Mr. Gentleman

By ZerooneLps

326K 16.2K 638

Dear My Gentleman, Beritahu aku siapa dirimu Seperti apa wajahmu Seperti apa keindahan tubuhmu Karena aku t... More

Prolog
#01
#02
#03
#05
#06
#07
#08
#09
#10
#11
#12
#13
#14

#04

24.5K 1.2K 43
By ZerooneLps

Oh tidak.

Aku saat ini, bisa dikatakan berada dalam situasi yang menguntungkan sekaligus merugikan. Zeroone, entah sejak kapan sudah berada di atas tubuhku, menindihku dengan tubuhnya yang dua kali lipat jauh lebih besar jika di bandingkan denganku.

Aku tergiur, ya jelas. Aku ingin melepaskan keperawananku, tentu saja tidak. Aku tidak ingin melepas satu-satunya kehormatanku untuk orang yang baru satu kali kutemui. Bahkan bermimpi pun tidak.

Ku akui, Zeroone memang sangatlah mengagumkan. Aku bahkan berani bertaruh kalau pria ini adalah salah satu most wanted di tempat ini. Bisa kusadari dari tatapan iri para wanita yang melihat diriku ketika Zeroone dengan begitu gagahnya merangkul pinggangku.

"Kenapa kau memejamkan matamu, Alana?"

Aku mengerjap. Baru kusadari kalau aku rupanya tengah memejamkan mataku. Dan hei, sejak kapan aku pindah ke ranjang?

"A, maaf tapi sejak kapan aku berada di sini?", ini misterius, sungguh. Karena aku bahkan sama sekali tidak menyadari kalau Zeroone-mungkin, menggendongku ke sini.

Zeroone memalingkan wajahnya sejenak. "Mungkin kau terlalu gugup hingga tidak menyadarinya, lihat tubuhmu gemetar."

Benarkah? Aku mengangkat tanganku dan memang benar yang ia katakan. Aku begitu gemetar hingga kurasa ranjang ini ikut bergetar karenanya.

Aku berusaha keras untuk tersenyum. "Be, begini Tuan Zeroone-", aku menggeser tubuhku perlahan dan menepis tangan pria itu dari sisi tubuhku dengan amat perlahan. Berusaha agar tidak membuatnya tersinggung.

"Aku sangat berterima kasih atas kebaikan hatimu itu, tetapi-"

"Kau menolakku?", Zeroone mengambil kesimpulannya. Dan ya, memang benar. Meski kata menolak bukanlah kata yang tepat.

Aku berhasil berdiri di sisi ranjang dengan Zeroone yang mengikuti. Pria itu berdiri di hadapanku bak dinding beton yang kokoh. Terasa melindungi sekaligus menakutkan.

"Kumohon jangan salah paham, hanya saja kurasa saat ini bukan waktu yang tepat", kau bodoh Alana, mengapa menjawab seperti itu. "Te, temanku saat ini sedang menungguku, mungkin juga mereka sedang mencemaskanku."

"Benarkah?" tanya Zeroone lagi. seolah apa yang kukatakan tidak cukup meyakinkannya.

Aku hanya bisa meremas-remas kedua tanganku. Entah mengapa rasanya begitu sulit berbohong di depan orang ini. "Zeroone, kumohon mengertilah..." akhirnya aku terlihat seperti orang bodoh saat ini.

Hening sejenak. Zeroone hanya menatapku dengan pandangan yang-entahlah, aku sulit membacanya. Topeng hitam yang dikenakan pria ini benar-benar penghalang bagiku.

Tetapi, saat kulihat senyum yang menghiasi wajah pria itu, aku akhirnya bisa menyimpulkan kalau ia tidak marah padaku. Setidaknya itulah yang kupikirkan.

"Ka, kalau begitu boleh aku permisi."

Zeroone mengangkat sebelah tangannya. "Sebentar", dengan langkah sigap ia segera mengenakan kembali pakaiannya.

Oh Tuhan. Aku bahkan tak mampu memalingkan wajahku meski hanya sedetik saja. Zeroone terlalu memukau, terlalu sempurna untuk di acuhkan begitu saja.

"Biar kuantar", ujar pria itu.

Aku hanya bisa membalas dengan senyuman sambil mengikuti langkah pria itu. Yang berjalan dengan gagahnya di depanku. Zeroone bahkan dengan begitu baik hati membukakan pintu untukku.

Namun, satu hal. Genggaman tangan pria itu yang secara tiba-tiba, membuatku spontan berdebar dengan begitu kerasnya. Sesak seolah memenuhi rongga dadaku. Aku, biasanya bukanlah wanita yang mudah dekat dengan seorang pria.

Bahkan dengan Travis pun, aku membutuhkan waktu hampir selama sepuluh tahun untuk lebih mengenalnya dan memutuskan untuk bersedia menjadi kekasihnya.

Dan kini, Oh God-kupandangi para wanita yang masih sibuk bercinta itu- aku merasa kalau aku seolah tidak ada bedanya dengan mereka.

Bagaimana mungkin. Hanya dalam waktu kurang dari satu jam, aku sudah merasa kalau ada ikatan yang kuat di antara kami.

Rasa ini... entahlah aku tidak mampu menjabarkannya secara detail. Tetapi apakah kalian pernah merasakan hal yang sama seperti diriku. Ketika waktu seolah berhenti dan merasa sesak saat berhadapan dengan seorang pria yang baru kalian temui.

***

Kami baru saja melewati lorong pertama ketika secara tiba-tiba Zeroone menghentikan langkah dan nyaris membuat hidungku membentur punggungnya yang keras.

"Apa? Ada apa? Kenapa kau berhenti", aku mendongak menatapnya.

Zeroone tidak menjawabku. Pria itu hanya diam sambil menatap lurus ke depan yang membuatku mau tidak mau mengikuti arah pandangnya.

Dan rupanya, sosok itulah yang tengah di tatapnya. Seorang pria bertubuh tinggi berambut pirang yang tengah berdiri di hadapan kami. Aku belum pernah melihat pria ini sejak kedatanganku ke tempat ini. Namun, setidaknya hanya dengan melihat warna topeng yang dikenakannya, aku bisa langsung mengetahui kalau pria ini sepertinya memiliki kelas yang sama dengan Zeroone.

"Wah, apa aku tidak salah lihat?" pria itu membuka omongan.

Aku beralih menatap Zeroone. Oh bad, entah mengapa aku merasa kalau pria itu bukanlah temannya. Terlebih ketika saat ini Zeroone menggenggam tanganku dengan begitu erat hingga nyaris meremukkan tanganku.

"Ze, Zeroone... tanganku", aku berusaha mengecilkan volume suaraku. Meski aku tahu situasinya tidak tepat, tetapi aku harus benar-benar melakukannya sebelum tangan kananku tidak lagi berbentuk.

Zeroone melihatku, tampak terkejut. Dan pegangannya sedikit mengendur meski nyatanya, pria itu tetap tidak melepaskan tangannya. "Maafkan aku, tetapi di tempat ini. Kau tidak boleh luput dari pengawasanku."

Lagi. Apakah semua ini karena peraturan.

"Dan begitulah rulesnya."

See. Benar saja dugaanku. Ada apa sebenarnya, peraturan macam apa yang di maksud olehnya. Mengapa mereka semua selalu menyebutkan hal itu.

"Peraturan?"

Aku menoleh bersamaan dengan Zeroone. Dan si pirang kini berjalan menghampiri kami, mendekatkan wajahnya hingga berjarak beberapa sentimeter saja dengan Zeroone.

"Apa aku tidak salah dengar", suara si pirang terdengar mengintimidasi. "sejak kapan kau begitu patuh pada peraturan Zeroone?"

Wajah Zeroone sedikit terangkat seolah tengah memamerkan keangkuhannya. "Kurasa oldman tidak akan senang jika mendengar kau berkata seperti itu."

Si pirang tersenyum sinis kemudian menyentuh name tag Zeroone yang tersemat di saku jasnya. "Kenapa? Apa kau menjadi seperti ini karena-benda ini."

Kurasakan Zeroone kembali mencengkeram tanganku. Sial, kalau semakin lama seperti ini, tidak hanya tanganku yang akan menjadi tidak berbentuk namun tulang jemariku pun akan hancur menjadi serpihan.

"Zeroone, bisakah kita pergi saja. Aku harus bergegas." Ya, lebih baik aku menyela pembicaraan mereka di banding aku harus menjadi korban.

Dan syukurlah, karena Zeroone sepertinya menyetujui permintaanku. Pria itu memutuskan untuk mengacuhkan si pirang tadi dan terus berjalan melewatinya.

"Maaf, kalau aku boleh tahu kenapa pria tadi sepertinya begitu sinis padamu?", seharusnya aku memang tidak boleh ikut campur urusan orang lain. Tetapi seperti yang kubilang sebelumnya, lebih baik bertanya dari pada mati penasaran kan.

Zeroone menoleh padaku sejenak. "Dia dulu rekanku, Ramon."

"Ramon?", aku menegaskan kembali. Kadang, meski aku cukup fasih dengan bahasa mereka, namun ada beberapa hal yang membuatku harus mengulanginya. Terutama menyangkut nama seseorang.

"Ya, bukan nama yang sebenarnya. Tapi kau bisa memanggilnya seperti itu di sini." Zeroone menganggukan kepala ketika kami berpapasan dengan pengawal yang berjaga.

Tapi, meskipun aku sudah tahu nama si pirang tadi. Aku sama sekali tidak berharap bisa bertemu dengannya lagi. Entah mengapa, pria itu terlalu menakutkan. Meski aku tidak bisa melihat wajahnya secara langsung karena topeng hitam yang dikenakannya. Namun bahasa tubuh serta ucapannya yang terdengar sinis, aku benar-benar tidak menyukainya.

Hanya saja satu hal yang mengusikku. Jika Ramon bukanlah nama sebenarnya, maka Zeroone pun-, "Apa Zeroone juga bukan namamu yang sebenarnya?"

Zeroone melihatku seraya tersenyum namun bisa kulihat dengan jelas ketika ia sedikit menganggukan kepalanya.

Seolah, ia membenarkan ucapanku tetapi ia tidak ingin orang lain tahu kalau ia mengakuinya.

"Alana, aku ingin kau tahu satu hal", ujar Zeroone. Aku mendongak menatapnya, sedikit memundurkan kepalaku alih-alih agar bisa melihat ekspresinya dari celah topeng yang ia kenakan.

"Ini adalah pertemuan terakhir kita."

Aku spontan menghentikan langkahku. "Kenapa begitu?"

"Kau sudah tahu bukan, aku adalah salah satu Gentleman di sini. Kau tidak bisa dengan mudah datang dan menemui salah satu dari pria di tempat ini." Papar Zeroone.

Tentu aku bisa memahami dengan jelas apa maksudnya. Karena, untuk bertemu dengan salah satu dari mereka, aku haruslah menggunakan uangku. Seperti para wanita itu. Dan kini, aku cukup menyesal karena melewatkan penawaran yang diberikan Zeroone tadi.

"Apakah kita tidak bisa bertemu lagi entah dimana dan tanpa topeng itu?" bukan hanya cukup, aku benar-benar sudah menyesal kini.

Zeroone berbalik menghadapku. Menatapku dari balik topeng hitamnya.

Aku tidak bisa lagi mengendalikan detak jantungku yang terus saja bergemuruh sejak tadi. Aku juga tidak bisa mengabaikan keinginan hati kecilku. Aku... ingin tahu lebih jauh tentang orang ini.

Aku tidak peduli dengan peraturan sialan itu. Karena yang aku tahu kini, aku hanya ingin bertemu lagi dengan orang ini, saling mengenal lebih jauh. Dan mungkin yang paling mustahil adalah, aku ingin bersama dengannya.

Zeroone tidak mengatakan apapun untuk menjawab pertanyaanku. Dia hanya menatapku lekat sambil membelai lembut wajahku dengan ibu jarinya.

Hingga hanya dalam hitungan detik, tanpa aku bisa menduganya. Bibir tipis itu sudah berada di bibirku. Menempel dengan begitu intens.

Sebelah tangannya menarik tubuhku agar mendekat padanya. Aku hanya diam, berusaha keras untuk diam. Bayangan Travis terus melintas di kepalaku. Dan ciuman itu terlepas begitu saja.

Aku membuka mataku. Melihat Zeroone yang masih terpaku. Kurasa, aku sedikit memahami apa yang ia pikirkan. Aku terus saja membungkam mulutku begitu rapat, dan tentu saja Zeroone akan menganggap kalau aku menolaknya. Untuk yang kedua kali.

Tidak.

Aku tidak ingin seperti ini. Aku sudah kehilangan Travis dan aku tidak ingin kehilangan lagi. Kuraih bahu pria itu, entah dengan keberanian dari mana. Kemudian memberikannya sebuah ciuman.

Ciuman paling brutal yang belum pernah aku lakukan sebelumnya.

Dan Zeroone, tanpa perlu waktu untuk berpikir, sudah membalas dengan melumat habis bibirku. Ia bahkan mendorongku hingga punggungku membentur dinding dengan keras. Anehnya, aku tidak merasa sakit sedikitpun.

Aku tenggelam dalam gairah yang tak terbendung.

Belum pernah aku merasa begitu terbakar seperti saat ini. Aku juga belum pernah segila ini hingga mengabaikan orang-orang yang melihat aksi kami.

Zeroone menyingkap sebuah tirai di belakangku, memaksa diriku untuk masuk ke dalam ruangan sempit itu. Entah ruangan apa, aku tidak sempat untuk memperhatikannya.

Aku terlalu sibuk melepaskan dasi serta jas pria itu. Kemudian melepaskan kaitan kancingnya satu persatu. Napasku menggebu, jantungku berdetak tidak beraturan dan aku bahkan sudah basah.

Ini adalah sensasi paling gila yang pernah kurasakan. Ketika Zeroone dengan begitu gagahnya mengangkat tubuhku dan mendudukkanku di atas sesuatu.

Wastafel?!

Aku melihat sekelilingku dari balik kepala Zeroone. Sial, rupanya aku terjebak di dalam toilet pria.

Anehnya, bahkan sebelum Zeroone sempat mengatakan sesuatu, semua lelaki yang berada di dalam ruangan itu langsung bergegas pergi hanya karena Zeroone menatap mereka.

Aku menatap Zeroone dengan takjub. "Siapa kau sebenarnya?"

Zeroone hanya tersenyum singkat dan meraih tubuhku lagi ke dalam dekapannya. Memelukku dengan sangat erat hingga aku bisa mendengar dengan jelas kalau ia sedang merasakan hal yang sama denganku.

"Aku adalah seorang Sweeper", bisiknya yang nyaris tidak dapat kudengar.

***

Tbc.

Continue Reading

You'll Also Like

248K 18.7K 43
Nara, seorang gadis biasa yang begitu menyukai novel. Namun, setelah kelelahan akibat sakit yang dideritanya, Nara terbangun sebagai Daisy dalam dun...
7M 47.9K 60
harap bijak dalam membaca, yang masih bocil harap menjauh. Kalau masih nekat baca dosa ditanggung sendiri. satu judul cerita Mimin usahakan paling b...
2.6M 11.6K 30
LAPAK DEWASA 21++ JANGAN BACA KALAU MASIH BELUM CUKUP UMUR!! Bagian 21++ Di Karyakarsa beserta gambar giftnya. 🔞🔞 Alden Maheswara. Seorang siswa...
171K 11.1K 23
Akankah kisah tragis terulang kembali? °°° 'Hikayat cinta Sang Iblis', lanjutan dari cerita 'Di bawah naungan Sang Iblis' Cover by Pinterest and Me