Red Circle (ON HOLD)

Oleh Cendarkna

47.2K 3.2K 132

Rachel Dalton adalah mahasiswi Universitas Brown yang menghabiskan liburannya di rumah pamannya, John Evergre... Lebih Banyak

Prolog - Jejak Pertama
Bagian Satu - Foto di Atas Perapian
Bagian Dua - Antara Buronan, Tersangka, dan Korban
Bagian Tiga - Red Circle?
Bagian Empat - Museum Louvre
Bagian Lima - Toko Perhiasan
Bagian Enam - Kartu Mati
Bagian Tujuh - PHI
Bagian Delapan - Kata Mutiara Michelangelo
Bagian Sembilan - Pemburu Emerald
Bagian Sepuluh - Berkemas
Bagian Sebelas - Kapel Sistina
Bagian Duabelas - Pentagram
Bagian Empatbelas - London

Bagian Tigabelas - Pesan dalam Pesan

1.7K 146 11
Oleh Cendarkna

Bagian Tigabelas

Pesan Dalam Pesan

“Kenapa kau lakukan ini, Demi? Kau membunuh Profesor Connely, pemimpin kita?”

“Maaf, Bibi Sabrina, Aku hanya menginginkan benda itu. Siapa yang membawanya?”

“Tidak, Demi. Dengarkan bibi, bukankah kau sudah berjanji tidak menyalahgunakan kepintaranmu?”

“Tapi aku menginginkan benda itu. Aku ingin membuat Mom bangga.”

“Tidak dengan cara seperti ini! Kau membunuh profesor!”

“Karena dia membunuh Mom, Bibi.”

“Itu kecelakaan. Kau pasti tahu bahwa ibumu meninggal karena efek formula yang diciptakannya sendiri.”

“Bohong.”

“Kau bahkan tidak mempercayaiku?”

“Aku tidak pecaya pada siapapun untuk saat ini.”

“Apa yang kaulakukan pada pistol itu? Letakkan, Sayang…”

“Kalau bibi tidak mau mengatakannya, maafkan aku peluru dalam pistol ini harus menembus kepalamu.”

Rachel’s Point of View

Perjalanan menuju Mesir membutuhkan waktu yang tidak singkat. Kami mencari flat untuk tempat tinggal. Nick dan Justin bergantian berjaga dua puluh empat jam demi keamanan kami sementara aku dan Destiny mulai memecahkan kode pentagram yang dimaksud. Pertanyaannya adalah apa maksud pentagram tersebut? Selama kami berdiskusi, kulihat Barbara tidak tertarik dengan apa yang kami lakukan. Dia hanya duduk-duduk, menaikkan kakinya di atas meja sambil berkutat dengan laptopnya.

“Apakah pentagram itu terletak di paramida?” tanyaku sambil membuka-buka jilidan daftar anggota PHI.

Destiny mengedikkan bahunya seraya meneguk diet coke. Diraihnya gambar pentagram yang telah dibuatnya di pekarangan rumah Profesor Courtenay. Dia mengelus dagunya sambil terus berpikir. Sedikit heran dalam benakku selama ini, Destiny sangat cerdas dan jenius, mengapa dia gagal menjalani seleksi menjadi detektif CIA?

“Kau itu pintar, kenapa kau gagal masuk CIA?” tanyaku secara tiba-tiba.

Seperti yang sudah kutebak, Destiny melengos. Dia menunduk tanpa menarik perhatiannya kepadaku. “Karena mereka tahu aku punya catatan kriminal.”

“Huh?” Alisku bertautan heran.

“Ya. Aku dan Devian memiliki catatan kriminal. Kami iseng mencuri karena ingin mendapat perhatian orangtuaku.” Dikedikkan bahunya seraya menghempaskan kertas dalam genggamannya di atas meja. “Sayangnya, mereka tidak terlalu peduli, sebab tiap dihubungi oleh polisi, mereka sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Itulah sebabnya aku tidak diterima menjadi detektif legal.”

Aku mengatupkan bibirku membentuk garis lurus. Sebaiknya tak usah kuungkit lagi kejadian itu. Destiny pasti tidak ingin mengingat-ingatnya lagi. Maka, kami kembali menyibukkan diri.

“Pada siapa benda itu diberikan oleh Profesor Courtenay?” Destiny mendesah frustasi. “Pentagram. Apa hubungannya orang ini dengan pentagram?”

Itu juga menjadi pertanyaanku dari tadi, pikirku. Aku menimbang-nimbang kembali kata kunci yang diberikan profesor Courtenay. Pentagram. Apa hubungannya?

“Pentagram dihubungkan dengan dewi Venus atau bintang Venus, kalau kalian ingin tahu,” saut Barbara tanpa mengalihkan perhatiannya dari laptop. Otomatis, aku dan Destiny menatapnya bingung. “Apabila dilihat dari bumi dengan menghubungkannya bersama zodiac, Venus membentuk sebuah bintang dengan lima ujung lancip yang mengelilingi Matahari tiap delapan tahun sekali, dan akan kembali ke tempat awalnya setelah mengalami siklus selama empat puluh tahun.”

“Venus?” ulangku.

Pada akhirnya, Barbara menoleh ke arah kami. “Ya, seperti yang pernah kubaca. Venus dan pentagram sangat berhubungan erat.”

Aku teringat sesuatu dari penjelasan Barbara. Baru beberapa waktu yang lalu kubuka jilidan di tanganku ini, sekarang aku sudah mendapatkan satu nama yang melayang-layang di benakku. “Venus. Venusa. Ya!”

Segera kubuka lembar jilidan di tanganku ini. Destiny duduk merapat di sebelahku, mengamati baik-baik pergerakanku yang tergesa-gesa. Satu lembar berisikan sebuah data seorang anggota PHI tampak di hadapan kami.

Full Name         : Venusa Isabella Hart

A.k.a                 : Venus

Member Since  : 1970

“Aha. Venusa Hart. Sekarang kita akan mencari keberadaannya di Mesir ini.” Destiny mengangkat sebelah alisnya.

Aku menarik napas dalam-dalam. Siapakah pemilik sebenarnya Red Circle? Di mana keberadaannya? Aku tak mampu menjabarkannya secara luas apabila belum juga ditemukan oleh benda itu.

Diam-diam aku berpikir, sampai kapan ini berakhir? Hampir satu bulan kami mengelilingi dunia dari Paris, Italia, sampai ke Mesir demi mencari keberadaan benda itu. Sepertinya Destiny memang sangat berniat mengungkap misteri Red Circle beserta pembunuhan anggota PHI. Barangkali untuk membersihkan nama baiknya, entahlah. Apabila Demetria De La Garza adalah dalang pembunuhan seluruh anggota PHI, aku benar-benar tertarik untuk membunuhnya. Dia mencari keberadaan benda itu, membunuh anggota PHI lainnya, hanya demi misi yang tidak kuketahui. Lantas, di mana Alison kalau begitu???

Devian’s Point of View

“Oke, aku sudah berniat untuk berhenti. Tapi, ini gila…” aku menggerutu tidak jelas, berhadapan dengan komputer yang tersambung bersama kabel-kabel lainnya. Kali ini aku sedang iseng meretas jaringan situs rahasia yang keberadaannya tak pernah kusadari.

Aku menghabiskan satu lingkaran pizza sambil menjalankan kursor ke sana ke mari, menyadap segala informasi yang diunggah di jaringan itu. Hingga pada kesempatan ini, ada yang menarik perhatianku, lebih menarik daripada hal-hal lainnya dari situs yang sedang kubuka. Aku memajukan tubuhku, melihat dengan jelas sesuatu yang menarik tersebut.

Shit.” Entah apakah hal itu sangat lucu bagiku, namun aku tertawa pelan. Aku melihat sebuah artikel. Setelah kubaca sampai habis, barulah aku mengetahui topik apa yang ditulis pada artikel tersebut.

Hmm… baru tahu, ada sebuah tempat di mana anak-anak dan remaja dikurung dalam satu bangunan besar dengan penjagaan ekstra ketat. Bangunan itu disebut sebagai asrama. Disebutkan pula di artikel ini, seorang anggota organisasi rahasia Philosopher and Historian Intelligence, menitipkan anaknya di sana. Kalau kutarik kesimpulan, tempat itu tidak seperti asrama, melainkan penjara yang mengurung murid-muridnya hingga tak mendapatkan kesempatan bebas, sampai mereka benar-benar siap dibentuk sebagai orang yang hebat. Mengerikan. Ibu mana yang tega mengirimkan anaknya ke tempat seperti itu.

Aku memutar bola mata kesal mendengar bel dari luar. Padahal belum sempat kulanjutkan membaca yang lainnya. Segera kubuka pintu rumah dan mendapati dua orang berseragam tengah berdiri tegap saling melayangkan tatapan menghakimi.

Aku mengenali tanda yang dibawa mereka. Mereka anggota CIA. O-oh, mati sudah.

Destiny’s Point of View

Devian tidak bisa dihubungi sejak tadi. Ada apa dengannya? Aku sudah mencoba menyambungkan ponselku dengan komputer dan telepon di rumah, tetap saja tidak ada balasan. Mendadak aku sangat resah memikirkan keadaannya di sana. Jangan-jangan CIA berhasil menyudik dan menahannya? Aku tidak terlalu memedulikan diriku, aku jauh lebih peduli dengan Devian. Bagaimana kalau dia benar-benar dibawa ke penjara?

“Hai, kulihat kau sedang resah,” Nick mengagetkan di sebelahku.

Aku membalasnya dengan senyum simpul dan malas. “Aku mengkhawatirkan adikku.”

Sambil memosisikan dirinya lebih dekat denganku, Nick menyandarkan tangannya pada birai balkon. “Kenapa tidak dihubungi?”

“Tidak ada yang mengangkat telepon.”

“Rileks, dia anak laki-laki, kan? Pasti baik-baik saja.”

Aku terdiam untuk mengamati mobil-mobil dan sepeda berlalu lalang di jalanan sepi. Kuhela napas pendek, lantas mengubah mimik wajahku. “Kenapa kau kemari?”

“Hanya… ingin mengobrol denganmu.”

“Sepertinya kau belum cukup puas mengejekku?” Aku mencebikkan bibir. Saat kualihkan perhatianku menatapnya, mendadak cairan di lambungku seolah naik hingga ke kerongkongan melihat dua manik matanya tengah menatapku. “Apa yang kaulihat?” Kenapa aku jadi gugup seperti ini? Jeez, Dee. Jangan bilang kalau aku mulai tertarik dengannya, meskipun kuakui Nick sangat good looking.

“Kenapa memangnya?”

Aku membuang muka. “Aku tidak suka ditatap seperti itu.” Kutarik napas lagi, kali ini lebih dalam dan menghembuskannya panjang. Dari sini, masih bisa kulihat Nick mengamatiku sambil tertawa tanpa suara. Melihat tingkah anehnya, aku menaikkan ujung bibirku kesal.

“Jangan menatapku seperti itu.” Aku memutar bola mata kesal.

“Kau memang pintar. Tapi, kepintaranmu tidak berlaku di depanku. Karena orang yang tengah jatuh cinta akan terlihat bodoh di depan orang yang dicintainya.”

Mataku membulat mendengar kalimatnya sehingga aku menoleh ke arah Nick yang menyengir lebar. “Kau bilang apa?”

“Apa definisku kurang lengkap, Miss Cyrus?”

“Aku tidak pernah suka—bahkan tertarik sedikit pun tidak—padamu. Kau hanya seorang pembunuh bayaran payah. ” Jariku teracung lurus tepat di depan wajahnya. Bukannya marah atau tersinggung, Nick terkekeh pelan.

“Jangan sok begitu. Kau justru terlihat seperti kentang.”

“Kurang ajar.” Tanganku melayang hendak memukulnya, namun dengan gesit Nick menahan pergelangan tanganku.

“Peraturan pertama ketika sedang jatuh cinta, dilarang menggunakan kekerasan pada orang yang disukainya.”

Ya ampun, apa sih maunya. Lihat, aku pasti kelihatan bodoh dengan warna merah malu tersemburat di kedua pipiku. Nick memang perayu yang jitu, kuakui itu.

Tangan Nick memegang erat pergelangan tanganku sampai-sampai aku tidak dapat menariknya. Dia menarikku lebih mendekat, sampai bisa kucium aroma Lacoste dari tubuhnya. Aku menelan ludah dengan susah payah melihat dua lensa matanya yang mengunciku, membuatku seperti orang tolol seketika. Secara instingtif, aku memelototkan mata.

“Peraturan kedua, dilarang menatap orang yang disuka seperti itu,” lanjutnya berbisik.

I don’t give a serious shit about your rules.”

“Nah, aku suka gadis pembangkang.” Nick menarik daguku, lantas menautkan bibirnya pada bibirku. Dia melepas pergelangan tanganku dan menyentuh kedua pipiku.

Terdengar bunyi melalui ponselku yang otomatis membuatku menarik diri dari Nick. Ada beberapa pemberitahuan yang sempat kuabaikan di ponselku, termasuk pesan-pesan masuk di email. Entah apakah aku harus lega atau resah melihat satu pesan masuk di email. Itu dari Devian. Secepatnya kubuka pesan tersebut.

from       : dev_cyrus@me.com

to            : dee_cyrus@me.com

subject    :

– · – · – – · – – · ·

Aku membuka mulut terkejut melihat pesan itu. Kepalaku tersentak, bahkan mataku tidak berkedip selama beberapa detik. Itu adalah morse tanda bahaya atau CQD. Sejenak, aku tak dapat bernapas. Astaga, sepertinya Devian berhasil ditangkap CIA. Itu artinya aku tidak memiliki waktu banyak lagi mencari benda itu.

Rachel’s Point of View

Sudah kukatakan pada Justin bahwa mulai saat ini tidak boleh ada rahasia lagi di antara kami. Ditemani lampu yang hanya bersinar temaram dalam kamar flat ini, aku mulai menjelaskan semua rahasia kehidupanku, baik rahasia kecil hingga besar. Cerita-cerita yang diantarnya begitu menyakitkan. Tampak keraguan dan rasa sakit yang ditunjukkan melalui kedua matanya tiap menceritakan detailnya.

Bukan maksudku ingin membuatnya sendu seperti itu, aku bahkan sudah memintanya kalau dia boleh tidak menceritakan kenangan-kenangannya. Akan tetapi, Justin sendiri yang bersikeras.

“Nasib seseorang memang tidak bisa dilihat dan diprediksi. Yang kita lakukan hanyalah mengikuti alurnya seperti lintasan roller coaster. Kadang kita merasa takut berada di puncak atau dihempaskan melalui ketinggian, kadang pula kita merasa lega setelah berada jauh dari ketinggian,” ujarnya. Dihelanya napas pendek sambil melingkarkan lengannya untuk membawaku lebih merapat pada tubuhnya. “Mari lanjutkan lagi. Hm, sampai mana?”

“Pengakuan dua puluh dua.”

“Oke, sekarang pengakuan dua puluh tiga.” Justin mengelus hidungnya. “Aku mencuri cincin dari seorang wanita untuk kuberikan padamu. Cincin yang kubeli sebelumnya hilang entah kemana, jadi Michael memberi saran untuk mengambil yang lain.”

Aku memukulnya pelan. “Sialan, jadi cincin ini curian?” Aku menggeleng-gelengkan kepalaku mendengar pengakuan seperti tadi.

Justin hanya tertawa pelan, lantas mengecup puncak kepalaku. “Pengakuan ke dua puluh empat, aku pernah meniduri Barbara.”

“Apa?” nadaku naik setengah oktaf dan menjauhkan kepalaku darinya. “Apa maksud kalimat itu?”

“Bukan, bukan aku. Lebih tepatnya, Jason.” Justin memberikan tatapan minta maaf. “Jason selalu terobsesi pada Barbara. Aku tidak mungkin melakukan itu pada sahabatku.”

Aku tersenyum kecut mendengar pengakuan itu.

“Pengakuan terakhir, aku pernah membunuh seseorang yang sangat kucintai.”

Mataku berhenti berkedip mendengar pengakuan terakhirnya. “Maksudmu…”

“Ya. Namanya Alexis Rukouff. Aku membunuhnya lantaran dia anak pemilik benda keparat itu. Namun karena dia tidak tahu apapun mengenai keberadaan ayahnya maupun benda itu, dia diculik oleh bosku, Nicole. Dia disandra dan dipaksa untuk memberitahu siapa gadis dalam foto yang dipegangnya.” Justin menggumam pelan bersamaan dengan keningku yang mengernyit. “Dia memegang fotomu yang masih bayi. Itulah kenapa mereka menganggap kau tahu keberadaan Red Circle. Sudah lama aku mencari informasi mengenaimu. Dan setelah aku menemukanmu, kau menggagalkan tugasku dengan membuatku jatuh cinta padamu.”

Aku mengedipkan mataku beberapa kali. Pikiran-pikiran asing melintang dalam benakku usai mendengar penjelasannya. Alexis Rukouff. Aku tidak menemukan data seseorang dengan marga Rukouff di jilidan kertas itu, namun aku mengenali Alexis Rukouff atau yang sering dipanggil Lexy. Dia temanku di Brown. Kami saling mengenal dari sebuah ekstra kampus yang kami ikuti, yakni jiu jitsu.

“Kau membunuh Lexy?” Aku menggigit bawah bibirku setengah syok. “Dia… dia temanku.”

Kuingat-ingat kembali sosok Lexy yang sering menemaniku di lingkungan kampus, bahkan mengajakku pergi atau ikut aku pergi kemanapun kakiku melangkah seolah dia memiliki tugas untuk melindungiku. Akan tetapi, dia tidak pernah bercerita sedikit pun tentang pacarnya, Justin. Mungkinkah karena dia tahu bahwa organisasi Justin mencari keberadaan benda itu, yang menganggap aku mengetahuinya? Itukah sebabnya dia seakan mengawalku tiap waktu? Dia… memantauku? Melindungiku? Menutupi bauku?

“Dia temanmu.” Justin menggumam lagi. Meskipun aku tahu itu bukan sebuah pertanyaan, melainkan pernyataan, aku bisa menangkap nada janggal itu. “Bukan aku yang membunuhnya. Jason.”

Lagi-lagi si begundal Jason. Ya, bisa kutebak kalau Justin tak mungkin membunuh orang yang pernah dicintainya. Aku percaya sepenuhnya. Jika ada pertanyaan yang terlontar padaku, menanyakan siapakah orang yang kupercaya di dunia ini, Justin adalah jawabannya. Satu-satunya orang yang kupercaya karena aku tidak memiliki siapa-siapa.

“Aku juga akan membuat pengakuan,” kataku pelan. Kuangkat kedua alisku sedangkan Justin sudah menghujani tatapan menunggu. “Aku membangkang. Aku tidak pergi ke swalayan melainkan mengikutimu dari belakang. Hanya saja mereka berhasil menemukanku dan aku hampir tertangkap—“

“Kenapa kau lakukan itu?” Justin menginterupsi. Aku mengatupkan rahangku mendapati nada tajam seperti itu. “Bukankah aku sudah memerintahkanmu untuk pergi ke tempat ramai? Kau tidak mematuhi instruksiku.”

“Maaf…” Aku menengadah agar bisa berhadapan dengan kedua mata hazellnya yang indah. “Aku tahu aku salah. Tapi, aku sudah bilang kan kalau aku bukanlah tokoh perempuan payah yang menggantungkan nasib pada pacarnya. Lagipula aku berhasil lolos, itu bagian terpentingnya. Berhenti mencemaskanku. Kau bertarung, aku ikut bertarung.” Dia meraih telapak tanganku, meremasnya lembut, lantas mengecupnya.

“Terdengar berlebihan,” keluhnya. “Tapi aku suka. Beruntung aku tidak bertemu dengan ayahmu. Bisa-bisa dia menangkapku karena berani mengencani putri semata wayangnya. Itu tindakan kriminal paling jahat yang pernah kulakukan.”

Aku menyunggingkan senyum lebar melihat kedua ujung bibirnya ditarik ke atas. Dia tidak mempermasalahkan kejadian itu, syukurlah. Lagipula kelalaian seperti tempo lalu hanyalah bagian kecil dari beberapa rintangan ke depan. Tanpa adanya kejadian seperti itu, aku tidak bisa belajar menghadapi musuhku. Bagaimana juga, aku belum sampai pada titik terakhir. Belum.

Justin menyentuh kepalaku seraya memajukan kepalanya, menekan bibirnya pada bibirku, sedang aku memejamkan mata merasakan ciuman darinya. Dia memang selalu berhasil membuatku melupakan berbagai hal yang ada di pikiranku seolah dia memiliki cara sendiri, yakni menghipnotisku hingga membawaku masuk ke alam bawah sadar. Entah bagaimana caranya, aku tidak begitu peduli.

Bisa dibilang kalau Justin sangat cekatan. Bukan hanya urusan merakit senjata, dia juga cekatan membuka bajuku sau per satu dalam waktu singkat. Terkadang aku ingin bertanya, darimana dia belajar kecepatan tangan, demikian pula dengan Barbara. Sudah kupastikan kalau organisasi yang pernah menaungi Justin dan Barbara memiliki banyak orang hebat yang menciptakan orang hebat lainnya; sebagai contoh Justin dan Barbara tentu saja.

Aku melilitkan tungkaiku pada kakinya, merasakan hembusan napasnya di leherku, dan bibir serta lidahnya menjelajahi tiap rongga mulutku.

“Berjanjilah kalau semua ini berakhir, kau mau berjalan membawa buket bunga menjemputku di altar,” bisiknya.

Aku tersenyum mendengar kalimat itu. “Tentu.”

Dan dia kembali menciumku.

Destiny’s Point of View

Aku mondar-mandir sembari menggigit jariku pagi harinya. Bahkan ponselku kumatikan untuk menghindari pelacakan CIA. Aku tahu Devian tidak akan memberi informasi sedikit pun mengenai keberadaanku. Yang jadi masalah, mana tega aku membiarkannya ditangkap sendirian. Maka dari itu, aku harus cepat-cepat menyelesaikan delegasi ini. Apabila berhasil, aku bisa membebaskan Devian dan membersihkan nama kami dari catatan kasus mana pun.

“Bisakah kau duduk, rileks, dan kita cari jalan keluarnya sama-sama?” tanya Nick di atas sofa, menatapku jengah.

Aku mengerang pelan. Kuhempaskan pantatku di atas sofa sembari meraih sebatang rokok di sebelah asbak. Saat kuselipkan batang rokok itu di bibirku, Nick mengambil dan membuangnya. Aku menatapnya kesal.

“Kau harus mengurangi kebiasaan buruk. Tidak baik untuk kesehatanmu.”

“Masa bodoh. Kenapa kau jadi sok peduli terhadapku? Bahkan orang lain saja tidak pernah peduli denganku,” rutukku.

“Aku berbeda dari mereka, karena aku peduli. Oke?”

Tak kuhiraukan ucapannya. Ketika kepalaku berpaling memandang ke sebuah arah, Barbara berjalan sambil menguap lebar menghampiri kami. Dia tidak mengucapkan sepatah kata sambutan pagi pada kami, justru menyibukkan diri memilih chanel televisi.

“Kalau Devian tertangkap, bagaimana caranya aku mencari tahu keberadaan Venusa?” dengusku.

Barbara menoleh menanggapi pertanyaanku, “Aku bisa membantumu.”

“Kau bisa?” nadaku mendadak berubah lebih ceria.

“Ya, tentu saja. Aku seorang peretas. Justin pencari target. Kami bisa melakukan apa saja dengan komputer.”

Aku menganggukkan kepala sambil menyunggingkan senyum puas. Kutarik napas dalam-dalam, lantas meraih kaleng diet coke. Sial kali, Nick melarangku minum bir. Entahlah, kenapa aku justru menuruti perkataan orang lain kali ini.

Rachel’s Point of View

Baru saja sehari menetap di flat, kami bergegas kembali. Aku tidak akan mengeluhkan tugasku. Ini adalah konsekuensinya kalau ingin mengungkap total misteri benda terkutuk itu sekaligus mengetahui lebih tentang kasus pembunuhan serupa.

Dengan bantuan Barbara, kami berhasil menemukan letak tempat tinggal Venusa di sini. Menurut keterangan, Venusa bukanlah penduduk asli Mesir. Dia nomaden, alias berpindah-pindah tempat. Akan tetapi keberadaannya di Mesir sudah hampir tiga tahun.

Kami berhenti di depan pondok kecil jauh dari pusat kota. Keringat mulai membasahi kausku karena panas yang sangat terik. Aku harap kami tidak mengalami kejadian gila di sini. Tidak ada lagi acara bunuh diri dengan cara menembakkan kepala sendiri. Tidak ada pembunuhan, dan lain sebagainya. Sebuah pondok yang menjadi tempat tinggal Venusa terlihat sepi. Destiny mengetuk pintunya berkali-kali, namun tak kunjung ada balasan dari dalam.

“Jangan-jangan dia tidak bisa bahasa Inggris,” terkaku.

“Jangan tolol, Venusa bukan orang Mesir.” Destiny kembali mengetukkan pintu.

Terlihat seorang anak berusia sekitar empat belas tahunan tengah berdiri memandangi kami. Asumsiku, dia penduduk asli sini; menilik dari penampilan dan wajahnya yang khas orang Mesir.

“Kau bisa bahasa Inggris?” tanya Destiny.

“Ya. Aku belajar bahasa Inggris,” balas anak tersebut dengan aksen yang aneh. “Ada yang bisa kubantu?”

“Kami mencari Venusa Isabella Hart.” Destiny menunjukkan identitasnya. “CIA.”

“Maaf, tapi Venusa tidak ada di sini. Hampir setengah tahun aku merawat tempat ini.”

Baik aku maupun Destiny, kami sama-sama melemparkan pandangan heran. Apa lagi ini?

“Kemana dia?” tanyaku.

“Dia meninggal karena sakit.”

“Apakah dia tidak meninggalkan pesan padamu?” Destiny mulai memberondongnya dengan berbagai pertanyaan. “Misalnya surat? Pesan? Buku?”

Anak lelaki itu menggaruk kepalanya. “Aku tidak tahu.”

“Jangan bohong. Aku adalah detektif, aku tahu kapan waktunya kau jujur dan bohong. Jangan macam-macam.” Destiny menajamkan nadanya. “Beritahu kami atau kau mendekam di penjara karena menyembunyikan pesan penting.”

“Seberapa pentingkah?”

“Sebanding dengan udara yang kauhirup.”

Sepertinya gertakan Destiny meluluhkan pendirian anak ini. Dia membuka pintu lebar dan mempersilakan kami masuk. Rasanya anak ini merawat dengan baik tempat ini—terlihat dari letak barang-barang yang rapi dan kebersihan yang terjamin.

“Namaku Araaj.” Anak lelaki itu memperkenalkan diri. “Mrs. Hart adalah arkeolog. Dia datang kemari untuk membuat penelitian setelah kepergian suaminya, sampai-sampai dia tak mau pergi karena jatuh cinta dengan kota ini.” Araaj membongkar berkas-berkas kertas dari dalam loker. Disortirnya satu per satu kertas tersebut. “Dia yang mengajariku bahasa Inggris.”

Destiny tampak tak tertarik dengan cerita Araaj. Dia lebih memilih melihat-lihat pondok ini sedangkan aku duduk manis seraya mendengar baik apa yang dikatakan Araaj.

“Dia sangat mencintai kode.” Araaj berjalan mendekatiku seraya menyerahkan sebuah buku dan secari kertas. Aku menaikkan sebelah alis tak mengerti. “Itu pesan yang ditulis Mrs. Hart sebelum meninggal. Dan, itu buku yang menjadi favoritnya.”

Aku mengamati dengan saksama buku di tanganku; sebuah buku tua yang memuat tentang sandi-sandi dari masa perang dunia I hingga sandi pramuka. Destiny duduk di sebelahku seraya menyambar surat dari tanganku.

“Kenapa dia menulis surat ini?”

Araaj menggaruk kepalanya. “Entahlah. Dia bilang kalau surat itu sangat penting dan tidak boleh ada yang mengetahuinya kecuali orang-orang tertentu.”

“Orang-orang tertentu?” Aku mengernyit.

“Anggota perkumpulan.”

“Philosopher and Historian Intelligence.” Aku mengangguk-anggukkan kepala. “Aku putri salah satu anggota PHI. Jadi secara garis besar, aku berhak mendapatkan surat ini.”

Araaj melebarkan kelopak matanya sambil mengatupkan rahang rapat. “Baiklah…”

Aku dan Destiny mulai membaca pesan yang ditulis Venusa.

The first and dreatest victony is to conquer yourself; to be conquered by yourself is of ill teings most showeful and vile.

One of the penanties fur refusing to participate is politics is that you ent up being gavermed by your imferiors.

What the f*ck is this?” Destiny mengangkat sebelah alisnya. “Aku pernah membaca kata mutiara ini, milik Plato.” Ditatapnya aku keheranan. “Tapi… dia salah melakukan pengejaan. Biarlah. Kita mulai menjabarkan pesan di dalamnya. Dimulai dari kalimat pertama—“

“Dee, tidak perlu menjabarkannya secara sistematis,” aku menginterupsi. Kuraih surat tersebut dan menaruhnya di atas meja. Araaj hanya memandangi kami sambil sesekali mengelus hidungnya. “Pulpen.”

“Kau mau apa?”

“Serahkan saja pulpenmu.”

Tanpa banyak komentar lagi, Destiny mengulurkan pulpennya. Aku membaca ulang kalimat yang ditulis Venusa. Kalimat itu memiliki kosa kata yang berantakan. Maka, kusortir beberapa huruf yang janggal.

“Ini adalah pesan. Aku pernah membacanya di sebuah buku mengenai pengenalan kode dalam pesan. Tak perlu membutuhkan penjabaran yang rumit. Dari kosa katanya saja sudah kita ketahui apa pesan yang disampaikan Venusa.”

Aku melingkari huruf-huruf yang ganjal pada surat itu.

The first and dreatest victony is to conquer yourself; to be conquered by yourself is of ill teings most showeful and vile.

One of the penanties fur refusing to participate is politics is that you ent up being gavermed by your imferiors. (Perhatikan huruf yang dibold –author).

Aku mencoret-coret kertas itu untuk memecahkan pesan yang ditulis oleh Venusa.

Dreatest harusnya ditulis menjadi greatest. Maka, D diganti G.” Aku menulis huruf G di bagian bawah. “Victony harusnya victory. Hm, N diganti R.”

Satu per satu huruf mulai kuganti dan kuperbaiki hingga menjadi kosa kata yang benar.

dreatest – greatest = G

victony – victory = R

ill – all = A

teings – things = H

showeful – shameful = AM

penanties – penalties = L

fur – for = O

is – in = N

ent – end = D

gavermed – govermed = O

imferiors – inferiors = N

G-R-A-H-A-M     L-O-N-D-O-N

Destiny tak mengedipkan matanya sedetik pun melihat hasil pemecahan yang kukerjakan. Dia menatapku aneh, seolah aku berhasil memecahkan sandi perang dunia yang tak terpecahkan.

“Cukup simpel, kan?”

Sambil terus memasang tampang bodoh, Destiny menyahut. “Kita lanjutkan perjalanan menuju London.”

Yeah, selamat datang Big Ben. Setidaknya aku senang pekerjaan kami akan cepat terselesaikan. Akan tetapi, aku sendiri sedikit merutuk. Bagaimana kalau tugas kami belum selesai juga sesampainya di London?

###

“Ada gunanya juga kita memasang penyadap pada alat itu.”

“Sekarang kemauanmu sudah terlaksana, Gerald. Putriku akan kemari.”

“Tunggu sampai Cinnamon datang. Lebih mempermudah penangkapan, bukan?”

“Sayang sekali, kenapa dia tega melakukan itu?”

“Mungkin karena obsesinya untuk membalas kematian ibunya. Tentu saja kau tak akan lupa saat mendiang ibunya salah memasukkan formula yang menyebabkannya keracunan. Demi tidak pernah mau menerima kenyataan itu.”

“Tapi, dia terlalu belia untuk pembunuhan waktu itu, Gerald. Aku hanya menyayangkan tindakannya. Istriku, orang yang baik dan sayang padanya, harus dibunuh saat Cinnamon baru berusia empat belas tahun. Tidakkah itu keterlaluan?”

“Hm.”

“Mudah-mudahan yang lain dapat menjalankan rencana yang telah kaususun.”

“Bukankah sudah jelas? Lebih banyak orang takut pada singa daripada menakhlukkannya.”

“Aku tahu. Aku tak akan melupakan semboyan kita.

Lanjutkan Membaca