The Winner

By Nathania1721

197K 20.4K 1.9K

COMPLETE - Ayo kita bertaruh! Kalau kau kalah, kau akan menjadi istriku selamanya. Pertaruhan antara Mingyu d... More

1. You Should Get Married
2. What Does He Look Like?
3. Work Harder
4. Just Call My Name
5. Romantic Couple
6. Come With Me
7. Feel Comfortable
8. Just Because
9. Let's Bet!
11. As Sweet As Chocolate
12. Let Me Help You
13. I want To Go on My Honeymoon
14. You and Me Become Us
15. My Present For You (END)

10. Severely Defeated

13.1K 1.3K 114
By Nathania1721

Di bawah derasnya guyuran shower, Wonwoo meringkuk. Menyembunyikan wajahnya di antara kedua lututnya yang ditekuk. Mengabaikan air dingin yang terus membasahi tubuh polosnya. Kedua tangannya terkepal erat. Mata tajamnya tertutup dan terus menggigiti bibir bawahnya. Erangan berulang kali lolos dari bibir merahnya.

Ia mengutuk dirinya sendiri. Malu pada dirinya sendiri yang telah mendesah di bawah Mingyu. Karena laki-laki yang berstatus sebagai suaminya, membuat desahan yang ia tahan terlepas.

"Bodoh ... memalukan ... bodoh ... memalukan ...."

Sudah hampir satu jam ia terus merutuk di bawah guyuran shower. Mengabaikan tubuhnya yang mulai menggigil. Dan tidak memedulikan andaikan ia demam karena ulahnya sendiri. Yang ia ingin lakukan adalah merutuki kebodohannya.

"Ini bukan salahku. Ini salah laki-laki sialan itu." Ia memaki tertahan. Mencoba membela diri dengan menyalahkan sang suami.

Wonwoo sudah berusaha menahan desahannya. Saat Mingyu menjamah tubuhnya, menjelajahi tubuhnya dengan tangan dan bibir, Wonwoo tetap mengatupkan bibirnya rapat. Menolak mendesah seperti yang Mingyu inginkan.

Tapi ia tidak tahu suaminya sebrengsek itu. Saat sudah membuatnya melayang dengan sentuhannya, Mingyu justru mempermainkannya. Menghentikan pergerakannya saat Wonwoo hampir mencapai puncak.

"Mendesahlah! Kau harus mendesahkan namaku."

Saat itu Wonwoo menggeleng. Meski hasratnya menginginkan lebih dan lebih, tapi akal sehatnya masih berjalan. Ia tidak ingin melakukan hal memalukan dengan mendesah. Ia bertekad untuk mengunci bibirnya.

Seolah tidak ingin menyerah, Mingyu kembali menyentuh tubuhnya. Menyentuh setiap titik kelemahannya. Menubruk kuat titik kenikmatannya berulang kali. Dan saat ia akan mencapai puncaknya, Mingyu menghentikan pergerakannya. Tersenyum miring dan memandangi wajahnya yang sudah lemah. Memasang senyum kemenangan seolah percaya Wonwoo akan menyerah.

Setelah beberapa kali mempertahankan desahannya, akhirnya Wonwoo kalah. Seolah akal sehatnya tidak berfungsi, ia mendesah. Mendesah kenikmatan dan mendesahkan nama Mingyu. Bahkan ia tidak sadar suara yang terdengar menjijikkan baginya itu keluar dari bibir tipisnya. Yang ia tahu, ia telah kalah saat ini. Kalah dari permainan gila suaminya sendiri.

"Kim Mingyu sialan. Benar-benar makhluk sialan."

#-#-#

Wonwoo kembali meringkuk setelah menyelesaikan mandinya. Tidak berniat memasakkan sarapan untuk Mingyu seperti biasa. Dan juga tidak berniat menatap wajah sang suami. Ia hanya kembali bergelung dengan selimut tebalnya setelah membersihkan kamarnya.

Kedua tangan dibalik selimut tebal itu terkepal erat. Meski matanya terpejam, ia tahu Mingyu berada di kamar. Memakai pakaian kerjanya setelah mandi di kamar mandi lainnya.

Ia baru bisa menghembuskan nafasnya lega saat Mingyu beranjak ke kantor. Tidak menyapa atau memprotes dirinya yang kembali tidur.

Tangan kurusnya meraih ponsel yang ia simpan di bawah bantal. Mendial salah satu nomor yang sudah ia hafal. Tanpa membutuhkan waktu lama, terdengar suara tidak asing dari seberang sana.

"Ada apa?" terdengar suara khas orang bangun tidur. Tanpa bertanya, ia tahu sahabatnya belum sepenuhnya membuka mata.

"Kau tidak ada kegiatan?"

"Tidak sebelum jam empat sore."

"Temani aku mencari pekerjaan."

"Tidak biasanya. Apa terjadi sesuatu? Biasanya kau mencarinya sendiri tanpa minta bantuanku."

Wonwoo mendesah panjang. Tidak tahu harus menceritakannya pada Jihoon atau tidak. Karena ia sendiri masih malu pada dirinya sendiri. Masih menyesali kebodohannya yang membuat malu tidak tertahankan.

"Kau dengar aku?" Jihoon kembali bersuara.

"Tidak terjadi apapun. Hanya bosan saja mencari pekerjaan sendiri. Setidaknya temani aku mencoba di beberapa tempat."

"Kau tidak jadi kabur?" Untuk kedua kalinya Wonwoo bungkam. Ia baru ingat pernah berniat untuk kabur.

"Apa aku pernah mengatakannya?" Wonwoo mencoba mengelak.

"Kau tidak mungkin lupa. Atau kau sudah mencintainya? Kalian sudah saling mencintai seperti sepasang suami istri lainnya?"

"Kalau kau bertanya berhubungan badan seperti suami istri lainnya, jawabannya iya," batin Wonwoo. Ia kembali meringis. Seolah belum bisa memaafkan kebodohannya yang rela mendesah di bawah Mingyu.

"Kau tidak menjawab lagi, aku matikan."

"Kita sudah lama tidak bertemu, kenapa kau masih segalak ini?" sungut Wonwoo sebal. Ia butuh tempat untuk membuat hatinya sedikit tenang. Tapi hanya Jihoon yang ia punya. Sedangkan sahabat mungilnya itu, jauh dari kata manis.

"Aku akan mandi. Setengah jam lagi kita bertemu di kafe biasanya."

Tanpa mengatakan sepatah katapun, Jihoon langsung mematikan sambungan. Pemuda manis itu mencebik kesal. Tapi setelahnya ia tersenyum. Sudah lama tidak pernah menghabiskan waktunya dengan sang sahabat. selama menikah, waktunya lebih banyak bersama Mingyu.

"Sialan. Aku mengingatnya lagi. Aku jadi teringat suaraku sendiri. Sialan ... sialan ... sialan ... Kim Mingyu sialan ...."

Wonwoo berteriak keras. Mengacak rambutnya dan menendang selimut yang menutupi tubuhnya. Tanpa membereskan kamar, ia langsung melenggang ke lemari. Berganti pakaian tanpa merapikan surai hitam legamnya yang berantakan.

#-#-#

Pagi ini adalah pagi keempat sejak kejadian malam itu. Wonwoo masih enggan menatap wajah Mingyu. Memilih diam atau menghindar. Saat malam tiba, Wonwoo langsung bergelung dengan selimut tebalnya. Memejamkan mata erat meski belum merasakan kantuk.

Di dapur, Wonwoo tahu Mingyu mendekat. Duduk di pantri dengan secangkir kopi. Wonwoo tidak berniat menoleh apalagi membuka suara. Fokus pada masakannya yang sebenarnya sama sekali tidak fokus.

Ponselnya yang diletakkan di meja bergetar. Setelah mematikan kompor, Wonwoo meraihnya. Mendialnya dan menempelkan di telinga. Namun langsung menjauhkan ponselnya mendengar suara berisik dari seberang sana.

"Eomma ... halmonie ... aku tidak bisa mendengarnya kalau eomma dan halmonie berbicara bersamaan." Wonwoo meringis mendengar omelan Jinhae untuk anaknya di seberang sana. Setelah yakin dua wanita itu tidak berulah lagi, Wonwoo kembali mendekatkan ponsel ke telinganya.

"Wonwoo-ya, kau pagi ini harus datang ke rumah. Ada sesuatu yang kami tunjukkan untukmu," ucap ibu Mingyu semangat.

"Ingat, jangan datang sendiri. Minta suamimu untuk mengantar sampai ke dalam rumah," sambung Jinhae yang sepertinya merebut ponsel milik anaknya.

"Eomma tunggu sebentar! Biarkan aku berbicara dengan menantuku."

"Tapi eomma juga ingin berbicara dengan cucu menantu eomma."

Wonwoo menggaruk pelipisnya. Ia masih tidak mengerti dengan pemikiran dua wanita itu. Padahal ia akan berkunjung dan menemui mereka. Tapi keduanya masih saja berebut seolah-olah ia berada di planet yang berbeda.

"Iya eomma ... halmonie ... aku akan datang bersama Mingyu." Mingyu yang namanya disebut mengalihkan atensinya. Namun Wonwoo berpura-pura tidak melihat.

"Kalau begitu cepat ya sayang. Kami tidak sabar untuk menunjukkannya padamu."

Wonwoo meringis. Entah sejak kapan ia merasa diperlakukan seperti seorang gadis. Nenek dan ibu mertuanya selalu mengajaknya berbicara yang tidak ia mengerti. Memaksa mendengarkan obrolan yang biasa menjadi konsumsi para wanita di luar sana.

Berbicara mengenai gadis, Wonwoo teringat dirinya sendiri. Andai ia seorang wanita, saat ini ia tidak gadis lagi. Mengingatnya saja membuat malu. Tanpa sadar ia memukulkan spatula pada permukaan kuali. Menghasilkan suara nyaring yang mengejutkan Mingyu.

Sadar dengan tingkah anehnya, Wonwoo langsung berlari ke kamar. Berganti pakaian tanpa sarapan. Ia lebih memilih sarapan di rumah ibu mertuanya. Karena ia tahu akan dicekoki berbagai makanan saat tiba di sana.

#-#-#

Di dalam mobil, Wonwoo duduk dengan tidak tenang. Bukan tidak tenang dalam arti sesungguhnya. Karena pada kenyataannya, Wonwoo duduk dengan tenang. Tidak ada yang bergerak kecuali sesekali bola matanya melirik Mingyu. Tapi yang tidak tenang justru hati dan pikirannya. Dalam diam, ia sibuk mengumpat dan terus berpikir keras.

Berdua di mobil yang sama bukanlah hal baru. Mereka sudah sering melakukannya sejak resmi sebagai pasangan. Tapi kali ini suasananya tampak berbeda. Begitu canggung dan hening.

Wonwoo ingin menutup wajahnya. Bahkan berniat melompat dari mobil karena terlalu malu dengan Mingyu. Ia ingin melakukan apapun untuk menjaga jarak dari suaminya. Tapi tidak ada yang bisa ia lakukan selain diam. Duduk manis sampai tiba di rumah ibu mertuanya yang tiba-tiba terasa sangat jauh.

Sesampainya di halaman rumah keluarga Kim, Wonwoo langsung berlari masuk. Mengejutkan para maid dan juga Jinhae yang berniat menyambut.

"Ya Tuhan ... ada apa ini?" tanya Jinhae heboh sambil memegangi kedua tangan cucu menantunya.

"Tanganmu dingin? Kau sakit? Sakit apa? Kenapa sedingin ini?"

Pertanyaan heboh sang nenek membuat ibu Mingyu berlari mendekat. Membuat para maid meringis. Takut wanita cantik itu terjatuh berlari dengan heels-nya.

"Eomma ... Wonwoo sakit?" tanya Deehae tidak kalah heboh.

"Halmonie ... aku lapar."

Ruangan megah itu seketika hening. Mingyu yang baru berjalan masuk langsung menegakkan kepalanya. Memandang Wonwoo bingung yang sudah membuat semua orang terperangah.

"Kau lapar sayang?" tanya ibu Mingyu yang membuat Wonwoo meringis.

Ia tidak bisa mengerem bibirnya. Asal berbicara tanpa berpikir panjang. Niatnya ingin dijauhkan dari Mingyu. Kalau seperti ini, yang ada Mingyu akan lebih lama berada di rumah.

"Mingyu-ya, kau ini bagaimana? Kenapa kau membiarkan cucu menantu halmonie kelaparan? Kalau Wonwoo sakit bagaimana? Kau ingin menimbun uangmu di kamar sampai-sampai tidak memberi istrimu makan?"

"Haah."

Wonwoo mendesah. Wajahnya berubah lesu. Karena ucapannya, Mingyu tidak akan dengan mudah berangkat bekerja. Ia akan ditahan dan mendapat omelan panjang. Sebelum menemaninya makan, ia yakin Mingyu tidak diizinkan melangkah dari rumah.

#-#-#

Setelah melewati sarapan yang diiringi ceramah, Wonwoo masuk ke kamar Mingyu. Memilih berbaring dari pada berada di ruangan yang sama dengan Mingyu dan ayah mertuanya. Membicarakan bisnis yang sama sekali tidak ia mengerti.

"Kenapa sesulit ini mencari pekerjaan? Apa semua pekerjaan memandang tingkat pendidikan?" Ia mengeluh. Menutup mata dengen sebelah lengannya.

Sebelum menikah, ia dengan mudah mendapatkan pekerjaan meski dengan upah yang minim. Tapi saat ini, bahkan hanya menjadi cleaning service pun ia tidak diterima.

"Apa yang salah denganku? Aku tidak lemah. Tubuhku juga tidak ada yang cacat, tapi kenapa semua menolak?" Wonwoo menggerang. Kesal dengan takdir hidupnya. Karena meski telah menikah, ia tidak pernah menggunakan uang Mingyu tanpa perintah suaminya.

"Aku sudah tidak punya tabungan. Uangku benar-benar habis," keluhnya lagi sambil berguling-guling di kasur.

Sebelah tangannya meraih bantal guling. Memiringkan tubuhnya dan memeluk bantal. Memejamkan mata sembari mencari posisi yang nyaman. Namun beberapa detik kemudian matanya terbuka lebar. Bukannya menenangkan diri, pikiran Wonwoo kembali kacau karena mencium aroma tubuh Mingyu di kamar itu.

"Aaaargh ... aku mengingatnya lagi." Wonwoo berteriak. Mengacak rambutnya dan kaki menendang bantal guling.

Brak!

Wonwoo terkejut saat pintu kamar Mingyu di buka paksa. Di depan pintu, berdiri sang nenek, ibu mertua, beberapa maid dan buttler yang menendang pintu dengan sadis. Wajah mereka tampak panik yang menyerukan pertanyaan yang sama.

'Ada apa, apa yang terjadi' itulah yang berulang kali terdengar di telinganya.

Wajah Wonwoo memerah teringat kelakuan gilanya. Tangannya meraih bantal dengan perlahan. Menutup wajahnya saat tubuh menjulang Mingyu terlihat di belakang kerumunan.

"Kenapa aku jadi seperti wanita?" Ia kembali merutuki dirinya. Saat semuanya mendekat masih mempertahankan wajah cemasnya, Wonwoo hanya bisa meringis. Tersenyum terpaksa yang sepertinya terlihat sangat jelek.

#-#-#

Di rumah mewah dan luas itu, Wonwoo berjalan ke arah ruang tamu. Rumah orang tua Mingyu tampak sepi. Jinhae baru saja pergi beberapa saat yang lalu. Begitu juga dengan ayah dan ibu mertuanya. Hanya dirinya yang berada di rumah beserta pekerja lainnya.

Langkah Wonwoo terhenti di sofa. Menghempaskan tubuhnya dan duduk dengan meluruskan kakinya. Pandangannya menerawang. Teringat semua yang ia alami beberapa hari ini.

Sampai detik ini, Wonwoo belum bisa melupakan kejadian itu. Masih terbayang dengan jelas bagaimana saat mereka melakukan penyatuan.

Hubungan mereka tidak semakin membaik sejak kejadian malam itu. Justru baginya semakin memburuk. Mingyu tidak lagi menyapanya seperti dulu. Meski dulu percakapan mereka hanya sebatas percakapan, setidaknya mereka tidak secanggung ini.

Tidak ada lagi kalimat ketus dari bibir Mingyu. Bahkan ia tidak pernah mendengar suara berat nan tegas itu. Mereka benar-benar terasa asing. Jauh lebih asing dibandingkan saat mereka pertama bertemu.

Pemuda manis itu mengangkat jari kirinya. Besi putih itu masih tersemat di jarinya. Beberapa saat yang lalu, jari-jari tangannya masih tampak polos. Namun ternyata tidak ada perbedaan yang ia rasakan.

Di ruang lain dari hatinya, seperti masih terasa hampa. Ia merasakan ada yang kurang, hanya saja ia tidak tahu bagaimana memperbaikinya. Karena ia sendiri tidak tahu apa yang ada di dalam hatinya.

"Kenapa aku merasa bukan ini yang aku inginkan?" gumam Wonwoo.

Ia kembali teringat pertemuannya dengan Mingyu. Semua diluar akal sehatnya. Terjadi begitu saja tanpa pernah ia bayangkan.

Wonwoo tersenyum getir membayangkan saat mereka melakukan hubungan badan. Mereka telah melakukan seperti pasangan lainnya. Namun yang membuat berbeda, mereka melakukannya tanpa cinta. Semua terjadi karena taruhan suaminya.

Saat ini ia kalah. Ia benar-benar kalah telak. Meski Mingyu tidak meneriaki kemenangannya, tapi setiap melihat keberadaannya, Wonwoo mengingat kekalahannya. Kekalahan yang akan ia terima seumur hidup. Dan karena kekalahannya, ia tidak bisa lepas dari kehidupan yang membelitnya saat ini.

Wonwoo menolehkan kepalanya ke samping. Pandangannya terhenti pada sebuah akuarium berukuran cukup besar. Tampak bersih dan juga begitu cantik. Seolah mengikuti kata hatinya, ia langsung melangkah. Mendekati akuarium dan berdiri di depannya.

Jari lentiknya bergerak seolah bisa menyentuh ikan hias di dalamnya. Pandangannya tiba-tiba berubah sendu.

"Kalian pasti sedih. Meski hidup di akuarium besar dan mewah, tapi tetap saja kalian terkurung. Meski kalian dirawat dengan sangat baik. Tetap saja kalian adalah peliharaan," gumam Wonwoo pelan. Kedua mata tajamnya memperhatikan ikan-ikan cantik yang terus bergerak. Menyelami air seolah tanpa mengenal lelah.

"Kalian sama sepertiku. Karena aku juga hanya ...."

Wonwoo tidak sanggup melanjutkan kalimatnya sendiri. Tiba-tiba saja matanya terasa memanas. Meski ia tidak menangis, tapi mata tajam itu tampak memerah.

Ia merasa dirinya seperti ikan dalam akuarium itu. Mingyu menyukupi kebutuhannya. Memberinya makan dan tempat tinggal. Tapi tidak ubahnya seperti peliharaan karena Mingyu sendiri tidak mencintainya. Tidak pernah menyatakan cinta seperti pasangan lainnya.

Bahkan Wonwoo pernah berpikir ia hanyalah alat pemuas. Namun ia mencoba menepis pikirannya jauh-jauh. Ia tidak ingin membuang air matanya karena pemikirannya sendiri. Hidupnya sudah terlalu menyedihkan tanpa harus ia menambahnya lagi.

"Tapi kalian lebih beruntung. Kalian memiliki teman. Tidak seperti aku yang sendiri. Sahabatku hanya satu. Dan sekarang kami tidak bisa seperti dulu. Aku iri dengan kalian."

Sedangkan di tempat lain, Jinhae dan dua temannya sedang menikmati secangkir teh. Duduk dengan tenang sembari menikmari semilir angin. Ketiga wanita tua itu mencoba menikmati masa tua mereka.

"Bagaimana kabar cucumu? Apa kandungannya baik-baik saja?" Jinhae bertanya pada temannya setelah meletakkan cangkirnya. Duduk bersandar pada kursi sambil memandang teman lamanya.

"Dia baik-baik saja. Sepertinya waktu itu hanya kelelahan saja. Apalagi ini adalah kehamilan pertama."

"Cucu menantuku dulu juga seperti itu. Tapi kalian lihatlah anaknya sekarang! Tumbuh menjadi anak yang sehat dan pintar," sambung wanita lainnya yang sudah menjadi teman Jinhae sejak mereka masih muda.

"Lalu bagaimana dengan cucu menantumu Jinhae-ya? Kau tidak khawatir padanya?" Jinhae justru tertawa mendengar pertanyaan itu.

"Apa yang harus aku takutkan dari anak semanis itu?" jawab Jinhae masih mempertahankan senyumnya.

"Kau tidak takut dia hanya menginginkan hartamu?" tanya salah satu temannya yang berkaca mata. Perlahan, senyum Jinhae luntur.

"Apa yang kalian bicarakan? Tentu saja itu tidak akan terjadi."

"Aku tahu hartamu tidak akan mudah habis Jinhae-ya. Tapi justru itu lah yang perlu dikhawatirkan. Aku bukan bermaksud buruk pada cucu menantumu. Hanya saja kau belum lama mengenalnya. Segala kemungkinan bisa saja terjadi Jinhae-ya." Kali ini senyum Jinhae benar-benar luntur. Ia terdiam meresapi kalimat teman-temannya.

"Kami hanya memperingatkanmu. Sebaiknya kau lakukan sesuatu sebelum terlambat. Cucumu sangat tampan. Aku yakin banyak yang menginginkannya. Apalagi dengan harta yang dia miliki sekarang. Jadi kau harus memastikannya Jinhae-ya."

TBC

-

-

Continue Reading

You'll Also Like

47.3K 4.6K 16
[SEQUEL BABY] BOOK 3 OF 4 FROM SERIAL PREGNANT Keseharian keluarga Kim Mingyu dan Jeon Wonwoo di sela kesibukan mereka sebagai idola, bersama anak lu...
963K 78.4K 28
Mark dan Jeno kakak beradik yang baru saja berusia 8 dan 7 tahun yang hidup di panti asuhan sejak kecil. Di usia yang masih kecil itu mereka berdua m...
102K 8.6K 84
Kisah fiksi mengenai kehidupan pernikahan seorang Mayor Teddy, Abdi Negara. Yang menikahi seseorang demi memenuhi keinginan keluarganya dan meneruska...
110K 9.3K 39
Book 1: Lies Book 2: Truth Kehidupan pernikahan Mingyu-Wonwoo adalah dambaan semua orang, tapi bagaimana jika kehidupan mereka tidak seindah yang ora...