Red Circle (ON HOLD)

By Cendarkna

47.2K 3.2K 132

Rachel Dalton adalah mahasiswi Universitas Brown yang menghabiskan liburannya di rumah pamannya, John Evergre... More

Prolog - Jejak Pertama
Bagian Satu - Foto di Atas Perapian
Bagian Dua - Antara Buronan, Tersangka, dan Korban
Bagian Tiga - Red Circle?
Bagian Empat - Museum Louvre
Bagian Lima - Toko Perhiasan
Bagian Enam - Kartu Mati
Bagian Delapan - Kata Mutiara Michelangelo
Bagian Sembilan - Pemburu Emerald
Bagian Sepuluh - Berkemas
Bagian Sebelas - Kapel Sistina
Bagian Duabelas - Pentagram
Bagian Tigabelas - Pesan dalam Pesan
Bagian Empatbelas - London

Bagian Tujuh - PHI

2.2K 183 8
By Cendarkna

Gerald, aku masih memantau Emerald. Dan bahaya sedang berada di dekatnya. Namun baik dia maupun bahaya itu, mereka sama-sama tidak menyadarinya.

 

-Shank

Rachel’s Point of View

Aku belum pernah mendapati kasus seperti ini; bahkan di mata kuliahku tak pernah menghadirkan kasus-kasus seperti ini. Teka-teki gila yang belum pernah kutemui di dunia nyata, sekarang justru terjadi di lingkunganku.

Sudahlah, untuk saat ini kukesampingkan saja teka-teki itu. Akan kunikmati keindahan Paris yang diantar Justin sewaktu menjelajahinya, bahkan dia tak segan-segan bercerita banyak mengenai dirinya. Aku tidak begitu bisa menangkap adanya kebohongan atau kejujuran pada dirinya, namun aku percaya Justin orang yang jujur. Bahkan kepercayaanku terhadap orang asing tak pernah sekuat ini seolah kami ditakdirkan untuk bertemu.

“Kau tidak keberatan kalau kuberitahu bahwa aku tinggal seapartemen dengan sahabatku. Dan, dia perempuan?” Justin mengamatiku dari balik mata hazelnya.

Kucerna baik-baik ucapannya, mengabaikan pendaran keindahan saat dia menatapku. Apalagi nada yang digunakannya begitu manis; pelan, tegas, namun tak jauh dari kata memikat. Bagaimana bisa ada orang asing yang baru bertemu denganku kemarin siang, namun sekarang kami seolah sudah saling mengenal satu sama lain?

“Tidak masalah. Mungkin kita bisa menjadi teman perempuan yang baik,” balasku.

Seakan ada yang salah dengan kalimatku, Justin terkekeh. “Begini, sebaiknya kau harus tahu kalau dia berbeda dari kebanyakan gadis. Maksudku, dia lebih keras kepala, kasar, dan tomboy.”

Sama sepertiku. Bukankah itu tidak masalah? “Percaya atau tidak, kami berdua pasti cocok.”

Justin menggeleng-gelengkan kepalanya sambil tertawa pelan diikuti oleh tawaku. Mobil yang dikemudikannya melaju lebih kencang menembus gemerlap lampu di sepanjang jalanan kota Paris, menuju apartemenku. Bahkan aku melupakan tujuanku bersama Destiny untuk menemukan identitas orang-orang yang memiliki tanda phi. Aku ingin istirahat dulu. Boleh, kan? Setidaknya istirahat itu untuk menajamkan pikiranku dalam penyelidikan kasus pembunuhan dan teka-teki Red Circle yang tengah kuhadapi.

Meski tak ingin waktu berputar begitu cepat, pada akhirnya mobil Justin berhenti di depan apartemenku. Aku sudah menyuruhnya untuk mengantarku sampai di depan pintu kamar apartemenku agar Destiny bertemu dengannya sehingga sahabatku itu tak mengkhawatirkan pergaulanku.

Seperti yang sudah kuduga, Destiny menyambut kedatangan Justin dengan senyuman lebar favoritnya. Terjadi interaksi yang baik setelah kulihat bahwa Justin juga senang bisa bertemu dengan Destiny; ekspresinya menunjukkan kalau dia bisa diajak bersosialisasi dengan sahabatku itu.

“Hai,” sapa Destiny riang. “Kau pasti Justin McCann.”

“Ya.” Justin mengulaskan senyuman simpul. “Biar kutebak, kau Destiny?”

Destiny mengulurkan tangannya dan disambut Justin ramah. “Destiny Cyrus.”

Sudah kubilang kalau mereka akan menjadi teman yang baik. Lagipula Destiny tipe orang yang suka mencari teman baru dan mudah membaur, sama seperti Justin. Sayangnya, pertemuan mereka tidak memakan waktu lama karena Justin juga harus kembali ke apartemen.

“Aku akan senang kalau bertemu lagi denganmu,” kata Destiny seraya memamerkan telunjuknya di depan Justin.

Menanggapi kalimat Destiny, Justin tersenyum lebar. “Tentu saja.” Dia menatapku sebentar, masih belum menghilangkan senyum itu, sampai akhirnya melimbai pergi. Baru beberapa langkah, dia berhenti dan membalikkan badan. “Kalau aku ingin mengajakmu keluar, kupastikan kau tidak akan menolak.”

Aku hanya tersenyum seraya mengangguk. Dia kembali meneruskan langkahnya masuk ke lift. Tidak kulihat sosoknya setelah menghilang masuk ke dalam lift bersama seorang pria tua yang sedari tadi mengantri di depan pintu.

Saat Destiny menutup pintu, dia menghela napas panjang, lantas berjalan pelan menuju sofa. Dihempaskan pantatnya di atas sofa berlengan panjang sementara aku harus menyampirkan jaketku terlebih dahulu ke tempat gantungan dekat kamarku.

“Ya, kumaklumi kalau kau mengundur waktu melakukan penyelidikan itu.” Destiny menggembungkan pipinya. “Bagaimana juga, kau bukan aku.” Tatapannya tertumbuk padaku sehingga membuat kepalaku terteleng ke satu sisi.

Aku berjalan pelan menuju ke arahnya dan duduk di sebelahnya. “Aku tidak bermaksud mengulur-ulur waktu…”

“Aku mengerti, Rae,” Destiny menginterupsi. Dia menepuk pundakku. “Rileks. Kurasa kita terlalu keras bekerja. Nah, sekarang kita nikmati dulu istirahat kali ini.”

Ucapannya terdengar seolah-olah dia sudah terjebak ke dalam kartu mati yang dibangun Profesor Rousseau melalui Elisabeth Etienne itu. Aku bisa merasakan kegamangan dan putus asa dari raut wajahnya. Sepertinya dia belum pernah gagal menjalankan tugas. Namun, ini hanyalah tugas yang tidak penting baginya, menurut pengamatan melalui kaca mataku. Kurasa Destiny tidak menginginkan apapun. Aku tahu dia hanya ingin mencari tahu Red Circle yang diincar berbagai pihak. Bisa jadi benda itu disalahgunakan oleh orang yang tidak bertanggung jawab. Aku mendukung keputusan Destiny, apabila memang itu yang terbaik.

Justin’s Point of View

Tampak olehku Barbara tengah memainkan koin di atas jari-jarinya yang lentik seraya duduk memandangku tajam. Dia kelihatan marah. Oh, barangkali dia tahu kalau aku sudah berani mengajak orang lain pergi, atau dia takut terjadi interaksi lebih antara aku dengan orang tersebut. Sebenarnya aku tidak mau mengambil resiko seperti itu. Tapi, hati seorang manusia tidak bisa dibohongi. Sekali dia jatuh cinta, dia akan terus mengejarnya.

Aku melempar jaketku sembarang tempat sambil membalas pandangan dingin Barbara yang seolah menghakimiku. Tidak saat ini, aku lelah untuk diajak berdebat. Apalagi satu kejadian yang membuatku letih akibat ulah Derek. Ya, aku letih melakukan pembunuhan seperti itu. Tapi, aku tidak bisa berhenti seakan membunuh adalah jantung kehidupanku. Berulang kali aku mencoba mengendalikan diri agar tidak terbawa oleh bayang-bayang mengerikan itu, namun aku tak bisa.

“Pertama, kau pergi membawa mobilmu dan mengajak seorang gadis kencan. Kedua, kau membunuh orang sembarangan di padatnya kota Paris. Ketiga, kau pulang larut malam. Keempat, kau tidak membalas sms dan mengangkat teleponku. Kelima…”

Belum sampai dia meneruskan ucapannya, aku berjalan lebih cepat dan mengecup bibirnya sehingga membuatnya terdiam. Barbara mendorongku ke belakang, kemudian menggelindingkan koin yang berada di apitan jari-jarinya tadi ke atas meja seraya menatapku kesal.

“Berapa kali kubilang jangan melakukan hal itu tiap aku bicara!” bentaknya.

Aku tak menanggapi bentakan itu serius, justru tertawa pelan dan duduk di sofa lainnya sambil mengangkat kakiku ke atas meja. “Aku paling anti kalau mendengar ocehanmu, Babe. Biarkan Justin istirahat dulu. Derek sudah membuatnya letih dengan pembunuhan itu lagi. Ckckck…” Aku berdecak pelan.

Kuhela napas panjang untuk menenangkan pikiranku sejenak, mencoba menyingkirkan dulu beberapa hal yang menggangguku, menyingkirkan suara-suara bising dalam kepalaku, menyingkirkan kepribadianku yang lain, kemudian fokus terhadap satu titik. Aku memejamkan mata sementara waktu; tak kudengar suara apapun kecuali tetesan air atau decitan pintu di sebelah apartemenku.

“Aku hanya ingin kita berhenti sejenak,” kata Barbara nyaris tak terdengar. Hanya helaan napasnya yang panjang tertangkap oleh indera pendengarku. “Aku ingin istirahat sebentar. Sudah kupersiapkan segala sesuatunya untuk pergi ke tempat ibuku.”

Secara mendadak kubuka mataku menyadari perkataannya baru saja. Aku menoleh ke arahnya, terlihat kesenduan dan kerinduan di kedua mata biru keabuannya, menampilkan ekspresi bahwa dia benar-benar letih.

“Tapi kau akan kembali secepatnya, kan?” tanyaku.

Barbara mengangguk. “Ya, tentu saja. Mungkin hanya sehari. Lalu aku bisa kembali ke Paris.” Barbara berdiri dari sofa, masih tak menarik tatapannya untukku. “Kupastikan kau tidak bertindak bodoh selama aku pergi. Tidak ada hal yang perlu kukhawatirkan, bukan? Aku mempercayaimu.”

“Kau memegang janjiku.” Aku melayangkan senyuman tulus, di balik senyum rahasia yang menyimpan rencana lain.

Seakan menyadari keberadaan senyum misterius itu, Barbara mendengus kesal. “Sudahlah, aku tidak mau berdebat malam ini. Aku harus tidur lebih awal dan berangkat besok.”

Seringai lebar kusunggingkan sembari memberikan tatapan nakal padanya. “Boleh kutemani semalam ini saja, Babe? Aku pasti merindukanmu. Malam ini saja.”

Aku tahu kalau Barbara paling benci melihat tingkah Jason, namun dia tersenyum miring seakan memberi lampu hijau. “Kemari.” Dia mengerling dengan sikap menggoda.

Seperti orang tolol, aku bergerak melompat dari sofa, mendekatinya cepat-cepat seakan ucapan Barbara adalah ajakan yang tak bisa diabaikan begitu saja. Sampai ketika tanganku terulur untuk mendekapnya, dia justru memutar kedua lenganku ke belakang dan mendorong tubuhku sampai sebelah pipiku menempel pada tembok. Aku meringis kesakitan sekaligus tertawa pelan.

“Ini sakit, sungguh,” kataku bersungguh-sungguh.

“Jauh lebih menyakitkan kalau satu peluru masuk ke dalam rongga kepalamu.” Barbara semakin membuatku merintih kesakitan.

“Padahal aku hanya minta satu hal. Kenapa balasannya menyakitkan seperti ini?” Aku tertawa sarkastis.

“Kau harus diberi tahu sedikit informasi kalau aku tidak seperti kebanyakan perempuan yang kaupermainkan, Honey.” Barbara melepasku.

Gila, makin lama tenaganya makin besar, bahkan mampu mengunciku di tembok dengan sekali gerakan saja. Mungkin aku yang terlalu lengah gara-gara ketololan Jason yang sangat terobsesi pada Barbara. Aku masih meringis kesakitan seraya menyentuh tanganku yang baru dipitingnya ke belakang tadi.

“Kau bicara seperti itu seakan-akan kau berhasil menolak setiap godaanku.” Aku berdecak sekali. “Tentunya… kau akan menarik kata-kata itu jika mengingat lagi kejadian malam tahun baru, bukan?”

“Jangan ungkit masalah itu lagi, dasar begundal.” Telunjuk Barbara mengacung ke arahku. Tatapannya menyiratkan tanda bahaya. “Kau memberiku minuman yang banyak sehingga membuatku dalam pengaruh alkohol.”

“Mau lagi? Kau cantik saat memakai lingerie.” Aku mengerling ke arahnya.

Satu tinjuan kena telak sampai bisa kurasakan sakit luar biasa pada tulang pipiku. Aku menekan tempat di mana Barbara sudah memukulku tadi seraya tak henti-hentinya meringis kesakitan. Bahkan akibat pukulan keras itu, ujung bibirku menampakkan darah.

“Trims,” kataku masih menahan rasa sakit.

“Aku hanya benci mendengar ocehannya.” Barbara memutar bola mata jengah sembari berjalan gusar menuju ke kamarnya. Bahkan pintu kamarnya ditutup sangat kencang sebagai tanda bahwa dia tidak ingin diganggu.

“Brengsek kau, Jason,” rutukku kesal masih menyentuh pipiku yang mungkin sudah lebam.

Rachel’s Point of View

Oke, ada sebersit rencana yang secara kebetulan mampir di kepalaku. Aku menyampaikannya pada Destiny keesokan paginya kalau kita bisa saja pergi ke rumah Elisabeth Etienne. Barangkali ada orang yang bisa memberitahu kami tentang barang peninggalan Elisabeth. Kalau dia meninggalkan seorang anak atau pengurus rumahnya, itu lebih memudahkan pekerjaan kami. Namun, apabila dia tidak meninggalkan apa-apa, itu baru kartu mati.

Pertama, kami akan pergi ke rumah Profesor Rousseau guna menyelidiki orang-orang di balik simbol phi. Untunglah berkat identitas dan status Destiny, kami diperbolehkan melakukan investigasi. Destiny sudah berkutat dengan sarung tangan karetnya sambil menjelajahi rumah Profesor Rousseau. Dia ingin mencari jejak lain yang mungkin ditinggalkan sang pembunuh sedangkan aku mencari infromasi perihal simbol phi.

Ada sebuah perpustakaan kecil di rumah Profesor Rousseau. Rak bukunya menyimpan berbagai macam jenis buku, baik yang tebalnya hanya sekitar tiga senti, sampai buku tebal yang bersampul kulit berdebu. Aku mencoba memilah-milah buku mana yang sekiranya mampu memberikan informasi soal rahasia di balik simbol phi yang sering terlihat di lingkungan terdekatku.

Aku menggeleng frustrasi tidak menemukan tanda apapun dari buku-buku yang kupilih. Hingga mataku menangkap sesuatu saat kutaruh kembali buku-buku tersebut ke dalam rak. Aku berjalan pelan mendekati sesuatu yang menarik perhatianku. Sebuah bandul jam pasir yang dimiliki hampir tiap orang di dalam foto itu. Kuingat-ingat kembali foto yang pernah kulihat di rumah paman John dan yang ditunjukkan oleh Dr. Mandingo. Wajah Profesor Rousseau memang tidak asing karena dia juga berpose di foto itu.

Aku meraih bandul jam pasir tersebut dan mengamatinya saksama. Ada ukiran simbol phi di bagian bawahnya. Itu menandakan bahwa benda ini mengantarku semakin dekat dengan pemecahan teka-teki apa itu simbol phi dan siapa orang-orang di balik simbol itu.

Lagi-lagi, aku berjalan karena belum puas dengan apa yang kudapatkan. Kakiku berhenti saat menginjak sebuah kertas kusam yang tergeletak begitu saja di atas lantai marmer kecoklatan. Aku memungut kertas itu baik-baik. Bersamaan kudengar seruan Destiny, mataku membeliak lebar mengetahui sebuah data diri. Data ayahku.

Full Name         : Albert Comte Dalton

A.k.a                 : Shank

Status                : Active

Member Since  : 1970

 

Aku mengerjapkan mataku. Seperti orang kesetanan, kucari-cari kertas lainnya di atas meja dekat rak buku perpustakaan ini. Aku menemukan data lainnya, termasuk data ibuku. Ada simbol huruf phi di tiap kertas itu. Sambil menerka-nerka apakah ini semacam data diri para anggota kelompok rahasia, Destiny masuk ke perpustakaan kecil ini dan mendapati aku yang masih melamun memandangi kertas di genggamanku.

“Apa yang kautemukan?” tanya Destiny seraya menyambar salah satu kertas yang kupegang. Identitas ibuku.

Full Name         : Sabrina Victoria Evergreen-Dalton

A.k.a                 : Diamond

Status                : Active

Member Since  : 1971

 

“Apakah ini semacam perkumpulan?” tanya Destiny menatapku bingung.

Aku menggelengkan kepala menandakan bahwa aku juga tidak tahu. “Entahlah. Tapi yang pasti, mereka tergabung dalam satu kelompok rahasia.” Aku membalas tatapan Destiny. Kutunjuk bagian tepi atas identitas itu, simbol phi dengan tulisan kecil di bawahnya.

Philosopher and Historian Inteligence

Aku menarik napas dalam-dalam. “PHI: Philosopher and Historian Inteligence.”

Yang pertama, aku sudah tahu pasti bahwa orangtuaku, termasuk paman John, Alison, Dr. Mandingo, Profesor Rousseau, masuk dalam bagian kelompok rahasia yang disebut sebagai PHI atau Philosopher and Historian Inteligence. Yang kedua, aku yakin bahwa pembunuhan itu berhubungan dengan Red Circle lantaran benda tersebut diciptakan oleh salah satu anggota, namun belum tahu kepastian bentuk kongkret benda itu. Yang ketiga, Destiny menemukan satu jejak yang ditinggalkan oleh pembunuh Profesor Rousseau berupa sebuah berlian hitam kecil, seperti bagian dari perhiasan yang dipakai sang pembunuh. Tidak mungkin benda itu salah satu milik Profesor Rousseau karena dia sendiri yang mengatakan kalau dia sudah tidak lagi membuka toko perhiasan.

Sekarang aku dan Destiny beristirahat sebentar di sebuah bar. Destiny menghisap rokoknya seraya memijit dahinya memikirkan teka-teki gila yang menyeret pula keluargaku. Aku hanya memandangi kertas-kertas dalam genggamanku yang sudah kujilid menjadi satu. Ada satu data yang menarik perhatianku, dan dia mengingatkanku pada sosok di dalam mobil itu. Sosok yang menatapku tajam. Walaupun aku tidak melihatnya secara jelas, aku bisa mengenali rambutnya yang selegam lorong panjang.

“Kita jadi pergi ke rumah Elisabeth Etienne?” tanya Destiny seraya menyundutkan ujung rokoknya ke atas asbak.

Aku mengangguk. “Tentu saja. Kita bisa mencari tahu di mana dia tinggal atas bantuan adikmu, Devian. Setelah itu baru kita bergegas.”

Destiny hanya mengangguk-anggukkan kepalanya mengikuti rencanaku.

Berulang kali kulirik jam tanganku. Sudah lumayan sore, kami harus kembali pulang sebelum malam tiba. “Ayo kita pulang.”

Destiny meraih gelas di depannya. Diteguknya satu gelas besar berisi bir sebelum meninggalkan tempat ini. Jujur saja, aku bukan perokok dan peminum. Datang ke bar saja baru kali ini. Meski kuakui aku bukan anak kutu buku di balik buku-buku kuliahku, aku masih membatasi kebebasanku sendiri.

Ketika kami berjalan menuju pintu, seseorang menepuk pantat Destiny sambil tertawa-tawa. Aku menautkan kedua alisku melihat sikap kurang ajarnya. Berbeda dengan Destiny yang justru tersenyum berlebihan, lantas melenggang mendekati pria kurang ajar tadi. Dalam hitungan detik saja Destiny mampu menggiringnya jatuh tersungkur mengenai meja lain yang membuat gelas-gelas dan botol-botol pecah berkepingan. Aku membuka mulut mengagumi kegesitannya.

“Wow,” ujarku saat Destiny kembali meneruskan langkahnya dengan aku yang mengekor di belakang.

Destiny bilang kalau dia juga belajar ilmu bela diri sebelum memutuskan menjadi detektif ilegal. Dia mengakui pernah kalah telak dari serangan mendadak seorang anak laki-laki. Aku memang mendapatkan bekal ilmu bela diri, namun tenagaku tidak sebesar Destiny yang sanggup melempar seorang pria sampai ke meja lain.

“Dia memang perlu diberi..”

Brukk!

Destiny mengerang keras bertabrakan dengan seseorang di hadapannya. Dia mengumpat pelan sambil menyentuh jidatnya yang berbenturan dengan orang itu. Sampai kedua matanya bertemu dengan mata orang yang ditabraknya. Ujung-ujung bibir Destiny terangkat naik.

“Kau?!” seru Destiny seakan mengenali pemuda yang ditabraknya tadi.

“Hai, Destiny Hope Cyrus, detektif ilegal ceroboh yang bodoh,” sapa pemuda berambut kriting itu. “Kita bertemu di Paris. Wow, kejutan.”

“Aku yakin kau mengikutiku!” nada bicara Destiny meninggi. “Kau juga mencari keberadaan Red Circle sampai kemari, kan?”

Pemuda itu mengedikkan bahunya. “Tidak, aku sedang liburan.” Kemudian dia mengubah raut wajahnya diiringi tawa pelan. “Tentu saja aku mencari benda itu, Destiny.”

Aku seakan menjadi orang tolol di antara mereka. Dari dulu aku benci kalau sudah terlibat dengan pertikaian orang namun mereka tidak menganggap eksistensiku. Maka, aku berdehem pelan.

“Siapa kau?” tanyaku sopan.

Pemuda itu beralih menatapku. Dia mengulurkan tangannya sebagai tanda perkenalan. “Nick Holmes. Pembunuh bayaran.”

Apa yang baru saja dikatakannya? Aku tertawa pelan menyadari bahwa dia memang menyebut nama Holmes namun statusnya sebagai pembunuh bayaran. Jangan bercanda seperti itu di depanku.

“Aku yakin kau mempertanyakan nama keluarganya,” kata Destiny. Sepertinya dia sudah mengenal anak ini.

Please, mana ada pembunuh bayaran menggunakan nama Holmes.” Aku menghentikan tawaku. Kusambut uluran tangannya saat itu juga. “Ra… Christalique.”

Nick menyunggingkan senyuman lebar sambil menarik tangannya lagi. Lamat-lamat diamati diriku dari atas hingga ke bawah, lalu tatapannya beralih menuju Destiny.

“Kalian jauh-jauh kemari juga mencari keberadaan benda itu. Boleh kubantu?”

“Tidak,” saut Destiny cepat seraya menyeret tanganku. “Sampai kapanpun, tidak akan.”

Kami beranjak pergi meninggalkan Nick yang berdiri di tempatnya seraya memandangi kepergian kami. Aku menoleh ke belakang, mendapati anak itu tersenyum sangat lebar.

Well, selamat mencari!” serunya sembari melambaikan tangan.

Justin’s Point of View

Sehari tanpa Barbara di apartemen memang menjemukan. Tidak ada kegiatan menarik selama dia pergi. Aku tidak yakin kalau dia tinggal sehari saja. Pasti membutuhkan waktu lama menghabiskan kesempatan bebas bersama ibunya di rumah sakit jiwa. Meski begitu, aku tidak akan mencegahnya menemui ibu yang lama dirindukannya. Sebagian pikiranku mengatakan kalau ibunya pasti tidak mengingat keberadaan Barbara karena setahunya, Barbara menghilang. Itulah penyebab ibunya jadi gila.

Karena tidak ada kegiatan yang menyenangkan, aku hubungi saja Christalique, barangkali dia mau menemaniku. Aku harus mendapatkan gadis ini. Entah mengapa, ini bukan soal apakah Jason tertarik dengannya, atau Derek yang berhasrat ingin membunuhnya, atau juga Michael yang berniat mencuri barang-barang berharganya. Ini lebih daripada itu, seolah aku yang merasakan perasaan itu padanya. Seperti saat aku bertemu dengan Lexy. Tapi, aku belum bisa memastikan apakah aku tetap maju, atau justru menyingkirkan bayang-bayang indahnya. Aku bingung.

Sampai akhirnya kuputuskan untuk menghubunginya saja. Deringan ke tiga baru dia menjawab teleponku.

“Hai, Just.” sapanya lembut.

Aku menggigit bawah bibirku menimbang-nimbang ajakanku. “Mau kuajak pergi? Aku bosan setengah mati di sini. Barbara sedang pergi menemui ibunya.” Aku tidak perlu memberitahu tujuan Barbara secara kongkret. Misalnya, rumah sakit jiwa.

“Tentu saja. Jemput aku.”

Bagus. Untuk kali ini aku ingin merasakan bagaimana nikmatnya menjadi remaja normal yang pergi dengan seorang gadis yang disukainya tanpa mengkhawatirkan kejadian-kejadian mengerikan itu. Tapi, dia hanya gadis biasa. Kurasa dia tidak dalam bahaya kalau sudah bersamaku. Aku bahkan dianggap seluruh dunia sebagai psiko berbahaya. Aku akan memastikan gadis ini baik-baik saja bersamaku.

Kali ini aku tidak membawa mobil seperti biasa. Aku sengaja membawa motor yang diberikan bosku. Sebenarnya aku agak ragu mengajak Christalique ke tempat balap motor, apalagi aku tak tahu apakah dia menyukai olahraga ekstrem macam seperti itu. Tapi kalau tidak dicoba, mana kutahu apakah dia suka jika diajak pergi ke arena.

Christalique sedikit bingung bagaimana bisa aku menjemputnya dengan motor dibanding mobil seperti biasa. Tapi dia tak banyak bicara ketika naik di belakangku, dan merangkul pinggangku.

“Aku mencium bau adrenalin,” tukasnya.

“Kau suka adrenalin? Mari ikut denganku.”

Bagus, ternyata Christalique bukan gadis manja yang doyan shopping. Dia sama seperti Barbara, penggila adrenalin. Maka, kugas motor ini melesat menuju arena balap motor dan menunjukkan Christalique seperti apa kegiatan adrenalin yang sering kulakukan.

Rachel’s Point of View

(Playlist: Shut Up and Drive – Rihana :3)

Tidak kusangka anak ini penuh kejutan. Bahkan dia berani mengajakku pergi ke arena balap motor di sebuah tempat yang tak kukenal. Ketika motor Ducati hitam yang dibawa Justin mendekati kerumunan, yang lain memberikan sambutan riuh. Aku belum pernah pergi ke tempat macam ini, tapi aku tak pernah takut merasakan hal baru. Apalagi kalau sudah berhubungan dengan adrenalin.

“Pacar baru?” tanya seseorang sambil menyenggol lengan Justin. “Mana gadis Hungariamu?”

Justin tertawa mendengar kalimat itu. Aku hanya berdiam diri di belakangnya, mengamati keadaan tempat ini yang penuh suara bising knalpot motor dan teriakan-teriakan.

“Barbara sedang pergi. Dia…” Justin melirikku. “Dia temanku.”

“Teman macam mana yang kau maksud?” seorang anak yang lain tersenyum miring.

“Sudahlah jangan bahas yang seperti itu. Sekarang, gadis ini yang menemaniku. Jangan tanya perihal lain.”

Aku mengedipkan mata beberapa kali mencerna ucapannya. Apakah itu maksudnya dia sering mengajak gadis lain kemari? Itu memang bukan urusanku, karena aku hanya seorang teman baginya. Namun, ada sebersit perasaan aneh membayangkan bahwa Justin sering mengajak gadis lain kemari. Seperti… cemburu.

“Kenalkan, ini Christalique,” kata Justin mengenalkanku pada teman-temannya. “Chris, ini teman-temanku di Paris. Jangan khawatir, mereka bisa berbahasa Inggris. Ini Josh, Greg, Robert, dan Betrand.”

Yang tidak kusuka adalah pandangan mereka terhadapku seakan-akan aku berasal dari planet lain. Aku jadi kikuk ditatap seperti itu. Apalagi aku mengenali tatapan-tatapan macam begitu ditujukan oleh anak-anak begundal.

“Dia punya bokong yang bagus,” celetuk salah satu dari mereka.

Aku mendelikkan mata mendengar ucapan seperti itu.

“Jangan kurang ajar.” Justin mengacungkan jari telunjuknya memperingatkan. “Akan kuhajar kau kalau mengatakan hal itu lagi.”

Anak laki-laki berambut pirang madu itu tertawa mendengar ancaman Justin. “Maaf kalau tidak sopan.”

Aku hanya menyeringai. Ya Tuhan, andai aku membawa pistolku, tak segan-segan kutarik pelatuknya hingga peluru di dalam pistol itu menembus kepala anak itu. Dasar kurang ajar.

“Ayo mulai.” Justin memberi kode pada kawan-kawannya seraya memakai helmnya.

“Aku ikut?” bisikku di sampingnya.

Justin membuka kaca helmnya, kemudian menatapku teduh. “Jangan takut. Aku tidak akan mencelakakanmu.”

Aku tidak takut, hanya… Oke, ini pengalaman pertamaku duduk di belakang seorang anak yang akan melakukan balap motor. Apalagi anak itu baru kukenal. Kuenyahkan perasaan kalut yang menggelitikku. Aku tidak pernah takut kalau berhadapan dengan adrenalin. Baiklah, mungkin ini tidak berbahaya. Pasti menyenangkan.

Aku mengeratkan pelukanku pada pinggang Justin saat motor yang dikendarainya melesat cepat bersama kawannya yang lain. Aku hampir ingin muntah lantaran kecepatan motor ini yang di luar perkiraanku. Sambil menarik napas dalam-dalam, kueratkan tanganku, bahkan meremas jaket yang dikenakannya.

“Chrissie!” pekik Justin. “Geli!”

“Maaf,” balasku seraya merenggangkan tanganku.

Justin tertawa dan semakin menambah kecepatannya. Kutempelkan pipiku pada punggungnya, merasakan angin malam kota Paris menyapu wajahku, membuat rambut yang sudah kukuncir kuda sedikit berantakan, dan merasakan aroma tubuhnya yang membuatku nyaman. Aku tidak takut lagi saat dia berbelok ke tikungan, lebih mempercepat laju motornya mendahului dua temannya dan memimpin di depan.

Terdengar seruan melengking yang menyambut kedatangan kami sampai kusadari bahwa kami sudah berada di tempat utama. Aku menarik napas dalam berhasil menakhlukkan adrenalin seperti ini. Justin melepas helmnya, mengibaskan rambutnya, kemudian berhigh five bersama temannya yang lain.

“Aku selalu menang,” katanya. “Mungkin pengaruh dia bersamaku.” Dia melirikku seraya melayangkan senyuman memesona. Aku hampir tercekik melihat senyum itu.

“Sepertinya kau memang hebat. Ada ataupun tidak adanya aku,” timpalku.

“Tidak, kau malaikatku, Chrissie.”

“Kau berlebihan.” Aku mengerutkan hidungku.

Kami turun dari atas motor menunggu yang lain datang. Aku sedikit sungkan berada di tengah-tengah teman Justin. Bahkan perempuan-perempuan di sekitarku sangat menarik perhatian dengan stelan pakaian mereka dan dandanan menawan. Aku cukup senang mejadi diri sendiri, setidaknya penampilanku sangat membantu kepercayaan diriku saat ini. Meskipun aku tidak memakai hot pants maupun tank top saja, aku cukup senang karena di sini aku seolah menjadi salah satu bagian dari mereka, para penantang adrenalin itu. Tidak ada yang buruk kan dengan tank top yang dilapis jaket kulit hitam, celana panjang, dan sepatu bot di bawah lutut. Aku melihat salah seorang gadis yang berdiri di sebelah motornya. Dandanannya hampir sama sepertiku.

“Trims sudah bersedia menemaniku,” kata Justin sungguh-sungguh, mengabaikan euforia teman-temannya di belakang sana.

“Tidak masalah. Seharusnya aku yang berterima kasih karena kau mengenalkanku pada salah satu aktifitas pembangkit adrenalin,” balasku tulus.

“Kau tidak akan kapok kalau kuajak, kan?”

Bagaimana aku bisa menolak kalau sudah melihat kedua matanya berbicara padaku dengan diimbangi nada memikat seperti itu?

“Tentu saja. Aku pasti senang bisa kauajak pergi.”

Justin tersenyum mendengar balasanku. Dia bergerak lebih mendekat, masih tak melepaskan pandangan yang berbeda untukku. Matanya memang indah, kuakui itu, apalagi kalau sudah terpicing bak predator buas. Aku suka tatapan seperti itu. Tatapan teduh, terpicing tajam, tatapan bak predator, segala hal yang diberikan padaku seakan menjadi hal-hal favoritku.

Tak kuduga sebelumnya, dia mencium bibirku. Secara instingtif aku membalasnya. Tangannya yang bebas menyentuh kedua pipiku, membawaku agar tetap tak kehilangan kontak darinya. Sementara tanganku bergerak, menyurukkan jari jemariku pada rambutnya yang halus. Bibirnya masih menelusuri tiap lekuk bibirku. Dan, kedua mata kami bertemu sesaat kami menyudahi ciuman dadakan itu. Aku tertegun sebentar.

“Justin! Boleh bantu aku!” terdengar seruan jauh di belakang sehingga menyadarkan kami berdua yang sempat saling berdiaman.

“Tunggu di sini, aku akan kembali,” ujarnya. Dia berlari mendekati ke arah temannya yang berseru minta bantuan tadi.

Aku menyandarkan tubuhku pada kap mobil di belakangku, mengamati hiruk pikuk tak jauh dari sini, mendengarkan seruan, melihat pasangan yang saling bermesraan, mendengar mesin dihidupkan, segala hal yang sebelum ini membuatku bising. Namun, entah mengapa kali ini aku seakan menikmati suara-suara dan keramaian di sini.

“Kau teman Justin, bukan?” seseorang mengagetkanku dari arah samping. Disusul anak-anak lain yang berbondongan membawa kaleng bir.

“Kenapa dia meninggalkanmu di sini sendirian, manis?” tanya yang lain seraya menyentuh daguku.

Aku menepis tangannya yang tak sopan itu. “Minggir. Aku sedang tidak mood berkelahi.”

“Oh… gadis manis ini bisa berkelahi rupanya.” Tawa meledak di antara mereka.

“Aku penasaran, apakah dia juga seliar Barbara?” yang lain menyahut, semakin membuatku tidak nyaman.

Aku ingin pergi dari sana, namun mereka mengelilingiku. Sial.

“Kurasa Barbara lebih liar. Aku kena dua tiga kali pukulan di tiap tulang rusukku. Lihat, ini bekas cakaran gadis itu.”

Mereka saling melemparkan tawa dan candaan memuakkan sambil berjalan sempoyongan. Yang paling kubenci saat mereka berusaha meraihku, menyentuhku, dan aku menepis tangan-tangan itu. Ingatkan aku, lain kali akan kubawa pistol Heckler yang sering kubawa agar bisa kuhabisi mereka satu per satu.

“Jangan sentuh dia!”

Salah seorang dari mereka tersungkur jatuh ketika kulihat Justin datang. Dia memukul satu per satu kawannya yang tidak kukenal sampai terjungkal dan jatuh bergelimpangan. Aku mengatupkan bibir rapat melihat sikap defensifnya di depanku. Diraihnya satu kawannya yang masih ada di dekatku, kemudian memukul tulang rusuknya berkali-kali. Aku mengerutkan wajah melihat kejadian itu. Baru kusadari seluruh anak di arena balap motor ini tercengang melihat perkelahian itu.

Salah satu anak tadi mengeluarkan sebilah pisau lipat dan mulai menerjang Justin, mencoba menyerangnya sampai kena. Kurasa gerakan Justin lebih gesit. Dia berhasil menghindari gerakan tangan anak itu, lantas memiting kedua lengannya sampai membuat anak itu meringis kesakitan dan menjatuhkan pisau di tangannya. Justin mendorong tubuh anak itu ke depan, membuatnya jatuh dan terbatuk-batuk.

“Kuperingatkan pada kalian, jika kalian menyentuhnya, akan kuhabisi kalian,” tukas Justin dingin sambil mengacungkan telunjuknya tidak main-main.

Aku membuka mulutku tak mampu berkata apa-apa lantaran terkejut. Ditatapnya aku, masih dengan sikap defensif. Kemudian mendekapku dan membawaku menjauh dari tempat itu.

“Maaf aku lalai dengan meninggalkanmu,” bisiknya di sebelahku.

Aku masih terdiam, merasakan kecupannya pada puncak kepalaku seraya membawaku menuju motor yang diparkirnya. Tanpa berkata apa-apa atau mengucapkan selamat tinggal pada temannya yang lain, Justin menaiki motornya disusul aku masih dalam kebisuan. Dia melesatkan motornya meninggalkan arena balap, sedangkan aku memeluk pinggangnya, dan dia menyentuh telapak tanganku. Sentuhan itu berubah menjadi remasan lembut. Aku terdiam, menempelkan sebagian wajahku pada punggungnya, memikirkan kejadian tadi. Dia memukul temannya untuk melindungiku. Bukan, bukan itu yang menjadi persoalan pikiranku. Dia tidak mau temannya bertindak kurang ajar terhadapku atau dia menghabisi mereka. Menghabisi mereka.

Nawwww… sorry for gajenes -_- Udah mulai terkuak tuh apa itu phi dan orang-orang di balik simbol phi. Juga siapa itu Shank and Diamond :P Tinggal teka-teki di mana Red Circle dan siapa pembunuh anggota kelompok phi, pemburu Rachel, juga apa motif mereka memburu Rachel ‘-‘)b

Dan soal karakter Justin, gue lagi mencampur aliran absurditas dan sikap disociative, jadi ikuti aja buat memperjelas apa yang sebenarnya terjadi sama dia dan motif dia melakukan pembunuhan-pembunuhan itu ‘-‘)/

Justin-Rachel, Jason-Barbara lol -_- love them but… I just love their scenes. Kbye.

Continue Reading