Counterpart

By retardataire

611K 56.1K 6.2K

Berawal dari aksinya membantu seorang siswi saat MOS SMA, gara-gara itu Adiska harus ngehadapin masalah yang... More

1st trouble
2nd trouble
3rd trouble
4th trouble
5th trouble
6th trouble
7th trouble
8th trouble
9th trouble
10th trouble
11th trouble
12th trouble
13th trouble
14th trouble
15th trouble
16th trouble
17th trouble
18th trouble
19th trouble
20th trouble
21st trouble
23rd trouble
24th trouble
25th trouble
26th trouble
27th trouble
28th trouble
29th trouble
30th trouble
31st trouble
32nd trouble
33rd trouble
34th trouble
35th trouble
the end of the trouble
ain't a trouble: playlist
fun facts
counterpart's QnA
💙announcement💙
side of arai: dua keping hati yang retak
ain't a trouble: i need your tips & facts about me

22nd trouble

13.6K 1.3K 169
By retardataire

D U A - P U L U H   D U A

          Bu Retno menuliskan sesuatu dalam daftar absennya. Tangannya berhenti pada nama selanjutnya yang akan disebut.

          "Recza Hutama."

          Namanya sudah dipanggil. Akan tetapi, sang pemilik nama tak kunjung menyahut.

          Seluruh siswa di sekitar bangku itu hanya bisa melirik ke arah bangku kosong yang terletak di sebelah Zidan.

          "Recza kemana?" tanya Bu Retno yang memusatkan kedua matanya pada teman sebangku Recza.

          Cowok berjambul rapi itu hanya mengedikkan bahu. "Saya juga gak—"

         TOK! TOK!

         Ketukan pintu terdengar. Seluruh penghuni kelas itu lantas segera menoleh ke arah pintu kelas di depan sana.

         Recza berjalan dengan santai sembari melepaskan jaket hijau yang baru dikenakannya.

         "Pagi, Bu. Maaf saya telat," ucap Recza terkesan sok ramah sambil mencium tangan Bu Retno.

         "Darimana saja kamu? Kok telat di pelajaran saya?" tanya Bu Retno tegas. Maklum, Bu Retno adalah guru Biologi yang terkenal disiplin. Meskipun masih kalah disiplinnya dengan guru kesiswaan yang biasa dipanggil Bu Yessi.

         "Biasa, Bu. Kejebak macet. Ibu, kan, tahu sekarang Bandung gak semacet dan gak sedingin dulu," jawab Recza sekenanya.

         "Ah, yang macet juga kan cuma daerah sini doang," timpal Bu Retno tidak percaya dengan jawaban Recza.

         "Nah, itu Ibu tahu. Udah tahu daerah sini macet. Makanya saya telat, Bu," balas Recza, mendongakkan kepalanya.

         Gara-gara Recza yang mendongakkan kepalanya, Bu Retno langsung mengamati sesuatu yang ada di wajahnya itu. "Itu wajah kamu biru-biru gitu, kenapa?"

         "Biasa, Bu. Berantem sama kakak saya. Berebutan naik mobil," jawab Recza sekenanya lagi.

         Bu Retno mengernyitkan keningnya. "Aduh aneh, deh. Berantem sama sodara bisa sampe biru-biru gitu. Kamu, tuh, udah gede tau, gak? Udah kelas sepuluh."

         Recza hanya cengengesan. "Jadi kapan saya bisa duduk dan belajarnya, Bu? Daritadi Ibu ngajak ngobrol saya terus."

         "Oh, ya, yaudah. Sana, sana. Kamu boleh duduk," suruh Bu Retno akhirnya.

         Recza pun akhirnya berjalan menuju bangkunya dengan ditatapi penasaran oleh seluruh anak 10 IPA 7. Bagaimana tidak? Wajahnya yang terdapat noda memar menjadi tanda tanya bagi semuanya.

         Termasuk Adiska yang duduk di belakang Recza.

         Sebelum Recza duduk dan menaruh tas ranselnya, cowok itu sempat beradu-tatap dengan gadis berambut sebahu yang duduk di belakangnya.

         Tatapan Adiska begitu lekat, seolah dia prihatin sekaligus ingin tahu apa yang baru saja menimpa cowok bernama Recza Hutama itu.

         Zidan yang sebenarnya tahu apa yang sedang terjadi hanya bisa diam dan pura-pura tidak tahu. Semua ini karena permintaan sahabatnya, Recza itu sendiri.

         Gara-gara dipukul telak oleh Arai kemarin, Recza mencoba menghubungi Zidan yang ternyata sedang asyik makan es krim bersama Ilham dan Zaky di kedai UScream.

         Recza waktu itu meminta tolong pada Zidan lewat telepon untuk membantunya saat itu, karena pertengkarannya dengan Arai yang liar dan tidak terkendali.

         Alhasil, Zidan datang ke TKP dan membantu Recza bersama Ilham juga Zaky untuk membawanya ke rumah sakit. Tapi Recza menolak, ia hanya memintanya untuk mengantarkannya sampai ke rumah.

         Dan kembalilah ke tempat semula. Zidan hanya menatap Adiska yang berada di belakang. Sebenarnya, ia ingin mengatakannya pada Adiska. Hanya saja, karena Adiska punya hubungan dengan Arai, niatnya ia urungkan. Takut-takut masalahnya kembali kacau seperti kemarin-kemarin.

-:-o-0-o-:-

         "Boleh duduk di sini, gak?" tanya gadis yang rambut panjangnya dihiasi sebuah bandana oranye di atasnya.

          Zidan yang hendak menjawab "Boleh," disusul Recza yang ternyata menjawabnya lebih dahulu. Namun, jawaban Recza justru berkontradikitif dengan apa yang hendak Zidan katakan.

          "Gak boleh," jawab Recza, dengan salah satu tangannya yang mengotak-atik sedotan jus sirsaknya.

          "Lo kok gitu amat sih, Za?" tanggap cewek yang bernama Kezia itu. "Gue, kan, ke sini cuma mau ngasih tau. Sebentar doang, kok."

          Perkataan Kezia membuat Recza akhirnya mengalah. Ia akhirnya mempersilakan Kezia untuk bergabung dengan mereka. Akan tetapi, Zidan—yang duduk di sebelah Recza—malah menggeserkan tubuhnya. Seolah cowok itu mempersilakan Kezia duduk di sana. Padahal, harusnya Zidan tahu, Recza keberatan jika cewek itu duduk di sebelahnya.

          Kezia rupanya tidak menyia-nyiakan pemberian dari Zidan. Ia segera menyempatkan diri untuk duduk di sebelah cowok yang sedang meminum jus sirsaknya itu.

          "Jadi gini, gue cuma mau ngasih tau, kalau kalian bakal dateng kan ke acara ulang tahun gue?" katanya dengan antusias. Walaupun kedua mata hitamnya melirik ke arah Recza yang malah tidak memperhatikannya. "Kalian gak lupa, kan, sama acara gue? Dateng ya, plis. Biar ikut ngeramein acaranya."

          "Tenang aja, Kez," jawab Ilham sambil menunjukkan cengirannya. "Hari Minggu jam tujuh malem, kan? Santai, kita semua pasti bakal dateng kok. Apa, sih, yang enggak buat cewek imut kayak lo."

          Zidan yang keduluan aksinya oleh Ilham, membelalakan kedua matanya pada cowok yang duduk di seberangnya itu. Tak mau kalah, ia juga mulai meluncurkan kata-katanya, "Gak usah khawatir, Kez. Kita semua kan cowok-cowok keren, pasti bakal ngeramein acara lo. Ya, kan, Za?"

          Recza yang ditanya justru tidak menyahut. Matanya mengedar ke sekeliling sampai ia merasa ada seseorang yang terus mengamatinya dari jauh. Kedua matanya ia lirikkan ke arah pojok kiri di sebelah sana. Ada seorang gadis berambut sebahu yang tengah menatapnya bersama Debby.

          Kezia menepuk bahu Recza. "Gue pengen semua anak seangkatan dateng ke acara gue. Termasuk lo, Za. Jangan lupa, ya."

          Recza masih memandang Adiska yang duduk di pojok sana. Rasanya senang bukan main. Mendapati Adiska tengah memandangnya dari jauh adalah hal yang tidak bisa dijelaskan oleh kata-kata untuk mendeskripsikan perasaannya.

          Sampai akhirnya, Recza memudarkan rasa senangnya itu. Ia sadar, kebahagiannya tadi hanyalah sesaat. Ia juga sadar, bahwa dirinya terlalu ge-er menyangka Adiska yang mungkin menyukainya. Meskipun Recza menangkap basah pandangan gadis itu, tapi Recza tahu kalau keyakinannya terlalu tinggi.

          Apalagi ketika Adiska ternyata hanya memandangnya sekilas—membuat Recza semakin yakin dirinya memang ge-er.

          Tapi, itu tidak membuat Recza hanya diam di tempat. Cowok bertubuh jangkung itu segera bangkit dari tempat dimana teman-temannya berada—membuat Kezia harus mendongak ke arah cowok itu.

          "Mau kemana, Za?" tanya Kezia dengan suaranya yang agak meninggi.

          "Udah selesai, kan, urusannya?" Recza menatap Kezia sebentar. "Gue mau ke Diska dulu. Ada yang pengen diomongin soalnya." Sejurus kemudian, Recza pergi meninggalkan Kezia dan cowok-cowok di sana. Tanpa Recza tahu, sikapnya itu justru membuat Kezia mendegus jengkel dan menatapnya dari jauh.

-:-o-0-o-:-

          Buru-buru Adiska memalingkan pandangannya dari tatapan Recza yang tertuju ke arahnya. Gadis itu benar-benar tidak menyangka, Recza menangkap basah dirinya karena memandang cowok itu dari jauh.

          Lagipula, itu semua karena rasa penasaran sekaligus keprihatinannya yang tak kunjung hilang. Aneh rasanya. Adiska ingat, sehabis dari toko buku kemarin, wajah Recza tidak memar seperti tadi pagi atau sekarang ini.

          Luka memar di bagian pelipis dan pipinya yang dilihat tadi pagi, berhasil membuat Adiska mengerjapkan matanya heran. Ia yakin, kemarin Recza tidak melakukan apa-apa sehingga menyebabkan memar seperti itu. Well, meskipun memang, sih, sikap Recza berubah semenjak Adiska menjauhinya gara-gara jawaban Recza akan pertanyaan bodoh gadis itu.

          Tapi itu tidak membuat Recza menjadi babak-belur seperti ini, bukan?

         "Liat, tuh, Dis!" seru Debby. "Recza dateng ke arah sini deh, kayaknya."

         Benar saja. Didapatinya Recza tengah berjalan ke arah sini—dimana ia dan Debby tengah duduk sambil menyantap makanan masing-masing.

         Waduh, gawat. Kenapa tuh bocah malah ke sini? Buru-buru Adiska pura-pura sibuk menyantap mie ayam yang tadi dipesan olehnya.

         "Deb, boleh geser, gak?" Sebuah suara yang tidak asing buat Adiska, meminta Debby yang duduk di seberangnya untuk bergeser.

          Debby yang disuruh, mengangguk dan menggeserkan tubuhnya. "Boleh, boleh. Sini, Za," ajak Debby yang begitu antusias. Bagi Debby, kapan lagi coba, dirinya bisa duduk bersebelahan dengan si ganteng Recza?

          Recza pun akhirnya duduk berhadapan dengan Adiska yang masih menundukkan kepala—memandangi mie ayam yang masih disantapnya.

          "Dis, sorry ya, buat kemaren," kata Recza akhirnya, setelah diam canggung dalam beberapa waktu. "Lo marah, ya, gara-gara jawaban gue kemaren? Gue gak maksud ngomongin lo jelek, kok. Dan gak maksud juga bilang lo gendut. Lo pasti ilfeel gara-gara omongan gue kemaren, kan?"

          Hah? Kok jadi ke situ sih? heran Adiska dalam hati. Adiska memang kesal, tapi bukan karena itu. Semuanya karena ternyata Recza selama ini malah memberikan harapan yang entah kenapa malah membuat Adiska marah terhadapnya.

          Lho, tapi, iya juga sih. Kenapa gue malah ngehindar dan marah sama dia? Harusnya kan biasa aja.

          "Lo tuh aneh banget, sih. Kenapa minta maaf terus sama gue?" Adiska akhirnya menatap Recza tepat di manik matanya. Semburat di wajahnya mulai terlihat secara perlahan. "Kalau gue marah sama lo, Za, emang apa efeknya sama lo? Terus kalau lo minta maaf sama gue, itu juga gak berarti apa-apa kan sama lo?"

          "Ya, uh, karena ...." Recza mencoba mencari jawaban yang masuk akal dan bisa ditanggapi oleh gadis itu maupun dirinya. Tapi, hasilnya nihil, ketika ia sendiri tidak menemukan jawaban apa yang tepat untuk diberikan pada Adiska. Lagipula, benar juga kata Adiska. Kenapa ia sebegitunya ingin Adiska untuk memaafkannya?

          "Ya ... gue tahu karena gue salah. Makanya gue minta maaf." Akhirnya jawaban itulah yang keluar dari mulut Recza. "Tapi, ya, terserah juga sih, mau maafin gue atau enggak. Ya, itu hak lo juga, kan."

          Recza mendengar tawa lembut dari Adiska. "Lo tuh emang aneh, Za. Gue gak marah kok. Itu perasaan lo aja, kali."

          Seketika perasaan lega menyambar cowok itu. Enak rasanya ketika tahu Adiska tidak marah terhadapnya.

          Debby yang duduk di sebelah Recza hanya memandang dua remaja itu dengan senyuman jahil. Walaupun Debby emang nge-fans sama Recza, tapi ia juga merasa kalau Adiska dengan Recza terlihat cocok. Apalagi kalau ada pertengkaran-pertengkaran kecil di antara mereka.

          Seiringan dengan Recza yang tertawa, pandangan Adiska kembali tertuju pada memar yang ada di pipi dan pelipisnya.

          Recza pun akhirnya berhenti tertawa ketika Adiska menatapnya begitu serius.

          "Wajah lo kenapa, Za? Lo emang beneran abis berantem sama kakak lo?" tanya Adiska, yang tanpa sadar mengeluarkan nada khawatirnya.

          Recza mengalihkan pertanyaan Adiska dengan membawanya ke sebuah candaan. "Sejak kapan lo, Dis, jadi khawatir sama gue?"

          Adiska mendecak. "Gue serius, Za." Kali ini tatapannya terlihat khawatir.

          Keseriusan di wajah Recza akhirnya kelihatan juga. Namun, tiba-tiba Recza membalasnya dengan senyuman. "Lo gak usah khawatir, Dis. Ini bukan apa-apa, kok."

          "Lagipula, ini udah biasa buat gue. Cuma masalah di rumah aja. Urusan sepele, gak serius," ujar Recza, yang dalam hatinya justru merutuk dirinya sendiri.

          Ia terpaksa membohongi Adiska. Recza tidak mau membuat masalah lagi. Apalagi kalau ia menjawab bahwa ini adalah ulah Arai. Semuanya malah akan bertambah rumit jika ia mengatakan yang sebenarnya.

          "Ya udah, gue cabut dulu." Recza akhirnya bangkit dari kursi—berjalan memunggungi Adiska yang semakin heran akan tingkahnya.

          Adiska pun segera menoleh ke arah Debby yang sudah selesai dengan baksonya. "Dari SMP, Recza emang punya masalah keluarga, ya, Deb? Buktinya wajahnya memar kayak gitu, pasti masalah keluarganya serius."

          Debby memandang kepergian Recza. "Gue gak tahu banyak soal itu, Dis. Recza emang suka tertutup soal masalah keluarganya. Tapi, kalau gak salah, setahu gue dia anak dari single parent. Dan selebihnya gue gak tahu."

          Adiska menatap Debby dengan tatapan kosong. 'Single parent', ya?

-:-o-0-o-:-

          "Darimana aja kamu, Rai?" Seorang wanita tiba-tiba menyalakan lampu pada ruang tengah, membuat Arai sontak terkejut dan nyaris menyenggol hiasan rumahnya.

          "Biasalah, Bun, abis main sama temen-temen," jawab Arai sekenanya. Salah satu tangannya melepaskan sepatu hitam Arai dan menaruhnya pada rak sepatu yang tersedia.

          "Main, apa ngerokok?" Kali ini seorang pria yang muncul di balik pintu putih yang terletak tidak jauh dari ruang tengah. Suaranya terdengar tegas, dan tatapannya begitu galak. Pria itu kemudian berjalan menghampiri Arai dengan tubuh tegaknya.

          "Ngerokok lagi kamu, ya? Bau kayak gini," bentak pria itu lagi. "Papa, kan, udah bilang sama kamu berapa kali. Kamu masih pelajar, coba manfaatkan waktu kamu buat hal yang lebih positif."

          Arai memutarkan kedua matanya. "Papa kayak gak pernah muda aja. Arai kayak gini juga biar bisa punya waktu sama temen-temen, gak kayak di sini, bawaannya dimarahin mulu--"

          "Arai! Kamu tuh dikasih tahu gak pernah nurut!" Ayah Arai mulai meledakkan emosinya. "Dari dulu kamu gak pernah tahu aturan, beda sama adik kamu Rafiqa--"

          "Pa, udah cukup bawa nama itu lagi!" sentak Arai yang mulai melawan ayahnya.

          Dilihatnya sesosok wanita yang benar-benar mirip dengan gadis yang bernama Rafiqa itu. Sorot matanya begitu sedih. Semenjak kejadian itu, Arai tidak pernah suka ketika papanya mengungkit nama itu lagi. Kejadian dimana Arai merasa bersalah sekaligus membenci dirinya. Ketika orang-orang tidak pernah meliriknya sedikitpun.

          Sesosok gadis yang pernah menghiasi kehidupannya muncul dalam benaknya. Namun dengan cepat, Arai membuyarkan bayangannya itu. Kedua matanya kembali melirik tajam pada papanya.

          "Papa gak pikir apa? Lihat Bunda, Pa! Nama anaknya dibawa-bawa. Udah cukup, bawa-bawa nama itu lagi. Arai udah capek, apalagi kalau dibanding-bandingin terus."

          Papa mendekati anak laki-laki satu-satunya itu. "Kamu itu, ya, selalu ngelawan kalau Papa kasih tahu!"

          "Gimana Arai gak ngelawan?" balas Arai tak kalah sengit sembari menghempaskan salah satu tangannya pada dinding di sebelahnya. Hal itu membuat Papa maupun Bunda memandang anaknya lekat-lekat, tak menyangka akan kelakuan Arai. "Papa gak pernah ngasih Arai kesempatan buat ngomong. Bahkan Papa juga gak pernah tahu, kan, kenapa Arai terus kayak gini?"

          Sebuah keheningan kembali tercipta. Arai yang kali itu kembali tersadar, seolah ia baru saja kerasukan sesuatu--menatap kosong kedua orangtuanya di depannya. Baik Papa maupun Bunda sama-sama menatap Arai tidak percaya. Mereka berdua terkejut dengan kelakuan anak laki-laki mereka.

          Sebelum papanya sempat berbicara, Arai bergegas pergi meninggalkan rumah dan melesat pergi dengan motornya.

          Suasana malam pada jam delapan membuat Arai keluar dan mencari udara segar. Pikirannya tertinggal di belakang. Perasaannya begitu kalut. Memori itu kembali terbayang dimana Arai sejujurnya tidak ingin mengingatnya lagi, mengingat gadis bernama Rafiqa Hutama itu.

          Karena perasaan kalutnya membuat Arai lapar, ia memarkirkan motornya di depan sebuah gerobak yang menjual sate Padang.

          "Pak, sate Padangnya pesen satu, ya?" pinta Arai yang datang menghampiri si penjual.

          "Boleh. Mau dibungkus atawa makan di sini, A?" tanya si penjual, khas dengan logat Sunda-nya yang kental.

          "Makan di sini aja, Pak."

          Penjual sate Padang itu mengangguk dan mulai bekerja.

          Cowok berjaket kulit hitam itu mencari tempat duduk yang kosong. Sambil menunggu pesanannya tiba, Arai mencoba mengutak-atik ponselnya.

          "Mang Ijal, mau pesen satenya dua, dong." Seorang cewek datang dan menghampiri tukang sate yang dipanggil Mang Ijal itu.

          "Eh, Neng Adis. Malem-malem gini sendirian beli sate. Mau dibungkus atawa makan di sini, Neng?"

          "Ah, orang deket gini kok rumahnya, Mang," balas Adiska sambil tersenyum. "Yang satu makan di sini, yang satunya lagi dibungkus ya, Mang."

          Mang Ijal mengangguk dan mulai menyiapkan satenya lagi.

          Adiska berjalan ke belakang, mencoba mencari kursi yang kosong. Kedua matanya mengerjap ketika seorang cowok yang tidak asing lagi sedang duduk sambil memainkan ponselnya.

          "Arai?"

          Arai yang dipanggil pun menyahut dan mendongakkan kepalanya. Entah ini semacam kebetulan atau apa, tapi yang jelas, beban dalam diri Arai seketika menghilang. Hanya dengan melihat wajah gadis itu, rasa kalut yang menggerogoti pikirannya, musnah sudah.

          Adiska mungkin tidak tahu, apa yang sedang Arai alami. Namun, keberadaannya justru bisa membuat seseorang menjadi lebih tenang dan menunjukkan garis senyumnya. Saat itu, Arai menatap Adiska, dan dalam hati ia memanjatkan rasa syukurnya.

•                           •                             •                              •                           •                           •

{A/N} yey update cepet nih! maafin ngegantung. niatnya mau jadiin satu. tapi kepanjangan. jadi gue bagi dua gapapa yaa, hehe. okey, semoga enjoy yaa bacanya. dan selamat 1 januari di tahun 2016!!!

oya, berhubung ini udah chapter 22, gue cuma mau ngasih tau kalo misalnya kalian nemu typo atau semacamnya, boleh dikasih tau. tapi, gue bakal editnya pas cerita ini selesai. jadi biar sekalian gitu.

makasi yaa

Jumat, o1 Januari 2o16

―Dean




Continue Reading

You'll Also Like

3M 148K 22
Sagara Leonathan pemain basket yang ditakuti seantero sekolah. Cowok yang memiliki tatapan tajam juga tak berperasaan. Sagara selalu menganggu bahkan...
10.6M 674K 43
Otw terbit di Penerbit LovRinz, silahkan ditunggu. Part sudah tidak lengkap. ~Don't copy my story if you have brain~ CERITA INI HANYA FIKSI! JANGAN D...
ALZELVIN By Diazepam

Teen Fiction

5.5M 306K 34
"Sekalipun hamil anak gue, lo pikir gue bakal peduli?" Ucapan terakhir sebelum cowok brengsek itu pergi. Gadis sebatang kara itu pun akhirnya berj...
1.3M 119K 60
"Jangan lupa Yunifer, saat ini di dalam perutmu sedang ada anakku, kau tak bisa lari ke mana-mana," ujar Alaric dengan ekspresi datarnya. * * * Pang...