Red Circle (ON HOLD)

By Cendarkna

47.2K 3.2K 132

Rachel Dalton adalah mahasiswi Universitas Brown yang menghabiskan liburannya di rumah pamannya, John Evergre... More

Prolog - Jejak Pertama
Bagian Satu - Foto di Atas Perapian
Bagian Dua - Antara Buronan, Tersangka, dan Korban
Bagian Tiga - Red Circle?
Bagian Empat - Museum Louvre
Bagian Lima - Toko Perhiasan
Bagian Enam - Kartu Mati
Bagian Tujuh - PHI
Bagian Sembilan - Pemburu Emerald
Bagian Sepuluh - Berkemas
Bagian Sebelas - Kapel Sistina
Bagian Duabelas - Pentagram
Bagian Tigabelas - Pesan dalam Pesan
Bagian Empatbelas - London

Bagian Delapan - Kata Mutiara Michelangelo

2.3K 159 7
By Cendarkna

Wanita berkaca mata hitam itu tampak menunggu kedatangan seseorang di sebuah restoran sepi tak jauh dari pusat kota Paris. Diamatinya sungai Seine yang terlihat tak jauh dari sana. Berulang kali pula dia mengecek arlojinya memastikan berapa lama orang yang ditunggunya terlambat. Lamat-lamat senyum kecil merekah dari bibirnya yang dipoles lipstick merah ketika melihat tamu yang sudah lama ditunggunya akhirnya tiba.

“Elisabeth Etienne yang membelinya.” Tamu laki-laki berjaket hitam tersebut mengulurkan sesuatu untuk wanita itu. “Dan, itu jejak dari Elisabeth.”

Sambil tak mengubah sedikitpun ekspresi wajahnya, dia menerima lembaran kertas itu dan mengamatinya baik-baik. Ujung bibirnya terangkat sedikit.

“Tujuan kita selanjutnya Italia ya?” Dilipatnya kembali kertas tersebut, lantas memasukkannya ke dalam tas yang dia bawa. Wanita tersebut melepas kaca matanya. Terlihat tatapan berterima kasih sekaligus dingin dari kedua matanya yang sewarna kayu manis. “Terima kasih, kau sudah mau membantuku, Nick.”

Rachel’s Point of View

Sebuah rumah kecil yang bertempat jauh dari kepadatan kota Paris sudah tampak di depan kami saat Destiny menghentikan mobilnya. Aku menyipitkan mata mengedarkan pandangan ke seantero halaman luas yang ditanami berbagai macam tanaman. Kacang rambat terlihat oleh mataku, menjulur di pagar besi hingga menuju kanopi bunga di depan teras rumah mungil itu.

Tak ingin menunggu lama lagi, Destiny keluar dari mobilnya diikuti aku yang berjalan mengekor di belakang. Kali ini Destiny tidak memakai jaket kebanggaannya. Dia ingin menjadi seorang remaja biasa yang bepergian dengan stelan jaket denim, celana khakhi, dan bot pendek. Namun seperti biasa pula, dia membawa identitas diri sebagai detektif.

Bel rumah dibunyikan Destiny selama berulang kali. Namun, belum ada jawaban sama sekali dari dalam. Aku mulai tidak sabar menunggu di luar sambil mengerucutkan bibir bosan. Kuketukkan tumitku di atas lantai kayu oak sambil memandangi keindahan dekorasi rumah ini yang ditanami berbagai jenis tumbuhan.

“Siapa?”

Aku mengalihkan pandangan saat pintu dibuka dan menampakkan seorang wanita muda. Destiny sudah memamerkan senyum terbaiknya seraya menunjukkan kartu identitasnya sedangkan aku beringsut mendekat.

“Destiny Cyrus, detektif swasta. Aku ingin mengajukan pertanyaan padamu.”

“Baru saja ada anak lelaki seusiamu yang datang kemari sambil menunjukkan identitas serupa.”

Sama sepertiku, Destiny menampilkan ekspresi bingung. Dia bahkan perlu berdiam, menggerakkan matanya ke bawah untuk berpikir siapa pemuda itu.

“Apakah namanya Nick Holmes?” Destiny menaikkan sebelah alisnya.

“Ya.”

“Tepat.” Destiny mendengus. “Boleh kami masuk?”

“Silakan.”

Kami berdua masuk ke dalam rumah mungil itu. Di dalam terdapat banyak figura diisi foto kucing dan wanita tua duduk di kursi goyangnya. Lukisan-lukisan para filsuf sekaligus pelukis terkenal—termasuk Leonardo Da Vinci dan Pablo Picasso—terpajang di beberapa tempat. Aku yakin ini tempat yang benar. Philosopher and Historian Intelligence. Elisabeth Etienne pasti menyukai dunia filsafat dan seni.

“Aku putri bungsu Elisabeth Etienne. Namaku Luella Etienne,” ujar wanita muda itu, lebih ramah daripada tadi. “Ada keperluan apa kalian datang kemari? Menanyakan soal peninggalan ibuku?”

Destiny menyenggol sikuku sambil memberikan lirikan menuju suatu tempat. Di sana aku melihat foto berkelompok yang sama seperti milik paman John serta Dr. Mandingo yang dipajang di atas perapian. Ukuran fotonya lebih besar, hampir sama lebarnya seperti lukisan-lukisan di rumah ini.

“Kami hanya ingin tahu apakah Elisabeth Etienne pernah membeli sesuatu di toko perhiasan Rousseau?” tanyaku mengalihkan lirikanku dari foto itu.

“Ya, tapi untuk keperluan bisnis. Dia menjualnya kembali pada seorang kolektor benda antik,” jawab Luella.

“Seorang kolektor?” Destiny menegakkan dagunya. “Apakah kau tahu kalau ibumu terlibat dalam sebuah organisasi rahasia bernama Philosopher and Historian Intelligence?”

“Apa?” ulang Luella. Dia tertawa. “Aku tidak tahu.”

“Foto itu akan menjelaskannya.” Destiny menunjuk foto di atas perapian. “Mereka tergabung dalam organisasi rahasia bernama PHI.”

Lagi-lagi Luella tertawa. Tapi tawanya kali ini seperti kaget dan tidak mempercayai ucapan Destiny. “Jangan asal bicara. Mereka adalah murid ibuku.”

“Murid?” Dahiku berkerut heran mendengar ucapannya. Sejak kapan orangtuaku memiliki guru di Perancis? “Maaf, tapi orangtuaku ada di sana. Dan, aku tidak pernah mendengar bahwa orangtuaku memiliki guru. Apalagi di Paris.”

Luella menggelengkan kepalanya. Dia berdiri dari sofa, berjalan menuju perapian, dan menunjuk foto berukuran besar itu. “Ini adalah murid ibuku. Dan ini…” Jari Luella berhenti pada sosok Dr. Mandingo. “…ini rekan ibuku, Dr. Mandingo. Setahuku, mereka berteman dan menjadi sangat akrab sejak saling mengenal. Juga karena mereka memiliki ketertarikan di bidang yang sama.”

Aku menggigit bibirku. Sepertinya wanita ini tidak tahu ibunya adalah anggota kelompok PHI. Mungkin saja karena Elisabeth tak ingin anaknya dikecam bahaya. Sama seperti yang dilakukan orangtuaku.

Destiny berdehem pelan, kelihatan tidak ingin berlama-lama di tempat itu. “Boleh aku tahu kemana dia menjual benda yang dibelinya di toko Rousseau?”

Luella mengangguk. Dia kembali duduk di depan kami sambil membagi pandangan antara aku dan Destiny.

“Aku tidak tahu pasti. Urusan ibuku sangat rahasia sehingga yang kutahu hanyalah, dia memberikan benda itu pada seorang kolektor. Dia hanya meninggalkan pesan sebelum mengirim bendanya pada orang itu.”

“Untuk apa dia mengirimnya?” Kening Destiny berkerut heran.

Benda yang dibeli Elisabeth adalah sebuah perhiasan dari Profesor Rousseau. Dia mengirim benda itu pada seseorang, kolektor benda antik. Aku yakin kolektor itulah pemilik resmi Red Circle. Jadi, Red Circle dibeli melalui seseorang, yakni Elisabeth Etienne. Tapi untuk apa? Toh pemilik Red Circle ini juga memiliki hubungan dengan Profesor Rousseau. Mereka tergabung dalam satu organisasi rahasia.

“Aku tidak tahu. Jangan tanya aku.” Luella mengeluarkan selembar kertas dari sebuah buku. Dia menuliskan sesuatu di sana. “Ini adalah pesan yang ditulis ibuku. Dia menaruh pesan ini pada kotak yang akan dikirimnya pada kolektor benda antik. Aku sempat melihat saat dia menulisnya.” Luella mengulurkan kertas tersebut pada kami.

Destiny menyambar kertas itu, lantas menatapku dengan sebelah alis terangkat heran. Sebuah kalimat yang pernah kutahu berasal dari Michelangelo.

I saw the angel in the marble and carved until set him free (Aku melihat malaikat di marmer dan diukir sampai kubebaskan dia)

Tahu maksudnya?

Barbara’s Point of View

(Playlist: Goodbye-Avril Lavigne)

Ibu, aku merindukanmu. Melihatmu duduk termangu dengan pandangan kosong sungguh menyiksaku. Aku ingin memelukmu dan mengatakan bahwa aku ada di sampingmu, aku masih hidup, aku akan menemanimu. Tapi, aku tak mampu melakukan itu karena tidak mau membuatmu terseret bahaya. Setiap orang yang ikut campur ke dalam duniaku akan dihabisi pemimpin organisasi kami. Aku tidak mau jika kelihangan ibu.

Kupandangi wanita paruh baya itu dari balik tembok kamarnya. Sudah berulang kali suster mengatakan padaku agar aku menjaga jarak dengannya. Dia sangat sensitif dan bisa berteriak kapan saja jika merasa terancam. Menurut suster, dia sering memanggil-manggil namaku dan berteriak bahwa aku dalam bahaya. Aku tidak bisa membayangkan hal semacam itu. Pasti menyakitkan melihat ibuku seperti itu.

Air mata sudah berkumpul di pelupuk mataku. Ini kunjunganku yang ke lima kalinya dalam empat hari. Aku ingin berada di sini seakan melupakan tugasku di Paris. Yang kuinginkan hanyalah melihat ibuku. Sudah lama aku meninggalkannya dan tidak pernah menjenguknya.

“Barbara? Itu kau?’

Kepalaku tersentak kaget mendengar dia menyebut namaku. Secara instingtif aku mencoba berjalan mendekatinya sambil mengulaskan senyum senang serta lega. Baru sampai dua langkah, aku berhenti lantaran melihat ibuku berjalan pelan mendekati sofa di kamarnya. Dia meraih sebuah boneka kecil, boneka kesukaanku yang sering kubawa kemana-mana.

“Mom mencarimu, Nak. Jangan pergi lagi,” ujarnya seraya memeluk boneka itu dan mengecup kepalanya. Aku bahkan merindukan pelukan dan kecupannya. Aku merindukan kedua lensa mata coklatnya menatapku. Aku merindukan saat-saat dia menina bobokanku. Aku merindukan saat dia tersenyum bangga melihat nilai raporku. Aku merindukan ibuku. Aku ingin dia terus bersamaku. Tapi, aku tidak bisa.

Maka, kakiku bergerak pelan meninggalkan kamarnya. Aku berjalan lunglai. Bersiap-siap untuk kembali ke Paris dengan air mata yang masih berkumpul di bawah pelupuk mataku.

Selamat tinggal, ibu.

Rachel’s Point of View

Aku bingung haruskah senang atau justru merutuk kesal lantaran kami belum bisa meninggalkan Paris dan bersiap menuju Italia untuk melakukan perjalanan kembali. Paspor Destiny hilang sehingga dia harus mengurus segala sesuatunya. Itu memakan waktu yang cukup lama.

Di sisi lain aku senang masih diberi kesempatan bertemu dengan Justin di sini. Kami sering pergi bersama menghabiskan waktu apabila aku mendapat kesempatan istirahat, terbebas dari penyelidikan lainnya. Bahkan malam ini dia berniat mengajakku pergi lagi. Bukan melakukan kegiatan adrenalin, melainkan kegiatan yang aku sendiri tidak tahu; dia memintaku agar memakai dress. Aku paling benci kalau memakai dress.

“Dev! Aku butuh paspor lagi! Bisakah kau membuatkannya untukku?” kudengar seruan Destiny yang mondar-mandir, memaki adiknya, memaksa agar Devian membuat paspor untuknya. “Masa bodoh! Pasporku hilang entah kemana! Sekarang aku harus secepatnya pergi ke Italia sebelum pembunuh itu mendahului kami!”

Kutarik napas panjang seraya menselonjorkan kakiku di atas sofa. Destiny masih sibuk berdebat dengan adiknya. Yang kutangkap dari perbincangan itu, Devian menolak membuatkan paspor baru untuk kakaknya karena CIA mulai melakukan penyelidikan terhadap paspor dan identitas detektif ilegal.

Destiny mengerang kesal seraya melempar ponselnya ke atas sofa. Direbahkan tubuhnya di atas sofa sambil meredam teriakan dengan kedua telapak tangannya.

“Sial! Kalau begini kita terlambat!” Destiny mendesah frustrasi. Sekaleng bir sudah tersedia di atas meja dengan satu bungkus rokok. Diteguknya bir dalam kaleng itu. “Nick. Brengsek. Ternyata dia bekerja sama dengan pembunuh itu.”

Aku menyeringai. “Kalau dia bekerja sama dengan pembunuh itu, artinya dia tahu siapa dalang pembunuhan ini. Bukankah kalian seperti… dekat?”

Destiny tersedak mendengar kalimatku. Aku benar-benar tidak tahu bagian mana yang membuatnya sampai sehisteris itu.

“Dekat? Haha. Aku bahkan terlibat pertarungan sederhana dengannya. Dan, kau bilang kami dekat?” Destiny memutar bola mata jengah. “Aku tidak sudi berdekatan dengannya.”

Aku mencebikkan bibir. Kubiarkan dia mengoceh tidak jelas sambil merutuk atas keteledorannya sehingga paspornya hilang entah di mana. Destiny meraih sebatang rokok, menyalakannya dengan pemantik, lantas menghisapnya. Asap mengepul sampai di tempaku. Aku terbatuk seraya mengibaskan tanganku melihat kepulan asap yang ditimbulkan oleh Destiny. Bukannya minta maaf, Destiny justru tertawa.

Justin’s Point of View

Mengambil hati seorang wanita memang tidak semudah membalikkan telapak tangan. Tapi tidak bagiku. Hanya sekali kedipan mata saja aku sudah bisa mengambil gadis-gadis yang kusuka. Tapi pilihan Justin kali ini sangat tidak menarik perhatianku. Mengapa dia tidak mengambil Barbara, yang jelas-jelas sudah ada di depan mata?

Maaf, itu bukan pemikiranku.

“Bisakah kau diam sebentar saja, Jason?” bisikku seraya mengancingkan kemejaku. Kupandangi diriku di depan cermin kamar, melihat penampilanku yang sudah sempurna untuk mengajak seorang gadis kencan. Ini yang kedua kalinya setelah Lexy. Aku pastikan juga ini yang terakhir dan tak akan kubiarkan siapapun mengganggu hubunganku dengan Christalique.

“Lihat, kau akan menyesal sudah mengabaikan ucapan Barbara.”

Bayangan yang terpantul di cermin bergerak di luar kekuasaanku. Entah itu hanya tipuan pikiranku atau memang ada yang salah dengan pantulan cermin itu. Aku paling tidak bisa memahami persoalan psikologis seperti ini. Wajahnya terlihat dingin, berkarakter datar, mata yang lebih tajam, senyum miring, dan caranya berbicara layaknya pembunuh masal. Dia satu-satunya kepribadianku yang sangat jahat. Lebih jahat daripada Derek maupun Michael. Lebih gila. Dan berkuasa.

“Aku tidak melanggar apapun. Aku hanya melakukan apa yang seharusnya kulakukan,” balasku tajam. “Menyingkir.”

“Bagaimana kalau nasibnya sama seperti pacarmu dulu, Justin? Mati di tanganmu sendiri.”

Aku menggenggam telapak tanganku. “Kau yang membunuhnya.”

“Wow. Kau sudah tahu bukan, kalau aku memang hobi membunuh? Baik dengan perintah dari bos maupun kesenangan pribadi.” Dia mengedikkan bahunya. “Hasrat membunuh tanpa alasan itu sangat menggodaku.”

Aku tersenyum miring. “Tidak. Kali ini siapapun tak akan ada yang bisa menyakiti gadis ini. Tidak dengan kau, Derek, Michael, bos, tuan, maupun aku sendiri.”

Tidak kudengar balasan lagi. Kusadari keadaan kamar ini sangat hening ditemani bunyi angin yang masuk melalui jendela dan fentilasi udara. Aku mematut bayanganku lagi, menggerakkan tanganku, berkedip. Semuanya ditiru oleh bayangan cermin itu. Aku menghela napas panjang menyadari bahwa dia sudah pergi.

Christalique berjalan keluar dari dalam apartemen menuju mobilku. Di sebuah jendela yang kuhapal sebagai jendela kamar apartemennya, terdapat Destiny menengok ke bawah. Dia melambaikan tangannya padaku dan kubalas dengan senyum simpul.

Bonsoir, Beauté (selamat malam, Cantik),” tukasku sambil membukakan pintu mobil untuk Christalique.

Bonsoir. Merci. (selamat malam. Terima kasih),” balasnya sekaligus masuk ke dalam mobil.

Aku sengaja tidak memberitahunya dulu ke mana arah tujuan kami nantinya. Biar dia mendapatkan kejutannya sendiri. Sambil menerka-nerka, Christalique mengatakan padaku kalau dia paling tidak nyaman dengan penampilannya saat ini.

“Aku janji ini yang terakhir kalinya kau memakai dress,” kataku disambut tawa masam Christalique.

Kami sampai di depan Alain Ducasse. Sudah kutebak kalau Christalique akan terbelalak lebar mengetahui ke mana arah tujuan kami. Ketika kami berjalan untuk masuk, dia berbisik gaduh, masih menatapku tak percaya.

“Orang kaya mana yang bilang kalau dia menyewa apartemen murah?” tanyanya sesampainya di dalam. “Lihat, hanya orang-orang kaya saja yang bisa makan di sini.”

Menanggapi ocehannya, aku hanya tertawa tanpa suara. “Aku tidak kaya, itu yang pertama. Hanya keberuntungan saja yang membawaku kemari.” Jika dia tahu kalau semua uang yang kuperoleh hasil dari tindakan kriminalku, aku tidak yakin apakah dia masih mau kuajak jalan.

Kami memesan satu tempat, disambut dengan seorang pelayan berpakaian rapi, berbicara menggunakan bahasa dan aksen Perancis sempurna. Aku memesan beberapa menu utama sesuai persetujuan Christalique dan menu pendamping yang sama.

“Maaf kalau tidak sopan, tapi… kau bekerja?” tanya Christalique masih penasaran.

Ya, aku membunuh orang. Itu pekerjaanku. “Tidak. Aku hanya mendapatkan aset perusahaan orangtuaku untuk kukelola. Asal kau tahu saja, aku tidak suka kalau berbicara tentang bisnis atau apapun yang berhubungan dengan uang.” Karena aku tidak mau semakin banyak berbohong di depanmu.

Christalique terkikik pelan. “Maaf. Rasanya pertanyaan itu memang tidak sopan.”

Aku menyunggingkan senyum manis untuknya. Aktor yang hebat. Dasar munafik kau, Justin.

Rachel’s Point of View

Astaga. Dia bahkan tidak mau membahas kekayaan orangtuanya. Jarang aku bertemu dengan orang seperti dia. Apabila kebanyakan pria di luar sana justru mengagung-agungkan kekayaannya, dia berbeda. Aku semakin menambah nilai plus untuknya.

“Hmm… lihat ke sana.” Justin menunjuk suatu tempat di mana terdapat kelompok musisi tengah memainkan musik. Aku menoleh sekedar melihat apa yang ingin ditunjukkannya padaku. Tidak ada yang menarik perhatianku kecuali para musisi berkutat dengan alat musik yang mereka mainkan.

“Ada apa memangnya?” tanyaku, menoleh ke arahnya.

“Ada yang salah di sana.” Justin masih tak mengalihkan perhatiannya dari kelompok musisi itu. “Kau lihat? Pianonya kosong. Itu artinya butuh seorang pemain lagi untuk menyempurnakan melodi yang mereka bawakan.”

“Aku tidak pernah memerhatikan sedetail itu di setiap restoran.” Aku tertawa geli. Anak ini benar-benar aneh.

“Tunggu saja.” Dia mengerling. Tak kuduga-duga, dia berjalan meninggalkan meja, mendekati grand piano yang kosong itu. Mataku berhenti berkedip, ingin tahu apa yang akan dilakukan Justin di tempat itu.

Dia duduk dengan sikap sempurna. Bahkan mampu menarik perhatian seluruh pengunjung restoran yang tengah makan malam. Jari-jarinya mulai turun menuju tuts, menekannya hingga menimbulkan melodi lembut. Tidak hanya pengunjung, musisi restoran ini juga berhenti memainkan alat musik mereka sekedar melihat performa Justin di depan grand piano. Setelah kudengar-dengar lagi, dia memainkan Fur Elise dengan sangat sempurna.

Tiap melodi yang terdengar tak ada kecacatan sedikit pun. Seakan-akan separuh hidupnya dipenuhi oleh musik. Ujung-ujung bibirku tertarik membentuk senyuman kagum. Tak hanya milik Beethoven. Musik Waltz Operatta pun juga dimainkannya. Musik dengan tingkat kerumitan tinggi. Dia hebat memainkan melodi itu.

Terdengar tepukan riuh di penjuru arah. Ya ampun… bagaimana mungkin aku tidak tertarik dengan anak berbakat seperti dia?

Dengan senyuman favoritku, Justin berjalan meninggalkan grand pioano seraya mengedipkan sebelah matanya ke arahku.

Justin’s Point of View

Bukan bermaksud sok pamer di depannya. Melihat grand piano yang kosong memang membuat diriku tertarik untuk memainkannya. Selalu begitu, tak hanya di tempat ini. Dulu pertama kali aku mengajak Lexy makan malam, aku juga melakukan hal yang sama. Antusias antara Christalique dan Lexy sebanding. Aku bisa melihatnya di kedua lensa mata mereka.

“Kenapa kau melakukan itu?” tanyanya, masih tidak menyingkirkan tatapan kagum.

“Musik adalah media seseorang menyampaikan perasaannya. Apa yang kulakukan tadi bagian dari bentuk penyampaian perasaanku,” kataku mengawali kalimat yang selama ini ingin kuucapkan untuknya. Tidak seperti biasanya, aku gugup tidak keruan. Untuk melakukan hal seperti ini pada Lexy saja membutuhkan waktu cepat dan tidak membuatku gamang. Kenapa dihadapkan oleh Christalique aku justru seperti kalah strategi?

Menu utama sampai di meja kami, mengulur waktuku sejenak. Aku meraba kantong blazerku. Sial sekali, kemana kotak cincin itu? Kuingat-ingat lagi di mana terakhir kali aku menaruhnya. Di depan Christalique, aku tidak boleh kelihatan panik. Dia sibuk memberikan senyum dan ucapan terima kasih pada pelayan yang mengantar menu kami sementara aku sibuk memikirkan cara lain.

Kenapa tidak mengambil milik orang, Justin? Lihat, aku melihat banyak benda berkilauan di sini, pikir Michael.

Benar. Untuk keadaan darurat seperti ini aku harus putar otak. Maka, aku berdiri sebentar, berpamitan pada Christalique, pura-pura berniat mengangkat telepon. Aku berjalan menelusuri restoran ini hingga kutemukan target yang cocok. Aku tersenyum simpul melihat seorang wanita muda dihiasi banyak perhiasan tengah berjalan bersama pasangannya. Secara sengaja, aku menabraknya pelan.

Désolé,” kataku sambil melayangkan senyum ramah.

Aku melanjutkan langkahku, meninggalkan wanita muda itu, menuju ke meja di mana Christalique menunggu. Kulihat cincin yang berhasil kuambil saat bertabrakan dengan wanita itu. Cincin yang sederhana namun indah. Michael memang klepto yang handal. Ya, setidaknya aku berterima kasih dia mau membantuku dalam keadaan darurat seperti ini.

“Maaf,” kataku seraya duduk lagi di depan Christalique. Dia tersenyum simpul melihat kedatanganku tadi.

Kami berdiam sambil menikmati masakan Perancis di hadapan masing-masing. Aku melirik, mengamatinya dengan saksama seraya memikirkan bagaimana caranya menyematkan cincin ini di jarinya dengan kesan manis.

“Mau mencoba ini?” tanyaku seraya menunjuk Ratatouille di depanku. “Ini masakan Perancis kesukaanku.”

“Boleh juga.”

Aku tersenyum sambil menggerakkan tanganku, memberikan suapan untuknya. Kuamati ekspresinya ketika makanan itu masuk ke dalam mulutnya. Ekspresinya berubah sekertika. Dia memuntahkan sesuatu di telapak tangannya, sembari mengernyitkan dahi heran.

“Bagaimana bisa benda ini berada di dalam makanan?” tanyanya bingung.

“Itu untukmu,” kataku yang sontak membuat Christalique mengalihkan pandangannya. Aku berdiri dari kursiku, berlutut di sebelahnya seraya mengambil lagi cincin itu. “Every heart sings a song, incomplete, until another heart whispers back. Those who wish to sing always find a song. At the touch of lover, everyone becomes a poet.”

Untunglah aku tahu kata-kata cinta dari Plato yang kuanggap sebagai kalimat manis untuk seorang gadis. Kalimat yang sama ketika aku menyampaikan perasaanku pada Lexy.

Would you be my girlfriend?” lanjutku.

Christalique terdiam. Dari membaca kedua matanya saja aku bisa menyimpulkan kalau dia terkejut, bingung, bahkan tak tahu harus menjawab apa. Ya, untuk ukuran seseorang yang baru dikenalnya di Paris, kurasa dia akan bingung kalau sudah dihadapkan dengan hal semacam ini.

Bien sur (tentu saja),” balasnya pasti.

Aku tersenyum miring mendengar jawabannya. Kupasangkan cincin ini di jarinya, mengecup punggung tangannya, kemudian berdiri diikuti olehnya. Kuraih dia ke dalam pelukanku, dia membalasnya erat. Ada hal lain saat ini. Berbeda dengan saat aku bersama Lexy. Aku bahkan meragukan perasaanku pada gadis itu, justru menguatkan asumsiku bahwa Christalique-lah yang selama ini kunantikan. Entahlah, perasaan manusia memang sulit ditebak.

Je t’aime, Chrissie,” bisikku di telinganya.

Aku harap Barbara tidak pulang cepat. Dia sendiri yang mengingkari janjinya kalau dia hanya sehari di sana, sedangkan sampai sekarang dia belum pulang. Setidaknya aku lega jika dia tak tahu perihal ini. Bagaimana kalau dia sampai tahu aku membawa gadis lain, memasukkannya ke dalam masalah, hingga mengancam nyawanya? Tidak. Itu tidak akan berlaku pada Chrissie karena dia hanya gadis biasa, Dia bukan Lexy, anak pembuat Red Circle yang membuatku kehilangan dia.

Christalique mengedarkan pandangan melihat keadaan apartemenku. Bahkan dilemparkannya tatapan tak percaya bahwa ini benar-benar tempat tinggalku.

“Kau membawa lamborghini aventador, mengendarai ducati, membawaku ke Alain Ducasse, tapi kau tinggal di sini?” tanyanya saat aku menutup pintu.

Aku hanya tertawa tak bersuara menanggapi pertanyaannya yang sebelum ini sudah kupikirkan jauh-jauh hari. Aku tidak akan mengatakan bahwa di sinilah tempat persembunyianku karena apartemen ini begitu ilegal dan memperbolehkan siapa saja membawa benda-benda yang tak diharuskan. Misalnya… senjata.

“Aku hanya tinggal sebentar di sini. Lagipula, aku tidak ingin memanjakan diri menghabiskan banyak uang untuk menyewa apartemen mahal.” balasku seraya mendekatinya.

Dia menautkan kedua alisnya seolah tak sependapat denganku. Jawaban itu memang konyol. Mana ada orang yang dilihat sebagai orang kaya tinggal di apartemen seperti ini. Aku bukan orang kaya, itu poin pertama. Poin kedua, aku bersembunyi sebagai seorang pembunuh dan pencari target.

“Jangan terlalu memikirkan alasan kenapa aku tinggal di sini,” bisikku sambil menarik dagunya agar membalas tatapanku. “Apa aku terasa asing bagimu?”

Christalique menggigit bawah bibirnya. “Nope. Tentu saja tidak. Kenapa kau bertanya seperti itu?”

“Memastikan saja.” Aku tersenyum simpul.

Aku mencium bibirnya saat itu juga. Kami berjalan bersama, masih belum melepaskan diri, menimbulkan bunyi debuman pelan saat tubuhnya bertabrakan dengan dinding dan dia tertawa pelan. Dia tidak begitu peduli pada letak barang-barang yang berserakan di dalam kamarku; dia lebih tertarik memandangku, menciumku, mengikuti ke mana aku membawanya.

Kami saling menjatuhkan tubuh kami di atas ranjangku. Kutatap kedua  matanya yang sewarna zamrud dengan sedikit sentuhan biru, mengingatkanku pada lautan Circassia. Mata itu tak mampu mengenyahkan segala perspektif positifku tentang dia. Entahlah, kurasa bagian yang kusuka darinya adalah mata zamrudnya. Torehan Tuhan pada dirinya benar-benar sempurna seolah Dia berkonsentrasu penuh ketika menciptakan makhluk indah ini.

Aku melumat bibirnya lagi, dia memejamkan matanya, mengabaikan keadaan tempat ini yang berantakan, mengabaikan suara musik dari kamar seberang. Sama sepertiku seolah medan magnet terkuat dari dua kutub bumi hanya ada pada kedua lensa matanya.

Tanganku bergerak menurunkan tali dressnya, sedangkan dia melepaskan blazerku, membuka seluruh kancing kemejaku. Hingga tak terasa, hawa musim dingin yang akan datang ditambah kelembaban ruangan ini begitu terasa di kulitku. Untuk persoalan itu, aku tidak begitu memikirkannya. Aku benar-benar sudah tertarik oleh medan magnet gadis ini.

Ponselku berdering berkali-kali di atas meja lampu, hingga membuatku terbangun dan mengerang kesal. Kuabaikan panggilan seseorang di sana tanpa melihat displaynya. Pasti bos yang menggangguku. Hanya dia orang yang sering menggangguku, tidak peduli apakah di pagi hari atau tengah malam sekalipun.

Lagi-lagi ponsel itu berdering. Aku membuka mata, menangkap getaran ponsel di atas meja lampu, dan memutar bola mata kesal. Kuraih ponsel itu dan melihat pada display yang menampakkan nama Barbara di sana. Sambil mengerjapkan mataku, kuangkat panggilan itu.

“Kenapa kau mengabaikan lima panggilanku, Bodoh?” makinya.

“Maaf, ini masih pagi, Barb. Tolonglah…” Aku memutar bola mata jengah.

“Kupastikan tidak ada kecerobohan saat aku kembali.”

“Ya, ya, ya. Jangan khawatir. Selamat pagi.” Kumatikan sambungan telepon itu sebelum mendengar balasan Barbara.

Kepalaku bergerak ke samping, mendapati Christalique yang masih tertidur pulas, bergelung di bawah selimut, membelakangiku. Ada sesuatu yang menarik perhatianku. Aku baru menyadari keberadaan sesuatu itu pada dirinya sehingga membuat kedua mataku membelalak tidak percaya. Kusibakkan rambutnya sehingga bisa kulihat sesuatu yang menarik perhatianku itu.

Dengan segera aku meraih tasnya, mencari-cari dompet atau apapun yang memuat identitas diri. Aku mendapatkan dompetnya dan menarik secarik kartu identitas. Aku tertegun sangat lama melihat katu identitas itu. Masih tak mempercayai segala hal yang kudapatkan hari ini, pagi ini. Bersamaan dengan bunyi dering ponselku lagi yang masih tak menyadarkanku dari keterkejutanku. Kuraih ponsel itu lambat, menjawab panggilan dengan suara yang sangat kukenal.

“Justin, aku sudah sangat lama menunggu. Kau sudah mendapatkan target kita?”

“Belum.”

Aku memutuskan hubungan tanpa memedulikan balasan bos lagi, meremas ponselku sambil membagi pandangan antara kartu identitas dengan gadis di depanku kini.

“Rachel Dalton. Gadis ini… Rachel Dalton.” Aku memejamkan mataku menyadari bahwa targetku ternyata orang yang kucintai. Kenapa hal ini terulang kembali? Tidak. Kali ini aku tidak akan menuruti perintah mereka. Aku tidak akan memberikan gadis ini pada mereka.

Ya Tuhan.

Continue Reading