Don't Call Me 'Akage'!

By feliciaputri31

242 34 12

Berawal dari rambut merahnya, Lainne harus menumpuk amarah pada orang yang sama setiap harinya. Ia yang awaln... More

Prolog
One
Two
Three
Four
Five
Six
Seven
Eight
Nine
Eleven
Twelve
Thirteen
Fourteen
Fifteen
Sixteen
Seventeen
Eighteen
Epilog

Ten

5 1 0
By feliciaputri31

"What are you doing?"

Begitu berbalik, Henrietta sudah ada di dekatnya. Bahkan Lainne tak menyadari Henrietta sudah bangun dan ikut menguping.

"Is what they said true?" Lainne yang masih belum pulih dari kekagetannya bertanya pelan.

Henrietta menatapnya tajam. "So what, if it's true, will you go?"

"I...I think I will. If I can help." Lainne menyadari ada yang berbeda dari Henrietta. Auranya lebih dingin dari sebelumnya.

"Now that you know my secret, I can't let you go blabbin' 'round 'bout it." Henrietta melangkah maju.

Ketakutan menghantam Lainne. "Don't come near me." Namun suaranya pun mulai menghilang.

Henrietta tertawa. "Your voice is too small. I can't hear ya."

Sekejap kemudian Henrietta sudah menjambak rambut Lainne dan menariknya ke sana kemari. "If you can help, you say?! You peace of shit! There's nothing you can do! Don't ever come!"

Lainne menjerit kesakitan. "Henrietta! It hurts!"

Tiba-tiba jambakannya berhenti. Lainne yang masih tidak berani menoleh ke arah Henrietta gemetar ketakutan. "If! You ever come, or even say you'll come, just think of it as your life forfeit."

Sejak itu Lainne sama sekali tidak berani menatap apalagi berbicara pada Henrietta. Sepupunya itu sangat manis di depan orang dewasa, tapi saat mereka hanya berdua saja, sikapnya kembali seperti malam itu.

* * *

"You changed your mind?" Tanya Lainne ragu-ragu.

"I realized it's really impossible for me to take over. So now you have to go with me." Ujar Henrietta.

Lainne nyengir. "So 'my pace', aren't you?" Lainne yakin Henrietta takkan berubah pikiran hanya karena alasan itu. Ada sesuatu yang belum disembunyikannya.

"I heard you've taken good care of my men in Osaka." Sahut Henrietta. "Sorry, but I will be the one taking care of you. Let's go. Don't waste my time anymore than this."

Lainne tetap tak bergerak dari tempatnya berdiri walau Henrietta sudah berjalan keluar gang itu. "I...I don't want to."

Henrietta menghela napas. "I don't want to use force now that I've grown up. But if you insist, even if your tears dried up I'll drag you to Paris with me."

Tiba-tiba samar-samar Lainne mendengar suara Tetsuya dan yang lain mendekat. Dalam hati ia bersyukur hoodie-nya masih terpasang rapi di kepalanya. "Anyway, I'm not who I was. I won't say I will never go. At the very least give me some time to finish what I have to do here."

Tepat saat itu Tetsuya, Takumi dan Rei lewat dan menyebut nama Lainne dalam percakapan mereka. Lainne berharap sepupunya itu tidak mendengar apapun, namun tampaknya telinga tajam Henrietta menangkap satu kata itu. Namanya.

Henrietta tersenyum menang. "Fine, I'll give you time. Finish all you have to do in a week. I'll pick you up and we'll immediately go to Paris."

"I understand."

* * *

Malam itu setelah makan malam, anak-anak memiliki waktu bebas. Ada yang jalan-jalan keluar, main kartu di kamar, duduk-duduk di lobby, sampai yang tidur lelap di kamar.

Lainne sendiri memilih jalan-jalan di sekitar penginapan. Berbeda sekali dengan jalan di Osaka yang malam-malam masih ramai, walaupun masih jam delapan, di sana sini sudah sepi dan penerangan pun remang-remang.

Ia berjalan tanpa arah menyusuri jalanan tua Kyoto. Tengah merenungkan apa yang terjadi hari itu, Lainne mendongak dan menyadari suasana jalanan itu. Ia serasa berada di jaman Bakusho, saat Shinsengumi bertarung melawan orang-orang imperialis. Ia tersenyum, Menakutkan, tapi kupikir sangat mengasyikkan.

Tiba-tiba sebuah suara menyapanya. "Sedang apa kau di tempat seperti ini?"

"Tetsu-kun." Lainne menoleh terkejut. "Hanya jalan-jalan."

Tetsuya mendekat, "Dengan raut seperti itu kau bilang 'hanya jalan-jalan'?"

"Memangnya wajahku saat ini seperti apa?" Balas Lainne.

"Kecut sekali, berkerut-kerut seperti nenek 70 tahun." Sahut Tetsuya dengan senyum usil seperti biasa.

Lainne mendengus. "Berlebihan sekali. Aku hanya sedang ada pikiran."

Mereka berjalan berdampingan dalam diam sampai Lainne membuka suara. "Bagaimana perasaanmu kalau aku keluar negeri?"

"Hah?"

Lainne berhenti berjalan. "Bagaimana perasaanmu kalau aku keluar negeri?"

Tetsuya menoleh. "Apa maksudmu? Ada apa?"

Lainne mengepalkan tangannya. Bodoh! Untuk apa kau mengatakan ini padanya? Apa juga urusannya denganmu? Kau mungkin suka padanya tapi dia tidak!

"Misalnya, aku keluar negeri dan tidak kembali lagi, bagaimana perasaanmu?" Tanya Lainne, berusaha untuk tidak menceritakan fakta keadaannya.

Tetsuya tertegun. "Kau serius?"

"Aku bilang 'misalnya'."

"Oh, misalnya. Kupikir kau serius." Sahut Tetsuya. "Well, kalaupun kau pergi, semoga berhasil di sana."

Harga diri yang terlalu tinggi menghancurkan seseorang.

Lainne membeku mendengarnya. Lihat, dia sama sekali tidak peduli. Jangan berharap lebih dari ini. Kau baru baikan dengannya dan sekarang berharap lebih? Jangan muluk-muluk kalau minta sesuatu!

Ia akhirnya tersenyum kecil. "I see."

* * *

Keesokan harinya, setengah hari ada jadwal dari sekolah, sedang sisa hari itu adalah jam bebas, waktu yang dinanti-nantikan Lainne dan Tetsuya.

"Kita mau ke mana jam ini?" Tanya Rei begitu mereka sudah boleh jalan-jalan sendiri.

"Em kami mau ke museum manga. Kalau kalian keberatan, kita mencar saja." Jawab Tetsuya.

Rei dan Takumi berpandangan dengan pikiran yang sama. Keduanya tersenyum, lalu mengangguk. "Baiklah. Selamat bersenang-senang!"

Lainne yang baru keluar dari toilet stasiun tertegun melihat Tetsuya sendirian. "Mana Rei-chan?"

"Katanya mereka mau mencar berdua. Bagus juga untuk kita." Sahut Tetsuya.

"Kau benar. Ayo."

Tak lama mereka sampai di museum itu. Setelah membeli tiket, mereka langsung naik ke lantai dua dan menghambur ke galeri-galeri manga yang terhampar di lantai itu.

Di museum itu tersedia berbagai macam manga berasal dari berbagai negara dari awal pertama manga muncul hingga manga terbaru. Lainne berkeliling dengan sebuah senyum gembira terpasang di wajahnya. Setelah mengambil manga yang ingin dibacanya, ia membawanya ke tepian dan duduk membaca.

Entah malaikat apa yang memilihkan manga itu untuk Lainne sampai tanpa diduga ia menangis membacanya.

Kenapa aku merasa manga ini cocok sekali kutipannya denganku?

Manga Pandora Hearts di tangannya hampir saja terkena tetesan air matanya. Manga yang bercerita tentang seorang bocah yang ditolak ayahnya dan dipindah ke dimensi lain hingga harus menjalani hidup berbeda begitu kembali ke dimensinya. Begitu kembali ia harus menerima kenyataan bahwa 10 tahun telah berlalu. Walau begitu, ia masih harus berhadapan dengan berbagai musuh yang ingin membunuhnya.

Dari semua itu, bukan nasib, perlakuan, atau tragedi yang dialami Oz, tokoh utama Pandora Hearts yang membuat Lainne menangis, tapi kata-katanya.

"...However I won't run away. I won't hesitate and move forward as Oz Bezarius."

Sambil menghapus air matanya, Lainne mengembalikan manga itu. Sama-sama dikejar masalah berat, tapi berbeda begitu jauh. Ia melangkah maju tapi aku malah berlari mundur.

Continue Reading

You'll Also Like

ALZELVIN By Diazepam

Teen Fiction

5.9M 331K 36
"Sekalipun hamil anak gue, lo pikir gue bakal peduli?" Ucapan terakhir sebelum cowok brengsek itu pergi. Gadis sebatang kara itu pun akhirnya berj...
54.7M 4.2M 58
Selamat membaca cerita SEPTIHAN: Septian Aidan Nugroho & Jihan Halana BAGIAN Ravispa II Spin Off Novel Galaksi | A Story Teen Fiction by PoppiPertiwi...
902K 66.8K 31
ace, bocah imut yang kehadirannya disembunyikan oleh kedua orangtuanya hingga keluarga besarnya pun tidak mengetahui bahwa mereka memiliki cucu, adik...
1.7M 123K 48
Aneta Almeera. Seorang penulis novel terkenal yang harus kehilangan nyawanya karena tertembak oleh polisi yang salah sasaran. Bagaimana jika jiwanya...