Red Circle (ON HOLD)

By Cendarkna

47.2K 3.2K 132

Rachel Dalton adalah mahasiswi Universitas Brown yang menghabiskan liburannya di rumah pamannya, John Evergre... More

Prolog - Jejak Pertama
Bagian Satu - Foto di Atas Perapian
Bagian Dua - Antara Buronan, Tersangka, dan Korban
Bagian Tiga - Red Circle?
Bagian Lima - Toko Perhiasan
Bagian Enam - Kartu Mati
Bagian Tujuh - PHI
Bagian Delapan - Kata Mutiara Michelangelo
Bagian Sembilan - Pemburu Emerald
Bagian Sepuluh - Berkemas
Bagian Sebelas - Kapel Sistina
Bagian Duabelas - Pentagram
Bagian Tigabelas - Pesan dalam Pesan
Bagian Empatbelas - London

Bagian Empat - Museum Louvre

2.3K 189 5
By Cendarkna

“Kau ternyata. Aku sudah menduga kau pelakunya.”

“Hm… rupanya kalian masih menduga-duga. Kukira kalian sudah pasti menyudutkan aku sebagai tersangka.”

“Aku hanya berasumsi dasar bahwa bukan pengkhianat kami yang melakukan ini. Banyak yang menginginkan Red Circle. Tapi baru kusadari kasus pembunuhan yang kaugunakan dengan metode mereka sangat berbeda. Kalian lebih jahat.”

“Aku tidak akan jahat kalau benda itu kalian berikan padaku sejak lama. Mungkin kalau kalian memberikannya padaku, tak akan ada korban berjatuhan sampai sekarang. Kalian akan utuh.”

“Sungguh? Lantas… kami akan memberikannya padamu seperti orang tolol? Tidak. Kau akan menambah korban, melibatkan orang yang tak bersalah.”

“Aku hanya berlaku baik.”

“Baik? Jahat tulen maksudmu?”

“Disiplin, cerdik, tapi sedikit kasar. Sekarang, berikan benda itu.”

“Tidak akan.”

Rachel’s Point of View

 Sudah lama aku berdiri di pinggir jalan seperti orang tolol, mencari taksi yang kosong untuk pulang. Ini ke tujuh kalinya aku melihat jam digitalku. Sudah lewat tengah malam. Gara-gara SUV yang kukemudikan mengalami masalah dan harus masuk bengkel, sekarang aku yang kesusahan sendiri. Hm… bagaimana kalau kutelepon saja Destiny dan minta dia untuk menjemputku? Sepertinya tidak apa. Daripada aku terancam bahaya di sini, lebih baik menghubungi Destiny.

Deringan ke tiga, baru ada yang menjawab teleponku.

“Dee. Ini aku, Rachel.”

Terdengar suara berat di dalam sana sambil sesekali menguap. “Iya aku tahu. Kau kira aku buta dan tidak bisa melihat namamu di display? Ada apa?”

Mendengar nada berat Destiny, aku urung mengatakan niatku minta dijemput. “Kalau kau mengantuk tidak apa. Lanjutkan saja tidurmu.”

Destiny tertawa. “Kau pikir setelah meneleponku dan membuatku terbangun, dengan seenaknya kau minta aku tidur lagi?” Dia mendesah pelan. “Kau harus tahu satu hal, Rae. Kalau aku sudah dibangunkan, aku tidak bisa tidur lagi. Sekarang katakan ada apa.”

Aku menggigit bibir bawahku. “Maaf…”

“Jangan minta maaf. Jawab saja pertanyaanku.”

“Bisakah kau menjemputku? Aku tidak menemukan taksi di sini. Jalanan sudah lumayan sepi.”

“Dimana kau?”

Aku menyebutkan lokasiku berada kini melalui papan yang tertancap di tiang besi tak jauh dariku. Setelah menyebutkan lokasi, Destiny bilang akan segera berganti baju dan memutuskan sambungan. Aku menghembuskan napas pendek sambil menunggu Destiny menjemputku di pinggir jalan.

Justin’s Point of View

Teringat olehku ketika salah satu saingan kami dalam memperebutkan Red Circle masuk ke dalam perkumpulan untuk memberikan sedikit informasi yang ternyata keberadaannya justru mengganggu. Saat dia dengan angkuhnya mengatakan bahwa kami bergantung padanya dan kami diwajibkan untuk menuruti perintahnya. Namun pemimpin kami tidak sebodoh itu menanggapi ucapan tolol wanita licik tersebut.

Pertama kali aku melihatnya berjalan diikuti antek-anteknya. Langkah anggun dengan kaki jenjang di balik dress hitam panjang menjuntai di lantai marmer lusuh. Wajahnya yang apatis, dingin, menampakkan kemunafikan luar biasa, sebuah pengkhianatan terbesar yang dilakukannya untuk organisasi yang pernah diikutinya. Hanya demi hasrat memiliki jawaban dari kunci kode rahasia dunia.

Saat itu aku duduk di sebelah Barbara, memandangnya berjalan menghampiri pemimpin kami. Sebelah tangannya di angkat rendah, menandakan agar antek-antek di belakangnya mundur beberapa langkah. Sampai akhirnya dia sendiri yang menghadapi pemimpin kami. Menatap lurus-lurus sambil memamerkan deretan giginya yang rapi. Seringai lebar mengejek terulas begitu saja. Aku tidak tertarik memandang wajahnya yang cantik. Aku lebih tertarik melihat simbol persekutuan yang dikhianatinya berada di pergelangan tangannya.

“Aku datang menawarkan kerja sama,” ujarnya kala itu di balik nada sinisnya.

Dan, pemimpin utama kami menggeleng khitmad. “Siapa kau dengan lancangnya mengajakku ikut bergabung? Tidak ada yang dengan lancangnya menyeretku gabung.”

“Dasar sombong,” keluh wanita itu. “Kalau begitu aku menantangmu mendapatkan Red Circle. Sebaik apa penampilan kalian dalam mendapatkan benda itu.”

Pemimpin kami terkekeh pelan tanpa mengubah ekspresinya. Dia menatap bosku, bos yang bekerja di bawah komandonya. Yang mengatur pergerakanku.

“Bukankah kami memiliki cara yang lebih sederhana?” tanya pemimpin kami pada bosku.

Bosku membalas tatapan itu sambil mencebikkan bibir. “Ya. Kami tidak perlu bantuanmu. Dan, kami terima tantanganmu.”

Wanita asing itu menunjukkan senyuman miring. Lantas berbalik badan melenggang acuh diikut antek-anteknya yang lain. Setelah dia menghilang di balik pintu, pemimpin kami berdehem pelan.

“Aku memerintahkan kalian untuk mencari informasi keberadaan Red Circle dari gadis ini. Dia anak si pembuat Red Circle.” Pemimpin kami menyerahkan selembar foto pada bosku. Lantas melirikku penuh arti.

Melalui lirikan itu aku menyadari bahwa dia sangat mengandalkanku mencari informasi melalui gadis ini. Sampai akhirnya diserahkannya foto itu untukku. Ada dua hal yang terjadi setelah foto itu sampai di tanganku. Barbara berdehem dan aku tersentak.

“Tidak. Jangan libatkan dia,” ujarku.

“Kau mengenalnya, Nak?” Sang pemimpin menatapku sambil tersenyum miring.

Barbara berdehem lagi. “Bagaimana dia tidak mengenal pacarnya sendiri?”

Aku meremas foto itu, melemparnya di atas meja, kemudian berdiri gusar. “Aku tidak akan melibatkannya.”

“Tapi informasi keberadaan Red Circle ada padanya. Kami tidak menemukan lokasi orangtuanya berada, Justin.” Bosku menekankan nadanya sangat tajam. Rambut pirangnya disibak ke belakang. Diraihnya sebatang rokok, lantas menyalakannya sambil tak melepas tatapannya untukku. “Bawa dia pada kami.”

Aku menggeleng cepat. Mana mungkin aku mengumpankan seseorang yang sangat berarti bagiku? “Aku akan keluar dari sini kalau kalian memaksaku.”

Bosku tertawa sinis. Dia menyundutkan rokoknya pada asbak. Kemudian menodongkan sebuah pistol tepat ke arahku. “Berarti kau memilih mati.”

Barbara melirikku. Disenggolnya tubuhku dan bibirnya bergerak memberikan ucapan ‘Turuti saja perintahnya, bodoh’. Aku mengerang kesal, menendang kursi di dalam ruang pertemuan itu, namun akhirnya menyerah pada keputusan.

Saat itulah aku tahu bahwa menjadi seseorang sepertiku memang membutuhkan resiko besar. Aku tak pernah berpikir sedalam itu. Mereka berhasil mengendus keberadaan Alexis. Mana kutahu kalau Alexis ternyata anak penemu Red Circle itu. Aku telah menariknya ke dalam bahaya. Sekarang tak ada yang perlu kusesali mengingat seluruh rekaman tersebut dalam memori otakku.

“Kau baik-baik saja?” Barbara mengagetkanku seraya menyenggol bahuku, membuatku sadar dari lamunan seperti tadi.

Aku menarik napas dalam-dalam. “Hanya teringat sesuatu.”

Barbara meneguk soda dalam kaleng di genggamannya tanpa memedulikan ekspresiku. Dia merebut remot televisi, kemudian mengganti chanel. Aku membiarkannya mengganti saluran tanpa berebut seperti biasanya. Kurebahkan tubuhku di atas sofa panjang ini, berbantalan pahanya. Sebelum aku memejamkam mata untuk istirahat sejenak, kuamati Barbara yang masih memperhatikan televisi.

“Kau pernah merasa lelah menjalani aktifitasmu saat ini?” tanyaku.

Mendengar pertanyaan itu, pandangan Barbara mengalih padaku. “Kadang iya. Tapi kita tidak punya banyak kesempatan. Kita sudah terjun ke dalam keputusan kita sendiri. Dan itu tidak bisa ditarik lagi. Sekali basah, harus basah keseluruhannya.”

Aku mengalihkan kontak mataku darinya. Kupikirkan sekali lagi kalimatnya dengan bayangan-bayangan kejadian mengerikan yang terjadi selama aku hidup. Sampai akhirnya pikiran itu menghilang seiring mataku yang terpejam dan aku terlelap di atas pangkuan Barbara.

Rachel’s Point of View

Aku keluar dari mobil Destiny setelah Lamborghini Gallardo yang dikemudikannya berhenti di depan pagar. Keadaan rumah seperti biasa, sepi seolah tak berpenghuni. Apalagi malam menambahkan kesuraman melingkari wilayah rumah ini. Terkadang aku merasa kalau rumah ini lebih layak menjadi tempat pemakaman daripada disebut tempat persinggahan.

“Kau bisa pergi, Dee.” Aku tersenyum. “Terima kasih banyak.”

“Tidak masalah.” Destiny membalas senyumanku. “Eh… Rae, kalau kau butuh bantuanku, kau bisa menghubungiku.”

Aku mengangguk. Saat itu juga Destiny melajukan lagi mobilnya meninggalkan rumah Dr. Mandingo. Aku melangkah memencet tombol kunci pada detektor program di sebelah pagar besi. Karena aku tahu kata sandinya, aku tak perlu menyebut namaku, sehingga tinggal menekan sandinya, pintu ini bisa terbuka sendiri.

Rumah Dr. Mandingo sudah gelap. Aku mendengar teriakan minta tolong dari dalam ruangan yang letaknya tak jauh dari tangga. Kepalaku bergerak mengikuti suara minta tolong itu. Aku berlari cepat mendekati sumber suara. Kakiku berhenti tepat di depan pintu ruang rahasia Dr. Mandingo yang tak boleh dimasuki siapapun. Pintu itu dalam keadaan terbuka, menampakkan Emilee tengah menangis tersedu-sedu di depan tubuh Dr. Mandingo yang tergeletak. Aku berlari mendekatinya, melihat lingkaran merah darah yang mengelilingi tubuh Dr. Mandingo. Pembunuhan serupa, seperti yang terjadi pada paman John dan ibuku.

“Siapa yang melakukan ini?” desahku, melihat kembali tulisan ‘Red Circle’ yang ditulis di atas lantai. Aku menggelengkan kepala menyadari bahwa pembunuh itu pasti masih berkeliaran di sekitar sini menungguku.

Emilee masih menangis tak jauh dariku. Aku mendekatinya, membungkuk di depannya dan menyentuh pundak wanita itu. Tubuhnya bergetar ketakutan.

“Kau tahu siapa pelakunya?” tanyaku.

Emilee menggelengkan kepala, masih membisu lantaran terisak-isak. Aku mencari jejak lain yang barangkali ditinggalkan Dr. Mandingo seperti ketika paman John tewas. Namun, tak ada apa-apa kecuali jejak sang pembunuh yang meninggalkan misteri.

Aku menunggu di luar rumah, mengamati kerja para polisi serta dokter yang menyelidiki kasus ini. Tubuh Dr. Mandingo diantar ke dalam ambulans. Sementara polisi meminta keterangan dari Emilee sebagai saksi mata. Aku masih menunggu kedatangan Destiny agar dia menindak lanjuti kejadian ini secara langsung. Lamborghini Gallardo Destiny sudah tampak, mendekati pekarangan rumah. Destiny melompat dari dalam mobilnya, lalu mendekatiku.

“Kasus serupa,” kataku padanya.

“Antar aku ke tempat dia dibunuh.”

Kami berdua masuk ke dalam rumah. Garis kuning sudah terlihat di pintu ruangan di mana Dr. Mandingo tewas dibunuh. Destiny menunjukkan tanda pengenalnya, sehingga polisi memberi kesempatan padanya masuk ke dalam.

“Bukankah kau ilegal?” bisikku.

“Ya, tapi aku pandai memanipulasi identitas.”

Destiny mendekat pada lingkaran merah dan gambaran tubuh Dr. Mandingo dari kapur putih. Dia mengambil sempel darah itu, memasukkannya pada plastik, yang kemudian disimpan dalam saku mantelnya. Aku mengamati keadaan di dalam ruangan ini, ruangan yang tak boleh dimasuki siapa saja. Pandanganku terpaku pada satu titik di mana terdapat sebuah buku bersampul tebal tergeletak di sebelah kacamata gantung Dr. Mandingo. Di sampingnya terdapat pula kertas yang sempat ditulisnya di depan perapian.

Aku mengambil buku tersebut seraya mendekatkan kertas tadi di sebelahnya. Kuamati persamaan gambar sampul dan gambar yang ada di dalam kertas itu. Tampak sebuah lingkaran dengan garis vertikal di tengahnya.

“Dee, aku melihat ini. Cobalah ke sini,” kataku pada Destiny.

Meresponku, Destiny berjalan cepat menghampiri. Dia menyambar secarik kertas bertuliskan huruf latin dan gambar lingkaran dengan garis vertikal tadi. Dia melirikku penuh arti.

“Ini huruf phi.”

Aku mengerutkan dahiku. “Dia menggambar phi di atas kertas. Sementara di buku panduan ini pun terdapat pula phi. Untuk apa dia repot-repot menggambar lagi kalau di sampul buku itu juga terdapat phi?”

Destiny mengelus dagunya. Diamatinya kedua phi yang ada di tangannya kini. Dia menaruh buku tebal itu di atas meja. Lantas kertas putih bertuliskan huruf latin dan gambar phi itu diletakkan di atas sampul bukunya. Diraihnya sebuah pena di dalam kotak panjang, lalu menggambar sesuatu di atas kertas itu. Aku mengernyitkan dahi menyadari gambar apa yang sudah dibentuk Destiny. Sebuah gambar yang sama seperti gambar di buku The Da Vinci Code.

“Bagaimana bisa?” tanyaku takjub.

Destiny menarik sampul buku tersebut, merobek kertas tipisnya, lantas mensejajarkannya di depan sinar lampu kristal. Aku bisa melihat garis-garis samar pada sampul buku itu.

“Ini cetakan timbul. Kau bisa merabanya. Tapi kalau kuperlihatkan di depan bayangan lampu ini, kau bisa melihat sketsa gambarnya. Dr. Mandingo belum menyelesaikan gambar anatomi tubuh seperti itu di atas kertas ini.” Destiny tersenyum miring seraya menunjukkan kertas bertuliskan huruf latin padaku. “Ini sebuah pesan. Sepertinya Dr. Mandingo tahu di mana lokasi si pembuat Red Circle. Ada si pembuat, ada bendanya. Gambar ini menunjukkan salah satu kode Da Vinci pada lukisan Mona Lisa, simbol yang hilang. Dan, kau tahu tempat lukisan Mona Lisa, kan?”

Aku mengangguk. “Museum Louvre.”

“Tepat.” Destiny menjentikkan jarinya. “Museum Louvre ada di Paris. Itu berarti keberadaan seseorang yang mengetahui di mana Red Circle berada ada di sana.“ Destiny menunjuk gambar phi di atas kertas tadi. “Ini adalah simbol yang sama, dimiliki oleh para korban pembunuhan serupa, seperti ketika aku menyelidiki kasus sebelumnya. Di mana simbol seperti ini ada pada tubuh mereka.” Destiny menggigit bawah bibirnya. “Artinya, phi ini akan mengantarkan kita pada korban berikutnya. Orang yang ada di Paris. Bisa jadi pembuat Red Circle, atau yang mengetahui keberadaannya. Pesan ini mengantar kita ke sana.”

Aku terdiam sejenak memikirkan ucapan Destiny. Aku masih bingung antara apakah pembunuh itu mencariku, mencari pembuat Red Circle, atau mencari Red Circle. Yang pertama, aku tidak tahu di mana keberadaan Red Circle. Itu artinya mereka bukan berniat memburuku, melainkan mencari-cari anggota kelompok yang mengetahui keberadaan Red Circle. Ibuku, pamanku, Dr. Mandingo, mereka dibunuh dengan pesan bahwa mereka membutuhkan Red Circle. Dan, tulisan ini menurut Destiny akan mengantarkan kami pada kode selanjutnya. Entah keberadaan pembuat Red Circle, atau hanya potongan teka-tekinya.

“Ayo kita pergi ke Paris.” Aku menoleh ke arah Destiny.

Justin’s Point of View

“Sampai kapan kita bersembunyi seperti pengecut di sini?” tanya Barbara mulai bosan.

Aku mengedikkan bahu seraya melempar bola bisbol ke arah tembok, memantulkannya berkali-kali; menangkap, melemparnya, begitu seterusnya. Kupandangi dia yang mondar-mandir seperti setrika baju. Dia menggigit kuku-kukunya yang halus seakan tidak pernah takut bahwa kukunya bisa saja mengelupas. Barbara bukan tipe gadis yang memperhatikan penampilan. Dia lebih tertarik melihat berbagai jenis senjata api daripada melihat jenis kosmetik terbaru.

“Kau mau melakukan kegiatan menyenangkan?” Aku menatapnya skeptis.

“Kalau yang kaumaksud adalah merampok, membunuh, mencuri, well, untuk saat ini tidak. Aku tidak bernafsu untuk melakukannya.” Dia menghela napas panjang. Direbahkan tubuhnya di atas ranjang, menatap plafon apartemen kusam di atasnya kini.

Aku tertawa mendengar nada sengitnya. Kulempar bola bisbol itu tepat ke atas keranjang sampah. Kemudian aku melompat dan tengkurap di sebelahnya. “Kenapa kau mau menjadi sepertiku?”

Mendengar pertanyaanku, Barbara menoleh cepat. Dahinya membentuk kerutan aneh seolah-olah pertanyaanku masuk dalam daftar pertanyaan hakim pada terdakwa.

“Aku sudah bilang padamu, kalau aku mau begitu. Itu urusanku.”

Aku sedikit kasihan pada Barbara. Dia direkrut ke dalam organisasi rahasia yang kuikuti setelah bertemu denganku. Kala itu aku melihat ayahku yang menembak mati ibuku. Tanpa sengaja pula, Barbara yang seusiaku, melihat kejadian itu. Sehingga dengan paksa, ayahku berusaha mengejar kami untuk dibunuh. Aku mencoba menolong Barbara karena aku tahu dia tidak mengerti apa-apa. Dia hanya tidak sengaja melihat kejadian itu. Lantas kami bertemu dengan seseorang yang membantu kami. Dia, pemimpin organisasi kami, membunuh ayahku. Dia menuntut rasa terima kasih kami dengan meminta agar kami bergabung bersama mereka. Sampai kejadian itu, aku dan Barbara mulai terjun ke dalam dunia kriminal. Dan, sebagian diriku menyukai hal itu.

Aku berbaring di sebelahnya saat nada pesan masuk terdengar di ponselku. Pesan masuk dari bos ternyata.

From: Bitch

Target sudah menampakkan diri di Paris. Dia berhasil memecahkan kode mereka. Kau harus menjemputnya.

Aku menyengir melihat pesan itu. Kulempar ponselku di atas lantai sampai membuatnya pecah berkeping-keping. Masa bodoh. Biarkan dia saja yang menjemputnya. Untuk apa dia memperalatku kalau dia sendiri bisa menjemputnya? Aku bosan disuruh-suruh.

“Kenapa kau buang ponselmu?” tanya Barbara.

Aku mengedikkan bahu “Sudahlah. Untuk hari ini saja aku ingin menghabiskan waktuku. Tidak ada perintah. Tidak ada tindakan.” Aku menoleh ke arahnya. Melihat sudut mataku yang memicing aneh, Barbara memutar bola mata jengah. Dia beranjak berdiri sambil menatapku malas.

“Tidak ada, Jason. Pergilah dari sini dan cari saja wanita jalangmu yang lain.”

“Tapi aku maunya kau.”

“Langkahi dulu mayatku.” Dia melemparkan tatapan yang tidak main-main. “Pergi dari kamarku atau aku yang akan pergi.” Sambil mengetukkan tumitnya di atas lantai, dia melipat tangan di depan dada.

Aku beranjak dari tempat tidurnya, mencebikkan bibir mendengar nada sinis yang sering digunakannya untuk mengusir Jason. Ya, lebih baik aku babak belur saja daripada menuruti hasrat Jason pada Barbara yang justru akan membuatku terlihat seperti bajingan.

Rachel’s Point of View

Bukan hanya aku, Destiny memang sering bepergian menggunakan identitas palsu. Mungkin karena statusnya sebagai detektif ilegal. Dia menggunakan nama Miley Stewart sedangkan aku tetap menggunakan nama Christalique.

Sesampainya di Paris, kami menyewa apartemen sederhana yang letaknya strategis dan berdekatan dengan museum Louvre di la rive droite Seine. Aku bisa menikmati suasana kota Paris yang indah, dengan sungai Seine yang membelah Paris menjadi dua bagian. Ini tempat yang cocok untuk berlibur. Tapi di sini aku tidak sedang berlibur. Aku justru mencari pemecahan teka-teki Red Circle beserta kasus pembunuhannya.

Destiny bilang padaku dia akan pergi sebentar dan membiarkanku berkeliling di sini. Aku sudah berniat akan masuk ke dalam museum Louvre, melihat dengan mata kepalaku sendiri seperti apa lukisan Mona Lisa yang diperbincangkan itu.

Museum Louvre adalah salah satu museum terbesar yang didirikan di Istana Louvre yang awalnya merupakan benteng yang dibangun pada abad ke-12 di bawah pemerintahan Phillip II. Banyak koleksi bersejarah di sana. Termasuk lukisan Mona Lisa itu.

Sesampainya kakiku menginjak lantai museum, aku clingukan mencari keberadaan lukisan Mona Lisa. Entah kenapa sosok lukisan itu lebih menarik daripada yang lain.

Itu dia! Aku melihat lukisan paling bersejarah! Secepatnya aku menghampiri lukisan Mona Lisa, hasil karya yang paling disukai Leonardo Da Vinci. Aku mengatupkan rahangku rapat, mengagumi keindahan seni pada lukisan itu, yang menurut banyak orang menyimpan senyuman paling misterius serta kode-kode di dalamnya. Banyak kode Da Vinci di dalam lukisan itu yang tidak bisa dilihat melalui mata telanjang. Dan pemecahannya, ada pada Red Circle.

Aku masih terpaku memandangi lukisan itu. Tidak mau beranjak sedikitpun, merasa sudah tersihir oleh daya pikat lukisan misterius tersebut.

“Maaf kalau aku lancang,” tegur seseorang di sebelahku yang membuatku mengalihkan perhatian seketika. “Tapi dari tadi aku melihatmu berdiri di depan lukisan ini. Selama hampir setengah jam.”

Aku tertawa pelan mendengar keluhannya. Seorang anak laki-laki tampak di hadapanku kini ketika kuputar tubuhku. Dia mengamatiku dari atas ke bawah dengan senyuman ramah sampai kusadari bahwa kedua matanya menarik perhatianku.

“Hai, aku memang mencintai karya Leonardo Da Vinci yang satu ini.” Aku tersenyum.

Anak tersebut menaikkan sebelah alisnya. “Well, sama kalau begitu. Aku juga tertarik dengan karya Da Vinci yang misterius.” Dia mengulurkan tangannya ke arahku sebagai tanda perkenalan. “Aku Justin McCann.”

Aku menyunggingkan senyuman lebar, menyambut uluran tangannya. “Christalique Lutherwood.”

AWEEEEEH RACHEL SYUDAH KETEMU SAMA JUSTIN ._____. So this is it, next chapter for some romance scenes and more conflicts!

Continue Reading