The Last Saver

By asabelliaa

345K 28.9K 3.4K

Ognelion : Dihuni oleh Peri dan beberapa Manusia Istimewa. Pencinta kedaiaman. Voldent : Tempat berkumpulnya... More

Bagian 1 (The Secret)
Bagian 2 (Meeting Julian)
Bagian 3 (Elena's Memories)
Bagian 4 (Now I Understand)
Bagian 5 (Sorry)
Bagian 6 (The Wedding Day)
Bagian 7 (Finding Power)
Bagian 8 (Out of Control)
Bagian 9 (I Surrender Myself To You)
Bagian 10 (Love)
Bagian 11(Pregnant)
Bagian 12 (Unwanted Memories)
Bagian 13 (Meets Elena)
Bagian 14 (The Crown)
Bagian 15 (Bad News)
Pemberitahuan (PRIVATE)
Bagian 17 (New Feelings)
Bagian 18 (Worse)
Bagian 19 (Covenant)
20 (The War -1)
Bagian 22 - Recovery
Bagian 23 (Stranger)

Bagian 21 (The War II)

10K 1.1K 188
By asabelliaa

Vote dulu aja, kali aja Sychelles gak bakalan mati. 1 vote satu do'a untuk Sychelles *eh maap.


****


Tangisan Sheryl makin terdengar jelas setiap detiknya. Julian masih menggengam erat tanganku dan membimbingku berlari melewati belokan-belokan yang cukup membingungkan ini. Suara petir, jeritan, dan letupan api terdengar dari luar sana.

Sesekali lantai yang kami pijaki bergetar, dinding bangunan ini serasa akan runtuh, debu-debunya menjatuhi kami.

Pelarian kami terhenti pada sebuah dinding raksasa yang kokoh, dinding berlapis baja hitam dengan ukiran sepura kobaran api menghiasinya. Suara Sheryl berasal dari balik dinding itu. Kini aku menatap Julian dengan penuh penyerahan, kuserahkan keputusan padanya.

Julian membuang nafas pelan lalu melepaskan genggaman tangan kami.

"Mundurlah sejauh mungkin, aku akan menghancurkannya," perintahnya tegas.

Aku mengangguk, perlahan mundur, menyerahkan seluruh kepercayaanku padanya.

Aku mundur sejauh mungkin, entah seberapa jauh, aku berlindung pada sebuah pilar raksasa. Sesekali aku mengintip, melihat Julian yang tengah menggerakkan kedua tangannya dengan gerakan memutar yang teratur. Bersamaan dengan itu, cahaya biru tengah mulai terpancar dari kedua lengannya. Membentuh beberapa kilatan petir yang membuatku takjub sekaligus takut.

Perlahan, Julian mengarahkan kedua tangannya ke depan pintu hingga cahaya itu mengenai bagian tengah dari pintu berlapis baja itu. Julian mengerahkan seluruh tenaganya, kulihat dia mulai mengerang karena kewelahan. Sepertinya pintu itu juga telah dilapisi mantra penghalang yang cukup kuat. Lalu timbul keinginanku untuk membantunya.

"Tetap di sana, Sychelles!" Bentakannya menghentikan kakiku yang baru saja ingin mencapai langkah kedua.

Aku menggeleng, kebingungan, aku sudah tak tahan melihat penderitaanya. Oleh karena itu, aku tetap keras kepala dan tetap memutuskan untuk membantunya.

Tetapi, ketika aku mencapai langkah ke lima, tiba-tiba saja terdengar suara retakan yang cukup keras. Mataku membulat menatap pintu baja yang ada di depanku berubah seperti kertas kusut dan semakin tertekuk-tekut.

Kuperhatikan tangan Julian yang bergerak seperti tengah berusaha mencengkram sesuatu.

"Julian!" Aku memekik ketika kulihat darah mulai keluar dari telapak tangannya. Darahnya mengalir keras hingga tetesannya mengotori lantai. Aku menutup mulutku dengan kedua tangan. "Julian, hentikan!" Teriakku sambil menggeleng, aku berdiri tepat di belakangnya, menatapnya dengan penuh kekhawatiran.

Telinganya seolah tuli, dia tak menghiraukanku sama sekali. Sampai akhirnya aku tak bisa menahan diri lagi, aku berlari mendekat dan menarik tubuh Julian ke belakang, bersamaan dengan runtuhnya dinding besi itu.

Tubuhku dan Julian terhempas jauh ke belakang, debu dan asap pekat mendadak menghalangi pengelihatan kami. Kedua tanganku masih memeluk bagian leher dan kepala Julian dari reruntuhan.

Nafas kami berderu kencang, kutatap Julian yang masih tampak terkejut. Darah yang berasal dari telapak tangannya kini melekat di gaunku.

Kami tidak saling bertanya tentang keadaan karena kami paham bahwa jika kami masih bisa bernafas, itu artinya tidak ada yang perlu terlalu dikhawatirkan. Aku sadar bahwa Julian merupakan seorang Volter, luka ini takkan mengganggunya. Begitupun Julian yang sudah mulai menyadari bahwa aku bukanlah manusia biasa lagi, aku memiliki kekuatan sama sepertinya. Aku bisa melindungi diriku, aku bisa bertahan jauh lebih kuat dari biasanya.

"Sheryl..." desisku pelan, kala menyadari bahwa suara tangisannya hilang entah kemana. Bibirku mulai gemetar.

"Kita akan ke sana, kita akan menemukannya." Tangan kiri Julian bergerak menujuk kembali ke arah dinding yang tadi berhasil ia runtuhkan.

Ternyata di balik dinding baja itu, ada sebuah tangga yang mengantarkan kita untuk naik ke puncak istana. Firasatku mengatakan bahwa tangga itu merupakan tangga untuk menuju tempat dimana mereka menyembunyikan Sheryl. Di dekat puncak Highest Volcano.

Tidak!

Bagaimana mungkin mereka membawa Sheryl ke sana?

Bagaimana mungkin Sheryl sanggup bertahan dengan suhu di atas sana yang tentunya hampir menyamai suhu di neraka.

Semoga saja Noland masih sanggup mempertahankan hujan di sana, semoga saja hujannya cukup lebat hingga mampu menghambat pergerakan mereka.

"Lenganmu berdarah," Julian menyentuh sesuatu yang perih dari lengan kananku.

Aku meringis tertahan ketika ia menyentuhnya, bersamaan dengan itu mataku menoleh pada sebuah goresan sepanjang jari telunjuk, pedihnya baru terasa sekarang. Aku menarik nafas pelan lalu kuturunkan tangan Julian. "Aku baik-baik saja, ini bukan masalah." Lalu aku berdiri, kemudian membantu Julian juga agar berdiri bersamaku.

"Kita tidak punya banyak waktu, sebentar lagi mereka akan meledakkan gunungnya. Seluruh Bixon akan hancur, jadi bisakah kau membawaku menaiki tangga itu secepat mungkin?" Aku memohon pada Julian, meski sebenarnya aku tidak tega karena melihat darah yang telapak tangannya.

Julian tak berfikir panjang, ia langung menarik ke dalam gendongannya. Aku butuh kecepatannya untuk menaiki tangga itu, kami membutuhkan kecepatan. Kulihat Julian sedikit mengeram keketika dia berhasil menggedongku, sementara kedua tanganku terkalung di lehernya. Kutatap matanya, berharap aku berhasil memberinya kekuatan dengan tatapanku.

Julian mengatur nafasnya dan menyunggingkan senyum tipis seolah berkata 'tenang saja, aku masih kuat.' Lalu setelahnya, aku merasa tubuhku terhempas menembus angin.

****

"Sheryl!" Aku menjerit satu detik setelah aku sampai di puncak istana Degion. Air hujan langsung membasahiku tetapi mataku tetap fokus pada tiga sosok yang berdiri di depanku.

Ada seorang wanita berambut merah gelap yang sedang menggendong Sheryl sembari menyeringai dingin menatapku, dia memegang sebuah payung hitam agar dirinya terlindung dari hujan. Di sebelahnya ada seorang pria yang bertelanjang dada, tubuhnya sangat tinggi, dua kali lebih tinggi dari Julian. Ada satu tanduk di ujung kepalanya dan sebuah mahkota api yang melayang-layang di atas kepalanya.

"Rodman..." Julian mengepalkan tangannya, nama itu dia ucapkan dengan penuh dendam.

Rodman? Pengusaha tertinggi di Degion. Dia mungkin bukan manusia, dia adalah seorang Monster, dialah mahluk seratus tahun lalu melukan perjanjian dengan Ratu dari Degion. Dialah yang mengurung jiwa-jiwa para putri.

"The Last Saver," seorang pemuda berambut pirang lagi, di antara mereka menyapaku dengan tatapan merendahkan. Aku menatapnya, wajahnya seperti tak asing, dia mirip dengan seseorang.

Astaga? Apakah dia?

"Alaric?!" Aku terkejut sendiri, bukankah dia sudah kubunuh ketika dia menyamar di hutan dekat rumah kedua orang tuaku dan melukai Julian. Dia bahkan mahluk pertama yang kubunuh.

"Bukan, tentu saja, bodoh! Aku Allane, yang kau bunuh adalah saudara kembarku!" Dia menatapku dengan penuh kemarahan, punggungnya dipenuhi api yang berkobar begitu panas, bahkan api itu tak padam terkena hujan. "Aku akan menghabisimu lebih sadis daripada caramu menghabisinya." Kobaran api dipunggungnya melebar, perlahan membentuh sebuah sayap yang langsung mengepak, membuatku terkejut.

"Tidak! Akan kulenyapkan kau lebih dulu sebelum kau menyakiti keluargaku!" Julian memekik murka, gemuruh petir mulai mengiringi kemarahannya.

Aku mendongakkan kepala dan melihat kilatan-kilatan petir mulai memanyungi kami. Hujan ini sepertinya membawa kekuatan baru bagi Julian, dia sama sekali tak menujukkan ketakutan, tetapi kemarahan yang nyata dan tekat yang begitu kuat.

"Kembalikan Sheryl!" Aku memekik marah, berusaha mengabaikan seluruh debaranku karena mereka semua ternyata mulai menampakkan kekuatannya.

"Tidak semudah itu." Wanita yang kini menggendong Sheryl kini menganggkat kepalanya. Bola matanya merah gelap tertuju padaku, ada senyum dingin dari bibir hitamnya. "Kau bahkan nyaris tak pernah berhasil melawan ilusi yang kucipkatan. Aku selalu berhasil mengendalikanmu tetapi, kau hanya selalu beruntung." Dia tertawa dingin. "Tidak kali ini, Sychelles. Kupastikan kau mati dalam ilusi paling menakutkan."

"Kau! Kau....!"Kemarahanku ingin meledak rasanya ketika mendadak otakku menyimpulkan suatu hal. "Kau yang menyamar sebagai Lady Cara!" Nafasku naik turun, kurasakan aliran arahku semakin mengalir cepat. Telapak tanganku mulai menciptakan sulur-sulur akar yang mematikan, merambat cepat hampir mengenainya namun dia memotong semua itu hanya dengan satu kedipan mata.

"Aku bahkan yang mengajarimu agar kau mencapai kekuatanmu, aku tahu kelemahanmu. Dan, kau takkan bisa bertahan lama tanpa cairan keabadian yang kucuri." Dia mencoba memancing kemarahanku.

Aku mengepalkan kedua tanganku, kurasakan diriku seperti memanas. Kami masih saling menatap, mengumpulkan kekuatan masing-masing. Gemuruh petir bercampur dengan gemuruh gunung api itu semakin berlomba-lomba terdengar.

"Kalian semua akan mati! Aku bersumpah!" Julian mengangkat satu tangannya menunjuk ke arah langit, dan perlahan langit itu seperti terbelah seiring dengan gerakan tangan Julian, membentuk sebuah lingkaran luas dengan cahaya biru yang amat terang membuat mataku silau. Sebuah cahaya lurus turun dari langit, menyentuh tangan Julian, mata Julian terpejam seperti tengah mengisap kekuatan dari langit. Bibir Julian bergerak melalfalkan mantera dengan bahasa yang tidak kuketahui.

"Tidak, dia memanggil kekuatan dari langit! Kita pasti akan kalah!" Pekik Allane mulai khawatir.

Rodman mengepalkan tangannya, dia menggeleng lalu kepalanya menoleh manatap dua orang di sebelahnya. Baik wanita yang menggedong Sheryl dan Allane tiba-tiba saja mengangguk, seolah paham dengan instruksi dari raja mereka.

Aku menggeleng ketika melihat Rodman tiba-tiba saja memutar badan dan berlari, menuju ke puncak Highest Volcano.

Tidak! Dia tidak boleh ke sana!

Dia akan segera meledakkan gunungnya!

Suara tangisan Sheryl terdengar lagi. Mau tidak mau perhatianku tertuju pada Sheryl dan wanita itu. Dia tampak siap untuk menghadapiku. Aku mulai berjalan cepat bersiap untuk menyerangnya.

Sementara Allane sudah semakin mengibaskan sayap apinya, kakiknya mulai terangkat perlahan terbang mendekati Julian.

Baiklah, ini pilihan yang sangat sulit. Aku tidak mungkin meninggalkan Sheryl hanya demi berlari untuk mengejar Rodman. Julian juga tak mungkin bisa mengejarnya sementara Allane terus menyerangnya.

Aku masih diurung kebingungan yang luar biasa, sampai saat kulihat cahaya aneh yang muncul di dekat puncak gunung api. Aku tersenyum lega ketika aku tahu, cahaya itu berasal dari cahaya khas teleportasi yang dimiliki Noland. Kini aku bisa sedikit tenang, aku percaya Noland mampu menghentikannya.

Mereka mulai bertarung dan aku terus mengejar wanita yang menggendong Sheryl. Aku bisa merasakan, dia mulai mencoba memainkan ilusiku. Rasanya aku sudah tidak berjalan di ruang terbuka dan terkena hujan. Aku merasakan diriku seperti berada di sebuah lorong gelap dengan bau amis yang menyengat. Suara-suara jeritan orang yang disiksa itu menusuk telingaku, membuatku harus menutup tanganku rapat-rapat.

Aku masih terus berlari, mengejar banyangan wanita itu. Berbebekal suara tangisan Sheryl, aku masih tetap bisa terus mengejarnya.

"Menangislah Sheryl, menangislah, aku akan menyelamatkanmu!" Teriakku sekeras mungkin.

Semakin ke sini, kurasakan kakiku semakin berat, basah dan saat aku mengengok be bawah. Genangan darah sudah memebasahi hingga ke mata kakiku.

Jantungku serasa ingin meledak melihat pemandangan ini, ketakutan mulai menghampiriku.

Tidak! Ini hanyalah ilusi.

Ini hanyalah ilusi.

Aku harus berkonsentrasi.

Kupejamkan mataku dan berusaha menanamkan kesadaran penuh dalam diriku, semakin melawan aku semakin merasakan sakit di kepalaku. Banyak banyangan yang kemudian muncul di kepalaku, entah dari masa lalu, maupun bayangan palsu, mereka semua berusaha mengacaukan usaha konstrasiku.

Berusaha kufokuskan diriku, aku berusaha memikirkan orang-orang yang aku cintai. Aku memikirkan keluargaku, orang-orang yang sudah berkorban untukku, anak-anakku, bahkan Julian. Aku harus berjuang demi mereka!

"Berengsek!"

Pekikkan itu terdengar bersamaan dengan aku yang membuka kembali mataku, kulihat wanita itu terjatuh di antara genangan air dangkal. Entah kami sudah di mana.

Mataku dengan cepat mencari sosok Sheryl. Tangisan Sheryl makin keras bersamaan dengan kutemukan tubuh mungilnya terselip diantara tumpukan jerami. Buru-buru aku berlari dan memeluk Sheryl.

Kupeluk tubuh mungilnya sembari meneteskan air mata. Tangisan ketakutan Sheryl sangat bisa kurasakan. Aku menangis sejadi-jadinya sambil memeluk erat tubuh Sheryl yang setengah basah.

"Sayangku, tenanglah, aku sudah mememangmu sayang. Kau akan baik-baik saja." Aku mengecup puncak kepala Sheryl dengan berhati-hati.

Bayiku gemetar dan amat sangat kedinginan, aku bingung bagiamana caranya menghangatkan Sheryl. Sementara di depanku, wanita itu sudah berusaha berdiri lagi.

Tidak, aku tidak mungkin bertarung dengan kondisi seperti ini. Terlalu bahaya bagi Sheryl.

"Sychelles!"

Aku menoleh, melihat sosok yang begitu kukenal tengah berlari menghampiriku. Baju perang yang ia kenakaan sudah sangat rusak. Wajahnya memar dan tetapi aku masih sanggup mengenalinya.

"Jarvis..." aku langsung menyerahkan Sheryl padanya.

"Kumohon, bawa dia kembali ke istana, jangan biarkan dia terkena hujan. Beri dia kehangatan. Sekarang!"

Jarvis terkejut, dia masih tampak berfikir.

"Ini perintah Jarvis! Sekarang!"

Jarvis langsung mengangguk, meski dia sempat tidak sampai hati meninggalkanku bersama wanita licik itu. Jarvis mungkin tahu bahwa wanita ini memiliki kekuatan yang amat besar. Sehingga ia tak sampai hati untuk meninggalkanku.

Ketika Jarvis sudah pergi, aku tak melepaskan pandanganku dari wanita yang selama ini membongiku. Dia kini berdiri, tatapannya tajam setajam pisau. Kemarahan menyelimutinya. Kedua tangannya mengepal seolah ingin segera menyerangku.

"Cassaz!" Pekiknya dengan lantang. "Cassaz! Ingatlah namaku agar kau bisa mengingatkan selama kematianmu! Ingatlah Cassaz Sacarion yang akan menjadi sejarah!" Dia sudah seperti orang mabuk.

Aku menenggakkan tubuhku, menantang tatapannya. "Akan kuingat nama itu sebagai nama yang orang yang akan kubunuh dengan cara tersadis." Kusunggingkan sebuah senyum mencela yang nyaris tak kentara.

"Beraninya kau!"

Tanpa aba-aba Cassaz berlari ke arahku, dia begitu cepat hingga aku gagal menghindar ketika dia mengantam tubuhku hingga aku punggungku menghantam sebuah pilar raksasa. Suara retakan pilar cukup menjadi penanda bahwa terjangannya begitu keras. Kini dia berhasil mengunci pergerakanku. Dia begitu kuat. Satu lengannya menahanku, kemudian tangannya yang lain mencekikku.

"Akk-akhh!" Aku meronta, mencoba menjauhkannya. Kucoba mendorongnya sembari mengindari tatapan matanya yang bisa saja menjebakku dalam ilusi lagi.

"Hanya seperti ini kemampuan seorang The Last Saver? Memohonlah, aku bisa saja memperlambat kematianmu jika kau mau," bisiknya semberi menekanku lebih keras.

Aku memejamkan mataku kala dadaku mulai terasa sakit. Nafasku semakin menipis dan rasanya detak jantungku mulai melambat. Jika seperti ini terus tubuhku bisa remuk.

"Memohonlah, memohonlah padaku, The Last Saver..." hinaan itu seperti pisau yang menusukku.

Pada detik-detik menyakitkan ini, aku sudah hampir batuk dan mungkin saja mengeluarkan darah. Namun, aku menahannya, aku tetap memejam dan berkonsentrasi pada kekuatanku yang sejak tadi berusaha kukumpulkan. Tanganku sudah tidak meronta lagi, kurasakan seperti ada sesuatu dalam diriku. Seperti ada kekuatan baru yang berusaha masuk melewati setiap celah pori-poriku.

Air hujan turun membasahiku, setiap tetesan airnya terserap masuk ke dalam tubuhku. Apa ini? Aku sedikit terkejut dalam diamku. Sampai akhirnya ada semacam bisikan-bisikan aneh yang mendengung di telinga.

"Kesepakatan akan selalu menjadi kesepakatan."

Poseidon!

Ini suara Poseidon. Semua ini? Semua ini adalah kekuatannya! Genangan air yang ada di bawah kakiku mendadak terserap masuk ke dalam tubuhku lewat telapak kaki. Aku membuka mata dan langsung menunduk.

Nafasku sudah tidak berat lagi, dadaku sudah tidak sesak lagi! Aku merasa seperti hidup kembali. Oleh karena itu kuberanikan diri untuk menatap Cassaz yang masih berusaha mengecikku sembari melemparkannya senyuman dingin.

Cassaz bahkan belum sempat bereaksi ketika hanya dengan dorongan ringanku tubuhnya kini terhembas jauh hingga menghamtam sebuah tiang besi yang semula lurus menjadi bengkok.

Cassaz sedikit batuk, dan aku bisa melihat ada setetes darah di sudut bibirnya. Dia terluka di bagian dalam tubuhnya.

"Kau!" Tatapan kagetnya tampak jelas, saat melihat pusaran air setinggi lutut yang terus bergerak mengelilingi seperti pelindung. "Bagaimana mungkin!? Kau!!!"

Kumiringkan sedikit kepalaku. "Kau terkejut? Aku bisa mengendalikan air?" Aku mendekatinya dengan langkah sedang. "Kau mungkin bisa mengetahui kelemahanku pada pengendalian tumbuhanku. Kau menghabiskan waktumu untuk mengajariku hanya untuk mengetahui titik lemahku. Tetapi sayang sekali, semua itu sepertinya sia-sia." Aku menujuk Cassaz dengan tatapan marah. "Kau! Akan kupastikan kau menderita atas semua yang kau lakukan padaku dan pada keluargaku!"

Pusaran air yang semula mengeliliku kini merambat seperti bayangan mengampiri Cassaz. Wanita itu tampak panik, dia berusaha menyemburkan api dari kedua tangannya untuk melewan airku, namun sia-sisa. Kadar airku terlalu banyak dan tekanannya terlalu kuat untuk dilawan.

"Sekarang, sepertinya kau yang akan memohon padaku." Aku hanya menatap kiriman airku yang mulai membungkus tubuhnya, seperti baju air yang merambat dari kakinya hingga menutupi seluruh tubuhnya kecuali bagian wajah. Cassaz semakin tidak berdaya, dia bahkan mulai meringis karena sakit yang ia rasakan. Aku berjalan semakin dekat hingga jarak kami hanya sekitar beberapa senti. "Tetapi, meski kau memohon padaku, aku takkan sudi menunda sedetikpun waktu untuk hembusan nafasmu yang lebih lama di dunia ini." Aku menganggkat satu tanganku setinggi dada.

Tepalak tanganku kudekatkan ke dadanya, sebuah batang berwarna coklat yang dikelilingi duri sekeras paku itu muncul dari balik tanganku. "Seperti janjiku, kau akan menjadi mahluk yang kubunuh dengan cara tersadis, Cassaz Sacarion!"

Mata Cassaz melebar, bahkan di tengah-tengah air hujan dia masih melotot karena ketakutan. Dia tidak berkutik, kulihat bibirnya mulai memucat ketika jarak antara tanganku dan letak jantungnya sangat dekat.

Hanya tinggal satu hentakan lagi aku bisa menusuk jantungnya, hanya tinggal satu dorongan, hanya tinggal satu detik lagi, tetapi mendadak aku berhenti. Sisi manusiaku seolah menggeleng-geleng atas kekejaman yang akan kulakukan, tetapi hanya berlangsung beberapa detik sampai akhirnya ingatakan tentang kejahatan Cassaz merasuki pikiranku.

Semuanya kembali berputar di atas kepalaku, bagaimana ia mencoba untuk menipuku, bagaimana dia berusaha mencelekaiku lewat ilusi, bagaimana dia yang mencoba menggurkan kandunganku, bagaimana dia mencuri cairan keabadianku, bagaimana dia mengubah strategi perang, bagaimana ia membohongi Julian. Dan, bagaimana ia menyakiti Sheryl.

"Kau harus membayar apa yang telah kau lakukan, matilah kau dengan kesakitan yang paling menyakitkan!" Pekikkanku terdengar lantang bersama dengan satu dorongan kuatku menusuk jantungnya.

Cassaz membuka kedua mulutnya selebar mungkin, jeritan yang kerasnya nyaris menyamai suara gemuruh petir itu menggema dengan begitu keras hingga bumi yang kupijaki bergetar karena teriakan kesakitannya.

Sementara aku di sini masih menatapnya, menatap kesakitannya. Kudorong tanganku sedikit lebih dalam hingga semburan darahnya mengotori sebagian wajah dan gaunku. Darahnya hitam pekat tersapu dengan tetesan air hujan, metara hingga ke ujung gaunku.

Kusaksikan jeritan itu setiap detiknya, dari yang suaranya melantang hingga melemah dan pada akhirnya hanya tatapan kekalahan Cessaz yang tersisa.

Lalu kujauhkan tanganku, seketika tubuh Cessaz jatuh. Aku melihatnya ia masih sedikit kejang-kejang, dia masih merasakan kesakitan. Dia sekarat dan akan terus seperti itu, dia takkan bisa selamat karena sesungguhnya dia sudah mati, tetapi aku menginginkan ia merasakan kesakitan yang abadi.

Tetaplah seperti itu, Cassaz Sacarion.

Ini balasan atas apa yang telah kau lakukan padaku.

****

Aku menghampiri Julian, tetapi aku tidak pernah berhenti mendekat. Aku khawatir akan terkena cambuk petirnya. Cukup dari sini aku mengamatinya, dia sepertinya tak butuh bantuan. Allane terlihat seperti sudah lelah menghadapi Julian. Sayap api Allane mulai mengecil dan sejak tadi dia terus menghindar.

Julian, aku tak pernah meragukan kekuatannya. Dia sangat kuat dan aku yakin Allane akan ia kalahkan sebentar lagi. Fokusku lalu berarih menatap gunung merapi di sana.

Mataku menyipit melihat dua cahaya saling berbenturan di sana. Lalu, sebuah gemuruh seperti suara monster terdengar makin keras, seperti suara api mendidih. Percikkan-percikkan api mulai menyembur dari puncak gunung.

"Tidak, ini tidak mungkin!" Aku menggeleng sendiri.

Aku berlari sekuat tenaga, menuju tangga yang menuju ke puncak gunung tertinggi. Tidak! Gunung ini akan meledak sebentar lagi. Apa Noland gagal menghalau Radmon?

Tak lama kemudian, aku melihat bayangan Radmon yang berada di puncak gunung. Dia seperti melayang atas di sana, berteriak-teriak seperti merapalkan mantra sembari mengangkat kedua tangannya.

"JIKA KAMI HANCUR, MAKA BIXON DAN SELURUH ISINYA AKAN HANCUR BERSAMA KAMI!!!" Teriakkan melantang ke seluruh penjuru Bixon. Tanah yang kupijaki mulai bergetar, seperti gempa. "Hancurlah kalian, hancurlah!"

Boom!

Detik berikut semburan api yang begit dasyat, begitu tinggi dan begitu besar tertampang jelas di mataku. Mataku seperti terbakar melihat jumlah api yang begitu banyak menyembur keluar dari gunung api.

Aku terdiam dengan tubuh gemetar, membeku dalam keputus asaan. Nafasku bahkan sudah hilang entah kemana, dan mungkin aku akan tidak sempat menangis untuk semua ini.

Lalu, sebuah tangan menyentuku. "Sychelles, jangan takut. Kita bisa menghentikan ini." Noland yang sejak kapan berdiri di sampingku menggengam erat tanganku, memaksaku untuk percaya di atas keputusasaan hingga entah mengapa aku mengangguk.

Kami tak membuang waktu barang sedetikpun untuk tidak berlari dan mulai mengumpulkan seluruh sumber air yang kami miliki. Mengisap habis air dari mana saja. Aku dan Noland berdiri di dua sudut yang berbeda.

Noland membingku agar mengikuti gerakannya. Poseidon memberikan kami kekuatan yang tidak sepantasnya. Ini bahkan terlalu besar. Gerakan tanganku dan Noland begitu cepat hingga tanpa sadar sebuah dinging raksasa air dengan ketebalan yang luar biasa membumbung tinggi nyaris menyemai tinggi gunung.

"Sychelles!" Suara teriakan Julian mengangetkanku.

Kini dia berusaha untuk mendekatiku namun aku menghentakkan satu kakiku ke tanah hingga Julian terjauh dan kaki-kakinya tertahan oleh lilitan akarku.

"Sycehelles! Kenapa? Kenapa kau melakukan ini! Apa kau membuat sebuah perjanjian!?" Julian berteriak dengan murkanya, sementara aku terus berusaha untuk tidak menatap Julian.

Aku terus fokus mengikuti gerakan Noland, airnya harus lebih banyak dari apinya. Agar lelehan lavanya tak mengenai seluruh Bixon.

"Sycehlles! Mengapa kau melakukan ini! Apa yang akan kau tebus setelah membuat kesepakatan!" Julian masih berteriak di sana.

"SYCEHLLES JAWAB AKU!" Julian mencoba melepaskan dirinya.

Aku memejamkan mata berusaha untuk tidak menangis.

Lalu kudengar saat kubuka mata, aku melihat Noland sudah mengangguk di sana. Pertanda kami harus segera mendorong dinding airnya ke puncak bersamaan.

Aku mendorongnya ke atas, merambat melalui puncak. Tetapi, belum sempat aku berhasil melihat air itu memadamkan muntahan gunung api, tubuhku mendadak lemas, hingga aku terjatuh dan menggelinding ke bawah.

Tubuhku terus bergerak menggelinding ke bawah seperti sebuah bola yang menuruni bukit. Kupikir aku akan jatuh ke jurang api, namun ternyata lebih buruk dari itu. Punggungku membentur sebuah batu raksasa. Aku merasakan sakit yang luar biasa, suara benturannya begitu keras. Bahkan tadi aku sempat mendengar seperti ada tulang yang retak. Punggungku pasti sudah remuk.

"Sychelles!"

Julian menghampiriku, dan aku malah menyambutnya dengan semburan darah yang keluar dari mulutku. Darah yang cukup banyak, darah yang mampu mengotori hampir sebagian dari tubuh bagian atas Julian.

Nyeri amat sangat nyeri, terutama pada bagian dada. Rasa pusing, mual, sesak dan perih seolah berbaur menjadi satu, menyerangku tanpa ampun.

"Kenapa kau lakukan ini!?" Bentakknya sembari menarikku ke dalam pelukannya. Julian sudah tahu bahwa aku tak mungkin memiliki lebih dari satu kemampuan, Julian tahu bahwa aku telah membuat kesepakatan.

Memangnya, apa yang bisa kulakukan? Aku terpaksa melakukan ini. Aku tak punya pilihan lain.

Aku tersenyum diantara kesakitan ini, lebih tersenyum ketika melihat apa yang kulakukan dengan Noland berhasil. Belum padam sepenuhnya, sebagian lavanya masih terus menyembur tetapi Noland bisa mengatasi itu sendirian.

Aku tak sanggup berbicara lagi, rasanya begitu sakit, dadaku seakan menyempit. Anehnya ditengah seluruh ketidakmampuan ini, aku masih bisa menggerakkan tanganku untuk menyentuh pipi Julian yang agak kasar. Ada beberapa luka kecil di sekitar wajanya, di pelipis, sudut bibir dan di bawah matanya. Aku terus mengusap bagian-bagian itu meski usapanku mungkin takkan menyembuhkan luka-lukanya.

Tatapanku mulai melemah, sesekali mataku terpejam.Ini semua terlalu menyakitkan, nafasku kian menipis bahkan udara yang berhasil kuhirup justru menambah rasa sakit.

"TIDAK! JANGAN TUTUP MATAMU!" Julian berteriak penuh perintah. "Aku mohon, jangan tutup matamu..." suaranya kini bergetar hebat.

Aku benci diriku yang tak bisa mengatakan apapun, hanya wajahnya yang bisa kulihat. Wajah ini yang nantinya akan selalu kurindukan.

Mungkin kami berdua sama-sama sudah tahu bahwa aku takkan bisa bertahan lebih lama. Aku sekarat. Sangat sekarat. Aku tahu bahwa Julian sebenarnya paham dengan betapa parahnya aku sekarang.

Kesepakatan akan selalu menjadi kesepakatan.

Mungkin inilah saatnya Poseiden meminta kesepakatannya. Dia sudah menepati janjinya, dan inilah saatnya dia menagih apa yang ia inginkan. Hal yang paling tidak ingin kualami. Hal yang paling kukhwatirkan terjadi dalam hidupku.

Aku masih terus mengusap pipi Julian dengan lemah, berharap usapanku bisa mewakili semua kata-kata yang ingin aku ucapkan sebelum kami berpisah. Tidak ada orang yang tahu seberapa besar aku mencintainya, dia telah memberikan setidaknya satu tahun terbaik dalam hidupku.

"Sychelles, kau tidak akan meninggalkanku seperti ini!" Dia mendesak, memelukku lebih erat hingga wajah kami semakin dekat.

Sebentar kabur, sebentar jelas, tetapi jariku masih mampu merasakan air mata yang ia teteskan. Julian menangis. Kemudian ia menyembunyikan tangisannya dengan mencium puncak kepalaku. Kudengar isakan pedih bercampur kemarahannya di sana.

"Jangan pergi..." dia berbisik, setelah mengecup keningku. Matanya menatapku penuh permohonan.

Julian, maafkan aku.

Akupun meneteskan air mata, meski tanpa suara namun kepedihannya tetap terasa.

Kami berdua sama-sama saling menatap dengan kepedihan. Membiarkan hening menarik kami untuk kembali menyelami potongan-potongan kenangan saat kami bersama. Di bawah guyuran air hujan dan kilatan-kilatan petir, kami terdiam.

Aku seperti diingatkan kembali sebelum aku benar-benar tak bisa mengingat semuanya. Sebelum aku benar-benar berpisah dengannya.

Aku ingat semuanya, rentetan kejadiannya, mulai dari kami bertemu, menikah, mencinta, punya anak, dan bertarung bersama.

Aku ingat bagaimana dulu dia membenciku, bagiamana dulu dia sering menyakiti perasaanku, bagaimana tatapannya selalu menyalahkanku. Aku akan merindukan semuanya. Tidak akan ada sepasang mata yang mampu membuatku jatuh cinta selain mata Julian, mata yang selalu mengkhawatirkanku, mata yang selalu merindukanku, mata yang selalu mencintaku.

Aku akan merindukan setiap setuhannya, pelukannya dan juga kemarahannya.

"Sychelles!"

Julian menjauhkan wajahnya dan menggucang tubuhku, saat aku seperti sudah tidak sanggup lagi untuk bertahan lebih lama. Dadaku semakin terasa menyempit. Detak jantungku melambat. Perlahan kurasakan tubuhku semakin terasa berat. Lalu mataku mulai terpejam perlahan, dan aku membenci diriku karena bahkan hingga pandanganku menggelap, aku belum sempat mengatakan bahwa aku mencintai Julian.

Maafkan aku.

Aku sangat mencintaimu, Julian.

****

"Aku akan memberimu kekuatan, aku menjanjikanmu sebuah kemenangan dalam perang. Tetapi kau tahu ini semua tidaklah cuma-cuma."

"Akan kulakukan apapun demi perang ini."

"Benarkah?"

"Katakan saja apa yang inginkan dariku!"

"Biarkan aku membacamu dulu, aku ingin membaca hal yang paling tidak kau inginkan untuk terjadi dalam hidupmu. Kau sudah mikirnya sekarang, apa kau ingin mengatakannya?"

"Tidak. Sebaiknya cepat kau katakan saja apa yang kau inginkan dariku."

"Aku takkan memilih kematianmu, karena kau tak begitu khawatir dengan hal itu. Bagaimana jika aku ingin kau meninggalkan Bixon, mencabut aksesmu untuk kembali ke dunia ini, artinya kau tidak akan pernah bisa kembali ke sini..."

"Apa...!?"

"Belum, Sycehelles. Belum, tenang saja. Kau takkan begitu tersiksa karena terbebani. Aku hanya ingin kau kembali ke duniamu dan melupakan semuanya."

"Semuanya?"

"Semuanya tentang Bixon dan hal-hal yang terkait dengannya, seperti pertemuanmu dengan mahluk Bixon. Aku akan menggambil seluruh memorimu tentang Bixon, hanya itu, selebihnya memori tetap untukmu. Bukankah aku masih sangat baik?"

"Jad—jadi...sial!"

"Bagaimana? Jika kau berubah pikiran, itu terserah padamu. Pintu di belakangmu masih terbuka."

"Apa itu artinya aku benar-benar tak bisa kembali lagi ke Bixon? Meski aku ditarik kembali secara paksa oleh mahluk Bixon ke dunia ini?"

"Apa kau berfikir akan semudah itu kau ditemukan dan dengan gampangnya kau ditarik kembali? Setidaknya orang-orang berfikir kau akan mati sebelum tubuhmu menghilang setelah kau dikuburkan. Seluruh simbol pada tubuhmu yang menjadi aksesmu kemari akan menghilang, dan tubuhmu tidak bisa mendapatkan akses untuk memasuki dunia ini lagi."

"............"

"Bagaimana, Sychelles? Sepertinya kau ketakutan sekarang. Hm?"

"Tidak, aku tidak takut. Aku sepakat!"

"Kau yakin?"

"Sangat yakin."

"Baiklah. Sekarang, kemarikan lenganmu dan mari kita membuat sumpah yang tak terlanggar."



_______

_______

HOOOOOOO!!!!!

Oke ini jadi part terakhir yang bakalan gue post di wattpad selama bulan ini dan bulan depan. Baru bakalan dilanjut lagi sekitar akhir Desember atau awal Januari.

Ohya, buat yang belum tau. The Last Saver udah ada bentuk fisiknya dan cuman di jual secara online ya, gue self publish soalnya. Cuman buat yang mau milikin aja yha, ini serius tanpa paksaan.


Keuntungan memiliki bentuk fisik (buku) TLS :

1. Cerita akan diedit ulang, minim typo

2. Kalau kangen bisa baca ulang wkwk

3. Bakal tau ending dari cerita ini sebulan/dua bulan lebih awal dari pembaca wattpad.

4. Ada bonus 1 bab cerita tentang anak-anak Sychelles dan Julian. (Ini gak bakal ada di wattpad)

5. Ada bonus-bonus merch seperti topi polos dan stiker untuk yang tercepat order.

How to order?

1. Lewat instagram : hopiesland

2. Lewat id line : @iyg2905v (pakai @ yha) // hopeisme

3. Lewat Facebook : Asabell Audida

Open order akan resmi dibuka malam ini, tepat pukul 7 malam hingga tanggal 15 oktober jam 10 malam.

ADA BONUS 12 TOPI POLOS UNTUK 12 ORANG TERCEPAT yang memesan/melakukan transfer.

Sistem Pre-Order ya, buku diperkirankan jadi awal november dan siap dikirim ke alamat tujuan.

OKAY, UDAH ITU AJA YA. UNTUK HARGA KISARAN 85k, bisa kurang bisa lebih (tidak sampai 90k, karena ada sekitar450- 500 halaman) Harga resmi akan diumumkan nanti malam dia akun sosial media yang sudah tertera di atas.


Well, kasi komen dong buat part ini, gimana ketebak gak kalo kesepakatannya bakal kaya gitu? Kira-kira apa ya yang bakal terjadi selanjutnya?

Continue Reading

You'll Also Like

1.1M 85.5K 35
Apa yang kamu lakukan jika mengulang waktu kembali? Tabitha Veronika Miller sosok gadis yang diberi kesempatan untuk mengulang waktu kembali, kematia...
619K 37.6K 63
(WAJIB FOLLOW SEBELUM MEMBACA!) Ini tentang Amareia Yvette yang kembali ke masa lalu hanya untuk diberi tahu tentang kejanggalan terkait perceraianny...
123K 13.8K 15
(𝐒𝐞𝐫𝐢𝐞𝐬 𝐓𝐫𝐚𝐧𝐬𝐦𝐢𝐠𝐫𝐚𝐬𝐢 3) 𝘊𝘰𝘷𝘦𝘳 𝘣𝘺 𝘸𝘪𝘥𝘺𝘢𝘸𝘢𝘵𝘪0506 ғᴏʟʟᴏᴡ ᴅᴀʜᴜʟᴜ ᴀᴋᴜɴ ᴘᴏᴛᴀ ɪɴɪ ᴜɴᴛᴜᴋ ᴍᴇɴᴅᴜᴋᴜɴɢ ᴊᴀʟᴀɴɴʏᴀ ᴄᴇʀɪᴛᴀ♥︎ ____...
174K 11.1K 19
Ini dia jadinya kalo gadis bar-bar seperti Joana transmigrasi ke dalam sebuah novel romansa dan menjadi anak perempuan dari protagonis yang digambark...