PARTNER

By dqueen_

8.3K 2.1K 236

"Karena aku tahu, bahwa kita akan tetap menjadi kita." -Riki More

CAST
PROLOG
1. [Baru]
2. [Sekarang]
3. [Siapa?]
4. [Kelam]
5. [Pengakuan]
6. [Mr.Robot]
7. [Satu Kali]
8. [Pengakuan ke-2]
9. [Hening]
10. [Masalah Baru]
11. [Silang]
12. [Pesan]
13.[Kostum]
14. [Segitiga]
Iklan Sekejap [penting!]
16. [Detik-detik menuju UAS]
17. [Pertanda]
18. [Menuju Kebenaran]
19.[Gagal]
20. [Bandara]
21. [Terluka]
22. [Jubah hitam]
23. [I'm your Riki]
24. [Siapa Dia?]
25. [Sepupu]
26. [Truth or Dare]
27. [Tahun Ajaran Baru]
28. [Cinta Lama]
29. [Dilla Kembali]
30. [Alasan Kembali]
31. [Drama Kecil ala Tobi]
32. [Tertangkap]
33. [Sulit]

15. [Menyerah? Tidak!]

200 26 11
By dqueen_


Gadget yang di lempar pada tempat tidur yang berbalut warna biru dongker hampir saja melesat ke lantai kamar ku. Entah apa yang aku pikirkan sekarang, namun kepalaku sudah muak dengan semua rahasia yang selama ini ku sembunyikan.

Penuturan yang sejak tadi aku lontarkan semakin menghantui otakku. Betapa bodohnya aku yang memanggil Kanya dengan sebutan 'kay'. Bagaimana jika Kanya menyadarinya? Bagaimana jika Kanya mengetahui yang sebenarnya?

Apa ini saatnya aku membongkar semuanya? Rahasia tentang masa kecil kami? Tapi aku tidak bisa mengatakannya sekarang juga, aku tidak ingin kanya mengetahui secepat ini. Aku takut dia masih belum bisa menerima jika aku adalah Riki. Tapi kepalaku semakin pusing, setiap aku bertemu dengannya bukan pertengkaran yang aku mau, tapi kebahagiaan.

Setiap melihat matanya aku ingin sekali memeluknya, setiap melihat senyumnya aku ingin sekali membalas senyuman itu, setiap aku melihat dia kesulitan ingin sekali aku membantunya. Namun rahasia ini? Aku di tuntut untuk menjadi seseorang yang ketus oleh diriku sendiri.

Kuraih bingkai foto dari dalam laci belajarku, betapa lucunya masa kecil kami, betapa manisnya masa lalu kami. Ini memang kesalahanku, tidak seharusnya aku menyembunyikan semua kebenaran ini.

Aku harus apa? Rongga mulutku selalu saja ingin berkata ketus bila bersamanya. Ingin ku akui semua rahasia ini, namun otakku menuntut untuk tidak mengatakan semuanya.

Tobi!
Ya aku akan menemukan jalan keluar semua ini dari sahabat terbaikku ini. Segera kuraih gadget yang kelempar pada tempat tidur.

Ku cari kontak yang bertuliskan Tobi, dapat! Segera kupilih icon call.

"Ayo tob angkat dong, lu kemana sih?" Beberapa kali ku coba menghubungi Tobi namun dia tidak mengangkatnya. Mungkin dia masih sibuk dengan pensi tadi pikirku. Siapa lagi yang akan membantuku selain sobatku yang satu itu? Kepalaku semakin terasa ingin pecah.

Keadaanku sudah sangat ancur sekarang, tubuh yang hanya berbalut kaos oblong berwarna putih serta training, entah bagaimana sekarang tatanan rambutku dan aku tak peduli lagi.

Gadgetku tiba-tiba berbunyi, semoga bukan Kanya yang menelponku. Kulihat nama yang tertera pada layar gadgetku.

TOBI! Akhirnya Tobi menelponku, segera kuangkat telpon dari sahabat seperjuanganku itu.

"Tobi lu ada dimana? Sibuk ga? Gua butuh bantuan lu."

"Kalem bro, ada apa sih? Nafas dulu baru ngomong ki."

Huhh ... ku coba mengatur nafasku yang tidak beraturan.

"Lu di telpon dari tadi kenapa ga diangkat?"

"Sorry ki, tadi masih disekolah ini aja baru ganti baju, eh pas liat gadget ada 20 panggilan dari lu. Ada apa sih?"

"Gini tob, lu denger kan pas tadi gua ngeMC? Gua berulang kali nyebut nama panggilan masa kecil gua ke Kanya. Gua takut si Kanya curiga tob," ucap ku seraya duduk di sapuan tempat tidur, kini tanganku memainkan stick dram yang kuraih dari atas meja.

"Kan gua udah pernah bilang ki, sesuatu yang dimulai dengan kebohongan itu hasilnya gaakan baik. Gimana kalo nanti Kanya malah marah sama lu gara-gara lu nyembunyiin ini semua? Gua rasa mending lu ngomong yang sebenarnya deh."

Aku memutar balikkan seluruh isi otakku, saran Tobi menuntutku agar aku jujur? Tapi aku masih belum siap. Aku tidak mau kanya mengetahui semuanya sekarang juga, aku ingin mengetahui apa dia mencintaiku sebagai Riki atau malah mencintaiku sebagai Rizki. Apalagi sekarang Reno sudah berpaling dari Kanya, ini saatnya aku mengetahui tentangnya lebih lagi.

"Ki ... Rizki ... Spada ada orang?"

"Eh iya tob, maaf gua ngelamun tadi. Gua bakal tetep sama pendirian gua tob, gua masih mau nyembunyiin semua ini dari Kanya. Makasih udah mau dengerin gue."

"Gua masih bingung sama jalan pikiran lu ki, udah tau Kanya tepat ada di hadapan lu, digebet Ali baru tau rasa lu. Keliatannya tuh anak suka juga sama Kanya."

Hal itu yang sangat aku takutkan, jika Kanya mencintaiku tanpa menyadari aku Riki berarti cintanya kepada Riki tidak tulus, apalagi jika dia sampai mencintai Ali.

"Woy ... Gua di kacangin mulu nih. Ngiunggg ngiunggg, jadi nyamuk dah gua."

"Maaf tob, haha kalem bro. Gaada yang dicintai Kanya ko selain gua. Ali mah lewat."

"Gaya apa tau lu ki, udah ah jam dua lewat nih besok sekolah. Btw PR gua liat ya."

"Yaelah tob kapan sih lu ngerjain PR. Sekali lagi makasih yo."

"You know gua lah, haha. Sama-sama bro."

Sekarang diriku lebih tenang, mungkin memang apapun yang diawali dengan kebohongan tidak akan berbuah baik. Tapi aku memulai kebohongan ini dengan kebaikan, dan aku harap buahnya akan menjadi baik pula. Karna aku yakin kebaikan tidak akan mendatangkan suatu masalah. Sudah sangat larut malam, lebih baik aku tidur saja dan melewati hari esok seperti biasanya.

Aku mematikan lampu tidurku,

Gelap.

🐤

Hari ini Kanya bangun lebih pagi dari biasanya namun dia hanya duduk mematung disapuan tempat tidurnya dengan tangan yang memegang sebuah kalung berliontin hati. Pandangannya hanya tertuju kedepan namun otaknya seakan memutar balik kesegala arah. Berkali-kali batinnya meringis namun satu tetes air mata pun tidak ada yang terjatuh melainkan hanya membendung dikelopak matanya.

"Kenapa kamu pergi ki? Kenapa kamu pindah? Kenapa kamu ga ninggalin satu pun pesan agar aku tau kamu dimana. Kenapa ki?" teriak Kanya memenuhi atmosfer sekitar kamarnya.

Matanya semakin membengkak karna bendungan air mata. Tubuhnya gemetar di sertai jatuhnya setetes air mata yang menelusuri pipinya.

"Aku kangen kamu ki. Aku sayang sama kamu. Aku ga bisa ngelupain kamu gitu aja ki. Kamu dimana? Hah? Kamu dimana?" teriak Kanya kembali yang membuat suaranya semakin serak, kini air matanya telah menetes tak terhitung. Diusapnya air mata itu dengan kasar beberapa kali namun tidak dapat menghentikan keperihan dalam hatinya.

Batinnya sangat sunyi, sepi, bahkan setiap masa lalunya dengan Riki terngiang-ngiang di otaknya batinnya semakin tidak tenang. Di lemparnya kalung liontin ke arah dinding rumahnya yang menimbulkan suara gaduh.

"Aaaaaaa ... Kamu jahat rik. Kamu jahat sama aku. Kamu ninggalin aku gitu aja. Kamu jahat rik!" teriak Kanya semakin menjadi-jadi, mulutnya terus mengeluarkan isakan yang terlihat begitu sakit.

"Apa kamu gapeduli lagi sama aku? Apa cuma aku yang nyari kamu tapi kamu engga? Apa cuma aku yang kangen sama kamu tanpa dapat balesan kangen dari kamu juga?" teriaknya lebih keras lagi hingga tubuhnya runtuh di lantai kamarnya yang berbalut karpet. Dipukulnya berulang kali tempat tidur miliknya seraya melontarkan kata-kata kekecewaan yang dia rasakan, matanya masih terus mengeluarkan cairan bening yang tengah membasahi seluruh bagian pipinya.

"Kamu jahat. Kamu jahat. Jaahaatttt ... "

Bunda yang baru saja terbangun dari tidurnya segera mendengar teriakan dari kamar kanya, dilihatnya jam masih menunjukkan pukul 05.03 dan masih terlalu pagi untuk seorang seperti Kanya bangun dipagi-pagi seperti ini pikirnya. Diraihnya sendal yang berada di bawah tempat tidur dan segera beranjak meninggalkan ayah Indra yang masih tidur nyenyak.

Bunda melangkahkan kakinya menuju dapur untuk mengerjakan tugas paginya yang dilakukan sehari-hari olehnya, yaitu sarapan untuk Kanya dan ayah Indra. Belum sempat bunda menghabisi langkahnya di anak tangga paling bawah tiba-tiba teriakan dari kamar kanya terdengar kembali, dan kini sangat jelas bila itu suara Kanya. Bunda segera menelusuri anak tangga dan berlari kearah kamar Kanya.

Di bukanya pintu kamar Kanya yang tidak dikunci dan akhirnya bunda mendapatkan Kanya yang tengah tersungkur kaku pada lantai kamarnya. Keadaannya sangat kacau, matanya sudah mulai membengkak, rambutnya telah tidak beraturan dan kimono yang di kenakannya telah basah karna air matanya yang tidak berhenti menetes

Bunda melangkahkan kakinya perlahan mendekati Kanya, di usapnya dengan halus rambut Kanya yang sudah tidak beraturan. "Kanya. Ada apa?"

Namun bunda hanya seperti berbicara pada patung, Kanya yang sejak tadi menangis hanya meringkukkan tubuhnya dan memandang kosong ke arah depan. Pandangan bunda jatuh pada kalung berliontin hati milik Kanya. Bunda sangat tau berapa pentingnya kalung itu bagi kanya namun mengapa sekarang kanya malah membuangnya?

Bunda beranjak untuk mengambil kalung Kanya, namun penuturan yang keluar dari rongga mulut Kanya menghentikannya, "ga usah di ambil bun."

Seketika bunda menatap wajah Kanya, mencari jawaban dari penuturan yang diucapkannya beberapa detik lalu. Langkah bunda tetap menuju kearah kalung Kanya dan langsung mengambilnya.

Di raihnya kedua tangan Kanya dan meletakkan kalungnya di kedua telapak tangan Kanya. Kanya melihat kearah bunda dengan serius dan sempat menolak perlakuan bunda namun bunda tetap meletakkan kalung itu dalam genggaman Kanya.

"Seharusnya kamu ga boleh buang kalung ini Kanya."

Kanya hanya mengusap kasar air mata yang menggenangi bola matanya dan langsung mengalihkan pandangannya.

"Lihat bunda. Kamu gaboleh kaya gini terus, kamu harus cari dia. inget Kanya, tidak ada yang lebih berkhasiat dari pada doa dan usaha. Come on honey, kalau kamu cinta ya di kejar."

"Tapi bun ... " ucap Kanya menggantung dan kembali meneteskan air matanya, seketika dia beranjak dari duduknya dan melangkah mendekati cermin hias yang berada didalam kamarnya.

"Aku ga tau mau pakai usaha apalagi, doa aku pun gapernah lepas dari dia. Tapi sampai sekarang, bunda bisa liat kan gaada kabar sama sekali. Bahkan nama aslinya pun aku gatau bun," pekik Kanya seraya membalikkan tubuhnya.

'Rizki Rahman Dicky, itu nama aslinya Kanya,' tutur batin bunda.

"Yang aku tau dia panggil aku kay, dan aku panggil dia Riki. Penyakit aku yang pelupa ini yang bikin aku jauh sama dia. Padahal udah berkali-kali Riki ngasih tau nama aslinya ke aku bun," tukas Kanya dengan nada bicara menyesal seraya duduk di kursi riasnya.

'Kamu udah nemuin dia kanya, bahkan seharusnya kamu sadar panggilan Rizki ke kamu pas semalam di pensi,' tutur batin bunda kembali.

"Bunda ... Bun, ko diem aja sih? Mikirin apaan?"

"Eng ... Enggak Kanya bunda lagi mikir aja, mikir itu lho. Ini udah jam 6.00 lewat tapi kamu belum siap-siap," jawab bunda gugup.

Kanya memalingkan pandangannya menuju ke arah jam dinding yang menempel pada dinding kamarnya. Segera di ambilnya handuk dan melesat dengan cepat ke arah kamar mandi.

Tiga puluh menit berlalu dan akhirnya Kanya keluar dari balik pintu kamar mandinya.

Setelah selesai memakai seragam dan menata rambutnya yang terurai, Kanya segera meraih tas sekolahnya. "Hari rabu," ucap Kanya menggantung, "berarti, bahasa indonesia, PKN, MTK, Biologi dan terakhir SBK. Yaelah segala ketemu bu Ijah," gerutu Kanya seraya memasukkan satu persatu buku pelajarannya.

Di rebahkannya tubuhnya di tempat tidur, "masih jam enam lewat lima puluh, naik mobil mah cepet kan ke sekolah." di raihnya novel dan membacanya perlahan.

Dihari yang ketiga, tepat di hari Rabu pekan lalu aku masih dapat merasakan canda tawanya di ruangan ini. Tidak ada yang dapat mengusik aku dan romeoku termasuk wanita berhati ular itu. Aku hanya dapat termenung di atas balkon kamarku kali ini dengan air mata yang selalu menetes ketika aku mengingat kejadian itu. Sepulang dari rumahku dia masih melambaikan tangannya sebelum sebuah mobil menyambar sepeda motor kekasihku. Wanita psyco yang tidak terima di tinggalkan oleh romeoku selalu berniat menghujam romeoku dengan mata pisau yang selalu menempel bersamanya. Mungkin pikirnya jika dia tidak mendapatkan apa yang dia cintai orang lain pun tidak boleh mendapatkannya, namun apakah presepsi itu benar? Tidak! Itu semua salah, kini dia membuatku serta keluarga romeoku bersedih, undangan yang telah kami sebar kemana-mana kini hanya akan menjadi tumpukkan sampah yang tidak akan terjadi sama sekali. Wanita berhati ular itu membuat impian kami semua hancur. Seperti kaca yang berserakan di kamarku ini karna ku banting ke arah dinding. Bahkan bagiku ini semua tidak adil, beberapa kali romeoku selamat dari hujaman mata pisaunya tapi mengapa saat kami akan menikah wanita itu malah berhasil meleyapkannya? Ini tidak adil.

"Harusnya aku menjaganya setiap hari rabu, karna wanita psyco itu selalu meluncurkan serangannya saat hari rabu. Bodoh ... " teriaknya menusuk rongga dada yang membuat tubuhnya runtuh seketika.

"Udah mau married malah di hempas gitu, kasian juga yah."

"Bentar deh. Hari Rabu?"

"Rabu? Astaga hari sialan. Ini kan jadwal piket gua? Mampus kalo bu Ijah ke duluan patroli gimana? Astaga Kanya bodoh banget sih malah baca novel." di lemparnya novel dengan asal dan segera meraih tas serta sepatunya.

Di telusurinya anak tangga dengan cepat, se sampai di ruang makan dia segera duduk di antara ayah bundanya. Di lahapnya dengan cepat sarapan yang berada tepat di depannya seraya memasang sepatunya.

Ayah dan bunda saling menatap yang kemudian menenggak ludah pasrah. Baru kali ini mereka melihat anak perempuan tunggalnya itu seperti seseorang yang sangat kelaparan.

Kanya menatap kedua orang tuanya dengan mulut yang masih penuh dengan nasi goreng, sebentar dia memicingkam matanya yang menyiratkan 'kenapa bun?'

"Habisin dulu itu yang dimulut kamu," ucap bunda yang diikuti gelengan oleh ayah. "Kamu kenapa sih? Buru-buru banget."

"Sekarang hari rabu bun, Kanya harus piket kalo engga, bisa dapet ceramah dari malampir yang cerewet itu aku bun," ucap Kanya segera menengguk segelas air putih.

Kanya bangun dari duduknya setelah selesai mengikat kedua tali sepatunya dan segera menyandang tasnya. "Udah ayo yah cepet," ucap Kanya seraya menarik tangan ayahnya terus menerus.

Ayahnya yang sedang memegang gelas yang berisi air seketika basah karna guncangan yang dibuat Kanya. "Tuh kan tumpah. Basah nih baju ayah," tukas ayah yang di ikuti tundukkan bersalah oleh kanya.

"Udah yah sana, itu Kanya telat nanti."

Ayah segera bangun dari duduknya dan mengambil kunci mobil, "cepat Kanya atau ayah tinggal."

Kanya segera menghampiri bunda dan tidak lupa berpamitan, seketika bayangannya telah menghilang mengikuti lari kecilnya menuju ke luar rumah.

🐤

"Rizki ... Ki ... Cepat sarapan. Tante ada meeting sama klien penting nih," ucap tante Nengsih seraya melahap sarapannya.

"Udah tan duluan aja," jawab Rizki dengan nada suara agak mengeras dari balik pintu kamarnya.

"Duluan aja? Apa dia lupa kalau sepedanya dipinjem sama anaknya bu marni?" oceh tante Nengsih.

"Maybe mom. Bang Rizky kan orangnya pelupa. Tapi kalo soal kakak cantik itu engga deh kayaknya," tutur Fransisco diselingi tawa yang dibalas picingan mata oleh tante Nengsih. Ruang makan itu kembali di penuhi oleh suara sentuhan sendok dan piring.

Rizki masih sibuk merapihkan kamarnya, aneh? Tidak. Rizki memang tipical pria yang sedikit berbeda, meski kamarnya selalu rapih namun setiap pagi ada saja yang di rapihkannya.

Setelah semua selesai, diraihnya tas biru dongker yang berada di atas meja belajarnya dan segera keluar meninggalkan kamarnya.

Di telusurinya satu persatu anak tangga seraya membenarkan posisi dasi yang melekat pada kerah seragam putih abu-abunya. Tatanan rambutnya pada hari ini semakin membuat aura ketampanannya melayang kemana-mana.

"Rizki mana sih bi? Lama banget," tukas tante nengsih yang semakin geram.

Belum sempat bi Ipeh menjawab tiba-tiba Rizki menarik salah satu meja makan dan mendudukinya seraya menyunggingkan senyuman tipis.

"Selamat pagi tante, ico, bi Ipeh," ucapnya seraya mengambil alih sarapan yang telah disiapkan untuknya sedari tadi. "Nasi goreng ditambah telur mata sapi, asik enak nih kayaknya."

"Udah cepat makan. Ini udah jam berapa?" ucap tante Nengsih kembali menyuap sesendok nasi kedalam mulut.

"Aku kan biasanya berangkat sendiri tan, udah tante duluan aja sama ico," jawab Reno santai.

"Emang kamu mau naik apa kesekolah?" tutur tante Nengsih seraya mengarahkan sendoknya ke Rizki.

"Sepeda lah tan, emang naik helikopter bisa?" Rizki terkikik sendiri dengan omongannya.

"Sepeda bang?" ucap ico malas.

Tante Nengsih hanya memalingkan pandangannya, benar-benar pelupa ponakannya itu lirih batinnya. Rizki hanya bergantian menoleh ke arah tante Nengsih dan Fransisco.

"Ya kan emang biasanya pake sepeda. Ada masalah apa coba?" tanya Rizki yang hanya mendapat balasan hening dari keduanya. Seketika Rizki menepuk keningnya dan tertawa yang semakin memperlihatkan dirinya seperti bipolar.

Sayang sih, ganteng-ganteng stress.

GUBRAK

"Astaga bilang dong tan. Aku kan lupa kalo sepeda di pinjem sama anaknya bu Marni."

"Kamu tuh ketawa biasa aja ki. Nanti cewe-cewe pada ilfeel gimana?" ucap tante Nengsih seraya menengguk air putih.

"Apaan sih tan, jangan ngomong begituan. Ada anak kecil nih." tutur Rizki mengelak yang dibalas tatapan sinis oleh ico, seketika mereka semua tertawa lepas.

🐤

Mobil ayahnya semakin melaju menjauh dari gerbang sekolah Kanya, di liriknya jam tangan berwarna biru yang melekat pada lengannya telah menunjukkan pukul 7.10, sepuluh menit lagi malampir akan menuju ke arah ruang kelas 10 mia 1 pikirnya. Kanya segera berlari menelusuri koridor sekolah dengan tergesa-gesa.

Gubrak!

Lagi-lagi tabrakan. Namun kali ini bukan dengan Rizki melainkan Ali. Kanya segera bangun dari jatuhnya begitupun Ali.

"Kanya maaf ya gua ga sengaja," ucap Ali seraya memberikan novel Kanya yang terjatuh dekat kakinya.

"Oh iya li kalem aja. Gua duluan ya," ucap Kanya santai pada kakak kelasnya itu dan langsung berlari meninggalkan Ali.

Santai sekali bukan? Bagaimana jika di posisi itu adalah Rizki. Bukannya saling minta maaf malah saling menyalahkan pastinya. Mungkin hari ini Dewi Fortuna ada di pihak Kanya.

"Duh tiga menit lagi nih," ucap Kanya kembali berlari ke arah ruang kelasnya. Namun tiba-tiba langkahnya terhenti dengan nafas yang semakin tak beraturan. Dari balik dinding terlihat bu Ijah yang sedang mengecek anggota piket hari ini. Dilihat Kanya lebih serius lagi, disana ada Rani yang menampakkan wajah cemasnya. Pasti malampir itu telah mencari-cari dia sedari tadi pikir Kanya.

Kanya kembali melirik jam tangannya, "yaelah tuh malampir udah nongol aja, baru juga telat satu menit. Mending gua nunggu bel sambil duduk disini aja lah sampai dia pergi dari kelas."

Kanya membuka resleting tasnya dan mengambil gadget. Selain penyuka novel, Kanya adalah seseorang yang tidak pernah ketinggalan zaman alias uptodate dan hampir semua media sosial dia punya, dari facebook, twitter, path, instagram, ask.fm, tumblr dan lainnya.

"Yaelah ini netizen pagi-pagi aja udah pada ngebully valak malah banyak yang bikin parody-parody segala lagi," ucap Kanya seraya membaca trending topic pada media sosialnya.

"Karna seperti matahari, meskipun kamu sempat menghilang kamu akan terlihat kembali," ucap Kanya mengikuti quotes yang muncul di antara timeline pada salah satu akun sosial medianya.

"Seperti matahari? Apa mungkin sama halnya seperti Riki yang menghilang dan dia akan kembali lagi nantinya. Tapi kapan? Sampai nenek-nenek jenggotan?"

"Nunggu itu ga enak ya, kaya ada pait-paitnya gimana gitu." Kanya langsung menyenderkan kepalanya ke tumpuan yang berada di ujung bangku.

Dari kejauhan terlihat laki-laki tampan yang sedang bercengkrama dengan siswi yang berparas lumayan diatas level, laki-laki itu sudah pasti Rizki Rahman Dicky seorang sekretaris OSIS dan yang bercengkrama dengannya adalah anggota OSIS. Wajah Kanya semakin terlihat geram melihat Rizki, namun mulutnya menyangkal kata hatinya.

"Apaan sih tuh cowo, sok kegantengan banget. Ish kenapa gua jadi kepanasan gini sih." Kanya mencoba memalingkan pandangannya namun hatinya terus menginginkan melihat Rizki. "Pergi kek dari sana ihh. Masuk kelas gitu, apa ke kantin kek. Kenapa harus ngobrol sama cewe disana sih?"

"Nahlo ketauan. Lagi merhatiin sekretaris OSIS nih ceritanya," ucap Rani dari balik tubuh Kanya yang hanya dibalas picingan mata oleh kanya. Kanya kembali melihat kearah Rizki bercengkrama tadi namun dia tidak menemukan seorangpun ada disana.

"Mau dipelototin sampe pulang sekolah juga gaakan nongol kankan. Tuh ka Rizki udah balik ke kelas. Dari tadi udah bel tau, lu aja yang ngeram disini terus."

"Apaansih ran siapa yang nyariin robot gila? Udah ah ke kelas ayo."

Rani hanya tertawa melihat sikap Kanya saat salah tingkah, ternyata sahabatnya itu bisa pakai hati juga a.k.a baper pikirnya. Mereka segera kembali ke kelas.

Pelajaran mulai berlangsung, ruang kelas kini dipenuhi dengan kegeningan kecuali suara papan tulis yang sejak tadi diketuk ketika guru mereka menjelaskan. Kanya kembali memicingkan matanya saat melihat sahabatnya seperti tidak tenang, pergerakkan Rani sejak tadi menandakan dia mempunyai sebuah masalah.

Setelah jenggotan menunggu akhirnya bel istirahat pun berbunyi, kini hanya tinggal Kanya dan Rani yang duduk dibelakangnya. Kanya semakin penasaran dengan apa yang menjadi penyebab diamnya sahabatnya itu. Belum sempat Kanya memutarbalikkan tubuhnya tiba-tiba suara malampir yang menggelegar telah menusuk daun telinganya.

"Mampus gua, malampir ngamuk ini mah," pekik batin Kanya seraya menutup matanya. Kanya segera menghampiri bu ijah yang sudah duduk di meja guru.

Terlihat jelas aura tidak bagus dari tatapannya yang menjengkelkan itu, Kanya akan semakin stress jika harus berlama-lama di sana.

"Kenapa kamu tidak piket?" ucapnya dingin dengan mata yang hampir keluar, "sudah berapa kali kamu melakukan kesalahan. Kamu mau ibu kurangin nilai kamu sekarang juga?"

"Yaelah SBK gapenting ini. Anak IPA mah kalem sama SBK," pekik batin Kanya yang menimbulkan senyuman tipis pada bibirnya.

"Semua pelajaran!" dua kata yang kembali menusuk telinga Kanya.

"Eh bu jangan, iya deh ini yang terakhir kalinya saya ga piket. Saya lupa terus bu berangkat cepat kalau hari Rabu. Maafin saya bu," tutur Kanya memohon kepada wali kelasnya itu.

"Ingat, Rabu besok kalau saya tidak melihat kamu piket. Siap-siap nilai kamu tidak aman," tukas bu Ijah kembali. "Rani kamu ikut saya ke kantor."

Rani hanya mengangguk dan mengikuti langkah bu Ijah satu sap di belakangnya sementara Kanya yang belum berhasil mendapat penjelasan dari Rani mengikuti langkah mereka ke tempat tujuan.

"Ruang Administrasi," pekik Kanya pelan seraya mengumpat dibalik tanaman. "Masalah uang dong? Lah Rani ga pernah cerita?"

Tiba-tiba ada telapak tangan yang menepuk pundak Kanya.

Tangan Kanya refleks menepuk keningnya, "maaf bu saya gaada niat ngintip sumpah maaf." dengan nada memohon yang sangat polos kanya membalikkan tubuhnya serta matanya tertutup. Sementara Ali hanya tertawa melihat sikap Kanya yang mirip dengan anak kecil yang meminta ampun saat menumpahkan air ke baju seseorang.

"Ali? Ih nyebelin lu," ucap Kanya seraya merapihkan seragamnya dan memalingkan pandangan ke arah lain.

"Emang lu ngintip apa? Sampai ketakutan sebegitunya."

"Ngintipin Rani sih, tapi dia lagi sama malampir. Kalau ketauan bisa digorok gua."

"Kenapa jadi horor gini? Keseringan nonton valak lu yak. Ahaai," ucap Ali seraya duduk disapuan koridor.

Kanya mengikuti perlakuan ali dan duduk disebelahnya. "Yaelah lu gaada bedanya sama netizen ya. Ngomonginnya valak mulu. Itu lho tadi si Rani masuk ke sana ngapain ya?"

"Tuh dia udah keluar," ucap Ali menunjuk ke arah Rani.

Kedua bola mata Rani mulai berbinar-binar, terlihat jelas tangannya mengepal sebuah kertas dan tidak lama melemparnya ke arah tong sampah. Rani mengusap dengan kasar air mata yang sudah terjatuh dan langsung berjalan meninggalkan ruangan yang membendung kesedihan diwajah cantiknya.

Ali dan Kanya segera menghampiri tong sampah.

"Untung ini kertas gamasuk ke tong sampah," ucap Kanya ketika menemukan kertas yang telah dibuang Rani. Segera dibukanya kertas yang bukan lain adalah tagihan biaya seragam dan buku yang belum dilunasi oleh rani. "Bukannya Rani dapat beasiswa ya? Koo tagihan seragam sama buku tetap diminta sih?"

"Setau gua juga siswa maupun siswi yang mendapat beasiswa bebas biaya apapun apalagi kalangan bawah kaya Rani biasanya dapat uang sekolah setiap bulannya," tutur Ali yang juga kebingungan dengan surat tagihan itu.

Tak di sangka, ternyata dalang dibalik semua masalah ini adalah Sofie. Terlihat dari kejauhan senyuman ular yang tipis pada bibirnya. "Ini belum seberapa Rani. Lu harus tau, Reno cuma milik gua."

Sementara Kanya dan Ali semakin bingung. Mereka langsung memutuskan untuk menemui Reno dan Galuh.

"Woy bro santai dong."

"Cie tumben akur," ucap Reno ketika melihat Kanya dan Ali sangat tergesa-gesa

"Apaan sih lu. Nih liat!" ucap Kanya seraya memberikan surat tagihan dengan kasar kepada Reno. "Sejak kapan siswa yang dapet beasiswa harus bayar seragam sama buku?"

"Rani? Gua juga baru tau peraturan ini. Ada yang ga beres ini mah, bentar gua telpon nyokap." Reno segera mengeluarkan gadgetnya dan langsung menghubungi orang tuanya selaku pendononatur terbesar di sekolah Cendrawasih.

"Halo mah, ini Reno mau tanya soal beasiswa di sekolah ."

"Jadi Reno punya temen, dia termasuk siswi yang mendapat beasiswa dan masyarakat kalangan bawah mah tapi koo dia malah dapat surat tagihan seragam dan buku dari ruang administrasi sih mah?"

"Oh jadi harusnya tagihan itu gaada mah?"

"Oh gitu mah. nama siswinya Rani Kyasitilah kelas 10 mia 1 mah."

"Hah? Jadi itu semua kerjaannya Sofie mah? Oh iya udah mah makasih mah, dah," tutup Reno.

"Sofie?" ucap Ali, Galuh, serta Kanya serempak.

"Iya jadi kata nyokap gua tadi pas dia cek ke orang administrasi sekolah katanya itu disuruh Sofie," ucap Reno yang mulai geram.

"Seenaknya aja ya tuh anak. Mentang-mentang nyokapnya donatur disekolah ini," ucap Kanya dengan nada meninggi.

"Emang dia kira ini lucu apa. Dia kira hal serius gini pantes dibikin jadi lelucon gitu," tukas Galuh mengikuti nada bicara Kanya.

"Terus ... " ucap Ali menggantung yang dihadiahi tatapan oleh ketiga temannya, "terus gua harus bilang apa?"

Kanya hanya memalingkan pandangannya, "dasar padang bengkok. Udah ah gua balik duluan. Bisa stress sebelum waktunya gua disini mulu."

"Apasih lu bule gila, pergi tinggal pergi susah banget," jawab Ali yang dihadiahi tatapan oleh kedua sahabatnya.

Kanya melangkah meninggalkan mereka menuju ke kelas, sedangkan Reno dan Galuh hanya tertawa terbahak-bahak sejak ditinggalkan oleh Kanya.

Ali memicingkan matanya dan terus menatap ke arah Reno dan Galuh. "Eh lu berdua gila ya?"

"Gini nih ren orang padang, bukan cuma pelit something tapi pelit perasaan juga. Giliran ada Kanya sok-sok jutek, nanti kalo Kanya sama Rizki nangis darah dia."

Ali hanya menatap tajam Galuh.

"Bener banget luh, orang mah kalo punya perasaan ya dinyatain jangan di pendem," ucap Reno yang berhasil membuat Ali memandang ke arahnya.

"Kalo ini gua ga setuju ren, lah lu aja sama Rani belum jelas. Belaga nyuruh ali nyatain perasaan," tukas Galuh asal.

Ali tersenyum senang seraya tertawa kecil.

"Jadi lo mihak siapa luh? Ribut aja ayo."

"Yaelah ren kita temenan kali gausah pake emosi," tutur Sli seraya menahan tubuh Reno.

Tangan Reno melepas tangan Ali dengan kasar dan menatap tajam kearah Galuh yang hanya terdiam seperti orang kebingungan. "Yaelah li gua bercanda kali," tuturnya.

"Oh shit! Jadi lu kidding-kidding only," ucap Galuh dengan bahasa inggris yang bulepotan.

"Apaan sih lu luh. Gausah pake bahasa alien deh. Ayolah cabut."

Mereka akhirnya memutuskan kembali kekelas untuk mengikuti pelajaran selanjutnya.

🐤

Tbc,
Jangan lupa vote +comment yah. Thanks❤

[Chapter 16]👉

Continue Reading

You'll Also Like

6.1M 478K 57
Menceritakan tentang gadis SMA yang dijodohkan dengan CEO muda, dia adalah Queenza Xiarra Narvadez dan Erlan Davilan Lergan. Bagaimana jadinya jika...
Miss Rempong By UNI

General Fiction

3.8M 517K 57
Kinanti Wijaya atau orang-orang sering memanggilnya Kiwi merupakan mantan 3rd runner-up Miss Universe perwakilan dari Indonesia, semenjak menorehkan...
133K 6.3K 37
Menguatkan Cinta dengan Bersama Melupakan Cinta karna Takdir sang pencipta. (Muhammad Faizan Zayyan Al-Gifari)
30.7M 1.9M 103
COMPLETED! MASIH LENGKAP DI WATTPAD. DON'T COPY MY STORY! NO PLAGIAT!! (Beberapa bagian yang 18+ dipisah dari cerita, ada di cerita berjudul "Private...