Counterpart

By retardataire

611K 56.1K 6.2K

Berawal dari aksinya membantu seorang siswi saat MOS SMA, gara-gara itu Adiska harus ngehadapin masalah yang... More

1st trouble
2nd trouble
3rd trouble
4th trouble
5th trouble
6th trouble
7th trouble
8th trouble
9th trouble
10th trouble
11th trouble
12th trouble
13th trouble
14th trouble
15th trouble
17th trouble
18th trouble
19th trouble
20th trouble
21st trouble
22nd trouble
23rd trouble
24th trouble
25th trouble
26th trouble
27th trouble
28th trouble
29th trouble
30th trouble
31st trouble
32nd trouble
33rd trouble
34th trouble
35th trouble
the end of the trouble
ain't a trouble: playlist
fun facts
counterpart's QnA
💙announcement💙
side of arai: dua keping hati yang retak
ain't a trouble: i need your tips & facts about me

16th trouble

16.3K 1.5K 135
By retardataire

E  N  A  M  -  B  E  L  A  S

          Sesosok laki-laki itu menatap gadis di hadapannya yang kian menjauh. Tangannya dikepal kuat seiringan dengan dirinya yang tenggelam dalam pikiran.

           Ini gak biasanya gue kayak gini.

           Berulang kali kata-kata itu terngiang dalam benaknya. Arai tak habis pikir, gadis pendek berambut panjang itu bisa membuatnya seperti ini―tenggelam dalam pikiran yang tidak bisa membuatnya teralihkan dari itu semua.

           "Arai!"

           Cowok berambut hitam legam itu menolehkan kepalanya ketika seseorang memanggil namanya.

           Putra―salah satu sohibnya selain Yoga―menghampiri Arai yang tengah berdiri di kantin. Putra memiringkan kepalanya bingung, mendapati Arai yang sepertinya sedang melihat sesuatu.

           "Lihat apaan lo, Rai?" Putra menepuk bahu Arai―cowok yang sekarang tengah berdiri di sebelahnya.

           "Nggak, bukan apa-apa." Arai menggelengkan kepalanya. "Ngapain lo di sini?"

           Putra malah nyengir. "Justru lo yang ngapain di sini, Rai? Ini kan udah jam pelajarannya Bu Hesti. Sekarang, kan, bakal ulangan matematika. Ya kali, kita bolos pas jam pelajaran guru kolot bin killer itu."

           "Gue bete tadi," kata Arai. "Makanya gue ngopi di kantin, biar ilang betenya." Arai memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana.

           "Ck, ah, lo, bete mulu." Putra merangkulkan salah satu tangannya ke pundak Arai. "Yuk, caw! Takut Bu Hesti masuk duluan. Entar, kita bisa abis sama dia."

-:-o-0-o-:-

           Adiska memasuki kelasnya yang belum ada guru di dalamnya. Beberapa siswa di kelas memfokuskan pandangan mereka masing-masing ke arahnya―membulatkan mata seolah tak percaya bahwa dirinya akan setelat ini.

           Adiska, masih dengan menggendong tasnya, melangkahkan kaki ke arah bangkunya―dimana Debby menatap Adiska lekat-lekat. Gadis bertubuh pendek itu menaruh tasnya kemudian duduk sembari menaruh pandangannya ke depan―berharap cowok yang duduk di depannya menoleh ke belakang. Namun bukannya memutarkan kepalanya ke belakang, justru Recza malah asik dengan earphone dan ponselnya.

           "Lo kok bisa setelat ini sih, Dis?" Debby meninggikan suaranya. "Gak biasanya lo telat. Sekalinya telat, lo malah masuk jam setengah sembilan kurang."

           "Iya, gue ngerjain makalah biologi kampret yang nyusahin banget, Deb," keluh Adiska sambil mengepalkan tangannya gemas. Gemas karena tugasnya yang menyusahkan, dan gemas pula karena cowok itu tak kunjung meliriknya. "Gue begadang sampe jam 12 malem. Makanya gue telat bangun. Udah gitu gue naik angkot lagi, gara-gara Kak Bagas malah ninggalin gue."

           "Ck, buset, apes banget lo hari ini." Debby menggelengkan kepalanya. "Tapi, btw, lo bisa masuk ke sekolah jam segini gimana caranya?"

           Ada sedikit jeda sebelum Adiska menjawab pertanyaan Debby. "Gue tadi ketemu Arai. Dia yang nolongin gue biar bisa masuk ke sini."

           "Arai lo bilang?!" Tiba-tiba Zidan memalingkan mukanya ke arah Adiska dan Debby yang duduk di belakang.

           "Yee ... apaan sih, lo? Nguping aja ini orang, ih," timpal Debby yang memberikan ekspresi jijik pada cowok yang jambulnya selalu badai dan basah mengilap.

           "Lo apaan sih?" ujar Zidan sewot. "Orang gue ngomongnya sama Diska juga. Idih, GR lo, Deb."

           "Ah, lo semua berisik tau―"

           "Sikap! Beri salam!" Harya, si ketua kelas X IPA 7 berseru, karena Bu Tessi―Guru Biologi―baru saja melangkahkan kakinya masuk ke ruangan dimana Adiska berada.

            Alhasil, rasa penasaran Debby dan Zidan harus ditahan dulu sampai jam pelajaran usai. Hal inilah yang membuat perasaan Adiska sedikit lega. Pasalnya, ia tidak perlu menjelaskan kejadian tadi bersama Arai―kejadian yang membuatnya malas untuk diingat lagi.

            Tanpa Adiska ketahui, dibalik sebuah earphone dan perhatiannya pada ponsel, Recza justru mendengar penjelasan Adiska pada Debby dan Zidan dengan seksama. Cowok itu kini bisa menyimpulkan, bahwa Arai memang sedang berperan dalam drama buatannya.

-:-o-0-o-:-

            Recza berjalan sendirian menyusuri koridor yang membawanya menuju kantin. Pikirannya tidak bisa berhenti pada pembicaraan Adiska tadi.

            "Gue tadi ketemu Arai. Dia yang nolongin gue biar bisa masuk ke sini."

            Arai benar-benar serius rupanya dengan perkataannya saat latihan futsal beberapa waktu lalu. Mungkin inilah maksudnya―cowok itu berusaha mendekati Adiska dengan caranya sendiri, entah dalam tujuan apa Arai melakukan itu semua.

            Setengah perjalanan menuju kantin, sebuah tangan berhasil mendorong Recza cukup jauh, namun tidak sampai jatuh. Kawanan Arai yang membuat ulah―berdiri menghalangi koridor dengan maksud untuk mencegat Recza.

            "Akhirnya, ketemu juga sama ini bocah." Arai menyilangkan kedua tangannya di dada.

            "Kalo lo mau main-main sekarang, sorry, gue gak ada waktu." Recza mencoba menerobos jejeran kawanan itu. Akan tetapi pukulan Arai di wajahnya, berhasil membuat Recza untuk tetap di sana―berhadapan dengan Arai, Yoga juga Putra.

            "Lo mau kemana? Urusannya belum selesai," sewot Yoga yang berdiri di sebelah Arai.

            "Gak usah buru-buru gitu, dong!" Suara Arai, seperti biasa terdengar arogan. "Gue ada urusan sama lo sekarang. Dan ini penting." Arai menekankan pembicaraannya saat ia bilang bahwa urusannya itu penting.

            Recza akhirnya menanggapi Arai dengan serius. Apa yang dikatakan penting oleh Arai, memang benar-benar penting. Tidak hanya penting, tapi juga serius. Cowok yang rambutnya dengan gaya acak-acakannya itu menatap Arai tajam.

            "Gue minta sama lo, lo gak usah ngasih tau Adis yang aneh-aneh," ujar Arai dengan nada suaranya yang agak berat.

            "Aneh-aneh gimana maksud lo?" Recza menautkan kedua alisnya.

            Arai meninggikan suaranya. "Gak usah pura-pura lo, kampret! Lo, kan, yang ngehasut si Adis dengan cara ngejelek-jelekin gue? Denger, gue minta sama lo, Za. Kalo lo emang benci sama gue, jangan ngajak orang lain juga buat benci ke gue. Biar Adis yang nganggep gue jelek karena dirinya sendiri, bukan karena pengaruh dari perkataan busuk lo."

            Recza mencengkram tangannya. "Lo emang benci sama gue, tapi bukan berarti lo nuduh gue gitu aja, Rai. Gue samasekali gak pernah ngehasut Diska! Lagipula, Diska gak semestinya bareng-bareng sama lo, karena lo pengaruh buruk buat dia."

            Arai langsung mencengkram kerah baju Recza saat omongan pedas Recza menyembur hingga masuk ke telinganya. "Katain sekali lagi, dan gue bakal bikin lo masuk ke rumah sakit sekarang juga!"

            Recza mendorong Arai hingga menjauh darinya. Namun Arai yang sudah kesal melancarkan pukulannya pada adik kelasnya itu. Sebelum benar-benar mengenai pelipis Recza, serangan Arai terhenti karena lontaran omongan yang dikatakan adik kelas di hadapannya berhasil mengenai dirinya. "Silakan aja lo pukul gue sesuka hati, Rai. Sampai kapanpun gue peringatin lo, lo gak akan pernah sadar. Mainan lo tuh emang kekerasan, dan itu yang bikin lo buruk. Dan Diska itu gak bego. Dengan lo kayak gini, dia tau lo emang pengaruh buruk buat dia."

            Arai menghentikan serangannya. Apa yang dikatakan Recza adalah pukulan secara verbal yang berhasil mengenainya telak.

            Recza tidak menanggapi. Ia menatap Arai penuh amarah―meninggalkan kakak kelas sangar itu diam terpaku.

-:-o-0-o-:-

            Adiska berdiri di depan kantin bersama sahabatnya―Debby, cewek bertubuh besar yang sedang berdiri di sebelah cewek yang lebih pendek dari dirinya.

            Adiska terus menyapu pandangannya ke sekeliling―berusaha mencari target di antara orang yang berlalu-lalang di sekitar kantin bagian luar.

           "Lo cari siapa sih, Dis?" tanya Debby yang juga ikut menelaah sekitarnya. "Masuk aja, yuk, Dis. Perut gue udah bunyi terus daritadi."

            Adiska mendecak. "Kalo lo mau makan, ya makan aja. Gue mau di sini dulu."

           "Nungguin siapa sih?" Kali ini Debby meninggikan suaranya gemas.

           "Gue mau nyari Recza."

           "Mau ngapain?" Debby mengernyitkan dahinya.

           "Gue gak enak nih, Deb, terus-terusan kayak gini," jawab Adiska yang masih membiarkan matanya mencari. "Makanya, gue nungguin dia di sini, siapa tahu ketemu, buat minta maaf gitu."

           "Aciee ... seorang Diska, gak bisa bertahan lebih lama buat marahan sama si ganteng Recza," goda Debby dengan sebuah senyuman jahil yang merekah di wajahnya. "Gimana kalo nanti lo jadian sama si Recza, Dis."

           "Apa sih, ah, Deb. Gue gak ada urusan buat gitu―"

           "Ah, noh, itu dia orangnya!" Debby menunjuk seorang cowok yang tidak jauh dari tempat mereka.

           Recza tanpa tahu dirinya sedang ditunjuk oleh Debby, berjalan menuju kantin.

           Gadis yang rambutnya dibiarkan terurai itu, tidak bisa menahan dirinya. Ia langsung berlari kecil menuju cowok yang jauh lebih tinggi darinya itu.

           Mata Recza menangkap sebuah figur yang berlari ke arahnya. Akan tetapi, mood-nya yang jelek membuatnya tidak ingin meladani siapa-siapa―termasuk gadis yang sekarang berdiri di hadapannya itu.

           "Recza," Adiska menyapa cowok yang satu kelas dengannya. Ekspresinya sangat berbeda dari biasanya―begitu dingin.

           "Minggir!" suruh Recza jutek. "Gue lagi gak mau diganggu sama siapa-siapa."

           "Tunggu dulu, Za. Gue ada urusan sama lo―"

           "Urusan apa lagi?" Cowok bernama Recza Hutama itu meninggikan suaranya. "Lo gak denger?! Gue lagi gak mau diganggu."

           Adiska memelankan suaranya lalu menggigit bibir bagian bawah pelan. "G―gue cuma mau ngomong bentar kok, Za. Gue―"

           "Ngapain lo nyamper gue lagi? Lo sendiri, kan, yang bilang kalau lo gak butuh gue," ujar Recza sembari mengerutkan keningnya. "Dan sekarang lo malah ke sini, pura-pura seakan lo gak pernah inget sama apa yang lo omongin. Udah, deh. Mending sekarang lo minggir, gue males ngomong sama―"

           "Sorry, gue udah ganggu lo," ucap Adiska pelan, nyaris gemetar. Hal itulah yang membuat Recza mengendurkan kerutan didahinya. "G―gue nyamperin lo, c―cuma mau minta maaf sama lo. Gue tau gue salah. Gue tau, gue emang cewek sialan―cuma nyari pas ada butuhnya. Tapi, serius, gue ke sini cuma mau minta maaf banget sama lo, Za."

           Seketika raut wajah Recza berubah. Wajahnya begitu prihatin ketika memandang ekspresi Adiska saat itu. Raut muka gadis itu berhasil menyentrum Recza telak sehingga diam pun menjadi respon yang dianggap lebih baik untuk dilakukan saat ini.

           "Oh, ya udah." Suara Adiska masih bergetar. Cewek kelahiran 26 juni itu menundukkan kepalanya. "Gue...gue cuma mau ngasih tau itu aja. Maaf gue udah ganggu lo." Sejurus kemudian, cewek itu berbalik dan segera pergi meninggalkan Recza yang merasa bersalah.

           Recza pikir, Adiska ingin membicarakan Arai.

           Recza pikir, Adiska akan menunjukkan keatraktifannya terhadap Arai.

           Namun, seiringan dengan itu, Recza berpikir, kalau dirinya adalah cowok paling bego sedunia. Sontak, ekspresi dan perkataan Adiska tadi membawa sebuah penyesalan pada Recza―membuat dirinya merasa kehidupan SMA-nya ini begitu rumit.

-:-o-0-o-:-

            Langit yang pucat meneteskan tangisannya. Mungkin suasana hujan hari ini tengah mengiringi perasaan cewek bersweater biru dongker itu. Perasaan kalutnya justru semakin membuat harinya sial setelah hujan yang membasuh dirinya menjadi salah satu faktornya.

            Hatinya terasa berat. Perasaannya semakin kalut. Hawa dingin akibat hujan yang cukup deras semakin menghujam tubuhnya. Sudah ditolak permintaan maafnya oleh Recza, sekarang ia malah kehujanan di jalan.

            Mungkin ini adalah hal yang pantas untuknya akibat bersikap tidak baik pada Recza―tidak menghargai pemberian dan perlakuan yang sudah diberikan oleh cowok itu untuknya. Dibilang ingin menangis, justru Adiska sudah ingin meneteskan air matanya sedaritadi. Dan entah kenapa malah tidak bisa.

            Kata orang, dengan kamu menangis, perasaan kamu akan terasa lebih baik. Kadang, menangis itu bukan tanda kesedihan. Tapi, suatu pelampiasan untuk merasakan sesuatu yang lebih baik―membuatmu bisa kembali merasakan kebahagiaan.

            Dan itulah alasannya kenapa Adiska ingin menangis. Ia ingin melepaskan bebannya.

            Adiska yang masih berjalan kaki menunggu angkot yang lewat, meskipun diguyur hujan, masih menaruh pikirannya pada Recza.

            Entah itu suatu kebetulan atau apa, seseorang memberhentikan motornya dekat dengan Adiska. Ia memanggil nama gadis itu, namun tidak juga disahut. Adiska takut dia adalah orang jahat, apalagi di saat dirinya sedang sendiri hujan-hujanan begini. Sontak, membuat dirinya tidak berani menoleh ke belakang.

            "Adiska!" Suara itu samar-samar kembali terdengar. Suara hujan yang membuat suara samar itu tidak terdengar dengan jelas.

            Adiska terus berjalan―tidak menolehkan kepalanya sedikitpun. Hingga akhirnya, sebuah tangan menepuk Adiska tiba-tiba.

            "AAAA!" Adiska berteriak sembari mengedikkan bahunya―menjepit tangan orang itu di antara bahu dan kepalanya.

            Tangan itu mencengkram bahu Adiska kuat―memutar cewek itu untuk berbalik menghadap orang yang memegang bahunya.

            "Ssst, jangan teriak! Ini gue!" Recza memegang kedua bahu Adiska.

            Adiska yang basah kuyup membulatkan kedua matanya tidak percaya.

            "Lo lebay tau, gak?" ledek Recza. "Udah, cepet! Ayo ikut gue, gue anterin lo pulang."

            Cewek itu mengangguk gemetaran. Bukan karena takut, tapi dirinya sudah mulai kedinginan.

            Recza dan Adiska berlari kecil menuju motor cowok itu. Dengan cepat mereka langsung menaiki motor dan mencari suatu tempat untuk berteduh.

            Sebuah halte akhirnya menjadi sasaran mereka. Tanpa berpikir lagi, Recza langsung memarkirkan motornya di depan halte yang ada beberapa orang yang juga berteduh di sana.

            "Kita berteduh dulu di sini. Lo duluan aja ke sana," perintah Recza yang mengatur standar motornya.

            Adiska mengangguk, dan segera berlari menuju halte biru itu. Bajunya sekarang basah kuyup. Jaket biru dongkernya yang biasanya selalu menghangatkan tubuhnya kali ini tidak bisa apa-apa. Hawa dingin yang menyeruak semakin menusuk hingga ke tulang-belulang.

            Recza berlari ke arahnya dengan cepat. Seketika ia langsung berdiri tepat di sebelah Adiska. "Lo kenapa malah hujan-hujanan, sih? Kenapa gak berteduh dulu?"

            Adiska menggeleng pelan. "Gak, gue pengen cepet sampe rumah soalnya."

            "Tapi kan jadi kedinginan. Baju lo juga jadi basah semua," timpal Recza yang menatap Adiska peduli.

            Kedua mata cowok itu memandang Adiska dari atas sampai bawah. Benar saja, bajunya semua basah sehingga gadis itu begitu menggigil kedinginan. Recza jadi teringat akan sesuatu. Buru-buru ia membuka tas ranselnya, dan mencari barang itu.

            Sebuah uluran tangan yang menggenggam sebuah jaket hitam berlapis ganda yang anti air, terulur di depan Adiska. "Ini, pake jaket ini. Ada gunanya juga si Zidan balikin jaket gue hari ini. Mending lo pake aja, Dis. Lumayan buat ngelindungin lo sementara."

            Adiska menatap Recza lekat-lekat. Kenapa sih selalu Recza yang menolong dirinya? Dan lagi, ia tambah tidak mengerti. Padahal Recza tadi bersikap dingin padanya. Namun masih di hari yang sama, cowok itu berubah menjadi perhatian―terutama saat menyuruhnya untuk mengenakan jaket yang berisleting itu.

            "Makasih banyak ya, Recza," ucap Adiska, masih menggigil kedinginan.

            Recza mengangguk, mendesain sebuah garis lengkung di wajahnya. "Sama sama, Dis."

            Cowok yang jaket biru dongkernya juga ikutan basah, kembali menoleh pada cewek yang hanya setinggi bahunya. "Maafin gue, Dis, soal yang tadi."

            "Yang tadi?"

            "Iya, gue minta maaf, Dis. Gue...gue gak maksud bersikap kasar tadi sama lo. Tadi itu, gue emang lagi badmood, gue emang kacau waktu itu. Gue tau gue emang bego―"

            "Seharusnya, gue yang minta maaf, Za," ujar Adiska yang memotong perkataan Recza. "Gue salah. Dan gue bukan temen yang baik, karena gue cuma dateng pas ada butuhnya doang. Gue minta maaf, gue tau gue salah."

            Recza menaruhkan pandangannya pada tetesan hujan yang masih deras. "Lo tuh selalu bikin gue tersanjung ya, Dis, sekaligus bikin gue jatuhdan rendah sebagai cowok. Sikap lo, itulah yang bikin gue salut sama lo. Meskipun orang lain jahat sama lo, tapi lo masih melihat kebaikan di setiap orang. Bahkan, lo masih bersikap baik, Dis."

            Adiska langsung menolehkan kepalanya pada Recza―terkejut terhadap apa yang baru saja di dengar olehnya.

            Jika Adiska belum pernah merasakan bagaimana rasanya terbang begitu tinggi, sekarang ia tidak perlu menanyakan hal itu pada orang-orang. Karena kini, ia sudah merasakan bagaimana rasanya terbang begitu tinggi itu.

            Buru-buru Adiska mengalihkan rasa 'terbang'nya itu. "Za, pas hujan reda nanti, temenin gue beli sate Padang, yuk?" ajak Adiska sembari menyikut lengan Recza.

            "Lo perasaan laper mulu, deh," ledek Recza sembari tertawa. "Boleh aja, sih, tapi mending lo pulang ke rumah dulu. Ganti baju lo biar gak kedinginan."

            "Iya, iya, gue pulang dulu ke rumah, bawel," tawa Adiska yang akhirnya meledak.

            Sementara Recza, setidaknya sudah bisa merasa lega. Ia tidak tahu pasti apakah Adiska memaafkannya atau tidak. Tapi, setidaknya, ia masih bisa melihat gadis itu mendesain senyumannya begitu manis seperti sekarang ini.

•                          •                          •                         •                          •                          •                          •                         

{A/N} wuihaha setelah pekan uas sama kesibukan sekolah yg udah mereda, akhirnya gue bisa nulis lagi hehe. counterpart sekarang punya cover baru yey. gimana menurut kalian?

seneng bgt gue ketika counterpart udah 19k reads! wih makasi bgt yaa kalian semua ❤

kabar gembira nih, desember yg nyantai ini bakal gue isi buat fokus nerusin ceritanya adis, recza sama arai a.k.a counterpart. jadi siapa yg pada excited?

Sabtu, 12 Desember 2o15

―Dean



Continue Reading

You'll Also Like

754K 10.3K 24
Klik lalu scroolllll baca. 18+ 21+
471K 50.3K 21
*Spin off Kiblat Cinta. Disarankan untuk membaca cerita Kiblat Cinta lebih dulu untuk mengetahui alur dan karakter tokoh di dalam cerita Muara Kibla...
6.8M 286K 59
On Going [Revisi] Argala yang di jebak oleh musuhnya. Di sebuah bar ia di datangi oleh seorang pelayan yang membawakan sebuah minuman, di keadaan ya...
MARSELANA By kiaa

Teen Fiction

1.5M 29K 12
Tinggal satu atap dengan anak tunggal dari majikan kedua orang tuanya membuat Alana seperti terbunuh setiap hari karena mulut pedas serta kelakuan ba...