka—, pada awalnya santai-santai saja. Tidak merasa terganggu atau terlihat menaruh kekesalan, kalau saja Razka tidak sering memulai keributan.

Karena Razka beserta sifat kekanak-kanakan nya, secara terang-terangan sering memancing emosi Kaivan dan akan berakhir perkelahian kalau saja Kaivan tidak pandai menahan emosinya.

Sedari awal, tujuan Razka masuk ekstrakurikuler basket bukan karena cowok itu benar-benar hobi dan menyukainya. Tapi lagi-lagi, karena Tamara yang berstatus ketua cheerleader dan ingin membuktikan kalau dia lebih hebat dari Kaivan.

Razka lebih suka futsal dan cowok itu rela mengorbankan olahraga favoritnya hanya karena Tamara.

"Sasya atau Gea?" Tanya Karel lagi.

Kalau bukan Tamara, berarti kemungkinannya hanya dua cewek itu. Karena mereka, cewek yang punya hubungan dengan Razka sekarang.

"Sasya," Sahut Gintang lagi sambil terus memainkan game online di ponselnya.

"Serius, Az?" Karel menatap belakang kepala Razka. "Sumpah, kalo lo cuma pengin main-main sama cewek, jangan Sasya orangnya. Ah, nggak-nggak. Jangan sama cewek baik-baik atau pendiam maksudnya,"

Razka sedikit menolehkan kepala, melirik Karel dibelakangnya. "Gue cuma ngelakuin apa yang gue suka."

"Tapi, ya ... Ahh." Karel menggaruk kepala. Tidak tahu cara menasehati Razka. Karena sahabatnya yang satu ini keras kepala.

"Seenggaknya kalo lo nyari cewek buat dijadikan pelampiasan doang, cari yang sifatnya transparan, biar mudah ditebak." Ujar Karel. "Jangan cewek pendiam apalagi masih polos. Ribet sendiri buat lo nantinya, Az."

"Tuh, benar kata Karel. Karena susah ditebak, yang pendiam-pendiam gitu tuh, biasanya bahaya." Ujar Dean.

"Korban movie psikopat lo," ejek Gintang.

"Dan ... ya, Az," Dean mengabaikan Gintang. Cowok itu malah membungkukkan tubuh mendekati telinga Razka. "Yang masih polos tuh, kaku. Mending lo minta rekomendasi dari gue dulu. Kalo urusan per-cewek-an, lo tahu sendiri kan, gue Buaya nya."

"Polos, kaku dan susah ditebak," Razka membalikkan badan. Menghadap teman-temannya dibelakang. "Bukannya titik menariknya di sana?"

"Ck," Karel berdecak. "Terserah lo."

Kenal Razka dari kecil, Karel tahu Razka akan melakukan apapun yang disuka tanpa berpikir jauh resikonya. Yang penting sebagai sahabat Karel sudah berusaha menasehati Razka. Meskipun percuma, karena Razka keras kepala.

Sama seperti Razka. Karel, Dean dan Gintang, tahun sebelumnya mereka juga satu kelas dengan Sasya. Jadi setidaknya, mereka sedikit tahu karakter cewek itu.

"Cukup jadi brengsek, jangan jadi bajingan yang merusak sifat baik-baik anak orang." 

Dean melirik Razka kesal. Kesal karena harapannya agar Razka minta rekomendasi cewek padanya gagal.

"Baik buruknya sifat cewek, nggak bisa dilihat dari penampilan luar," Bian membuka mata tapi tetap dengan posisinya. "Benar, karena sulit ditebak, nggak menjamin orang yang nggak terlalu banyak tingkah dan terlihat polos sifatnya benar-benar baik. Bisa jadi, kelakuan aslinya kayak jalang, kan?!"

"Pada waktunya, semua cewek sama aja, murahan." Lanjut Bian.

Razka tahu, alasan kenapa Bian membuat kesimpulan seperti itu. Tapi Razka tidak suka mendengar sahabatnya berkata begitu.

"Nggak semua cewek," ralat Razka menatap Bian. "Sialan, mulut lo, Bi."

"Mending lo diam aja deh, Bi. Mulut lo kalo ngomong bikin istighfar." Gintang geleng-geleng kepala mendengar ucapan kasar Bian.

"By the way, lo beneran move on dari Tamara, kan, Az? Jadi fix, ya, kita udah nggak bakal liat muka stres lo gara-gara ditolak terus-terusan." Dean tergelak.

"Padahal, Az, usaha nggak bakal mengkhianati hasil. Seandainya lo bertahan sedikit lebih lama lagi, ..." Gintang melirik Razka, menahan tawa. "Lo pasti berhasil. Berhasil melewati fase stres dan berubah jadi gila."

Gintang tertawa diikuti tawa Karel, Dean dan senyuman tipis Bian.

"Party, nggak? Party, nggak?"

"Diam atau gue tendang lo keluar dari Bumi!" Ancam Razka.

Merasa malu mengingat kelakuannya sendiri.

"Wah, mau dong di tendang. Bosen gue lihat bentukan cewek di Bumi," Bukannya takut Dean malah semakin menjadi. "Tendang gue ke Pluto dong, Az."

"Jauh banget ke Pluto. Tendangan Azka nggak bakal nyampe. Mars ajalah, Planet tetangga."

"Nggak mau gue, kalo bukan Pluto. Gue mau curhat soalnya," Dean melirik Razka, jarang-jarang punya kesempatan mengejek sahabatnya yang sifatnya kadang menakutkan itu. "Pluto pasti paham, gimana rasanya ada, tapi tak dianggap."

"Serius, sekali lagi lo ngomong omong kosong, gue banting lo sekarang juga."

Dean dan Gintang langsung menutup mulutnya. Membuat gerakan mengunci bibirnya dengan jari. Menendangnya keluar angkasa itu mustahil, tapi membanting tubuhnya sangat mungkin. Mendengar ucapan Razka yang kali ini terdengar tidak main-main.

"Rel," Nama Karel yang dipanggil tapi keempat sahabatnya itu ikut menoleh kearah pintu. "Disuruh ke ruang OSIS dulu."

Karel bangkit dari duduknya lalu pergi bersama dengan teman se-organisasi yang memanggil namanya.

"Tuh lihat, Karel tuh calon-calon orang yang berguna bagi nusa dan bangsa." Dean melirik sahabatnya bergantian. "Nggak kayak lo pada, calon beban negara."

Menyunggingkan smirk, menatap Dean tidak terima. "Sorry," ucap Razka. "Gue anak tunggal kaya raya, kalo lo lupa. Calon pemimpin perusahaan, penyumbang pajak tertinggi buat negara."

"Wah, wah, waaah," Dean menepuk-nepuk lengan Gintang. "Wah," ucapnya, mengulang kata itu berkali-kali sembari geleng-geleng kepala. "Gila, lupa gue punya temen sultan yang songong nya nggak ada lawan."

"Bacot lo!" Gintang menipis tangan Dean yang semakin kencang menggeplak nya. "Kita cabut sekarang aja, gimana?"

"Yok!" Dean langsung antusias memakai ranselnya. "Gue mau sama Azka."

"Azka sama gue. Lo sama Bian aja." Sahut Gintang.

Melirik Bian dengan ngeri. "Nggak, Bian kalo bawa motor kayak ngajak simulasi mati." Dean menggelengkan kepala.

Razka berlalu lebih dulu dan langsung diikuti Bian. Lalu Dean dan Gintang menyusul kemudian.

"Lah, Az, mau kemana?"

Di depan kelas, Razka melempar ranselnya pada Gintang. "Kalian lewat belakang aja kayak biasa, gue mau lewat depan."

Razka ingin melewati kelas Sasya. Melihat cewek itu dari balik kaca jendela kelasnya. Sebelum bolos dan bertemu Sasya-nya dihari berikutnya.

Dan dibelakangnya, dengan setia Bian mengikuti langkah Razka.

★★★

Please tinggalkan jejak!

TINGGALKAN APA? VOTE DAN KOMEN

Terimakasih❤️❤️❤️

Continuer la Lecture

Vous Aimerez Aussi

SAGARALUNA Par Syfa Acha

Roman pour Adolescents

3.2M 159K 25
Sagara Leonathan pemain basket yang ditakuti seantero sekolah. Cowok yang memiliki tatapan tajam juga tak berperasaan. Sagara selalu menganggu bahkan...
Love Hate Par C I C I

Roman pour Adolescents

3.2M 220K 38
"Saya nggak suka disentuh, tapi kalau kamu orangnya, silahkan sentuh saya sepuasnya, Naraca." Roman. *** Roman dikenal sebagai sosok misterius, unto...
MARSELANA Par kiaa

Roman pour Adolescents

1.7M 56.3K 25
Tinggal satu atap dengan anak tunggal dari majikan kedua orang tuanya membuat Alana seperti terbunuh setiap hari karena mulut pedas serta kelakuan ba...
Antariksa (END) Par bbyamaa

Roman pour Adolescents

291K 17.3K 36
JANGAN LUPA FOLLOW... *** *Gue gak seikhlas itu, Gue cuma belajar menerima sesuatu yang gak bisa gue ubah* Ini gue, Antariksa Putra Clovis. Pemimpin...