After R

De star_sun04

38.4K 2.7K 646

⚠️17+ Sasya, terpaksa menyerahkan masa SMA-nya pada Badboy penguasa sekolah. Berkepribadian pendiam dan pema... Mai multe

Prolog
1. Perkara Awal
2. Ikut Campur
3. Mem-Bully
5. Bolos Sekolah
6. Tatapan Jauh
7. Si Ganteng Brengsek
8. Menyerah
9. Perintah Pertama
10. Perintah Kedua
11. Terpaksa
12. Kecupan
13. Menggoda

4. Di-Bully

2K 214 86
De star_sun04

Hari ini Sasya terlambat. Bahkan gerbang sekolah sudah akan ditutup. Kalau saja Sasya tidak lari mungkin saja Sasya tidak bisa masuk. Dengan nafas yang memburu Sasya terus berlari kecil untuk ke kelasnya. Namun langkah Sasya memelan saat menyadari banyak pasang mata menatapnya dengan tatapan yang membuat Sasya bingung sekaligus ... Merinding.

Cewek tertutup dan pendiam seperti Sasya tentu saja tidak banyak mengenal siswa ataupun siswi di sekolahnya. Begitupun mereka yang mungkin tidak kenal atau bahkan tidak pernah melihatnya. Tapi sekarang, Sasya bisa jelas mengartikan tatapan mereka seakan mengenal dan menunjukkan ada yang salah pada diri Sasya.

Sasya berhenti di tempatnya. Menerka sesuatu yang salah dari dirinya. Datang kesiangan dengan keringat akibat aktivitas larinya tidak mungkin jadi penyebab mereka menatapnya penuh permusuhan.

Dan Sasya rasa, penampilannya juga normal seperti biasanya. Sesuai aturan sekolah.

Lalu apa salahnya?

Apa yang sebenarnya terjadi?

Rasa ingin pulang ke rumah dan berkaca di kamarnya semakin tinggi. Tapi itu tidak mungkin terjadi. Maka yang Sasya lakukan adalah kembali melangkah cepat dan akan segera bertanya pada Laura.

Sepupunya itu pasti tahu.

"Ra ..." Begitu sampai di kelasnya dan menemukan sosok Laura, Sasya langsung menghampirinya.

Alih-alih melihat Laura tersenyum dan menyambutnya atau bertanya kenapa Sasya datang terlambat, sepupunya itu hanya meliriknya sebentar lalu kembali sibuk dengan ponselnya.

"Ra, ada yang salah sama gue?" Sasya duduk di bangkunya lalu menyentuh bahu Laura. Meminta perhatian dari sepupunya, tapi sayangnya tidak mendapat respon yang diharapkan. "Kenapa—"

"Ra, mau ikut ke kantin, nggak?"

Ajakan Frisca dan Viona di samping meja memotong ucapan Sasya dan membuat Laura mengangguk antusias.

"Boleh. Kebetulan juga gue belum sarapan."

Laura beranjak dari duduknya tanpa mengajak atau sekadar melirik Sasya. Ketiganya kemudian keluar kelas dengan langkah riang. Meninggalkan Sasya dengan kebingungan yang luar biasa dan sedikit sakit hati sekaligus kecewa pada sikap Laura.

Sasya menempelkan kepala di lipatan tangan di atas meja. Dari yang Sasya dengar pagi ini guru mengadakan rapat. Beberapa jam ke depan tidak akan belajar dan tidak ada kabar mendapat tugas juga. Seharusnya Sasya senang seperti biasanya. Momen seperti ini biasanya Sasya gunakan untuk bersantai memainkan ponsel atau menjadi pendengar setia gosip dari Laura, Natya dan Shilla.

Meskipun tidak dekat dengan teman sekelasnya, tapi Sasya tahu mereka bisa dibilang cukup ramah dan baik. Sasya tidak percaya pada kata 'benar-benar baik' jadi ia hanya mampu mengatakan terlihat 'cukup baik'.

Sasya mengedarkan pandangan pada sekeliling kelas, yang harusnya ramai kini sepi. Tidak ada mahluk hidup lain selain dirinya. Teman sekelasnya keluar kelas semua. Menjauhi dan meninggalkan Sasya sendiri.

Berusaha meredakan pusing di kepalanya akibat berpikir keras memikirkan yang terjadi hari ini, Sasya kembali menenggelamkan kepala dengan alas tangan di meja dan memejamkan mata.

"Suka jadi Barbie?"

Mendengar bisikan diarea dekat telinga, Sasya membuka mata dan langsung mendongak untuk melihat siapa pelakunya.

"Lo ..." Mata Sasya mengerjap beberapa kali. "Nga-ngapain disini?" suara Sasya bergetar takut sekaligus kaget melihat cowok berparas ganteng dihadapannya.

Ah, ganteng-ganteng berbahaya.

"Gue suka ekspresi kaget natural lo, cantik." Tangan cowok itu terulur mengacak rambut Sasya. Kemudian, setelah memuji dengan sedikit seringai, Razka benar-benar mengeluarkan taringnya. "By the way, gimana perasaan lo pagi ini, masih kurang menyenangkan?"

Salah satu dugaan Sasya tentang alasan orang-orang yang menjauhinya pagi ini ternyata benar. Razka penyebabnya.

Razka ternyata tidak main-main dengan ucapannya kemarin. Dan bertemu dengan Gea kenapa selalu menyulitkan masa sekolahnya?

Menyuruh seluruh siswa siswi di sekolah untuk menjauhi dan mengasingkannya, bisa Razka sebut kesenangan? Hebatnya, semua orang patuh pada perintah cowok itu.

"Cowok sejati nggak main Barbie!"

Sindiran bernada kesal itu meluncur dari mulut Sasya. Mengabaikan ketakutannya untuk sementara, Sasya menatap marah pada Razka.

Razka malah terkekeh santai. "Kemarin lo bilang gue banci dan gue buktiin gimana bancinya gue mainin lo. Sekarang lo bilang gue bukan cowok sejati, perlu gue lakukan sesuatu yang lain lagi, Barbie?"

Sasya membuang muka ke arah lain. Kedua tangannya yang gemetar mengepal. "Lo nggak punya hak ngelakuin ini. Gue bukan boneka."

"Tapi selama beberapa waktu ke depan, lo harus mau bertingkah layaknya boneka gue." sahut Razka seenaknya disertai senyuman miring setelahnya.

Sasya melotot tidak terima menatap Razka. "Gila!" umpatnya tanpa sadar. "Kita nggak punya masalah dan bahkan kita nggak saling kenal!"

Sasya cukup berbangga diri, dalam ketakutan dan kesal bisa berbicara dengan lancar.

"Nggak kenal?" Razka mengerutkan dahi lalu menaikan salah satu alis tebalnya.       "Bukannya kita pernah satu kelas dan saling memperkenalkan diri?"

"Bahkan lo tau banyak tentang gue. Iya, kan?"

"Dan ... Nggak punya masalah lo bilang?" Lagi-lagi senyuman miring tercetak dari bibir Razka.

"Dari awal liat gue aja lo udah nyari masalah. Diam-diam lo suka sama gue, kan?"

Pertanyaan beruntun yang lebih pantas di sebut pernyataan dari Razka membuat Sasya bungkam. Semuanya benar. Dan pertanyaan terakhir Razka membuat Sasya jantungan. Rasanya Sasya ingin menyembunyikan wajahnya yang merona malu sekarang.

Bagaimana Razka tahu Sasya pernah menyukainya diam-diam?

Cowok itu juga sadar mereka pernah satu kelas. Dan benar, mereka pernah saling memperkenalkan diri di depan kelas. Di hari pertama mereka resmi menjadi siswa siswi kelas sepuluh SMA PRIMA High School.

Razka Gintara Primadeo.

Saat itu juga Sasya tahu nama lengkapnya. Kaget dan senang tentu saja, saat tahu cowok yang disuka satu kelas dengannya.

Sasya yang sibuk dengan kenangan, rasa malu dan jantungnya yang berdetak kencang, tanpa sadar dimanfaatkan Razka dengan naik ke atas meja lalu duduk di depan Sasya. Kedua kakinya berada di samping tubuh Sasya. Mengurung mangsanya.

Baru menyadari posisi mereka, Sasya langsung menekan punggungnya pada sandaran kursi. Menciptakan jarak sejauh yang ia bisa diposisinya yang ... berbahaya. Tapi Razka malah membungkukan tubuhnya agar lebih dekat dengan posisi Sasya yang duduk di kursinya. Di bawah Razka.

"Jangan macem-macem. Ada CCTV!" Peringat Sasya ketakutan.

Razka melirik CCTV yang memang terpasang di setiap salah satu sudut tiap kelas. Benda canggih itu tidak akan menjadi penghalang untuk Razka melakukan apapun yang diinginkannya.

"Bisa gue atur," sahutnya meremehkan.

Kursi yang Sasya duduki berderit saat kedua kaki Razka menariknya. Membuat jarak mereka semakin menipis.

"Gue suka liat kedua bola mata lo yang bergerak ketakutan." Kemudian, Sasya bisa mendengar Razka menelan ludah. "Tapi gue lebih suka liat bibir tipis lo dari jarak dekat seperti ini."

Sasya menatap Razka waspada. Kedua tangannya terangkat mendorong dada Razka. Sayangnya, tidak menghasilkan apa-apa. Orang lain yang melihat posisi mereka, pasti akan berpikir berlebihan tentang apa yang dilakukan Razka pada Sasya.

Dengan gerakan kaku Sasya sedikit memutar lehernya menoleh ke arah jendela. Khawatir dan takut ada siswa atau siswi lain atau yang paling menakutkan ada guru yang melihatnya.

"Kenapa cuma berani dari jauh?"

Ucapan dan perbuatan Razka yang menyelipkan rambut Sasya kebelakang telinga, membuat sang pemilik rambut tersebut kembali menatap Razka.

"A-apanya?" Tanya Sasya gugup sambil menepis tangan Razka dari rambutnya.

"Liatin gue nya, kenapa cuma berani dari jauh?" Ulang Razka lebih jelas. "Sering curi-curi pandang, tapi saat gue nggak sengaja ngelirik lo, lo langsung buang muka. Iya, kan?"

Sasya tidak tahu bagaimana mana ekspresi wajahnya sekarang. Iya, Sasya memang pernah tertangkap basah oleh cowok itu saat memperhatikannya. Tapi bagaimana Razka bisa mengingatnya? Diantara banyaknya cewek yang sering memperhatikan bahkan cari perhatian setiap hari padanya.

"Lo salah orang." Sasya menunduk, memainkan jari tangannya yang terasa dingin.

Razka terkekeh. Lucu sekali Barbie-nya. Ucapannya mengelak, tapi reaksi tubuhnya menjawab sebaliknya.

Sasya menutup erat mata dan menggigit bibirnya. Situasi ini membuat Sasya malu dan tertekan. Tapi pikirannya mengklarifikasi. Pertanyaan Razka jawabannya memang 'iya'. Tapi itu dulu, sebelum Razka putus dari Tamara dan menjadi badboy egois yang seenaknya. Karena setelah itu, Sasya memilih Argya sebagai cowok pengganti Razka. Cowok yang Sasya suka dan dijadikan penyemangat nya di sekolah.

Oke. Oke. Jujur, Sasya memang masih suka memperhatikan Razka. Tapi tidak sesering sebelumnya.

Sasya tidak bisa banyak menjelaskan. Yang pasti, rasa sukanya pada Razka dan Argya punya level yang berbeda.

"Sampai kapan?" Tanya Sasya penasaran sekaligus mengalihkan topik.

"Apanya?" Kali ini Razka yang bingung mendengar pertanyaan Sasya yang tidak tahu mengarah kemana.

"Ini berakhir," sahut Sasya.

Razka tertawa. "Gue bahkan baru mulai, tapi lo udah nanya kapan berakhirnya?"

"Kenapa, lo udah berpikir untuk nyerah?" Cowok itu melipat kakinya, duduk bersila di atas meja. Sasya cukup lega, posisi sekarang sedikit lebih baik dari sebelumnya.

"Jangan dulu nyerah," Razka menunjukkan smirk. "Sebelum lo puasin gue." Sambungnya ambigu.

"Bisa lo pergi dari sini?" tanya Sasya mengusir dengan nada gemetar yang tidak bisa disembunyikan. Sasya merasa akan ketularan gila kalau terus bersama Razka.

"Ngusir, hm?" Razka balik bertanya dengan senyum menyebalkan. "Bentar. Urusan kita pagi ini belum kelar,"

"Apalagi?"

"Jawab pertanyaan gue."

Wajah Sasya terlihat kusut. Dahinya mengkerut. Matanya menatap sebal pada Razka. Dan menduga-duga, pertanyaan apalagi yang cowok itu butuh jawaban.

"Masih suka sama gue sekarang?"

Siapapun tolong culik Sasya atau bungkus wajahnya dengan apapun. Kalau rasa malu bisa membunuh, mungkin Sasya sedang sekarat sekarang. Ditanya soal perasaan oleh orang yang pernah disukainya sekaligus orang yang merangkap menjadi musuhnya, situasi macam apa lagi ini?

Sasya sudah akan menyahut 'nggak' tapi Razka lebih dulu mengatakan;

"Tetep suka sama gue, karena gue juga mulai suka sama lo." Cowok itu menatap lekat wajah pucat Sasya lalu memiringkan sedikit kepala. "Sebagai ... Barbie, tentunya." Sambungnya sambil mengedipkan sebelah mata.

Razka meloncat turun dari meja. Kemudian dua jarinya, telunjuk dan tengahnya, mengapit lalu mengangkat dagu Sasya. Mengarahkan dan Memaksa cewek itu untuk membalas tatapannya.

"Lo boleh nyerah, tapi salah satu syaratnya ..." ibu jari tangan Razka menyentuh dan memisahkan bibir rapat Sasya. Sedikit menekan lalu mengusap lembut bibir bawahnya. "Lo harus ngasih gue ini."

***

Sasya menutup wajah dengan kedua tangan, setelah Razka pergi meninggalkannya kembali sendirian. Tidak tahu apa yang harus dilakukan sekarang. Sudah berusaha menjauhi masalah. Menutup pertemanan dan menghindari keramaian. Berharap, apa yang pernah terjadi dimasa putih birunya, tidak akan terulang.

Tapi kehadiran Gea, merusak semuanya. Masa putih abunya tidak lagi tenang dan normal sebagaimana mestinya.

Sasya terisak sambil mengusap bibirnya kasar. Mengingat Razka sempat menyentuhnya disertai ucapan yang kurang ajar. Sungguh, Sasya rasa dia tidak akan mampu melewati hari-harinya ke depan. Sendirian.

"Aaahh ..."

Sasya mendesah lirih merasakan perih di lambungnya. Beberapa hari terakhir ini, Sasya memang sering melewatkan waktu makan, ditambah stres dan sering begadang.

Dengan lemas Sasya membuka tas miliknya lalu mencari kotak bekalnya. "Please," gumamnya panik saat tidak menemukan apa yang dicarinya.

"Kenapa nggak kebawa?!" ucapnya lirih pada dirinya sendiri.

Tadi pagi Sasya tidak sempat sarapan. Alasan klasik, kesiangan. Baru bisa tidur jam tiga pagi dan bangun-bangun matahari sudah bersinar.

Jadi dengan buru-buru Sasya mamasukan tiga potong sandwich ke tempat makannya. Tapi Sasya baru ingat kalau dia tidak sempat memasukannya ke dalam tas. Sasya hanya sempat menaruhnya di atas meja, di sebelah tas sekolahnya. Kerena Sasya harus kembali ke kamarnya. Mengambil buku pinjaman dari perpustakaan yang harus dikembalikan hari ini juga. Setelah mengambil buku Sasya langsung meraih tasnya lalu berlari keluar, masuk ke dalam mobil.

Kantin? Nggak? Kantin? Nggak? Kantin? Nggak? Kantin?

Sasya membuang nafas berat lalu menekan perutnya. Sasya yakin bisa menahan rasa lapar, tapi tidak dengan rasa perih juga sedikit mual, pusing, dan tubuhnya yang terasa lemas dan gemetar.

Tangan kirinya sudah memegang ponsel untuk menghubungi Laura, tapi mengingat sepupunya itu menjauhinya, Sasya mengurungkan niatnya. Sepertinya, tidak ada pilihan lain selain pergi sendiri ke kantin untuk membeli makanan yang bisa mengganjal perutnya.

Tapi yang jadi masalahnya, Sasya tidak berani pergi ke kantin. Tidak berani mendapat tatapan permusuhan dari orang-orang yang nanti melihatnya.

Berpikir Gea mungkin sedang menertawakan nasibnya, Sasya menelan rasa takutnya. Dia berani. Orang-orang hanya akan melotot tidak suka padanya. Tidak akan berbuat macam-macam sampai main fisik, kan? Sasya hanya perlu bersikap pura-pura tidak peduli. Membeli roti dan sebotol air mineral lalu akan pergi ke UKS setelahnya. Meminum obat dan mungkin akan istirahat di sana.

Berjalan dengan berani, percaya diri dan pura-pura tidak peduli, sangat sulit ternyata. Karena nyatanya, tatapan mereka membuat Sasya menunduk sepanjang perjalanan ke kantin.

Seperti dugaannya, ruang tempat menjual minuman dan makanan itu dipenuhi banyak orang. Kantin memang menjadi salah satu tempat favorit untuk dikunjungi dan surga dunia anak sekolah.

Candaan, celetukan asal, suara tawa dan dengtingan sendok dengan mangkuk atau piring membuat suasana kantin yang di dominasi oleh kaum hawa, ramai dan berisik. Tapi saat mereka menyadari kehadiran Sasya, perlahan suara bising itu terdengar samar lalu menghilang.

Semua orang menjeda kegiatannya dan beralih menatap Sasya dengan sudut bibir tertarik mengukir senyum merendahkan.

Tubuh Sasya kembali gemetar tapi bukan lagi karena lapar. Sasya ketakutan. Rasanya ingin kembali ke kelas atau bolos sekolah. Menangisi nasibnya di rumah.

Sasya menelan salivanya lalu mengayunkan kakinya untuk segera menyelesaikan tujuannya. Tapi dua langkah kemudian seseorang dengan tega mendorongnya sampai perutnya menghantam meja lalu terjatuh karena Sasya tidak bisa menjaga keseimbangan.

Ada beberapa siswi terpekik kaget dan merasa kasihan. Tapi suara tawa lebih menggelegar.

Mereka tertawa jahat.

Sasya meringis nyeri menyentuh perutnya. Kemudian kepalanya mendongak menatap orang yang sedang tertawa sambil melipat tangan di dada. Pelaku yang mendorongnya. Meskipun tidak mengenalnya tapi Sasya tahu, cewek yang memakai baju kekecilan —entah sengaja dibuat kecil atau memang benar kekecilan karena tubuh cewek itu tidak bisa disebut kurus— itu temannya Gea. Cewek gendut itu, orang yang sama dengan orang yang membentak Sasya tempo hari saat Sasya mendorong dan melukai lutut Gea.

"Ada masalah apa?" tanya Sasya refleks membentak. Setelah susah payah bangkit berdiri dan berhadapan langsung.

"Berani juga ternyata, eh?" cewek yang mempunyai bentuk tubuh dua kali lipat dari Sasya itu mencengkeram kerah seragamnya. Sasya menahan nafas, ketakutan. Lalu tanpa diduga telapak tangan cewek barbar itu menyapa pipi kanan Sasya.

Menamparnya.

Tubuh tidak bertenaga Sasya kembali jatuh di atas lantai kantin. Sasya kira aksi mereka akan berhenti sampai sana. Tapi selanjutnya, cewek tadi berjongkok di depannya dengan segelas jus melon ditangannya.

Isi dari gelas itu berhasil mengalir di wajah pucat Sasya. Setelahnya Sasya merasakan tarikan kasar di rambutnya.  "Gimana rasanya didorong sampai jatuh, sakit nggak?"

Sasya tidak menjawab. Mulutnya hanya mengeluarkan ringisan kecil akibat tangan cewek itu yang semakin kencang menjambak rambutnya.

Jadi benar, temannya Gea ini sedang membalas perlakuan Sasya pada Gea? Tapi ini berlebihan.

"Satu gelas aja nggak cukup, kan, ya?"

Sasya memejamkan mata saat cewek lain ikut berjongkok dan menuangkan segelas cairan berwarna hijau lagi ke wajahnya.

"Aduh, foto dulu dong. Buat dijadiin kenangan." Kemudian beberapa kali suara jepretan kamera bisa Sasya dengar.

Sebagian orang-orang di kantin tertawa melihat kemalangan Sasya.

Kedua cewek itu menjauh dari Sasya. Tubuh Sasya gemetar, air matanya mengalir bergabung dengan cairan berwarna hijau yang mengotori wajahnya.

"Muka doang polos, aslinya dia tukang bully, guys. Gea korbannya saat SMP. Kalian juga ada yang pernah liat kan, cewek dungu ini pernah berlaku seenaknya sama Gea?!"

Sesaat Sasya menahan nafas setelah mendengar ucapan teman musuhnya itu. Kepala Sasya mendongak dan bertepatan dengan wajah Gea yang dilihatnya. Sasya memberikan tatapan tajam meski dengan air mata yang berderai. Bisa-bisanya Gea membalikkan fakta. Dan lihat, reaksi Gea yang tetap diam dan sedikit menyunggingkan senyuman mengejek.

Sasya kemudian memejamkan mata saat kalimat ejekan juga makian kasar saling bersahutan ditunjukkan untuknya.

"Diam-diam psikopat taunya,"

"Ternyata lo nggak sehebat apa yang gue kira. Baru diginiin aja udah nangis."

"Sok-sokan ngebully, di bully balik nangis."

"Cengeng!"

"Dasar lemah!"

Masih banyak ejekan menyakitkan yang telinga Sasya dengar. Sasya meremas rok abu-abunya. Marah sama dirinya sendiri karena tidak berani melawan. Marah sama semua orang yang memperlakukannya seperti ini. Tapi kemarahannya hanya bisa dilampiaskan dengan tangisan.

Ini alasan Sasya tidak suka berada ditengah keramaian. Bukan takut ramai, tapi takut pada penilaian orang-orang yang melihatnya. Seperti sekarang, dijadikan pusat perhatian dan mendapat hujatan.

Tangisan Sasya semakin terisak saat ingatannya mengingat beberapa waktu lalu. Teringat pada seseorang yang selalu menemani dan menjadi pelindungnya dulu. Orang yang Sasya anggap kakak perempuannya. Orang yang selalu menjaga dan melindungi Sasya saat Gea berlaku buruk padanya. Tapi orang itu kini sudah mengilang dari bumi.

Dan itu karena ... Gea.

***

Setelah berhasil kabur dan pulang kerumahnya, Sasya langsung meringkuk di kasurnya. Setelah mandi dan membersihkan diri terlebih dulu tentunya.

Satpam dan pembantu di rumah Sasya sempat bertanya dan khawatir melihat Sasya pulang sekolah sebelum waktunya bahkan dengan kondisi yang terlihat tidak baik-baik saja. Tapi Sasya tidak menjelaskan, hanya meminta agar mereka tidak memberitahu papanya.

Papanya seorang pekerja kantoran. Pulang sore atau bisa sampai larut malam. Tapi bukan berarti Sasya kurang perhatian. Pagi hari sebelum memulai kesibukan atau malam hari sebelum tidur, Papanya selalu menyempatkan waktu mengajaknya mengobrol santai, bercanda atau menasehati kalau Sasya membuat kesalahan. Bagi Sasya tidak ada Papa terbaik selain Papanya.

Sedangkan Mamanya ..., Sasya tidak ingat banyak apa saja yang pernah dia lakukan dengan Mamanya.

"Mama ..."

Sasya terisak, saat sedih dan butuh dukungan seperti ini, mamanya lah yang pertama kali selalu muncul di benaknya. Dan itu membuat tangisan Sasya semakin pecah. Selain menangisi harinya yang menyakitkan dan tidak bisa mengeluh pada Mamanya, juga fakta, serindu-rindunya ia pada beliau, semesta tidak bisa lagi mempertemukan mereka.

Mamanya sudah tidak bisa ditemui di dunia.

"Mama ..." Lirih Sasya yang entah ke berapa kalinya dengan suara serak. Dan semakin banjir air mata yang terasa hangat di pipinya

Sasya tidak berani pergi ke sekolah besok. Tidak berani mendapat perlakuan yang mungkin akan lebih buruk dari hari ini.

Kenapa hal menyedihkan ini terjadi lagi?

Dan apa yang harus Sasya lakukan? Bertahan dan membuktikan kalau dia bukan lagi cewek lemah atau lari dari masalah, pindah sekolah?

Ponsel Sasya bergetar dan terdengar ada beberapa notifikasi masuk. Sebelum melihatnya, Sasya tahu itu pesan baru WhatsApp yang masuk.

Lauraaa

Sya, dimana?

Lo nggak papa, kan?

Sya, please. Dimana? Bales chat gue, Sya. Gue khawatir

Sya?

Sasya?

Please, dimana? Masi di sekolah, gak? Gue samperin!

P

P

P

Sya

Sasya hanya membaca tanpa niat mengetik balasan. Dan saat layar ponselnya menampilkan panggilan masuk dari Laura, Sasya langsung menolaknya. Kemudian menonaktifkan ponselnya.

Laura baru menghubungi setelah beberapa jam berlalu dan bisa-bisanya bertanya 'lo nggak papa, kan?'

"Nggak Ra, gue nggak papa. Cuma hampir mati karena frustasi aja."

***

Dari beberapa part yang di publish, aku paling suka part ini. Nggak tahu kenapa wkwk😁

Tapi ya, aga beda sama yang versi sebelumnya. Ada beberapa bagian yang dibuang dan kata katanya yang diubah.

️⚠️Tindakan dan perkataan kasar dari cerita ini tidak untuk ditiru ya, guys!! Kalian pasti lebih cerdas membedakan mana yang patut di contoh sama yang nggak. Dan apapun alasannya pembullyan tidak dibenarkan. Akur akur ya, sama temen.

Lebih dari 3000 kata nih, yakin tega ga ngasik VOTE atau komen?


Next part kalo udah dapet 50 Vote dan 20 komen. Ehe😬

Continuă lectura

O să-ți placă și

MUARA KIBLAT De Awaliarrahman

Ficțiune adolescenți

528K 57.2K 23
Berkisah tentang seorang Gus yang dikejar secara ugal-ugalan oleh santrinya sendiri. Semua jalur ditempuh dan bahkan jika doa itu terlihat, sudah dip...
PUNISHER De Kak Ay

Ficțiune adolescenți

1.3M 115K 44
"Kenapa lo nolongin gue, hm? Kenapa nggak lo biarin gue mati aja? Lo benci 'kan sama gue?" - Irene Meredhita "Karena lo mati pun nggak ada gunanya. G...
264K 25.1K 31
[JANGAN LUPA FOLLOW] Bulan seorang gadis yang harus menerima kenyataan pedih tentang nasib hidupnya, namun semuanya berubah ketika sebuah musibah me...
1.7M 119K 47
Aneta Almeera. Seorang penulis novel terkenal yang harus kehilangan nyawanya karena tertembak oleh polisi yang salah sasaran. Bagaimana jika jiwanya...