Remember You

By ichaalica

61.9K 5.3K 292

Demi apapun, Irene tak pernah ingin berurusan dengan seorang bad boy lagi. Ia tak ingin terus-menerus hidup d... More

Prolog
Unusual Thursday
Hello, Irene!
Another Side
Smoke
Broken
Tell Me
A Trip to Busan
Haeundae Beach
Tentang Song Mino
Jangan Merindu
Kencan Dadakan
Konser
Hujan Punya Cerita
Butterflies
Give It A try
Hello, Mino
Love Letter
Epilog
Èvader

Espresso

2.2K 243 4
By ichaalica

"Kita mau ke mana?" Irene akhirnya membuka suara setelah entah berapa lama mereka hanya duduk dalam diam di dalam mobil Sehun.

"Makan. Aku lapar," Tak lama Sehun mengehentikan mobilnya di sebuah tempat yang terkenal dengan bibimbapnya.

"Perasaanku sedang campur aduk saat ini, jadi aku ingin makan bibimbap," Irene mendesis pelan mendengar ucapan Sehun. Teori darimana itu? Bilang saja ia mau makan bibimbap. Dasar orang aneh, Irene membatin.

Keduanya segera turun dan tanpa menunggu lama, Sehun segera memesan 2 porsi bibimbap untuk dirinya dan Irene. Irene hanya diam saja menurut.

"Kamu ke mana saja? Aku mencari-carimu," kata Sehun akhirnya. Kedua matanya menatap lurus ke arah Irene, sementara yang ditatap hanya mengalihkan pandangannya, tak mau beradu pandang dengan Sehun.

"Menghindarimu," jawab Irene singkat. Sehun meraih dagu Irene sehingga gadis itu kini tak bisa menghidari tatapan Sehun yang menghunus hingga jantungnya, membuatnya berdetak lebih cepat dari yang seharusnya.

"Kenapa menghindariku? Apa yang salah? Semuanya? Apa maksudnya? Aku tidak mengerti, Bae Irene. Katakan padaku yang sejujurnya," Irene hanya diam, tak bisa menjawab pertanyaan Sehun.  Gadis itu hanya menatap Sehun lama tepat di kedua matanya.

"Irene-a, jawab aku. Jangan menyiksaku seperti ini," kata Sehun lirih. Irene menghela nafas panjang lalu menepis pelan tangan Sehun yang memegang dagunya.

"Maafkan aku," Sehun menunggu gadis itu untuk berkata lebih, namun tak ada lagi kata-kata yang keluar dari bibir mungilnya. Gadis itu hanya menunduk dalam.

"Untuk apa?"

"Untuk semuanya. Aku yang salah. Tidak seharusnya aku bersikap seperti ini. Aku hanya ingin melupakannya dan melihatmu, bersamamu, selalu mengingatkanku pada sosoknya. Itulah mengapa aku memilih menjauh darimu," jawa Irene pelan, nyaris berbisik.

"Siapa dia?" tanya Sehun penasaran.

"Kau tidak perlu tahu," tepat saat itu, pesanan mereka datang dan Irene buru-buru melahap makanannya, menghindari keberlanjutan percakapannya dengan Sehun. Sehun mengurungkan niatnya untuk bertanya lebih jauh, mungkin lain kali. Setidaknya ia sudah mulai melihat sebuah celah di sini.

●○●

Irene membereskan barang-barangnya dengan wajah suntuk. Ia benar-benar tidak bisa berpikir dengan jernih belakangan ini. Tugas-tugasnya banyak yang terbengkalai karena ia menghabiskan kebanyakan waktunya untuk melamun, sehingga kini tugas-tugasnya menumpuk dan tak jarang ia harus merelakan waktu tidurnya demi menyelesaikan tugas.

Baru saja Irene melangkah keluar dari pintu kelasnya, ia sudah dikejutkan dengan kehadiran Sehun yang menunggunya di depan pintu. Irene tak kuasa menahan dagunya yang jatuh begitu saja. Bukan hanya karena melihat Sehun, tapi karena melihat wajah lelaki itu kini berhiaskan luka dan lebam.

"Kenapa sampai seperti itu?" Tanya Sehun seraya menyentuh dagu Irene, menutup mulutnya yang sedari tadi menganga lebar.

"Wajahmu..? Ck kali ini kenapa lagi?" Tanya Irene ketus. Ia melipat kedua tangannya di depan tanda.

"Bukan apa-apa. Hanya salah paham kecil," kata Sehun tersenyum. Irene heran, dengan wajah seperti itu lelaki itu bahkan masih bisa tersenyum cerah. Irene menoleh ke kiri dan ke kanan, mendapati bahwa dirinya dan Sehun kini tengah menjadi tatapan orang-orang yang berlalu-lalang.

Sebagian memperlihatkan wajah bingung, sebagian penasaran, dan sebagian lagi kagum. Ya, mengagumi wajah seorang Oh Sehun. Harus diakui, meski wajahnya penuh luka dan lebam sekalipun, Sehun masih terlihat tampan.

"Lalu ada apa ke sini?"

"Aku merindukanmu," jawaban singkat Sehun membuat Irene memutar bola matanya dengan malas. Apa tidak ada alasan lain yang lebih penting?

"Jangan begitu. Aku jadi ingin menciummu," Irene melotot ke arah Sehun. Tangan gadis itu bahkan sudah mendaratkan pukulan di lengan kiri Sehun, membuat lelaki itu mengaduh. Irene bahkan tidak memperdulikan Sehun, ia malah melangkah melewati laki-laki itu begitu saja, bahkan tanpa menoleh lagi.

"Irene-a!" Panggil Sehun. Sehun berdecak pelan menyadari gadis itu tak memperlambat langkahnya, bahkan menoleh pun tidak. Ia segera berlari menyusul gadis itu dan meraih tangannya.

"Jangan pegang-pegang!" Irene menyentakkan tangan Sehun yang berhasil menggenggam tangan kirinya.

"Omo jangan galak-galak, Nona," kata Sehun, cukup terkejut dengan intonasi Irene yang cukup tajam. Laki-laki itu kini hanya berjalan mengikuti Irene dalam diam, beberapa langkah dibelakangnya.

Irene yang tidak sadar Sehun masih mengikutinya melangkahkan kakinya menuju sebuah cafe. Ia perlu mengerjakan tugasnya sementara menunggu kelas, dan pilihan tempatnya jatuh pada cafe langganannya yang terletak tidak jauh dari gedung ilmu sosial.

Irene duduk di pojok cafe, tempat biasanya ketika ia dan Seulgi berkunjung ke cafe ini. Bedanya, kali ini orang yang duduk di hadapannya bukanlah Seulgi, namun tak lain adalah Sehun.

"Kamu mengikuti aku sedari tadi?" Tanya Irene yang kini menyipitkan matanya. Sehun hanya membalasnya dengan cengiran lebar.

"Kau sudah mengobati lukamu?" Lanjut Irene.

"Tidak perlu, aku ini tangguh. Aku kan laki-laki," ujar Sehun lalu terkekeh pelan. Irene sama sekali tidak habis pikir, bagian mana dari diri Sehun yang mengisyaratkan dirinya seorang bad boy?

Pikirannya melayang kepada sosok Mino. Mereka terlihat bagai cermin. Di depannya, keduanya sosok yang hangat, cerewet, namun suka sekali muncul dengan wajah babak belur. Irene pernah melihat Mino berkelahi. Satu kali. Setelah itu, Mino tak pernah membawa Irene ke dalam segala urusan laki-lakinya.

Irene ingat dengan jelas bagaimana wajah Mino yang selalu penuh jenaka dan sikapnya yang manis berubah 180 derajat saat itu. Ia ingat dengan jelas mata elang Mino yang menatap tajam lawan di depannya, sama seperti ketika waktu itu ia melihat Sehun berkelahi. Apa kedua laki-laki ini seolah punya 2 sisi yang berbeda?

"Hey, kamu mau pesan apa? Jangan melamun terus!" Perkataan Sehun membuyarkan lamunan Irene.

"Aku bisa pesan sendiri," Irene bergerak dari tempat duduknya, namun Sehun menahannya. Irene menatap tajam ke arah tangan Sehun yang kini menahan tangannya. Sehun buru-buru menyingkirkan tangannya yang menahan tangan Irene.

"Biar aku saja yang membeli," kata Sehun ikut-ikutan berdiri.

"Dengan wajah seperti itu? Yang ada pelayannya nanti malah takut denganmu," ujar Irene ketus. "Kamu mau pesan apa?"

"Espresso," jawab Sehun singkat lalu kembali duduk di kursinya.

"Espresso?" Tanya Irene mengulangi jawaban Sehun. Sehun hanya mengangguk. Untuk pertama kalinya, Irene menemukan satu hal berbeda antara Mino dan Sehun.

Espresso.

●○●

Flashback

Irene duduk dengan santai di pojokan salah satu cafe. Kedua matanya sedang fokus membaca novel romansa karangan penulis kesukaannya. Gadis itu bahkan tidak menyadari kehadiran seseorang yang kini sudah duduk di hadapannya.

"Ahem," Mino berdeham mencoba memecah konsentrasi Irene, namun sia-sia saja karna gadisnya itu masih asyik sendiri dalam imajinasinya.

"Irene-a," panggil Mino, namun Irene tetap tidak menyahut.

"Haloooooo," Mino melambai-lambaikan tangannya tepat di depan wajah Irene, membuat gadis itu langsung merengut dengan kesal karena aktivitasnya terganggu.

"Kenapa sih?" Tanya Irene sambil menandai halaman terakhir yang dibacanya dengan pembatas buku lucu pemberian Mino.

"Kok kamu yang marah? Padahal aku loh yang daritadi dicuekkin," ujar Mino yang kini sudah memanyunkan bibirnya.

"Karna kamu ganggu aku baca!" Sahut Irene lalu beralih untuk meneguk caramel macchiato kesukaannya.

"Kenapa kamu selalu pesan macchiato?" Tanya Mino penasaran.

"Kenapa kamu selalu pesan mocha?" Irene malah bertanya balik membuat Mino mendengus kesal.

"Aku yang nanya eh malah balik ditanyain. Susah ya ngomong sama kamu. Duh, untung sayang," kata Mino. Irene hanya terkikik geli.

"Kamu gamau coba espresso? Atau kopi pahit bikinan aku gitu? Katanya laki, tapi gak minum kopi pahit,"

"Mana ada ya laki atau gak diliat dari kopi yang dia minum," kata Mino yang langsung menegak mochanya. Mino adalah tipe orang yang menyukai sesuatu yang manis, seperti permen, es krim, dan senyuman Irene - kata Mino loh ya.

"Kopi pahit bisa menurunkan risiko parkinson loh,"

"Rokok juga bisa loh, Sayang," Mino mengedipkan sebelah matanya membuat Irene mendengus pelan. Memang sih ucapan Mino itu benar.

"Iya, tapi rokok bikin kamu cepet mati," Irene meneguk sisa macchiatonya sebelum beranjak pergi meninggalkan Mino sendirian.

"Ya! Bae Irene! Minumanku belum habis!" Teriakan Mino mengiringi langkah Irene yang semakin jauh. Diam-diam Irene terkikik pelan, entah siapa yang Mino pilih, mocha kesukaannya atau gadis kesayangannya.

●○●

Sehun tak melepaskan pandangannya dari wajah Irene sedari tadi. Gadis itu yang menyadari arah pandang netra Sehun merasa risih, namun pura-pura tidak menyadari tatapan Sehun dan kembali fokus mengerjakan tugasnya.

"Apa tugasmu begitu banyak?" Irene hanya bergumam pelan menjawab pertanyaan Sehun.

"Apa kamu punya waktu luang?" Tanya Sehun lagi.

"Tidak," jawab Irene singkat. Gadis itu mencoba menaruh seluruh konsentrasinya pada tugasnya. Oh, ayolah tugas ini harus ia kumpulkan paling lambat jam 12 malam ini. Irene tak punya waktu untuk berlama-lama meladeni seorang Oh Sehun.

"Apa kau sedang dekat dengan seorang lelaki?"

"Bukan urusanmu," Sehun terkekeh pelan mendengar jawaban Irene.

"Ayolah, aku ingin tahu apakah aku punya saingan atau tidak," Irene mendelik kesal ke arah Sehun sebelum akhirnya amarahnya memuncak.

"Berhenti menggangguku! Berhenti mengusik pikiranku! Aku punya kehidupan yang perlu aku jalani, Sehun-ssi! Apa kau tidak tahu apa yang kau lakukan padaku akhir-akhir ini? Kamu membuatku kembali merana dan menelantarkan tugas-tugas dan diriku sendiri! Puas?" Ujar Irene tajam.

"Jadi, kamu memikirkan aku?" Irene berdecak kesal menyadari kesalahannya. Ia membereskan barang-barangnya namun tangan Sehun lagi-lagi menahannya.

"Lepaskan,"

"Tidak, sebelum kamu menjawab pertanyaan-pertanyaanku. Kenapa aku membuatmu merana? Apa yang aku lakukan?" Sehun balik menatap Irene sama tajamnya, membuat nyali Irene menciut.

"Tidak ada," gadis itu menunduk. "Dari awal, semuanya memang salahku. Tolong lepaskan. Aku harus menyelesaikan tugasku segera," lanjutnya lirih.

Cengkeraman Sehun perlahan mengendur, membiarkan gadis itu kembali mengemasi barang-barangnya sebelum akhirnya ia sedikit membungkuk dan pergi meninggalkan Sehun yang masih bergeming di tempatnya.

Mengapa kamu sulit sekali ditebak, Nona Manis? Aku tidak mengerti

~//~

Continue Reading

You'll Also Like

894K 43.1K 40
Alzan Anendra. Pemuda SMA imut nan nakal yang harus menikah dengan seorang CEO karena paksaan orang tuanya. Alzan kira yang akan menikah adalah kakek...
124K 9.8K 87
Kisah fiksi mengenai kehidupan pernikahan seorang Mayor Teddy, Abdi Negara. Yang menikahi seseorang demi memenuhi keinginan keluarganya dan meneruska...
222K 33.3K 60
Jennie Ruby Jane, dia memutuskan untuk mengadopsi seorang anak di usia nya yang baru genap berumur 24 tahun dan sang anak yang masih berumur 10 bulan...
303K 22.5K 97
Diaforetiká | Galaxy Series #1 © 2018 Grenatalie. Seluruh hak cipta.